Thursday, March 13, 2008

Refleksi 10 Tahun Penculikan Mugiyanto



Kami Tidak Akan Pernah Lupa
Mugiyanto[1]


Tepat pada hari ini sepuluh tahun yang lalu, pada tanggal 13 Maret 1998, beberapa gerombolan aparat koersif Orde Baru menyelinap dari kampung ke kampung di kawasan padat penduduk Jakarta. Mereka hendak menangkap orang-orang “berbahaya” yang menurut pimpinan mereka akan bisa menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah Suharto. Mereka sedang mencari Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto dan Petrus Bima Anugerah. Empat orang yang mereka yakini tinggal di tempat yang sama.

Sehari sebelumnya, pada tanggal 12 Maret 1998, salah satu dari gerombolan itu berhasil menjalankan misinya. Gerombolan itu berhasil menculik 3 orang “berbahaya”. Mereka adalah Faisol Riza, Raharja Waluya Jati dan Herman Hendrawan. Ketiganya adalah pimpinan bawah tanah organisasi terlarang waktu itu, Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Riza, Jati dan Herman diculik ketika mereka sedang mencari makan siang di sepanjang Jalan Diponegoro. Riza dan Jati diculik di sekitar RSCM. Sementara Herman diyakini diculik di seputar kompleks Megaria.

Setelah disekap, diinterogasi dan disksa selama hampir sebulan di suatu tempat misterius, Riza dan Jati lalu dipulangkan ke rumah masing-masing. Tetapi, Herman tidak diperlakukan sama. Sampai hari in, Herman tidak pernah pulang ke Bangka. Bahkan ketika ayah tercintanya meninggal 5 tahun lalu.

Jumat, 13 Maret 1998, pukul 18.30 adalah hari naas bagi saya. Begitu masuk rumah kontrakan yang baru kami tempati selama seminggu, saya menemui beberapa kejanggalan. Nezar dan Aan harusnya ada dirumah itu, karena 20 menit sebelumnya saya meneleponnya untuk menunggu dan mereka mengatakan “ya”. Tetapi mereka berdua tidak ada. Mereka hanya meninggalkan segelas air jeruk yang masih panas. Mereka pasti sedang keluar sebentar, pikir saya waktu itu.

Saya juga sempat mengirim pesan lewat pager yang dipegang Nezar. “Nez, kamu di mana? Aku tungu di rumah ya”. Begitu bunyi pesan yang saya sampaikan lewat operator. Pesan itu saya sampaikan 2 kali, setelah yang pertama tidak mendapat respon. Sekitar 5 menit kemudian pikiran saya jadi macam-macam. Memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Maklum, saat itu kami memang sedang dalam masa perburuan. Kami dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Sebuah peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak, yang menyebabkan ratusan orang meninggal dan hilang.

Lalu ada 2 orang kawan yang menelepon ke rumah. Mereka berdua panik, salah satunya menangis sambil meninggalkan pesan, “kalian hati-hati, jangan ada yang tertangkap lagi”. Bukannya membesarkan hati, pesan itu justru menguatkan bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang mengancam diri saya. Lalu saya membayangkan puluhan kawan-kawan PRD yang sedang dipenjara saat itu, Budiman Sudjatmiko, Dita Sari, Petrus Harianto dan lain-lain.

Ternyata benar. Saya mendekati jendela rumah kontrakan lantai 2 itu. Saya menyibakkan gorden untuk mengintip keluar. Badan saya lemas, dibawah sana sudah berjejer orang-orang berbadan tegap menatap saya. Dari jendela yang lain, saya melihat hal yang sama. Lalu saya berjingkat jalan ke dapur, memikirkan loncat ke bawah dan melarikan diri. Tetapi di bawah sana, ada berjajar puluhan orang yang lain. Rumah kontrakan saya sudah dikepung. Badan saya melemas. Saya sudah membayangkan kematian.

Lalu dengan tenaga tersisa, saya raih saklar untuk mematikan lampu. Persis pada saat itulah mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!”. Kunci pintu kubuka, lalu sekitar 10 orang masuk. Satu dari mereka adalah orang tua berpeci seperti perangkat kelurahan. Ia Sangat sopan dan menenangkan, “Mas, ikuti bapak-bapak ini saja ya”. Dua orang berpakaian tentara dinas lapangan. Selebihnya berpakaian preman.

Setelah mengacak-acak rumah, 3 menit kemudian saya dibawa turun. Lalu dinaikkan kendaraan yang tengah menunggu untuk dibawa ke statu tempat yang ternyata adalah Koramil Duren Sawit Jakarta Timur. Setengah jam diinterogasi, lalu “kami” dibawa ke Kodim Jakarta Timur. “Kami” karena sejak dari Koramil itu, saya punya “teman” yang juga ditangkap, namanya “Jaka”. Paling tidak begitulah ia memperkenalkan diri di hadapan saya dan interogator Koramil.

