Sunday, February 15, 2009

Nasib Orang-orang Hilang di Parlemen



Nasib Orang-Orang Hilang di Parlemen
[Mugiyanto]

Pada Oktober tahun lalu, dahaga masyarakat akan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia sedikit mendapatkan harapan ketika Dewan Perwakilan Rakyat menghidupkan kembali Panitia Khusus DPR untuk kasus penculikan para aktivis tahun 1997-1998 (Pansus Orang Hilang). Pansus yang sebenarnya sudah terbentuk sejak Februari 2007 itu merencanakan untuk melanjutkan kerja-kerjanya yang berhenti dengan meminta keterangan ke sejumlah pihak.

Di antara pihak-pihak yang hendak diperiksa untuk dimintai keterangannya adalah pemerintah, korban, keluarga korban, Lembaga Swadaya Masyarakat pendamping dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Pemeriksaan atas pihak terakhir inilah yang kemudian menimbulkan polemik dan kontroversi. Mereka yang dimaksud adalah Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Beberapa kalangan menilai rencana pansus ini lebih merupakan sebuah langkah politik daripada sebuah upaya untuk menegakkan hak asasi manusia. Bahkan ada juga pihak yang mencurigai pansus sebagai manuver Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menjegal rival-rivalnya dalam pemilihan umum nanti dengan menyabet posisi ketua pansus. Namun bagi keluarga korban, perdebatan soal motivasi dan kepentingan politik di balik rencana kerja pansus bukanlah hal yang penting, selama pekerjaan dia bisa berujung pada ditemukannya kejelasan mengenai nasib dan keberadaan orang-orang yang dihilangkan.

Menanggapi polemik dan kontroversi tersebut, ketua pansus bergeming. Pansus tetap melakukan pemeriksaan yang dimulai dengan dengar pendapat dengan beberapa korban, keluarga korban dan LSM pendamping. Kepada beberapa orang yang diduga terlibat, surat pemanggilan pemeriksaan pun sudah dilayangkan November lalu.

Sampai akhir tahun 2008, ketika DPR memasuki masa reses (kunjungan ke daerah-daerah), tak ada lagi kabar berita tentang pansus itu. Dalam kesempatan pemeriksaan korban, keluarga korban dan pendamping, ketua pansus mengatakan, pansus akan menyelesaikan penanganan kasus orang hilang ini sebelum masa kerjanya selesai. Ini berarti, sebelum September 2009, Pansus diasumsikan telah memberikan rekomendasinya kepada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Tanggungjawab Negara
Masa persidangan III DPR tahun 2009 sudah dimulai sejak 19 Januari dan secara keseluruhan, sampai dengan 30 September tahun ini, DPR hanya memiliki 126 hari kerja. Walaupun singkat, waktu tersebut dipastikan cukup karena pansus tidak perlu melakukan penyelidikan, hanya tinggal meminta keterangan beberapa pihak sebelum akhirnya merekomendasikan presiden untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Namun demikian, bila janji ketua pansus tidak sekadar diucapkan untuk dilanggar, maka mustinya sekaranglah saatnya pansus mulai bekerja lagi.

Keterbatasan waktu adalah satu hal, tetapi etika moral, sosial dan politik serta tanggung jawab konstitusional negara untuk segera memberikan keadilan pada warganya adalah hal yang jauh lebih substansial. Seorang bangsawan dan negarawan Inggris, William Gladstone pernah mengatakan justice delayed is justice denied, dalam bahasa Indoneia bermakna; keadilan yang tak segera diberikan sama saja dengan pengingkaran atas keadilan itu sendiri. Di sanalah letak kewajiban negara, dimana DPR adalah salah satu unsur untuk segera menangani kasus penghilangan paksa (orang hilang) ini.

Agenda Pemilu dan Hak Asasi Manusia
Agenda nasional pemilu 2009 bukanlah satu-satunya agenda nasional yang karenanya agenda lain bisa dikesampingkan atau ditunda pemenuhannya. Sebagaimana hak-hak warga negara atas pangan, papan, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, rasa aman dan sebagainya, hak warga negara atas perlindungan hak asasi manusia dan keadilan juga harus dipenuhi oleh pemerintah dan negara.

