Wednesday, February 19, 2014

Lionel Messi dan Penghilangan Paksa; Penalty Kick dan Red Card!


Argentina memang banyak mengajarkan kita tentang Hak Asasi Manusia. Pun Lionel Messi yang memberi contoh dengan sangat jelas apa yang dimaksud dengan "Continuing Crime" atau kejahatan yang berkelanjutan pada penghilangan paksa.

Beruntunglah Anda yang menyaksikan pertandingan Liga Champions Eropa antara Manchester City melawan Barcelona di Etihad Stadium, Manchester, 19 Februari 2014 WIB. Pertandingan tersebut melahirkan kontroversi bagi sejumlah orang, terutama pendukung Manchester City. Mereka bilang, harusnya tidak ada penalty kick karena pelanggaran Demichelis terjadi di luar kotak penalti. Benarkah?

Kita beruntung karena mantan wasit Liga Primer Inggris (BPL) Graham Poll memberi penjelasan yang sangat jelas dan valid hingga sulit dibantah. Graham Poll bilang, sebagaimana dikutip portal detik.com,
"Yang jadi pertanyaan adalah posisi di mana pelanggaran itu terjadi. Saya diberitahu bahwa seorang bek berpengalaman akan melakukan upaya tekel terakhir begitu tahu mereka ada di luar kotak penalti."
"Namun demikian, saya berpendapat bahwa kontak antara keduanya berlanjut sampai di garis kotak penalti atau lebih dari itu. Ini artinya penalti itu tepat."

Hal tersebut memang diatur dalam Law of The Game yang dikeluarkan FIFA yang menyebutkan, "if a defender starts holding an attacker outside the penalty area but continues holding inside the penalty area, the referee shall award a penalty kick."

Tindak pelanggaran (offense) yang dilakukan oleh Demichelis pada Messi ini seperti praktik penghilangan paksa, dan merupakan "Continuing Offense". Memang benar dilakukan di luar kotak penalti, tapi masih terus terjadi sampai melintasi garis penalti. Hukumannya jelas, harus keras; Penalty Kick yang dilakukan Lionel Messi dan Red Card untuk Martin Demichelis. Messi mencetak gol dari kotak penalti, dan Demichelis diusir keluar lapangan pertandingan.

Demikian juga pada praktik tindakan penghilangan paksa. Memang benar, tindakan penghilangan paksanya mulai dilakukan pada masa lalu, bisa 1965 atau 1998. Tapi sampai hari ini, praktik menghilangkan orang ini masih terus terjadi sampai hari ini, tahun 2014. Ini yang disebut sebagai "Continuing Crime" dalam kasus penghilangan paksa. Sama dengan kasus Messi vs Demichelis, kita tidak bisa mengatakan bahwa penghilangan paksa itu adalah kasus masa lalu. Memang benar mulai terjadi di masa lalu, tapi karena sampai kini tidak ketahuan kabar korban masih hidup atau meninggak, maka kejahatannya dianggap masih berlangsung hingga hari ini.

Kalau FIFA mengeluarkan Law of The Game seperti dikutip di atas, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengeluarkan United Nations Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance yang pada Pasal 17 ayat 1 menyebutkan:
“Acts constituting enforced disappearance shall be considered a continuing offence as long as perpetrators continue to conceal the fate and whereabouts of persons who have disappeared.”

Oleh karena itu, sama dengan Demichelis, penalty kick harus dilakukan atas tindakan penghilangan paksa ini dengan digelarnya Pengadilan HAM (bukan Ad Hoc), serta pelakunya di hukum berat, dikartu merah, diskualifikasi dari kontestasi politik yang tengah berlangsung. Sama dengan Demichelis yang diusir dari lapangan pertandingan. Tidak ada yang mustahil.

…***…

Messi memang luar biasa. Pantas saja ada yang bilang “saya sebelumnya tidak percaya pada Tuhan, hingga saya melihat Messi!”

