Perempuan-Perempuan Perkasa Pejuang HAM
Mugiyanto (Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia - IKOHI)
11 Mei 2009 - Hampir sebulan yang lalu, Indonesia kedatangan dua orang tamu istimewa dari Argentina. Mereka bukan pemain bintang sepak bola seperti Maradona dan Lionel Messi. Bukan pula pasangan populer Presiden Cristina Fernandez Kirchner dengan suaminya yang juga mantan presiden Nestor Kirchner. Dua tamu istimewa itu adalah Lydia Taty Almeida dan Aurora Morea. Mereka datang ke Indonesia dalam rangka peringatan Hari Kartini dan ulang tahun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Secara fisik, mereka adalah dua orang nenek berusia 80 tahunan. Tetapi hanya dari sorot mata dan bahasa tubuhnya, kita bisa membaca, mereka adalah perempuan-perempuan keras yang memiliki keyakinan kuat dalam hidupnya. Walaupun usia telah lanjut, masih terlihat sisa-sisa kegigihan dan keperkasaan mereka.
Dimulai oleh 14 orang ibu Taty dan Aurora adalah anggota Las Madres de Plaza de Mayo (Las Madres). Las Madres,yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira berarti “Ibu-Ibu Plaza de Mayo” adalah organisasi para ibu yang anaknya hilang diculik atau lenyap begitu saja, saat Argentina berada di bawah pemerintahan junta militer dari tahun 1976 sampai tahun 1983.
Pendirian organisasi ini diawali usaha ibu-ibu untuk mencari anak mereka yang hilang dengan mendatangi kantor polisi, militer, kantor menteri, dan bahkan geraja. Di situlah mereka bertemu dengan ibu yang lain, yang juga mencari anggota keluarga mereka. Lalu, suatu saat, salah satu dari mereka, Azucena Villaflor de Devicenti, mengatakan kepada yang lain, “Kalau kita melakukan hal ini sendiri-sendiri, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Mengapa kita tidak pergi ke Plaza de Mayo, dan bila kelompok kita membesar, pasti Videla akan mau menemui kita….”
Pada hari Kamis sore, tanggal 30 April 1977, 14 orang ibu berkumpul di pusat keramaian kota Buenos Aires, di Plaza de Mayo, di depan Casa Rosada (Rumah Pink), istana kepresidenan Argentina. Untuk menarik perhatian publik yang lalu lalang, keempat belas orang ibu itu berdiri, diam, dengan foto anak atau suami mereka yang hilang digantungkan di leher. Sebagai penutup kepala, mereka menggunakan kain putih bertuliskan nama anggota keluarga korban yang hilang, yang dipakai seperti kerudung.
Walaupun mereka adalah para perempuan, terutama ibu-ibu, yang sebenarnya sangat dihargai dalam budaya Argentina yang sangat taat pada ajaran Kristiani, tindakan ibu-ibu ini bukanlah tindakan yang aman. Junta militer rupanya sangat marah dengan tindakan ibu-ibu ini. Mereka tidak hanya menghina Ibu-Ibu Plaza de Mayo dengan sebutan Ibu-Ibu Gila di Plaza de Mayo (Las Locas de Plaza de Mayo), tetapi juga mengancam dan menteror mereka. Pernah beberapa kali mereka diseret ke dalam truk tentara dan ditahan selema beberapa hari di cantor polisi. Lebih dari itu, beberapa tokohnya juga dihilangkan setelah sebelumnya diculik dan disiksa.
Salah satunya adalah Azucena Villaflor de Devicenti yang diculik pada tanggal 10 Desember 1979. Pada tahun 2005, Tim Forensik Antropologi Argentina (EAAF) berhasil menemukan dan mengidentifikasi tulang belulang Azucena, dan menemukan adanya bukti forensik berupa benturan besar pada kerangka tersebut. Diperkirakan Azucena diculik, disiksa lalu dalam keadaan masih hidup dilemparkan ke laut dari atas pesawat terbang.
Taty Almeida bergabung dengan Las Madres karena anak laki-lakinya, Alejandro Martin Almeida dihilangkan oleh aparat intelijen militer pada tanggal 17 Juni 1975. Alejandro yang waktu itu berumur 20 tahun adalah seorang mahasiswa kedokteran. Sampai hari ini, Taty belum mendapatkan kabar dan menemukan jasad anaknya.
Sementara itu, Aurora Morea bergabung dengan Las Madres karena anak perempuan dan menantunya, Susana Perdini de Bronzal dan suaminya, diculik lalu dieksekusi. Susana yang waktu itu berusia 27 tahun adalah seorang arsitek yang aktif dalam kegiatan politik menentang junta militer. Dalam sebuah penyelidikan dan penggalian (exhumation) EAAF atas peristiwa tersebut, kerangka Susana bisa ditemukan dan diidentifikasi pada tahun 1999. (Laporan Tahunan EAAF, 2000)
Buah Manis Perjuangan
Perjuangan panjang Las Madres yang dilakukan di Argentina dan di luar negeri sejak tahun 1977, perlahan-lahan membawa perubahan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia di dunia internasional. Isu penghilangan paksa menjadi perhatian dunia, yang ditandai dengan dibentuknya Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghilangan Paksa (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances) pada tahun 1980.
