Tuesday, October 05, 2010

Perjuangan Keadilan bukan "Business As Usual"


Dirgahayu ke-12 IKOHI
“Mengobarkan (Kembali) Semangat Perjuangan untuk Keadilan dan Kebenaran”

IKOHI didirikan dengan karakter dan misi yang khas. Pendiriannya tidak hanya ditujukan untuk membantu memastikan agar proses transisi yang berjalan di Indonesia adalah transisi menuju demokrasi, sebagaimana karakter sebagian besar organisasi-organisasi HAM atau gerakan sosial yang lain. IKOHI dirikan, terutama adalah karena terjadinya peristiwa pelanggaran HAM dalam bentuk penculikan dan penghilangan paksa yang sistematis pada pertengahan 1997-1998 terhadap puluhan aktifis demokrasi yang bersuara kritis terhadap pemerintahan otoriter Suharto, Jadi kita bisa mengatakan bahwa seandainya saja peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, maka bisa dipastikan IKOHI tidak pernah ada.

Berangkat dari latar itu, kita bisa melihat bahwa alasan keberadaan IKOHI adalah untuk memastikan agar korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mendapatkan hak-haknya sebagaimana diakui oleh masyarakat internasional yang terdiri atas hak akan keadilan, kebenaran, hak atas pemulihan dan hak atas kepuasan, serta jaminan ketidakberulangan. IKOHI menganggap bahwa pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM adalah prasyarat minimal yang mutlak dilakukan untuk memastikan agar proses transisi yang terjadi memiliki karakter dan tujuan demokratis. Pencapaian tujuan ini dilakukan dengan menggunakan ruang demokrasi dan kebebasan yang dihasilkan oleh gerakan reformasi tahun 1998.

Metamorfosis
Sebagaimana kita sedang peringati saat ini, IKOHI dideklarasikan berdiri pada tanggal 17 September 1998. Selama tiga hari sebelumnya, mulai tanggal 14-16 September, Kontras bersama korban dan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998 mendirikan tenda keprihatinan yang bertujuan untuk melakukan desakan pada pemerintah Habibie dan pengumpulan dana untuk kampanye internasional. Lalu sebelum keluarga korban pulang kembali ke rumah masing-masing, bersama Koordinator Kontras waktu itu, Munir, mereka mendeklarasikan berdirinya IKOHI sebagai wadah keluarga korban untuk tetap menjalin silaturahmi, dengan DT Utomo Raharjo, orang tua dari salah satu korban penghilangan paksa yang sampai saat ini belum diketahui nasibnya, Petrus Bima Anugerah, sebagai Ketua.

Selanjutnya secara kronologis, baru pada tahun 2000 Kontras memfasilitasi sebuah lokakarya nasional keluarga korban penghilangan paksa yang menghadirkan perwakilan korban dari luar daerah, termasuk dari Aceh, Papua, dan bahkan Timor Leste. Kebutuhan untuk memperkokoh tali silaturahmi dalam wadah IKOHI baru bisa dilakukan pada bulan Oktober 2002, dalam sebuah acara Kongres IKOHI yang pertama di Jakarta. Sejak saat ini, IKOHI tidak lagi menjadi organisasi yang secara eksklusif menjadi wadah korban penculikan tahun 1997-1998, tetapi sudah memiliki karakter nasional.

Dengan tetap memfokuskan kerja-kerja penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, khususnya pada kasus penghilangan paksa, IKOHI bisa menjangkau semakin banyak komunitas korban di berbagai tempat di Indonesia. Organisasi-organisasi dan komunitas-komunitas korban pelanggaran HAM dari aneka kasus juga mulai mengenal dan berjaringan dengan IKOHI. Karena alasan inilah, dalam Kongres ke-2 yang dituanrumahi oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKPHAM) Sulawesi Selatan pada bulan Maret 2006, IKOHI disetujui untuk menjadi organisasi korban pelanggaran HAM secara umum, dengan penghilangan paksa sebagai fokus isu kampanye . Dalam Kongres yang dihadiri oleh perwakilan organisasi dan komunitas korban dari 14 wilayah di Indonesia itu disepakati pula IKOHI menjadi organisasi dengan keanggotaan dan jaringan yang otonom .

Dinamika organisasi, terutama dalam hubungannya antara “Pusat” dan “Daerah” tidaklah terlalu mulus sebagaimana diharapkan. Disana-sini terjadi kesalahpahaman, yangdisebabkan oleh tidak jelasnya fungsi dan peran antara mereka yang berada di “Pusat” dan yang di “Daerah”. Masa-masa ini adalah masa-masa yang sangat dinamis, dimana proses pembelajaran bagi para korban menjadi sangat maksimal, yang kemudian menjadi dasar kesepakatan-kesepakatan baru sebagaimana terjadi pada Kongres ke-3 IKOHI di Jakarta pada bulan Desember 2009. Pada Kongres tersebut disepakati organisasi IKOHI diubah dari perkumpulan menjadi sebuah Federasi. Perubahan ini sebenarnya bukan sebuah perubahan drastis, tetapi sebuah penegasan atas kecenderungan yang dikehendaki oleh semua struktur organisasi dan jawaban atas beberapa ketidakjelasan fungsi dan peran pada masa-masa sebelumnya.