Lebih dari itu, pemenuhan hak-hak warga masyarakat tersebut justru akan memberi isi, makna dan bahkan akan menentukan kualitas dan hasil pemilu yang akan datang. Oleh karena itu, usulan agar Pansus Orang Hilang menyerahkan penanganan kasus tersebut pada DPR hasil Pemilu 2009 nanti adalah usulan tidak bertanggung jawab.

Agenda pemilu dan hak asasi manusia menjadi semakin kental relevansi dan keterkaitannya satu sama lain karena pemerintah dan DPR hasil pemilu 2009 masih harus menyelesaikan salah satu tanggung jawab besar masa transisi yaitu penanganan berbagai kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dan pemenuhan hak-hak para korban.

Keengganan dan kelambatan pemerintah sebelumnya dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia masa lalu menjadikan tanggung jawab ini terus terbebankan kepada pemerintah selanjutnya. Namun tanggung jawab ini harus diambil, karena ia menjadi prasyarat keberhasilan masa transisi menuju demokrasi dan kemajuan ekonomi (Nelson Mandela, Transitional Justice; How Emerging Democracies Recon with Former Regimes, 1995).

Hak Asasi Manusia dan Pansus yang Hilang
Kalau kita mengamati secara serius masa hiruk-pikuk kampanye para calon legislatif (caleg) dan calon presiden/wakil presiden selama beberapa bulan terakhir, isu hak asasi manusia nyaris tidak pernah terdengar. Sangat sedikit, atau bahkan tidak ada sama sekali yang secara jelas berbicara tentang apa yang akan mereka lakukan terhadap berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang ada di Indonesia.

Dari perkembangan dan fenomena yang muncul akhir-akhir ini, kecenderungan yang muncul di kalangan para kandidat yang mencalonkan diri adalah membungkus rapat-rapat keborokan-keborokan mereka di bidang hak asasi manusia (political wrapping) dengan membangun pencitraan politik yang populis (popular political imaging) pada masyarakat. Sehingga kesan yang muncul adalah bahwa kita tidak memiliki masalah dengan hak asasi manusia atau hak asasi manusia tidaklah penting.

Ribuan korban konflik di Aceh dan Papua serta ribuan yang lain dari berbagai kasus yang terjadi sejak tahun 1965 hingga turunnya Orde Baru seperti menjadi angka-angka mati yang tak berarti. Padahal setiap Kamis sore, mereka masih selalu menagih janji keadilan pemerintah di depan istana presiden.

Iklan-iklan politik seperti ini tidak hanya membodohi dan membohongi rakyat, tetapi juga berbahaya bagi bangsa ke depan karena nilai yang dibangun berseberangan dengan arus besar bangsa-bangsa di dunia yang sedang berjuang untuk menghapuskan impunitas dan menegakkan hak asasi manusia.

Akan lebih bertanggung jawab dan visioner bila para calon presiden dan wakil presiden beserta calon legislatif yang sedang berkampanye juga mengintegrasikan hak asasi manusia sebagai bagian integral dari program-program yang mereka tawarkan bila mereka terpilih.

Bagi Pansus Orang Hilang DPR, kinilah saatnya untuk membuktikan bahwa pansus dibentuk dengan tujuan untuk membuka jalan penyelesaian kasus orang hilang sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM pada November 2006. Pekerjaan pansus ini juga bisa dijadikan sebagai usaha untuk memperbaiki citra DPR yang sampai saat ini sedang berada di titik nadir yang rendah karena berbagai skandal korupsi. Bagi masyarakat, pansus juga bisa dijadikan ukuran kinerja para anggota DPR saat ini, apakah mereka masih layak untuk dipilih kembali?

Mugiyanto, ketua IKOHI dan Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD)

Sumber: Media Bersama (http://www.mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2181:nasib-orang-orang-hilang-di-parlemen&catid=932:pandangan&Itemid=110)
Diterbitkan lagi oleh Vivanews.com di http://ureport.vivanews.com/news/read/30382-nasib_orang_hilang_di_parlemen