Kelompok Kerja ini menjadi mekanisme khusus untuk menjembatani korban dan pemerintah dalam usaha pencarian korban penghilangan paksa. Lalu pada tahun 1992, PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Selanjutnya, perjuangan Las Madres bersama organisasi korban, termasuk Kontras dan Ikohi, dan NGO HAM Internasional lainnya juga berhasil mendorong PBB mengesahkan sebuah instrumen internasional yang secara hukum mengikat dalam bentuk Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa) pada tahun 2006. Bahkan, Argentina merupakan negara kedua (dari 10 negara) yang sudah meratifikasi Konvensi tersebut pada tahun 2007.
Tidak hanya dalam tataran aturan yang normatif, perjuangan Las Madres juga menjadi salah satu alasan presiden baru paska junta militer di Argentina, Raul Alfonsin membentuk Komisi Nasional untuk Orang Hilang (CONADEP). Setelah bekerja selama satu tahun, CONADEP berhasil melakukan penyelidikan kasus penghilangan paksa pada masa junta militer 1976 – 1983 dan mengeluarkan laporan yang sangat dahsyat yang berjudul Nunca Mas, yang berarti “Jangan Lagi” atau “Cukup”.
Nunca Mas berhasil mengungkap pola penghilangan paksa, tempat penyekapan, metode penyiksaan, identitas korban dan penanggung jawab. Dalam jangka waktu kerja yang cuma satu tahun, CONADEP berhasil mengidentifikasi 8000 korban, dari 30.000 yang mereka yakini ada.
Nunca Mas ini kemudian menjadi acuan bagi proses pengadilan untuk para junta militer dan mereka yang bertanggung jawab pada masa junta militer (Dirty War) ini berkuasa. Skema pemulihan (reparasi) korban juga tengah dijalankan di Argentina dengan acuan laporan CONADEP ini.
Las Madres Indonesia, ibu-ibu pejuang HAM
Pada masa kini, Indonesia juga tidak kekurangan perempuan-perempuan seperti ibu-ibu anggota Las Madres. Ketika rentetan peristiwa pelanggaran HAM terjadi dalam rentang 1998 – 1999, seperti peristiwa penculikan aktifis prodemokrasi, peristiwa kekerasan Mei, peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II, Las Madres mulai berkecambah di Indonesia.
Dimulai pada akhir bulan Maret 1998, beberapa orang tua mulai resah, karena anak-anak mereka dikabarkan hilang diculik. Diantara mereka adalah orang tua Faisol Riza, Raharja Waluya Jati, Mugiyanto, Nezar Patria, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Andi Arief, Herman Hendrawan dan istri Wiji Thukul. Lalu menyusul orang tua Yani Afri, Noval Alkatiri, Yadin Muhidin dan Ucok Siahaan. Keresahan itu mereka salurkan dengan melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang waktu itu dipimpin Munir.
Dari sinilah mereka mulai mendatangi Komnas HAM, Polda Metrojaya, Mabes Polri, Puspom ABRI, Gedung DPR, Kejaksaan Agung dan bahkan Mabes TNI di Cilangkap hanya untuk menyampaikan satu pertanyaan, “Dimana anak-anak kami?”
Dalam proses perjuangan dan pencarian ini, para ibu adalah mereka yang paling gigih dan berani. Pernah suatu saat di tahun 1999, di depan gedung DPR di Senayan dan di depan kantor Departemen Pertahanan, para ibu ini diusir oleh tentara dengan mengokang senjata. Ibu-ibu ini pun bergeming. Mungkin seperti yang juga dikatakan oleh Margaret Wakeley tentang Las Madres, “As long as mothers give birth to children, they will give birth to courage”
Ketika berada di Indonesia, Las Madres selalu menyampaikan pesannya kepada para ibu yang anaknya hilang atau meninggal sebagai korban pelanggaran HAM di Indonesia. “Terus berjuang, jangan pernah menyerah, jangan pernah lupa!”. Sama dengan Las Madres, perjuangan yang dilakukan para keluarga korban di Indonesia juga melampaui kepentingan mereka sendiri, tetapi demi masa depan negeri Indonesia. “Supaya tidak terulang lagi”. Begitu mereka sering berucap.
Seruan “jangan pernah lupa” menjadi sangat penting dan relevan dalam konteks pemilihan presiden yang akan datang. Penyelidikan oleh lembaga resmi negara, Komnas HAM, menemukan adanya dugaan bahwa para aktifis mahasiswa dan prodemokrasi, ditembak dan hilang karena tindakan aparat militer yang pimpinannya kini menjadi capres atau cawapres. Hanya ketika mereka sudah mempertanggungjawabkan tindakan mereka di masa lalu, mereka berhak menjadi calon pemimpin negeri ini.
Mengenai prinsip ini, Las Madres juga memberi inspirasi, “human errors can be pardoned; what is beyond the frontiers of humanity cannot”. Kekhilafan manusia bisa dimaafkan, tetapi apa yang melampaui batas-batas kemanusiaan, tentu tidak bisa.