Terakhir ketahuan, Jaka adalah perwira Kopassus, salah satu anggota Tim Mawar yang ditugaskan untuk memastikan bahwa saya tidak jatuh ke tangan kesatuan lain. Setelah mampir 3 menit di Kodim Jakarta Timur, saya dinaikkan kendaraan lagi. Kali ini dengan mata ditutup. Dan dari sinilah, prosesi interogasi dan penyiksaan khas serdadu didikan Amerika dimulai.

Dari tanggal 13 Maret malam hari sampai 15 Maret sore hari saya disekap, diinterogasi dan disiksa. Mata ditutup, dua tangan dan dua kaki diikat di tempat tidur velbed. Hanya memakai celana dalam. Di sana ada suara sirine yang meraung-raung, suhu ruangan yang sangat dingin, dan alat setrum listrik yang bunyinya seperti cambuk. Ada juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa. Sungguh biadab para penculik ini. Mereka memperdengarkan Nezar Patria dan Aan Rusdianto yang sedang mereka siksa di dekat saya. Dari situlah saya sadar bahwa sebelum saya ditangkap, Nezar dan Aan sudah duluan mereka culik. Pesan pager saya untuk Nezar diterima para penculik yang zalim itu.

Dua hari berada di Guantánamo Indonesia, yang akhirnya kami ketahui sebagai markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timar, akhirnya kami dipindahtangankan ke Polda Metrojaya, Jakarta. Bersama Nezar dan Aan saya lalu ditahan di Rutan Polda sampai akhirnya ditangguhkan penahanannya pada tanggal 6 Juni 1998. Kami dikeluarkan dari penjara karena Presiden Habibie mencabut UU Anti Subversi, yang pada waktu itu dijadikan dasar alasan penahanan kami.

(kesaksian kronologis sudah saya keluarkan 8 Juni 1998 dan bisa didownload di www.ikohi.blogspot.com)

Saya menuliskan lagi cerita ini dengan jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit. Saya tidak bisa melupakannya. Saya hanya bisa mengelolanya dan menyimpan memori ini untuk dijadikan energi hidup yang positif. Terutama karena “kesalahan” masa lalu saya adalah karena melawan kediktatoran. Suatu “kesalahan” yang sampai detik ini saya anggap kebenaran. Saya bangga karena masa lalu saya ini. Juga karena saat ini saya tengah berada bersama mereka yang menjadi saksi dan martir atas 3 dekade lebih masa kediktatoran. (Semoga stockholm syndrom selalu jauh dari hidup saya).

Kini, 10 tahun peristiwa tersebut sudah terjadi. IKOHI, tempat saat ini saya beraktifitas untuk menjalankan, mengisi dan melanjutkan hidup, bersama ratusan dan ribuan orang yang senasib, kini masih membangun solidaritas, kerjasama dan kekuatan.

Tapi kami sadar, bahwa hanya dengan dukungan masyarakat luas kami akan bisa menjadikan penghilangan paksa, penculikan orang sebagai masa lalu, sebagai sejarah. “Make disappearance a history” Begitu slogan kita di gerakan internasional melawan penghilangan paksa. Menjadikan praktik menculik, menghilangkan orang sebagai praktik terlarang, karena ia identik dengan Hitler/Nazi, Pinochet, Videla/Junta, Suharto/ORBA dan sebagainya. Ia menjadi ukuran peradaban sebuah bangsa. Dan untuk menuju ke sana, yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah dengan menyelesaikan apa yang telah terjadi.

***

Pada periode 1997/1998, 23 orang kami catat telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan perculiknya (Mugiyanto salah satunya) dan 13 lainnya masih hilang hinggá hari ini. Kasus tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan diserahkan ke Jaksa Agung 2 tahun lalu. Kini Jaksa Agung harus segera melakukan penyidikan, terutama karena Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Pebruari 2008 menyatakan demikian.

Kasus inilah yang harus segera diselesaikan, bukan karena ini satu-satunya kasus penghilangan paksa, atau sebagai kasus yang paling besar, tapi semata karena kasus penghilangan paksa 1997/1998 ini proses hukumnya sudah cukup maju, sudah di pintu masuk pengadilan HAM. Baru dari sana kita akan melihat bagaimana kasus penghilangan paksa yang terjadi paska 30 September 1965, DOM Aceh dan Papua, Pembunuhan Misterius (Petrus) dll akan dipertanggungjawabkan oleh negara.

