Tuesday, December 05, 2006

back 9 years ago


Indonesian activist tours
19 February 1997
By Martin Iltis and Russel Pickering

Indonesian solidarity campaigners in Canberra, Wollongong and Sydney heard Robbie Hartono from the Indonesian People's Democratic Party (PRD) speak at public meetings between February 11-15. The meetings were part of a national speaking tour organised by Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET).

At a meeting of 30 people on February 13 in Canberra, Hartono outlined how the Peoples' Democratic Party (PRD), although illegal under Indonesian law, is organising mass opposition to the Suharto regime. He stressed the need for both political and financial support for the pro-democracy movement, particularly to secure the release of leaders of the PRD and affiliated groups presently facing charges of sedition and possibly execution.

The ACT Trades and Labour Council; the Construction, Forestry, Mining and Engineering Union; the Transport Workers Union; and the National Tertiary Education and Industry Union pledged solidarity with the PRD. The CFMEU and TWU promised financial support and the NTEU offered solidarity to the illegal union, the Indonesian Centre for Labour Struggles (PPBI).
The Student Representative Council (SRC) at the Australian National University recommended that the next student general meeting endorse a motion that offers wide-ranging political support to the campaign to free Indonesian political prisoners. The motion also provides for a financial contribution. The Student Association at the University of Canberra agreed to publish articles in the student paper in support of the campaign and decided to "adopt" Dita Sari, president of the PPBI, who is currently on trial for sedition.

Hartono visited Wollongong on February 11-12. He held interviews with the local media and meetings with the South Coast Labour Council and the University of Wollongong SRC. During a public meeting, Hartono stressed the need for international solidarity. He told Green Left Weekly, "On July 27, 47 people were killed and the Australian government said nothing because of the relationship between the Australian capitalists and the Indonesian capitalists. At the very least, the Australian government should withdraw its recognition of Indonesia's occupation of East Timor and call for the release of political prisoners."

Hartono joined ASIET activist Ed Aspinall who has recently returned from six weeks in Indonesia to address a public meeting attended by around 80 people in Sydney on February 15. The meeting raised more than $600 for ASIET's Free the Indonesian Political Prisoners campaign.

Friday, December 01, 2006

Opini Kompas: Kejelasan Nasib Penghilangan Paksa

Kejelasan Nasib Korban Penghilangan Paksa

Mugiyanto


Setelah bekerja selama satu tahun, akhirnya pada tanggal 10 November 2006 Komnas HAM mengeluarkan laporan akhir hasil kerja Tim Ad Hoc Penyelidikan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa selama tahun 1997-1998. Dalam laporan akhir itu Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup terjadinya pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Di akhir laporan itu, Komnas HAM menyatakan akan mengupayakan dipenuhinya hak-hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban maupun keluarga korban dalam peristiwa tersebut.


Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tujuh hari kemudian laporan akhir itu diserahkan Komnas HAM kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan. Namun, belum lagi menerima laporan tersebut, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah mengatakan tidak akan melakukan penyidikan sampai ada rekomendasi DPR agar Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.


Jaksa Agung sama sekali tidak mau tahu dan mengabaikan laporan dan rekomendasi Komnas HAM bahwa penghilangan paksa adalah kejahatan yang berkelanjutan (continuing crime), yang penanganannya tidak melalui mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc, melainkan Pengadilan HAM permanen.


Artinya, rekomendasi DPR dan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Presiden tidak diperlukan sebagai syarat pelaksanaan penyidikan oleh Jaksa Agung. Bahkan, Komisi II DPR yang membidangi hukum dan HAM sendiri mengatakan bahwa Jaksa Agung harus langsung melakukan penyidikan (Kompas, 23/11).


Harapan keluarga korban

Walaupun tidak ada temuan yang baru, kesimpulan dan rekomendasi Komnas HAM bahwa kasus penghilangan paksa 1997- 1998 memenuhi unsur adanya dugaan tindak pelanggaran berat HAM dan karena itu harus dibawa ke pengadilan HAM sudah sejalan dengan harapan masyarakat, terutama keluarga korban yang telah berjuang selama delapan tahun terakhir.


Laporan dan kesimpulan Komnas HAM ini merupakan penegasan (afirmasi) dan pengakuan (acknowledgement) negara atas pengetahuan dan asumsi publik yang selama ini berkembang bahwa kasus tersebut memang tindakan pelanggaran berat HAM dalam bentuk penghilangan paksa, penyiksaan, perampasan kebebasan, dan pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dan meluas terhadap masyarakat sipil.


Laporan Komnas HAM masih jauh dari harapan agung keluarga korban untuk mengetahui nasib dan keberadaan 13 orang yang sampai kini masih hilang entah di mana. Memang benar bahwa Komnas HAM tidak secara eksplisit memiliki mandat untuk menemukan mereka yang hilang. Namun, keluarga korban sudah telanjur berharap bahwa penyelidikan Komnas HAM akan mampu sedikit memberikan petunjuk yang mengarah pada keberadaan para korban yang masih hilang, dan bukan hanya mengenali pelaku dan penanggung jawab.


Ketidakberhasilan menemukan petunjuk yang mengarah pada keberadaan para korban ini sudah diketahui oleh keluarga korban setelah adanya penolakan pihak TNI untuk diperiksa, Jaksa Agung untuk memberikan izin kunjungan lapangan, dan pengadilan negeri untuk melakukan pemanggilan paksa pada saat penyelidikan sebelumnya. Dari pemeriksaan atas anggota TNI yang terlibat, kunjungan ke tempat-tempat penyekapan dan penyiksaan diharapkan akan mampu menemukan bukti, informasi, dan petunjuk penting yang selama ini tersembunyi rapat. Penolakan-penolakan kerja sama oleh institusi-institusi ini juga dilihat oleh keluarga korban yang setiap hari memantau kerja Komnas HAM, bahwa Komnas HAM belum cukup maksimal dan percaya diri menjalankan mandat dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Komnas HAM.


Alat politik negara

Bagi keluarga korban, laporan penyelidikan Komnas HAM ini adalah langkah awal dari usaha besar mengungkap kebenaran sejarah dan keadilan. Dan seperti kasus-kasus lainnya, langkah lanjutan ternyata jauh lebih berat dan sulit. Terbukti belum apa-apa Jaksa Agung sudah pasang badan dengan mengatakan tidak akan melakukan penyidikan.


Ada kejanggalan di sini ketika Jaksa Agung mengambil sikap yang sama atas sebuah kasus yang tengah diselidiki dan telah diselidiki. Masih sedikit agak masuk akal ketika Jaksa Agung meminta rekomendasi DPR untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebelum ia memberi izin kunjungan lapangan ke Komnas HAM, karena kasus memang sedang tahap penyelidikan. Menjadi sangat tidak masuk akal ketika proses penyelidikan Komnas HAM telah selesai dan menemukan penghilangan paksa sebagai kejahatan yang berlanjut (bukan kasus masa lalu), tetapi Jaksa Agung tetap mengambil sikap yang sama dengan ketika hasil laporan belum ada.


