Friday, September 09, 2005

Munir dan Hari Orang Hilang Sedunia

Mencari Keadilan bagi Munir di Hari Orang Hilang Sedunia
Mugiyanto[1]

Tanggal 30 Agustus adalah Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared). Setiap tanggal tersebut, komunitas HAM di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang punya catatan sejarah hitam penghilangan orang secara paksa seperti antara lain Chile, Argentina, Srilanka dan Filipina mengadakan peringatan besar-besaran. Di Indonesia, setiap tahun sejak 1998, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) bersama elemen masyarakat sipil lainnya dan terutama para korban orang hilang dan keluarganya selalu mengadakan peringatan dengan berbagai kegiatan.

Di setiap kegiatan itulah, kita melihat peran almarhum Munir yang sangat sentral, karena memang dia adalah salah seorang yang secara berani dengan gerbong Kontras berhasil mengangkat kasus penghilangan orang secara paksa ke depan publik dan negara, bahkan ketika Orde Baru masih berkuasa. Munir dan Kontras dengan dukungan luas masyarakat pada waktu itu juga berhasil mendesak pelaku penculikan untuk melepaskan 9 dari 24 aktifis pro demokrasi yang diculik pada awal tahun 1998.

Lebih dari itu, kampanye dan desakan publik yang meluas pada waktu itu juga menjadikan tiga pucuk pimpinan Kopassus yaitu Letjen Prabowo Subiyanti, Mayjen Muchdi PR dan Kolonel Chairawan mendapatkan sanksi administratif berupa pemberhentian dari dinas kemiliteran oleh Panglima ABRI, Jenderal Wiranto. Ini adalah pencapaian perjuangan yang luar biasa para keluarga korban dan masyarakat dengan Munir dan Kontras sebagai motornya. Karena itulah tidak berlebihan apabila oleh masyarakat sosok Munir selalu dihubungkan dengan kasus penghilangan orang secara paksa.

Kini sudah hampir satu tahun Munir dibunuh secara keji. Karena itu, pada peringatan Hari Orang Hilang Sedunia kali ini secara fisik Munir tidak bersama-sama para korban. Namun demikian, semangat berjuang yang telah ditularkan Munir kepada para korban dan keluarganya masih bisa kita lihat dan rasakan. Hal ini ditunjukkan dengan tetap berjuangnya para orang tua yang kehilangan anaknya, istri yang kehilangan suaminya, dan para aktifis yang kehilangan kawan-kawannya. Keberlanjutan perjuangan ini juga menunjukkan bahwa apa yang telah dirintis Munir untuk berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran memang tidak pernah sia-sia.

Lebih dari itu, kami merasa perlu berterima kasih dan memberitahu Munir bahwa perjuangan yang telah dirintis bersama sejak 7 tahun lalu kini telah sedikit membuahkan hasil, yaitu dengan disepakatinya pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM) untuk kasus Penghilangan Paksa Aktifis Pro Demokrasi tahun 1997-1998 oleh Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 11 Agustus 2005 yang lalu. Walaupun keputusan pembentukan KPP-HAM ini bukan merupakan tujuan akhir, tetapi bagi para keluarga korban, kemenangan kecil ini sedikit banyak memberikan harapan untuk mengetahui nasib para korban yang masih hilang dan mendapatkan keadilan. Karena itu, tidak berlebihan kiranya kalau pada Hari Orang Hilang Sedunia tahun ini kita mendedikasikan kemenangan kecil yang teraih untuk Munir. Tujuannya ádalah untuk membangun ingatan tentang apa yang telah dilakukan oleh Munir terhadap para korban dan keluarganya, dan sebaliknya apa yang telah kita semua lakukan untuk Munir, setelah sekarang ia menjadi korban.