Beberapa tantangan

Waktu adalah sesuatu yang relatif. Kita akan mengeluhkan lamanya waktu ketika masa-masa yang dilalui penuh dengan ketidaknyamanan. Sebaliknya, kita juga akan merasakan betapa singkatnya waktu ketika kita menikmati masa-masa untuk mengisinya. Lamanya waktu juga relatif, tergantung dengan ukuran pembandingnya.

Demikian juga dengan periode 12 tahun yang telah dilalui IKOHI. Bila dibandingkan dengan periode berjuangnya Saudara-saudara kita para korban dan keluarga korban yang terjadi pada tahiun 1965-1966, tentu 12 tahun adalah waktu yang relatif pendek. Tetapi ketika kita merasakan dan memikirkan masa-masa sulit yang kita jalani, ketika Negara tetap abai dengan tuntutan-tuntutan konstitusional kita, kita akan merasakan betapa waktu berjuang 12 tahun bukanlah waktu yang pendek. Terlebih lagi kalau kita merasa dan menyaksikan, betapa secara fisik para ibu, bapak, sahabat dan kawan-kawan yang terus memperjuangkan penuntasan kasus penghilangan paksa sudah mulai melemah.

Secara fisik, memang para ibu dan bapak itu sudah mengalami kesulitan untuk melakukan march atau jalan kaki dari Tugu Proklamasi atau Bunderan HI ke Istana Presiden, seperti yang dilakukan pada tahun 1998 atau 1999. Tetapi kita semua tahu, tidak ada yang berkurang dari semangat dan kegigihan para ibu dan bapak yang anak-anaknya masih dihilangkan oleh kekuasaan. Bahkan bisa dipastikan, selama pemerintah masih abai dan ingkar, semangat berjuang sebagian besar dari mereka malah semakin membara.

Sebuah puisi Wiji Thukul “Derita Sudah Naik Seleher” yang ditulis tanggal 17 November 1996 menemukan kebenarannya.

“kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak”



Beberapa tantangan muncul pada masa-masa berjuang selama ini. Sebagian kecil dari tantangan-tantangan strategis yang muncul tersebut akan coba secara singkat disebutkan di sini.

Secara internal atau organik, tantangan terbesar IKOHI adalah bagaimana untuk menjadikan korban menjadi penyintas (survivor), lalu menjadi pejuang HAM (HRD). Hanya dengan transformasi ini, misi strategis IKOHI untuk menjadikan korban sebagai subjek dari perjuangan untuk keadilan, HAM dan demokrasi bisa terwujud. Ukuran keberhasilan menjawab tantangan ini antara lain bisa diukur dengan seberapa banyak para korban atau penyintas menjadi pengurus organisasi atau organiser bagi komunitas-komunitasnya. Ukuran lainnya adalah seberapa banyak dan seberapa luas cakupan berdirinya komunitas atau organisasi korban pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Selain itu, faktor regenerasi juga bisa dijadikan ukuran keberhasilan kita menjawab tantangan organik ini.

Selain itu, dukungan dana pada organisasi untuk mampu menjalankan misi dan visinya juga masih merupakan tantangan yang sangat besar. Sebuah organisasi korban yang merupakan organisasi gerakan sosial idealnya mendasarkan dukungan finansialnya pada anggota, atau setidaknya pada publik. Namun sampai hari ini, sebagian besar dari dukungan dana yang didapatkan oleh IKOHI masih bersumber dari lembaga donor. Bagi pengurus Federasi IKOHI, tantangan ini masih menjadi tantangan sangat besar yang musti ditaklukkan atau diminimalisir. Ketidakmampuan menghadapi tantangan ini akan bisa menjerumuskan IKOHI menjadi organisasi korban yang “artificial”, bukan yang sejati atau hanya papan nama. Roh IKOHI sebagai organisasi korban pelanggaran HAM dengan spirit “gerakan” akan bisa terkikis.

Secara programatik, tantangan terbesar IKOHI adalah sejauh mana IKOHI tetap konsisten berada pada misi yang ditegaskannya ketika IKOHI didirikan atau sebagaimana Kongres memutuskan. Kegigihan, kecermatan, “keimanan” IKOHI untuk terutama menjalankan program-program penguatan dan pemberdayaan, serta program-program lain yang menjadi kebutuhan mendesak korban dan keluarga korban, serta komunitas korban adalah ukurannya. Demikian juga dengan kerja-kerja kampanye untuk keadilan.