Jaksa Agung telah mengambil sikap menutup pintu rapat-rapat bagi pemahaman atas temuan dan pendapat Komnas HAM yang diperkuat oleh Deklarasi Antipenghilangan Paksa PBB tahun 1992, Resolusi Dewan Eropa 2005, dan Konvensi Inter-Amerika untuk Penghilangan Paksa 1996 yang mengatakan bahwa sampai ada pengakuan resmi negara atas nasib mereka yang hilang, kasus penghilangan paksa merupakan kejahatan yang berlanjut.


Di sini kelihatan sekali Jaksa Agung lebih menampakkan dirinya sebagai institusi dan alat politik negara yang kurang peka terhadap keadilan, penegakan hukum, dan HAM, serta menjadikan dirinya sebagai tameng politik pemerintah.


Dua sisi mata uang

Untuk kasus penghilangan paksa, di mana keluarga yang ditinggalkan berada dalam ketidakpastian, maka bagi mereka kejelasan nasib dan keberadaan para korban, baik itu masih hidup maupun sudah meninggal, adalah sesuatu yang utama dan sangat penting. Di sini berarti kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah sebuah bangsa, karena peristiwa ini terjadi dalam konteks transisi politik sebuah bangsa, adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi harapan utama keluarga korban.


Meski demikian, dalam konteks politik dan penegakan hukum di Indonesia yang demikian lemah, kebenaran yang didambakan tersebut tidak akan mungkin muncul, kecuali mereka yang tahu, para pelaku dan mereka yang bertanggung jawab mendapatkan konsekuensi hukum yang tegas. Selain itu, informasi atas kebenaran yang tidak muncul dari proses yang terbuka dan transparan tidak akan mampu memberikan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku pelanggaran HAM, yang akibatnya akan menjadikan mereka berkesempatan melakukan tindakan yang sama pada ruang dan waktu yang berbeda.


Di sini penulis menganggap bahwa proses pengungkapan kebenaran atas sebuah peristiwa pelanggaran berat HAM tidak bisa dipisah-pisahkan dengan proses pencarian keadilan baik bagi pelaku (prosecution) maupun bagi korban (reparation; pemulihan). Keduanya seperti dua sisi mata uang. Hanya dengan cara penyelesaian menyeluruh seperti inilah bangsa Indonesia akan mampu berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya.


Di sinilah untuk kesekian kalinya komitmen dan kredibilitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di bidang HAM dipertaruhkan, yang dalam konteks penanganan kasus pelanggaran berat HAM, melalui tangan seorang Jaksa Agung. Akan sangat menyakitkan masyarakat dan keluarga korban apabila Jaksa Agung tetap mensyaratkan adanya rekomendasi DPR sebelum ia melakukan penyidikan, sementara DPR sendiri mengatakan bahwa Jaksa Agung harus langsung melakukan penyidikan.


Mugiyanto Penyintas (Survivor) Peristiwa Penghilangan Paksa 1998, Kini Ketua IKOHI

Monday, September 11, 2006

Hari Orang Hilang Sedunia


Hari Orang Hilang Sedunia, Munir dan Impunitas
Mugiyanto
1

“.... we must give priority to non-derogable rights.
The rights to life, as enshrined in the international bill of rights,
is without doubt non-derogable and should be strictly upheld by all nations.
We must do away with extrajudicial killings and enforced disappearances”
(Pidato Menlu Hassan Wirajuda pada High-Level Segment,
Sesi Pertama Sidang Dewan HAM PBB, Juni 2006)

Bagi korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa (orang hilang), tanggal 30 Agustus adalah momentum istimewa. Setiap tanggal tersebut, segenap korban dan keluarga korban penghilangan paksa di berbagai negara memperingati Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared) dengan menyelenggarakan berbagai jenis kegiatan. Di Indonesia, Hari Orang Hilang Sedunia telah diperingati selama 8 kali, tepatnya sejak 30 Agustus 1998, tak lama setelah organisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dipimpin oleh almarhum Munir berdiri. Sebagaimana di negara-negara lain, para keluarga korban di Indonesia juga memperingatinya dengan menggelar berbagai kegiatan seperti diskusi, aksi dan doa bersama.

Pada awalnya, tanggal 30 Agustus dipilih oleh organisasi-organisasi korban penghilangan paksa di negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Chile dan Colombia untuk didedikasikan bagi mereka yang dihilangkan secara paksa oleh rejim militer di negara-negara tersebut. Dari situlah selanjutnya oleh masyarakat internasional yang bekerja di bidang hak asasi manusia, tangal 30 Agustus dijadikan sebagai Hari Orang Hilang Sedunia.

Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari Orang Hilang Sedunia tahun ini ditandai dengan adanya beberapa kemajuan dan keprihatinan. Di satu pihak, pada tanggal 29 Juni 2006 yang lalu, Indonesia melakukan gebrakan yang cukup penting ketika sebagai anggota Dewan HAM PBB secara eksplisit dan tegas mendukung pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Pengesahan Konvensi oleh Dewan HAM PBB ini menunjukkan adanya komitmen negara-negara anggota PBB, khususnya 47 negara anggota Dewan HAM PBB untuk menindak dan mencegah terjadinya kasus penghilangan orang secara paksa.

Namun di lain pihak, komitmen Indonesia di tingkat internasional tersebut masih belum diwujudkan dalam praktik politik di dalam negeri. Uraian di bawah ini akan menunjukkan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia.

Proses penyelidikan Komnas HAM dan kendala yang dihadapi
Setelah bekerja sejak Oktober 2005 yang lalu, pada akhir September 2006 nanti KOMNAS HAM akan menyelesaikan tugas penyelidikan ad hoc kasus pelanggaran HAM penghilangan orang secara paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Selanjutnya, kalau penyelidikan tersebut menemukan adanya dugaan pelanggaran berat HAM, laporannya akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan, kemudian akhirnya dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc.

Akan tetapi, proses penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM menghadapi kendala ketika berhubungan dengan pihak TNI. Pihak TNI tidak mengijinkan anggotanya untuk diperiksa sebagai saksi oleh Komnas HAM. Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berbicara atas nama para saksi dari pihak TNI dalam surat penolakannya mengatakan bahwa tim penyelidik Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk memanggil para anggota TNI karena kejadian yang dituduhkan berlangsung sebelum UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan.

Karena penolakan oleh pihak TNI ini, pada tanggal 10 Juli 2006 yang lalu Komnas HAM mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta melakukan pemanggilan paksa terhadap para saksi dari pihak TNI tersebut. Namun lagi, Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso menyatakan penolakannya dengan alasan adanya perbedaan tafsir hukum pemanggilan paksa tersebut.

Selain soal pemanggilan paksa, pada bulan Juni 2006 Komnas HAM juga sudah mengirimkan surat ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh agar memberikan ijin kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penyekapan, penahanan dan penyiksaan para korban penculikan dan penghilangan paksa seperti Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Kodim Jakarta Timur dan Markas Kopassus Cijantung.