Selain ditandai dengan adanya kemenangan kecil berupa keputusan pembentukan KPP-HAM untuk kasus penghilangan aktifis pro demokrasi tahun 1997/1998, peringatan Hari Orang Hilang Sedunia tahun ini juga ditandai dengan keprihatinan karena masih gelapnya kebenaran seputar pembunuhan Munir. Keprihatinan ini didasarkan pada ketidakmampuan (inability) Penyidik di Mabes Polri untuk menindaklanjuti dan mengungkap adanya konspirasi pada kasus pembunuhan Munir, sebagaimana ditemukan dan direkomendasikan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Presiden SBY. Tidak adanya kemauan politik (unwillingness) Presiden SBY juga tampak terlihat karena dia tidak mengambil tindakan tegas ketika ada pihak-pihak yang tidak kooperatif bahkan menentang usaha-usaha pengungkapan kasus oleh TPF yang nota bene ia sendiri yang membentuknya.

Dua hal diatas diperburuk dengan proses pengadilan atas salah satu tersangka Pollycarpus Budihari Priyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kecenderungannya menafikan adanya konspirasi beberapa orang atau pihak dalam peristiwa pembunuhan Munir di Pesawat Garuda pada tanggal 7 September 2004. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan terhadap Munir karena Munir ádalah aktifis HAM dan demokrasi yang kritis yang bisa mengganggu jalannya program pemerintah sementara Pollycarpus ádalah aktifis pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan dakwaan yang lemah dan mengada-ada. Hal ini disampaikan tidak hanya oleh masyarakat yang bersimpati pada Munir, bahkan oleh para pembela Pollycarpus.

Kecenderungan proses pengadilan ini sangat bertentangan dengan temuan dan rekomendasi TPF serta logika akal sehat. Dalam sebuah konferensi pers di kantor Kontras tentang mandegnya pengungkapan kasus Munir, Jhonson Panjaitan, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) bahkan mengatakan bahwa pengadilan kasus Munir tidak lebih baik dibandingkan dengan Pengadilan Militer atas 11 anggota Tim Mawar Kopassus pada tahun 1999. Keduanya tidak berhasil mengungkap dalang (masterminds) dan penanggung jawab komando, tetapi hanya menyalahkan pelaku lapangan. Ironisnya, pengadilan yang satu dilakukan pada tahun 2005 oleh rejim yang menjanjikan perubahan dan penghormatan atas nilai-nilai hak asasi manusia.

Pengungkapan kasus Munir adalah tantangan, tidak hanya bagi orang-orang yang menginginkan tegaknya HAM dan keadilan di Indonesia, tetapi terutama merupakan tantangan bagi pemerintahan SBY. Karena bagaimanapun kasus Munir adalah kasus pembunuhan politik tingkat tinggi (high profile political assassination) yang mendapatkan perhatian tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional. Kredibilitas pemerintah Indonesia dipertaruhkan dalam kasus ini. Ketika pemerintah gagal mengungkap kebenaran dan keadilan dalam kasus ini, tidak mustahil pemerintah juga akan kesulitan mengatasi krisis ekonomi yang saat ini melanda kita, karena kurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah.

Karena itu, pada Hari Orang Hilang Internasional yang kebetulan jatuh hampir bersamaan dengan peringatan satu tahun meninggalnya Munir, sudah sepatutnya pemerintah melalui instansi-instansi terkait seperti kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan langkah-langkah terobosan berarti yang akan bisa menguak para dalang, motivasi dan kebenaran seputar konspirasi pembunuhan Munir. Hal ini penting tidak hanya untuk menemukan kepastian dan keadilan pada kasus Munir itu sendiri, tetapi untuk menghindarkan pembunuhan-pembunuhan politik serupa agar tidak terjadi lagi di waktu mendatang.

[1] Penulis adalah ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (KOHI), korban selamat penculikan aktifis pro-demokrasi 1998.

* Tulisan dimuat di harian Kompas, rubrik OPINI tanggal 31 Agustus 2005 dengan beberapa pemotongan dan 'penghalusan'