Penting juga diperhatikan bahwa kasus penghilangan paksa (enforced disappearances) punya karakter yang unik dan spesifik. Penyiksaan (torture) sering disebut sebagai ibu dari pelanggaran HAM, karena hampir semua tindak pelanggaran berat HAM mengandung unsur penyiksaan. Tetapi penghilangan paksa adalah muara dari pelanggaran berat HAM. Artinya penghilangan paksa mengandung unsur-unsur pelanggaran berat HAM lainnya seperti penyiksaan, penahanan, bahkan sampai pembunuhan.

Penghilangan paksa juga spesifik karena keluarga yang ditinggalkan terus menerus berada dalam ketidakpastian, mengenai nasib dari orang yang dihilangkan tersebut. Situasi ketidakpastian ini sendiri adalah bentuk penyiksaan tersendiri. Karena dampak lanjutan bagi keluarga inilah mekanisme PBB (UNWGEID) kemudian mensyaratkan adanya urgent dan prompt action, langkah darurat dari negara untuk segera turun tangan begitu kasus penghilangan paksa terjadi. Di Indonesia, kami perlu menunggu 10 tahun, bahkan mungkin lebih. Jutaan keluarga korban yang lain pada kasus 1965, perlu menunggu lebih dari 40 tahun.

Keluarga korban penghilangan paksa juga menghadapi kesulitan-kesulitan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Stigmatisasi sebagai separatis, komunis, pemberontak, fundamentalis adalah fenomena harian.Stigma ini ini kemudian berlanjut pada diskriminasi dan isolasi tidak hanya secara sosial oleh masyarakat tapi juga yang struktural oleh negara, melalui kebijakan-kebijakan yang ada.

Suatu hari, anak seorang korban penghilangan paksa menghadapi masalah di sekolah. Fajar Merah ditanya oleh gurunya mengapa ia mengisi kolom nama ayah dengan nama ibunya, Dyah Sujirah. Fajar menjelaskan bahwa ia tidak mengenal bapaknya. Ibunyalah yang membesarkan dia selama ini. Ibunyalah yang selama ini menjadi ayah bagi dia. Dia sendiri tidak tahu apa bapaknya masih ada atau tidak, karena ibunya juga tidak tahu. Ia tahu bahwa ayahnya adalah Wiji Thukul, tapi ia tidak mengenalnya dengan dekat karena dipisahkan kediktatoran, setelah pertemuan terakhir bulan Desember 1997, ketika Fajar ulang tahun yang ke-3. Thukul mengabadikan momen ulang tahun Fajar waktu itu dengan sebuah handycam. Tidak ada yang tahu, apakah Thukul kini sedang memutar video rekaman ulang tahun anaknya itu.

Keluarga Suyat (korban penghilangan paksa yang lain) di Gemolong, Sragen, punya cerita tentang sebuah pengharapan. Sejak Suyat diculik awal 1998, keluarga berharap ia segera bisa dikembalikan para penculiknya, seperti yang lain. Mereka sudah mempersiapkan seekor kambing yang akan dipotong bila harapan indah itu terjadi. Tetapi tahun demi tahun, harapan itu tidak datang juga dan kambing semakin dimakan usia. Hingga akhirnya, karena masalah ekonomi, kambing yang disiapkan itu terjual juga. Tetapi toh harapan itu tetap ada. Dan kambing yang siap dipotong bisa datang dari mana saja.

Menunggu adalah sesuatu yang sangat membosankan. Menunggu kepastian adalah pelipatgandaan atas situasi yang sangat membosankan. Karenanya ia menjadi sesuatu yang sangat meresahkan, membuat putus asa. Menunggu kepastian bisa menjadi menunggu dalam ketidakpastian. Terlebih lagi ketika rentang waktu menunggu terus diulur. Ia menjadi sesuatu yang bisa membunuh, mematikan.

IKOHI mencatat, dari keluarga yang dihilangkan pada periode 1997/1998 tersebut, 4 orang tua korban telah meninggal. Mereka adalah ayahanda Yadin Muhidin, ayahanda Herman Hendrawan, ayahanda Noval Alkatiri. Mereka semua telah berpulang karena sakit, karena dibunuh ketidakpastian. Mereka meninggal ketika orang-orang yang mereka sayangi belum lagi pulang memeluk mereka. Beberapa orang tua yang lain juga mengalami sakit, yang estela diidentifikasi oleh dokter dikarenakan oleh tekanan mental yang mereka alami. Mereka terkena psikosomatis, dengan penyakit yang beragam. Masih ada puluhan, ratusan atau bahkan ribuan korban dan keluarga korban lain yang kini mengalami hal serupa.