Akan tetapi, sebagaimana PN Jakarta Pusat, Kejaksaan Agung juga menyatakan penolakannya dengan alasan bahwa Pengadilan HAM harus lebih dulu dibentuk oleh Presiden. Alasan yang sama pernah juga dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung ketika memutuskan untuk tidak menindaklanjuti berkas laporan Komnas HAM dalam kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II.

Reformasi TNI diharapkan tidak sebatas retorika
Atas resistensi pihak TNI, penulis menganggap bahwa pemerintah, khususnya Presiden SBY seharusnya turun tangan dengan meminta Panglima TNI menginstruksikan anak buahnya untuk taat hukum dan bekerja sama dengan Komnas HAM. Langkah tersebut tidak hanya akan menunjukkan konsistensi kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM, tetapi juga akan memperbaiki citra TNI. Taat hukum akan menjadi ukuran nyata bahwa TNI memang telah mereformasi dirinya.

Lebih dari itu, memenuhi panggilan Komnas HAM merupakan peluang emas bagi TNI untuk klarifikasi dan 'membersihkan' diri dari tuduhan-tuduhan miring masyarakat. Apalagi, dalam penyelidikan awal Komnas HAM sudah menyimpulkan adanya indikasi keterlibatan TNI dalam kasus penghilangan paksa yang tengah diselidiki. Sebenarnya, saat inilah merupakan saat yang tepat bagi anggota dan purnawirawan TNI yang dipanggil untuk menjelaskan kepada Komnas HAM jika memang mereka tidak terlibat.

Kerja sama TNI dengan Komnas HAM juga akan menjadi ukuran penting konsistensi Panglima TNI Jenderal Djoko Suyanto dalam memenuhi janjinya. Sebagai catatan, pada kesempatan fit and proper test di DPR sebelum dipilih menjadi Panglima TNI, dengan disaksikan puluhan keluarga korban pelanggaran HAM Jenderal Djoko Suyanto mengatakan akan menjadikan TNI yang taat hukum dalam hubungannya dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang diduga melibatkan TNI. Kinilah saatnya panglima TNI membuktikan janjinya tersebut.

Penghilangan Paksa dan Munir
Tidak bisa dipungkiri, pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan figur Munir. Munir adalah orang yang pada masa hidupnya paling gigih mengangkat adanya kasus penghilangan paksa ke hadapan publik dan mendesak negara untuk mempertanggungjawabkannya. Peran yang dimainkan oleh Munir tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sehingga tidak mengherankan bila ia pada tahun 2003 dipilih menjadi Presiden AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances), sebuah organisasi di wilayah Asia yang berjuang mengkampanyekan penghentian, penindakan dan pencegahan tindakan penghilangan orang secara paksa. Sangat lah beralasan jika muncul dugaan bahwa pembunuhan Munir di pesawat Garuda pada tanggal 7 September 2004 berhubungan dengan kasus penghilangan paksa yang ditanganinya di Indonesia.

Sama dengan nasib penuntasan kasus penghilangan paksa di tangan Komnas HAM, penanganan kasus pembunuhan Munir di Mabes Polri juga tidak menunjukkan adanya kemajuan berarti. Peringatan Hari Orang Hilang Sedunia yang kebetulan jatuh hampir bersamaan dengan peringatan 2 tahun meninggalnya Munir kali ini hendaknya dijadikan momentum oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangkap dan mengadili para pelaku konspirasi pembunuhan Munir. P

roses hukum yang baru dapat menjerat Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda harus segera ditingkatkan dengan kepastian tersangka baru. Kepolisian RI harus menjelaskan perkembangan penyelidikan pasca putusan Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung musti mengoptimalkan masa kasasi dengan memeriksa nama-nama yang berhubungan dengan Pollycarpus BP.

Dalam hubungannya dengan penghilangan paksa, penanganan yang serius atas kasus pembunuhan Munir adalah realisasi dari apa yang diucapkan oleh Menlu Hassan Wirayudha di forum High Level Segment sidang pertama Dewan HAM PBB yang menyatakan pemerintah Indonesia memberi prioritas pada hak untuk hidup (the rights to life) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya (non-derogable rights), termasuk hak untuk tidak dihilangkan secara paksa. Hal ini harus diartikan pula tidak memberikan toleransi bagi tindakan pembunuhan, terlebih lagi terhadap seorang yang berjuang memerangi penghilangan paksa, seperti yang telah dilakukan oleh almarhum Munir.

Impunitas harus diakhiri
Kalau ditarik benang merahnya, proses penanganan kasus pelanggaran berat HAM yang berlarut-larut secara teknis disebabkan adanya ketidaksepahaman dan perbedaan penafsiran atas peraturan yang berisi mandat, wewenang dan tanggung jawab dari masing-masing instansi terkait.

Dalam proses penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM, lembaga Komnas HAM menjadi kelihatan tidak berdaya (unable) dalam menghadapi resistensi pihak-pihak dan lembaga-lembaga lainnya. Dari sini tidak mengherankan bila masyarakat mulai mempertanyakan efektifitas Komnas HAM sebagai lembaga hak asasi manusia nasional yang pendiriannya dilandasi oleh Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM (untuk melakukan penyelidikan pelanggaran berat HAM).

Namun dari itu semua, nampaknya pihak pemerintah harus benar-benar bekerja keras untuk menuntaskan kasus secara adil dan menyeluruh sebagai usaha untuk mengenyahkan impunitas. Institusi Kejaksaan Agung, Kepolisian dan TNI harus secara ketat diarahkan oleh Presiden untuk berada dalam koridor supremasi hukum dan keadilan.

Komitmen bersama untuk menegakkan HAM dan keadilan harus segera diwujudkan karena persoalan penghilangan paksa di Indonesia bukan hanya persoalan korban dan keluarga korban, tetapi juga persoalan setiap umat manusia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Perjuangan pengungkapan kasus penghilangan paksa bukan lah sekedar milik korban dan keluarga korban, tetapi milik semua orang yang peduli pada kemanusiaan. Kita tidak ingin penghilangan paksa terjadi pada orang lain di masa yang akan datang. Biarkan penghilangan paksa hanya menjadi sejarah masa lalu kita.

1 Penulis adalah Ketua IKOHI

Mengenang Munir


Keadilan untuk Munir, Keadilan untuk Semua;
Mengenang 2 Tahun Dibunuhnya Munir
Mugiyanto1

Sore hari tanggal 7 September 2004, sebuah ruangan di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dipenuhi oleh para korban pelanggaran HAM. Hari itu, mereka mengadakan rapat untuk membicarakan Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU-KKR) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Para korban sedang resah karena mereka sebenarnya berharap RUU-KKR itu tidak terburu-buru disahkan oleh DPR. Menurut mereka, RUU-KKR lebih menguntungkan pelaku pelanggaran HAM dan dikhawatirkan hanya akan menjadi mesin cuci dosa. Mereka yang berkumpul menganggap RUU-KKR adalah sarana impunitas untuk membebaskan para pelanggar HAM di masa lalu. Sore itu, para korban sedang mengadakan rapat untuk membicarakan apa yang harus dilakukan setelah RUU-KKR yang tidak berpihak kepada korban itu disahkan oleh DPR.