Terima kasih Messi. Aku sudah titip salam padamu melalui Patricia Isasa yang juga tinggal di Rosario, Santa Fe!


Friday, February 07, 2014

Ibukku Membunuh Bapakku


Tanggal 5 Februari 2014, Fajar Merah menyampaikan kabar mengagetkan melalui akun twitter-nya @FajarMerah_. Dalam kicauannya yang hanya tiga baris itu ia bilang bahwa Ibunya, yang tak lain adalah Dyah Sujirah atau yang biasa dipanggil Sipon, membunuh Bapaknya, Wiji Thukul,seniman rakyat yang dihilangkan oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1998.

@FajarMerah_: Ibuku membunuh Bapakku agar bisa dapat pinjaman dari Bank untuk modal usaha
@FajarMerah_: Ibukku sedang mengurus surat kematian Bapakku. Padahal Bapakku entah hidup/mati
@FajarMerah_: Karena status "Dihilangkan Negara" tidak membantu cairnya dana pinjaman


Orang mungkin mengira bahwa Fajar Merah sedang bercanda, atau sengaja mengirimkan kabar bohong untuk mencari perhatian seperti yang dilakukan oleh para Caleg atau Capres. Tapi Fajar Merah menyampaikan kebenaran, Ibunya memang sedang mematikan Bapaknya. Karena bila tidak, tidak ada lagi yang mau atau mampu membantu menyambung kehidupan ekonomi keluarga. Tetapi Ibunya tidak melakukan itu karena ia ingin melakukannya. Sipon HARUS membunuh Thukul karena Negara memaksanya melakukan hal yang demikian. Selama lebih dari 16 tahun, hampir sepanjang usia Fajar Merah, Sipon dipojokkan oleh negara hingga ia tidak punya pilihan pada hari ini. Sipon HARUS membunuh Thukul!

Bagi negara, status Wiji Thukul adalah sebuah anomali dari sistem kependudukan yang super aneh. Karena negara hanya mengenal dan mengakui warga negaranya bila mereka tercatat sebagai orang yang pernah dilahirkan, hidup, lalu mati. Makanya kita hanya punya Akte Kelahiran, lalu berbagai piagam atau sertifikat yang menunjukkan bahwa kita pernah hidup, kemudian Akte Kematian atau Surat Keterangan Kematian. Sistem kependudukan NKRI belum mengenal adanya orang yang urutan catatan kependudukannya Dilahirkan, Hidup, lalu Dihilangkan seperti Wiji Thukul. Dengan anomali status seperti yang terjadi pada Wiji Thukul, sayangnya negara belum mempunyai sistem yang memadai. Berbeda dengan di Argentina dan negara-negara lain yang bisa mengeluarkan akta yang menjelaskan bahwa "seseorang itu tidak ada karena dihilangkan".

Karena itulah, Sipon tidak bisa mendapatkan pelayanan negara sebagaimana warga negara yang lain. Sipon mengalami diskriminasi karena status suaminya. Padahal Negaralah yang menjadikan suaminya memiliki status seperti itu; Hilang, karena Dihilangkan (oleh Negara!). Tragisnya, Negara hanya memberi satu kupon kepada Sipon untuk bisa mendapatkan layanan publik yang disediakan negara untuk bertahan hidup; Mematikan Suaminya, Wiji Thukul.

Negara harus tahu hal ini. Dan negara sebenarnya sudah tahu. Tetapi negara memilih pura-pura tidak tahu. Karena kalau masyarakat tahu bahwa negara tahu, Negara akan dituntut untuk bertanggung jawab. Dan sampai hari ini, tanggung jawab itulah yang selalu dihindari oleh negara. Negara juga sudah tahu, bahwa Wiji Thukul tidak sendirian. Ada ratusan bahkan ribuan orang yang memiliki status seperti Wiji Thukul.

Sampai kapan Negara akan terus memaksa kita "Membunuh" korban penghilangan paksa???