Banyak sekali masalah-masalah riil yang dihadapi keluarga korban dalam kehidupan sehari-hari sebagai dampak dari hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Masalah-masalah tersebut membutuhkan negara untuk menanganinya. Secara hukum, kasus harus diselidiki, disidik dan mereka yang bertanggung jawab di tuntut di pengadilan dan dihukum secara adil. Sementara korban dan keluarga korban harus mendapatkan hak-hak pemulihan. Suatu bentuk pemulihan yang dilakukan oleh negara untuk menjadikan korban dan keluarga korban berada dalam kondisi seperti ketika peristiwa belum terjadi.

Keluarga korban harus mendapatkan jawaban lengkap dari negara atas pertanyaan agung,
“Dimana keberadaan orang-orang yang kami cintai?”
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kami siap menerima jawaban seburuk apapun”.
“Kalau mereka sudah meninggal, dimana mereka dikuburkan?”

Mereka juga akan meminta,
“Kembalikan mereka dalam keadaan seperti ketika kalian mengambil mereka!”

Kepada saya, Parveena Ahangar, seorang ibu yang anaknya diculik tentara India di Kashmir, India berbagi cerita.

“Suatu saat saya diminta bertemu dengan seorang perwira militer India yang membawahi kota Srinagar dimana anak saya diculik. Dalam pertemuan yang disaksikan oleh beberapa keluarga korban yang lain, perwira itu berkata, “Ibu, sudahlah, jangan ungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Tidak mungkin kita mengembalikan anak Ibu yang hilang. Ini kami berikan santunan 100 ribu dollar (sekitar 920 juta rupiah) supaya ibu bisa melupakan peristiwa tersebut, dan Ibu bisa hidup kembali dengan normal…” Lalu saya bilang ke perwira itu, “Bapak, bagaimana kalau sekarang saya kasih Bapak uang dua kali lipat dari yang Bapak berikan lepada saya, lalu saya bunuh anak Bapak!“

Parveena menangis karena menahan amarah ketika bercerita kepada saya hampir 3 tahun lalu. Kini ia memimpin organisasi keluarga korban penghilangan paksa di Kashmir, India.

Sebagai penutup refleksi ini, kemarin, dalam obrolan di fasilitas yahoo messenger, seorang kawan menulis,

“Satu Suharto mati, muncul ribuan Suharto yang lain. Tapi satu kawan yang berjuang hilang, susah betul mendapat gantinya”. Wilson benar, karena memang, ribuan Suharto bisa dihentikan oleh satu kawan yang berjuang.

Ada kutipan lain yang baru-baru ini saya temukan kembali. Kutipan ini ada di pidato pembelaan, atau pledoi Budiman Sudjatmiko, waktu itu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik yang tahun 1997 diadili oleh pengadilan Orde Baru. Disitu ia menuliskan,

“Aku menjadi saksi atas penderitaan rakyatku yang tengah berjuang, dan akan kubawa kesaksian itu sampai ke pembebasannya”. Saya merinding mendengar kalimat itu. Karena sampai hari ini, rakyat belum juga terbebaskan. Demikian juga 13 korban penghilangan paksa yang lain termasuk Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat, Petrus Bimo Anugerah, dan Yani Afri.

Suyatno, kakak Suyat, orang desa yang kesehariannya menjadi tukang kayu nun jauh di sana di Gemolong, Sragen selalu mengatakan, “Kalau tidak karena Suyat, tidak mungkin Gusdur, Mega dan SBY menjadi presiden”.

Ketika pamit kepada Sipon istri tercintanya, Wiji Thukul mengatakan, “Pon, aku balik ke Jakarta karena kawan-kawan pada dipenjara”.

Hmmmmm….. (menarik nafas)
Sudah 10 tahun peristiwa itu terjadi. Ketika melihat anak saya, dan anak teman-teman saya yang tengah bermain, saya merasakan waktu begitu cepat berjalan. Tetapi ketika melihat poster korban penghilangan paksa yang dipajang di kantor IKOHI, dan wajah keluarga dari mereka yang masih hilang, Mami, Bu Nung, Mbak Pon, Pak Tomo, Bu Tomo, Bu Fatah, Bu Paniyem, Pak Paimin, Bu Zuniar, saya merasakan berjalannya rentang waktu penyiksaan yang teramat amat lama.

Yang jelas, kami tidak akan pernah lupa. Bahwa dalam rentang sejarah bangsa ini, kami adalah para saksi atas kekejaman mesin penindasan pemerintahan Orde Baru. Dan kami memiliki hak konstitusional untuk menuntut apa yang memang menjadi hak kami. Kebenaran, keadilan dan perdamaian. Bahkan sampai ke liang lahat. (diterbitkan oleh VHR Media; http://www.vhrmedia.net/)

[1] Penyintas penculikan aktifis 1998, Ketua IKOHI dan AFAD