Sekitar pukul 15.00, forum rapat korban yang sebelumnya ramai itu mendadak sunyi. Informasi yang sampai ke forum rapat, “Munir meninggal dalam pesawat menuju Belanda”. Semula, para korban menganggap informasi tersebut sebagai candaan teman-teman Kontras. Tapi melihat wajah-wajah serius, suasana menjadi tegang. Lalu informasi yang baru muncul lagi, “Munir benar meninggal dalam pesawat menuju Belanda karena serangan jantung”.

Rapat tentang RUU-KKR benar-benar kami hentikan karena semua orang panik. Beberapa korban mulai menangis. Satu jam kemudian, kami mendapat kepastian berita bahwa Munir, Cak Munir itu, pendamping kami, kawan kami dan pemimpin kami benar-benar sudah meninggal dalam pesawat menuju Belanda. Kami belum mendapat kepastian tentang penyebab kematiannya. Tetapi informasi yang beredar diantara kami adalah bahwa ia meninggal karena serangan jantung.

Munir sebagai Inspirator
Tanggal 7 September 2004 adalah tanggal sial bagi kami. Pada hari itu kami mendapatkan ‘kado’ berupa pengesahan RUU-KKR yang tidak berpihak kepada korban, oleh DPR. Pada saat yang sama, ketika para korban sedang membicarakan hal tersebut, Munir ditemukan meninggal di dalam pesawat Garuda menuju Belanda.

Dua hal terjadi persis bersamaan, padahal kami memiliki harapan atas hubungan diantara keduanya. Kami memiliki harapan bahwa bersama Munir, akan lebih mudah bagi kami untuk memperjuangkan perbaikan KKR, sehingga keadilan dan kebenaran lebih memungkinkan terwujud di negeri ini. Namun bahwa Munir sudah meninggal, perjuangan kami para korban tentu lebih berat karena kami kehilangan satu orang, yang kebetulan adalah seorang inspirator dan pemimpin.

Bahwa belakangan diketahui bahwa Munir meninggal karena dibunuh dengan racun arsenik, oleh sebuah konspirasi nan keji, kami sadar sepenuhnya bahwa pembunuhan Munir memang dilatarbelakangi oleh sebuah usaha untuk mematikan gerakan HAM dan demokrasi, melalui pembunuhan atas inspirator dan pemimpinnya, yaitu Munir.

Munir dan Korban Pelanggaran HAM
Munir dan korban pelanggaran HAM memiliki hubungan yang unik. Munir dan komunitas korban pelanggaran HAM ibarat ikan dan air. Keduanya memiliki hubungan amat erat dan saling membutuhkan, yang satu tidak bisa dicerabut dari lainnya. Kedekatan hubungan antara Munir dan korban pelanggaran HAM inilah yang membedakan Munir dengan tokoh HAM lainnya.

Dalam sebuah pembicaraan Munir pernah mengatakan, kedekatannya dengan korban inilah yang bisa menjadikan dirinya independen dari negara, termasuk mereka yang diduga sebagai pelanggar HAM. Sampai akhir hayatnya Munir tetap bisa menjaga jarak dan independensi dengan Negara, meski ia memiliki akses ke sana. Di sinilah kelihatan pribadi Munir sebagai sosok yang konsisten, istiqomah.

Munir pernah mengatakan, para korban adalah sumber inspirasi dalam bersikap, sumber keberanian dalam bertindak. Para korbanlah yang akan mengontrol sikap dan tindakannya. Para korban jugalah yang akan menghormati, menghargai serta menghujat dan mencacinya atas kebenaran dan kesalahan sikap dan tindakannya.

Kedekatan Munir dengan para korban ketidakadilan dan pelanggaran HAM ini tidak bisa dilepaskan dari kiprahnya saat menjadi aktifis kampus yang kritis. Ketika masih menjadi mahasiswa, ia telah banyak berhubungan dan melakukan pembelaan kepada para buruh di Jawa Timur.

Kedekatan dengan korban ketidakadilan ini semakin kuat ketika ia aktif di LBH Surabaya, dimana ia banyak menangani masalah-masalah perburuhan. Satu kasus besar yang pernah ia tangani pada tahun 1993 adalah kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah di Porong Sidoarjo. Bersama kawan-kawannya, ia kemudian mendirikan komite aksi yang diberi nama KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Marsinah). Dalam proses kegiatannya, KASUM berhasil sedikit mengungkap keterlibatan aparat militer dalam pembunuhan keji atas Marsinal.

Ironisnya, nama KASUM yang pernah Munir bentuk sebagai wadah advokasi untuk Marsinah, kita juga dipakai oleh sahabat-sahabat Munir sebagai wadah advokasi untuk Munir, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM).

Ketika Munir kemudian pindah ke YLBHI, ia juga tetap menjaga hubungan dengan korban ketidakadilan, khususnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, terutama setelah bersama teman-temannya ia mendirikan Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Pembunuhan Munir dan Pentingnya Perlindungan Pembela HAM
Oleh elemen masyarakat sipil, tanggal meninggalnya Munir yaitu 7 September dijadikan sebagai hari pembela HAM Indonesia. Pencanangan ini dimaksudkan agar kasus pembunuhan Munir menjadi titik balik bagi ditegakkannya HAM dan dihargai serta dilindunginya para pembela HAM (human rights defenders). Pembunuhan terhadap Munir diharapkan untuk menjadi kasus yang terakhir, sehingga tindakan keji serupa, termasuk tindakan-tindakan dan ancaman-ancaman kekerasan terhadap mereka yang bekerja menegakkan HAM tidak terjadi lagi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah SBY untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir secara adil, terbuka dan menyeluruh. Langkah tersebut bisa dimulai dengan penyampaian kepada publik laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang telah dibentuk oleh Presiden SBY melalui Kepres No. III Tahun 2004 yang lalu. Sebagai ingatan Kepres tersebut menyatakan bahwa laporan kerja TPF akan disampaikan kepada publik oleh Presiden begitu masa kerja TPF selesai. Masalahnya, sampai sekarang, Presiden SBY belum memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan Kepres yang ia buat sendiri.

Selain itu, pemerintah juga harus berani bersikap untuk segera menangkap dan mengadili otak dan pelaku konspirasi pembunuhan Munir. Proses hukum yang baru dapat menjerat Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda harus segera ditingkatkan dengan kepastian tersangka baru. Kepolisian RI harus menjelaskan perkembangan penyelidikan yang dilakukannya. Kalau pihak kepolisian memang tidak mampu lagi melanjutkan penyelidikan karena adanya hambatan yang besar dari pihak lain, pemerintah harus berani mengambil langkah untuk membentuk sebuah tim penyelidikan yang independen dengan otoritas yang besar dan luas termasuk untuk menembus institusi-institusi negara yang selama ini kebal hukum.

Mahkamah Agung juga musti mengoptimalkan masa kasasi dengan memeriksa nama-nama yang berhubungan dengan Pollycarpus BP. Hanya dengan cara itu, niat bersama untuk menghargai hak asasi manusia bisa mulai diwujudkan.

Selanjutnya, negara juga mesti mulai merealisasikan komitmen-komitmen internasional di bidang HAM di dalam negeri. Apa yang diucapkan oleh Menlu Hassan Wirayudha di forum High Level Segment sidang pertama Dewan HAM PBB bulan Juni 2006 lalu bahwa pemerintah Indonesia memberi prioritas pada hak untuk hidup (the rights to life) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya (non-derogable rights), harus dibumikan pula dengan memprioritaskan perlindungan para pembela HAM dari tindakan-tindakan pembunuhan, kekerasan, teror dan intimidasi.

Negara harus mulai memikirkan upaya-upaya penjaminan perlindungan para pembela HAM mengingat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah menetapkan sebuah Deklarasi Pembela HAM pada tahun 1999, yakni Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms.

Mengenai pentingnya perlindungan bagi pembela HAM ini Sekjen PBB Kofi Annan mengatakan bahwa "ketika hak seorang pembela HAM telah dilanggar, pada saat itu semua hak kita ada dalam bahaya".

Dari sinilah, pada peringatan Hari Pembela HAM Indonesia yang diperingati bersamaan dengan 2 tahun dibunuhnya Munir, kita mulai usaha bersama untuk berani mengungkap kasus Munir sebagai bagian dari usaha menegakkan dan melindungi hak asasi manusia secara umum.

1 Penulis adalah survivor penculikan aktifis 1998, Ketua IKOHI

Arus Balik Gerakan Reformasi

ARUS BALIK; PENEGAKAN HAM PASKA GERAKAN REFORMASI 1998
(Refleksi akhir tahun 2004)
Oleh: Mugiyanto

Pada mulanya adalah beberapa gelintir mahasiswa yang dari kampus ke kampus berdiskusi dan berdemonstrasi menuntut agar Paket Lima Undang-Undang Politik dan Dwi Fungsi ABRI dicabut. Dua hal itulah yang mereka yakini menjadi tulang punggung (back bone) pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan (Muridan S. Widjoyo; 2001). Paket Lima Undang-Undang Politik 1985 mengatur Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD I dan II, Partai Politik dan Golkar, Organisasi Massa dan Referendum. Kesemuanya diatur sedemikian rupa sehingga kekuasaan Orde Baru tetapt bisa dipertahankan.

Paket tersebut diperkuat dengan doktrin dwi-fungsi ABRI, yang memungkinkan militer melibatkan diri dalam kehidupan sosial politik, selain tugas utamanya, pertahanan dan keamanan. Dari kegiatan yang bersifat lokal dan kecil inilah benih-benih kesadaran akan kebebasan dan anti kekerasan tumbuh berkembang. Pada pertengahan 1997, ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi yang kian memburuk, benih-benih kesadaran tersebut gayung bersambut dengan kemarahan dan frustasi masyarakat hingga terejawantahkan dalam bentuk aksi-aksi masyarakat.

Pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mencabut subsisi BBM. Hal ini menyebabkan keresahan dan ketidakpastian hidup di kalangan masyarakat. Mahasiswa didukung kelompok-kelompok pro reformasi semakin gencar menggelar aksi-aksi demonstrasinya, hampir setiap hari di seluruh wilayah tanah air. Keresahan, ketidakpastian dan demonstrasi mahasiswa telah menciptakan instabilitas sosial dan politik yang kemudian memuncak saat terjadi penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti (Fadli Zon; 2004).Sejak saat itulah gerakan mahasiswa semakin massif dengan tuntutannya yang makin mengkristal, penggantian dan pengadilan Presiden Suharto. Kemenangan diraih tanggal 21 Mei 1998 ketika Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri.

Proses tumbangnya Presiden Suharto meninggalkan serangkaian peristiwa yang dalam dalam kategori hak asasi manusia termasuk pelanggaran berat, seperti Kasus 27 Juli 1996, Penculikan 1997/1998, Trisakti, Tragedi Mei 1998, dan Semanggi I dan II, serta yang kadang terlupakan, peristiwa pembumihangusan di Timor Leste 1999. Kalau dirunut lagi ke belakang, Orde Baru juga bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa Pembantaian 1965/1966, Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Operasi Militer di Aceh dan Papua dan sebagainya.

Rejim-rejim sipil paska Suharto, mulai dari Habibie, Gus Dur dan Megawati, terlepas adanya batasan rentang waktu kekuasaan, berjanji akan menegakkan hukum dan melindungi hak asasi manusia. Karena itulah, peristiwa-peristiwa pelanggaran berat HAM yang mendapatkan perhatian luas masyarakat sempat coba ditangani pemerintah. Kita masih ingat, segera setelah berkuasa, Habibie mendesak ABRI untuk menangani kasus penculikan aktifis. Dari situ lalu digelar Pengadilan Militer untuk mengadili 11 anggota Tim Mawar Kopassus pelaku penculikan, serta dibentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang akhirnya memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas aktif dan memberhentikan Muchdi PR dari Danjen Kopassus (Wiranto; 2003). Baik Pengadilan Militer maupun Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tidak mau menyebut nasib dan keberadaan mereka yang sampai saat ini masih hilang, kecuali 9 orang yang sudah dibebaskan. Prabowo menyebutkan adanya pihak lain yang lebih tinggi yang melakukan penculikan.

Selain itu, masa pemerintahan Habibie juga diwarnai dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kasus kerusuhan Mei 1998. Dengan segala konflik kepentingan yang ada, TGPF berhasil mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah menindaklanjuti secara hukum hasil dari TGPF tersebut. Perjuangan korban dan keluarga korban peristiwa Mei 1998 yang tak pernah henti baru disambut oleh Komnas HAM pada tahun 2003 dengan membentuk KPP HAM Kasus Mei 1998. Sebagaimana kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang akhirnya kandas karena beda tafsir UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR, Kasus Mei 1998 juga mengalami nasib yang sama.

Pencapaian paling maju dari usaha pencarian keadilan dan pengungkapan kebenaran atas terjadinya tindak pelanggaran berat HAM ada pada kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur paska jejak pendapat 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984. Pada kedua kasus tersebut, Komnas HAM telah membentuk KPP HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc telah digelar. Walaupun Pengadilan HAM telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM di Timor Timur, namun para penanggung jawab, termasuk Jenderal (Purn) Wiranto yang waktu itu adalah Panglima ABRI masih menikmati kekebalan hukum (impunity). Ia bahkan kini melaju menjadi calon kuat Presiden RI. Sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Tanjung Priok yang merupakan Pengadilan HAM kedua setelah kasus Timor Timur tidak mencantumkan penanggung jawab struktural seperti Jenderal (Purn) Benny Murdani dan Jenderal (Purn) Try Sutrisno sebagai terdakwa. Namun demikian, dua minggu lalu Hakim Pengadilan HAM telah memvonis 10 tahun penjara untuk Mayjen Butar Butar, Mantan Dandim Jakarta Utara pada saat kejadian.

Pemerintah sipil paska Suharto, hanya mampu memberikan keadilan simbolis, dalam bentuk pengadilan-pengadilan militer dan pengadilan umum yang tidak fair dan tidak impartial bagi masyarakat dan korban. Keadilan substantif sebagaimana diharapkan masyarakat korban, yang dalam konteks pelanggaran HAM berupa pengungkapan kebenaran dan pemulihan (reparation) yang terdiri atas rehabilitasi, restitusi dan kompensasi, masih sebatas harapan dan cita-cita. Hal ini terjadi karena selama ini otoritas pemerintahan sipil terlalu banyak memberikan ruang dan otoritas kepada mereka yang terlibat dalam tindak pelanggaran berat HAM masa lalu, yang nota bene adalah militer dan elemen Orde Baru. Mereka yang diuntungkan oleh kebijakan otoritas pemerintah sipil inilah yang terus berusaha menghalangi usaha-usaha pencarian keadilan (obstructing justice) yang terus menerus diperjuangkan oleh oleh masyarakat korban.

Kesalahan dan kelemahan otoritas pemerintahan sipil yang diwakili oleh Megawati dengan memberikan ruang dan fasilitas kepada kelompok status quo ini kemudian berbuah pada mantapnya konsolidasi mereka, yang ditunjukkan dengan menangnya Golkar dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan meluncurnya calon presiden dari unsur militer Wiranto dan Susilo bambang Yudhoyono.

Lalu bagaimana prospek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?
Perkembangan terakhir memberikan indikasi-indikasi bahwa mereka yang selama ini melakukan obstruction of justice sangat potensial menjadi penentu hitam putihnya negara-bangsa. Dengan titik acuan gerakan reformasi tahun 1998, kita melihat arus telah mulai berbalik. Pondasi reformasi yang sedikit demi sedikit disusun untuk dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan, yang ditandai dengan ditariknya militer dalam kehidupan politik pada awal-awal masa reformasi, kini kembali dibongkar.

Yang lebih ironis, bukan militer sendiri yang kini tengah membongkar pondasi reformasi tersebut, tetapi mereka yang dulu ikut berkoar-koar meneriakkan reformasi atau mati. Dalam kondisi yang demikian, prospek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu telah meredup, bersama dengan arus yang mulai berbalik.

Thursday, June 22, 2006

'Nunca Mas' Indonesia?

Laporan Tim Ad Hoc Penghilangan Paksa: Nunca Mas Indonesia?

Setelah selesai melakukan penyelidikan atas berbagai kasus pelanggaran berat HAM seperti kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, Wamena, Trisakti Semanggi I dan II (TSS), dan Mei 1998, pada akhir bulan Juni ini Komnas HAM akan menyelesaikan penyelidikan ad hoc kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Penyelidikan ad hoc ini telah dimulai sejak tanggal 1 Oktober 2005, ketika Ketua Komnas HAM mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Tim Ad Hoc melalui SK No 23/Komnas/X/2005.

Sebelum terbentuknya Tim Ad Hoc ini, pada tanggal 23 September 2003 Komnas HAM telah membentuk Tim Pengkajian yang diketuai oleh Komisioner M.M. Billah. Tim Pengkajian yang menyimpulkan adanya indikasi pelanggaran berat HAM pada peristiwa tersebut kemudian merekomendasikan dibentuknya Tim Penyelidikan berdasar UU No 39 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Tim penyelidikan tersebut baru dibentuk oleh Komnas HAM pada tanggal 20 Januari 2005, melalui SK No 02/Komnas/I/2005. Tim Penyelidikan yang diketuai oleh Komisioner Ruswiyati Suryasaputra ini menyelesaikan penyelidikannya pada tanggal 20 Juli 2005.

Dari penyelidikan non projustisia ini disimpulkan adanya indikasi yang kuat akan adanya tindak pelanggaran berat HAM dalam bentuk penghilangan paksa. Sebagai tindak lanjut, Ketua Komnas HAM kemudian pada tanggal 1 Oktober 2005 mengeluarkan Surat Keputusan No 23/Komnas HAM/X/2005 tentang pembentukan Tim Ad Hoc berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran berat pada peristiwa penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997 – 1998. Tim Ad Hoc ini juga diketuai oleh Komisioner Ruswiyati Suyasaputra. Tim Penyelidikan Ad Hoc inilah yang diharapkan oleh keluarga korban dan masyarakat untuk bisa mengurai tabir misteri penculikan atas 23 aktifis, terutama mengenai keberadaan atas 14 orang yang sampai kini tidak diketahui nasibnya.

Kinerja Tim yang tidak transparan
Dengan tidak mengurangi penghargaan bahwa penyelidikan ad hoc ini adalah sebuah kemajuan dari perjuangan panjang yang dipelopori oleh keluarga korban selama 8 tahun terakhir, kinerja Tim Ad Hoc ini masih banyak menuai catatan. Pertama, Tim Ad Hoc ini bekerja sangat lambat, hingga perlu mengalami perpanjangan masa kerja selama 2 kali. Sampai bulan terakhir masa kerja ini pula, Tim Ad Hoc baru bisa memeriksa sekitar 50 orang saksi dari para korban selamat, keluarga dan teman-teman korban, dan segelintir orang dari pihak kepolisian. Sementara itu, agenda untuk memeriksa pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab, pencarian dokumen dari instansi-instansi terkait dan inspeksi ke tempat-tempat penyekapan, penahanan dan penyiksaan sebagaimana diminta para keluarga korban hanya menjadi agenda di atas meja. Janji melakukan pemanggilan paksa juga sampai detik ini belum dilakukan. Kelambatan ini bisa dipastikan berhubungan dengan keseriusan anggota Tim. Ketidakseriusan yang menyebabkan kelambanan kerja ini juga menunjukkan kurang sensitifnya anggota Tim terhadap penderitaan korban dan keluarga korban yang tiap menit dan hari selalu menunggu kepastian tentang nasib orang-orang yang mereka cintai.

Yang kedua, Tim Ad Hoc ini bekerja kurang transparan dan terkesan tertutup. Publik, dan bahkan keluarga korban tidak pernah diberi tahu kemajuan proses penyelidikan yang dilakukan. Tidak pernah sama sekali keluarga korban diberitahu secara langsung oleh anggota Tim seputar kemajuan-kemajuan penyelidikan, walaupun pernah ada pernyataan Tim bahwa mereka akan berkomunikasi dengan keluarga korban. Pernyataan-pernyataan kepada publik melalui media massa juga sangat jarang dilakukan, kecuali atas desakan keluarga korban. Ketertutupan ini menyebabkan kontrol dan partisipasi publik atas proses penyelidikan yang tengah berlangsung, tidak bisa dimaksimalkan. Padahal kalau keluarga korban dan publik diberitahu kemajuan proses penyelidikan, terutama hambatan-hambatan baik teknis maupun politis yang dihadapi Tim, mereka tidak hanya akan tahu siapa yang menjadi penghambat proses penyelidikan, tetapi juga bisa membantu memberikan desakan pada pihak-pihak yang menjadi penghambat. Pada saat yang sama, ketika hal itu terjadi, hak keluarga korban untuk tahu (the rights to know) juga terpenuhi. Tetapi kalau hal ini tidak dilakukan, tidak hanya Tim saja yang dirugikan, karena dinilai buruk oleh masyarakat, tetapi dan terutama adalah korban dan keluarganya.

Berhubungan dengan ketertutupan Tim, keluarga korban juga mengeluhkan pimpinan Tim Ad Hoc dan Komnas HAM yang selalu menghindar ketika keluarga korban melakukan kegiatan audiensi. Sejak Tim terbentuk bulan Oktober tahun lalu, dari sekitar 6 kali melakukan audiensi, keluarga korban hanya pernah bertemu sekali dengan Ketua Komnas HAM dan Tim.

Retraumatisasi korban
Usaha Tim Ad Hoc untuk memeriksa semakin banyak saksi korban patut dihargai, selama usaha tersebut memang dilakukan untuk mengetahui dan merunut peristiwa sampai para korban dihilangkan. Tetapi usaha tersebut harusnya tidak digunakan untuk menghabiskan waktu dan tenaga, sehingga pekerjaan penyelidikan yang jauh lebih penting, -yaitu pemeriksaan saksi yang diduga bertanggung jawab, inspeksi ke lokasi penyekapan dan pencarian dokumen-dokumen seputar peristiwa-, tidak bisa dilakukan karena kehabisan waktu.

Tim seharusnya juga menggunakan bahan-bahan pemeriksaan saksi korban dan keterangan-keterangan dari pihak keluarga korban yang sudah terkumpul secara rapi dan akumulatif dalam proses pengkajian dan penyelidikan Tim-Tim di Komnas HAM sebelumnya. Hal ini perlu dipertimbangkan tidak hanya untuk efisiensi tenaga dan dana dari anggaran negara, tetapi juga meminimalisir dampak psikologis berupa retraumatisasi bagi korban dan keluarga korban ketika mereka diperiksa dan diminta memberi kesaksian yang berulang-ulang.

Hasil penyelidikan yang berkualitas
Dalam berbagai kesempatan, baik di kalangan keluarga korban sendiri maupun audiensi dengan lembaga-lembaga terkait termasuk Komnas HAM, keluarga korban selalu mengharapkan dan menekankan agar penyelidikan ad hoc Komnas HAM ini bisa menyediakan informasi seputar nasib dan keberadaan para korban yang masih hilang. “Sing tak karepke, yen pancen wis mati, kuburane ning endi. Nek isih urip, manggone ning endi. Ben atiku ora sumumpel maneh” (Yang saya inginkan, kalau memang sudah meninggal, dimana kuburannya. Kalau masih hidup, dimana sekarang berada. Supaya tidak lagi mengganjal di hati). Itulah ucapan Paimin (62), ayahanda Suyat dalam film dokumenter “Batas Panggung; Kepada Para Pelaku” yang diproduksi oleh Offstream dan Kontras tahun 2004. Kalimat seperti itu kemudian menjadi kalimat yang berulang-ulang diucapkan oleh para anggota keluarga korban untuk menungkapkan harapan tertinggi mereka.

Dari situ sangat jelas, keluarga korban menempatkan kejelasan nasib korban sebagai hal yang utama. Sementara proses hukum bagi pelaku dan pemenuhan hak korban atas pemulihan adalah sesuatu yang harus dilakukan secara otomatis kemudian, mengingat setiap kejahatan, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan harus diproses secara hukum. Demikian pula hak-hak pemulihan bagi korban berupa rehabilitasi, kompensasi dan restitusi, juga tidak bisa ditunda-tunda pemenuhannya.

Keinginan keluarga korban penghilangan paksa yang demikian memang berbeda dengan harapan pada proses penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM lain seperti penyiksaan, pembunuhan diluar hukum dll., yang lebih menekankan pada hal-hal yang bisa membuktikan adanya tindakan kejahatan untuk dapat menyeret pelaku ke pengadilan dan pemenuhan hak-hak pemulihan bagi korban, mengingat keberadaan korban sudah diketahui secara jelas.

Keadilan substantif di atas keadilan formal
Untuk memenuhi rasa keadilan korban dan masyarakat, hasil akhir penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM nanti harus diarahkan tidak semata-mata untuk mencari unsur-unsur kejahatan dan bukti-bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut sesuai dengan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, tetapi lebih dari itu, dan terutama adalah untuk mengungkap dan mengurai fakta-fakta seputar peristiwa yang diselidiki, yang mengarah pada informasi seputar keberadaan mereka yang dihilangkan.

Disinilah tantangan dari sebuah penyelidikan untuk kasus penghilangan paksa. Tidak ringan memang. Tapi dari keseriusan, keberanian, keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, serta semangat demi tidak terulangnya kejahatan serupa di waktu yang akan datang, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh Komnas HAM.

Ernesto Sabato, seorang sastrawan ternama Argentina yang ditunjuk oleh Presiden Raul Alfonsin pada tahun 1984 memimpin Komisi Nasional untuk Penghilangan Paksa (CONADEP) untuk menyelidiki peristiwa penghilangan paksa di Argentina pada masa junta militer 1976 – 1983 berhasil menyusun laporan penyelidikan yang diberi judul “Nunca Mas”, atau “Jangan Terulang Lagi”. Laporan CONADEP yang dijadikan buku yang dalam pengantar bahasa Inggrisnya ditulis sebagai “Laporan Dari Neraka” itu berhasil mengungkap pola, lokasi penyekapan, penyiksaan dan pembunuhan, menyebutkan 9000 nama korban, mereka yang dianggap bertanggung jawab dan hal-hal rinci seputar peristiwa dan kebijakan rejim junta militer di Argentina. Dari hasil penyelidikan pimpinan Ernesto Sabato inilah penemuan lokasi penyekapan, kuburan massal dan kegiatan penggalian (eksumasi) dilakukan. Dari sana, kemudian pengadilan digelar untuk meminta pertanggungjawaban hukum pada para pimpinan junta.

Hasil penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM ini mungkin tidak selengkap “Laporan Dari Neraka” yang dibuat CONADEP. Tapi menjadikannya sebagai acuan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Dan walaupun waktu semakin mendekat, tidak ada sesuatu yang terlambat selama kita menjadikan nafas dan harapan korban dan keluarga korban sebagai pegangan dalam bertindak. Semoga.

Friday, January 27, 2006

Impunity in Indonesia

Impunitas dan Pengingkaran Keadilan
Mugiyanto*

“Ini tidak adil, mereka telah membunuh tapi bebas!
Negara Indonesia tidak adil kepada orang Papua.
Hakim tidak adil.
Semua tidak adil!”

Raga Kagoya pada sidang Pengadilan HAM di Makassar 8 September 2005
(Tabloid Suara Perempuan Papua)


William E. Gladstone, seorang negarawan dan Perdana Menteri Inggris (1868-1894) pernah mengatakan “justice delayed is justice denied”. Keadilan yang diulur-ulur, pada dasarnya adalah pengingkaran atas keadilan itu sendiri. Kutipan dari ucapan Gladstone ini menjadi sangat relevan pada saat ini (100 tahun setelah pernyataan itu diucapkan), ketika direfleksikan dengan kondisi penegakan keadilan di Indonesia di bawah pemerintahan SBY-JK. Para pelaku korupsi mendapatkan hukuman ringan atau malah dibebaskan dan diberi rehabilitasi, proses penyelidikan dihentikan dan pelaku kasus-kasus pelanggaran HAM menikmati impunity (Haryatmoko, Kompas, 18 Januari 2006).


***

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, narkoba dan terorisme kita melihat adanya upaya dan beberapa keberhasilan yang cukup signifikan. Penangkapan Dr. Azahari yang diduga sebagai pimpinan kelompok teroris dalam keadaan meninggal karena tertembak, serta pengadilan dan penghukuman para terdakwa teroris akhir tahun lalu tidak bisa dipungkiri adalah contoh keberhasilan kerja penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Demikian juga penggerebekan pabrik pembuatan ekstasi di Tangerang dan Malang beberapa waktu yang lalu. Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, pihak KPK, Tipikor dan kepolisian juga telah berhasil menangkap dan menahan beberapa koruptor kakap (big fishes) seperti Probosutejo, Abdullah Puteh, terakhir penangkapan koruptor BLBI David Nusa Wijaya di Amerika dan lain-lain.

Berbeda dengan pemberantasan narkoba, terorisme dan korupsi, wajah bopeng masih menjadi potret buram penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Impunitas (bebasnya pelaku pelanggaran dari sangsi hukum) masih menjadi masalah utama. Penulis mencatat ada 3 pola impunitas dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Pola pertama, pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum. Kasus tragedi kemanusiaan tahun 1965, yang meliputi peristiwa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang, penahanan semena-mena, dan bentuk pelanggaran HAM lain atas mereka yang dituduh oleh pemerintah Orde Baru terlibat dalam G30/S adalah kasus yang masuk dalam kategori ini. Selain itu, kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus konflik agraria, lingkungan, pendidikan, kesehatan, masyarakat adat dan lain-lainnya juga sangat sedikit yang ditangani melalui proses hukum. Disinilah para pelaku pelanggaran HAM menikmati impunitasnya.

Pola kedua, pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Contoh paling mutahir (13/1/2006), tercatat Mahkamah Agung dalam kasasinya membebaskan Mayor Jenderal (Purn) Pranowo, terdakwa kasus pelanggaran berat HAM pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dengan alasan bahwa perkara Pranowo tidak dapat diterima (niet ontvankelijkheid/NO). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) mencatat, setidaknya MA telah 18 kali membebaskan para pelanggar HAM, yang meliputi 16 kasus Timor Timur 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984 (Siaran Pers Kontras 16 Januari 2006). Sebelumnya, pada tanggal 8 dan 9 September 2005 Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura Berdarah tahun 2000 juga membebaskan 2 orang terdakwa yaitu Kombes Johny Wainal Usman dan AKBP Daud Sihombing.

Pola ketiga, kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan alasan-alasan teknis yuridis-prosedural. Keberadaan undang-undang, seperti UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pangadilan HAM yang banyak kelemahan, serta belum adanya UU perlindungan Saksi dan Korban kerap dijadikan pelindung bagi pihak-pihak yang punya tanggung jawab untuk menuntaskan pelanggaran HAM seperti Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, terutama sekali pihak TNI yang paling sering menjadi pihak yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Contoh nyata dari pola ini terjadi antara lain pada kasus tragedi Mei 1998 dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II yang berhenti di Kejaksaan Agung, kasus Lampung 1989, Bulukumba, tragedi 1965 dan Manggarai di Komnas HAM, dan yang sangat menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pembunuhan aktifis HAM Munir di Kepolisian.

Dari ketiga pola impunitas ini, nuansa mengulur-ulur waktu, buying time sambil menunggu situasi yang menguntungkan pihak penikmat impunitas rupanya menjadi benang merah yang saling menghubungkannya. Hal ini akan sangat mengkhawatirkan apabila nuansa mengulur-ulur waktu ini secara sistematis ditujukan untuk mengajak publik melupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di republik ini.

Kekhawatiran ini bukan sesuatu yang berlebihan dan mengada-ada. Ada beberapa indikasi yang bisa dipaparkan di sini. Pertama, kita masih ingat, Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye pemilunya pada tahun 2004 pernah menjanjikan untuk menjadikan penegakan hukum dan HAM sebagai prioritas kerja bila kelak dipilih oleh rakyat untuk menjadi Presiden. Kini Susilo Bambang Yudhoyono adalah benar-benar Presiden, dan sangat wajar kemudian bagi rakyat untuk kemudian menagih janji-janji kampanye yang belum secara serius direalisasikan tersebut.

Kedua, Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR No 27/2004) telah disahkan pada tanggal 7 September 2004 (persis bersamaan dengan waktu dibunuhnya Almarhum Munir di pesawat Garuda dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam). Oleh pemerintah dan DPR, UU KKR diharapkan bisa menjadi payung hukum menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana Afrika Selatan melakukannya untuk menangani pelanggaran HAM masa Apartheid. Proses penyusunan anggota telah dilakukan selama kurang lebih satu tahun, dan selama hampir 6 bulan proses seleksi berhenti hanya untuk menunggu presiden menyeleksi 21 dari 42 calon anggota yang telah disaring oleh Tim Seleksi dari sekitar 1500-an pelamar.

Di sinilah kemudian masyarakat yang kritis akan bertanya-tanya ada apa dengan presiden yang tidak segera memilih 21 nama calon anggota KKR untuk selanjutnya meminta persetujuan DPR?

Ketiga, dalam kasus pembunuhan politik atas aktifis HAM Munir, dalam sebuah pertemuan yang diliput media massa dengan istri almarhum Munir, Suciwati dan beberapa aktifis yang mendampinginya, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa ia akan mengungkap kasus ini dengan sangat serius. Untuk itu, Presiden SBY juga membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang ditugaskan untuk mengumpulkan fakta-fakta seputar kasus pembunuhan aktifis HAM Munir. Ucapan dan tindakan Persiden SBY itu juga diperkuat dengan pernyataannya bahwa kasus pembunuhan Munir adalah “a test of our time” dan menjadi tolok ukur ada tidaknya perubahan di Indonesia.

Kini, ketika usaha pengungkapan kasus pembunuhan Munir stagnan, dan menyebabkan adanya desakan yang meluas (outcry) dari masyarakat sipil agar Presiden membentuk Tim Kepresidenan yang baru untuk menindaklanjuti kerja-kerja TPF, sudah sepatutnya Presiden SBY mendengarkan ulang desakan-desakan ini. Tujuannya tidak hanya untuk menunjukkan adanya keterbukaan dan perubahan pada masa pemerintahan SBY-JK ini, tetapi lebih dari itu untuk membuktikan bahwa memang tidak ada usaha dari siapapun untuk melupakan adanya berbagai pelanggaran HAM masa lalu, dan tidak ada usaha-usaha untuk mengingkari keadilan.

* Penulis adalah ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)