Sampai 12 tahun ini, IKOHI dipastikan tidak keluar dari koridor visi dan misi orgnisasi. Tetapi itu saja tidak cukup, IKOHI harus beberapa langkah lebih maju dengan benar-benar menjalankan apa-apa yang sudah dicanangkan, seperti program program penguatan ekonomi korban dan pembukaan akses pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial secara layak dan memadahi.

Secara politik, IKOHI masih dihadapkan pada situasi dimana komitmen negara untuk memutus rantai impunitas belum menjadi tindakan nyata. Ia masih hanya menjadi pemanis bibir untuk tujuan pencitraan elit politik. Pemerintah sampai hari ini masih belum berani menarik garis batas demarkasi yang jelas antara pemerintahan yang menghargai HAM dan keadilan dengan pemerintahan otoriter masa lalu yang menihilkan HAM dan keadilan bagi masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, penguatan (secara kualitas) dan perluasan (secara kuantitas) organisasi adalah mutlak, sehingga IKOHI memiliki daya gedor dan dorong serta posisi tawar yang cukup tinggi ketika berhadapan dengan kekuasaan.

Pencapaian
Rasanya memang lebih mudah bagi kita untuk mencatat kelemahan dan kekurangan, dan agak sulit mengenali apalagi mensyukiri pencapaian dan kemenangan. Tapi, sebagaimana hampir tiap tahun saya sampaikan, selalu penting bagi kita untuk mengenali dan mensyukuri keberhasilan dan kemenangan, walaupun kecil.

Yang jelas, kemenangan terbesar IKOHI adalah didirikannya IKOHI itu sendiri, oleh keluarga korban. Pendirian IKOHI adalah jawaban nyata yang tegas atas usaha penaklukan dan pembungkaman yang dilakukan oleh Negara terhadap suara-suara kritis masyarakat. Hal ini bisa dianggap sebagai kemenangan organik atau organisasional.

Kemenangan dan keberhasilan lanjutannya ada banyak sekali untuk didata oleh masing-masih dari kita, karena selain bersifat organisasional, seringkali kemenangan dan keberhasilan itu bersifat personal. Tidak hanya itu, kemenangan dan keberhasilan tersebut juga seringkali tidak bisa dilihat.

Tetapi, beberapa yang menonjol dan layak untuk disebut adalah dilaksanakan dan tuntasnya penyelidikan kasus penghilangan paksa 1997-1998 oleh Komnas HAM pada tahun 2006 dan dikeluarkannya rekomendasi DPR pada Pemerintah (Presiden SBY) mengenai kasus tersebut pada tahun 2009 adalah juga pencapaian yang sangat besar yang layak dihargai dan syukiri.

Akan tetapi, kita semua juga menyadari bahwa penyelesaian tuntas dan menyeluruh atas kasus tersebut adalah jawaban yang masih terus kita prjuangkan.

Masa masa krusial
Memasuki tahun ke-12, IKOHI dihadapkan pada masa-masa krusial dan menentukan. Secara organisasional, IKOHI dituntut untuk mempertegas identitas dirinya sebagai organisasi korban pelanggaran HAM dengan roh gerakan yang kental. Secara programatik, IKOHI juga dituntut untuk secara lebih serius merealisasikan program-program penguatan dan pemberdayaan yang mampu menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban yang nota bene adalah anggota dan konstituennya. Sudah bukan waktunya lagi kita menjawab tuntutan kebutuhan para anggota (korban) dengan respon-respon yang sporadis dan fragmentatif. IKOHI harus benar-benar mulai menjalankannya secara menyeluruh, programatis dan strategis.

Untuk mampu melakukan hal tersebut, kerjasama dengan organisasi yang serius dan memiliki kerangka pikir yang sama mutlak untuk dilakukan. Kerja-kerja pendokumentasian dan assessment kondisi dan kebutuhan korban dan keluarga korban mutlak dilakukan. Rintisan awal pendirian koperasi korban seperti yang dilakukan oleh IKOHI Jakarta dan tempat-tempat lain sangat mendesak untuk diperkuat dan dikembangkan, serta dijadikan model bagi komunitas korban di wilayah yang belum melakukannya. Demikian juga dengan program-program yang ditujukan untuk membuka akses pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi keluarga korban pelanggaran HAM.

Pada wilayah kerja-kerja advokasi dan kampanye untuk keadilan, kini IKOHI juga memasuki masa-masa menentukan. Hal ini terjadi karena setelah dikeluarkannya rekomendasi DPR atas kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 , ada kecenderungan bahwa pemerintah hanya akan memberikan kompensasi kepada korban. Dari komunikasi informal yang terjadi selama ini antara pemerintah dengan IKOHI, dan dari sumber-sumber lain, ditemukan adanya kecenderungan pemerintah menghindari pemenuhan hak-hak keadilan dan kebenaran. IKOHI dituntut untuk sangat cermat dan hati-hati serta selalu berkonsultasi dengan korban pada kemungkinan-kemungkinan tawaran pemerintah untuk menukar keadilan dan kebenaran dengan kompensasi materiil.

IKOHI berpegang pada prinsip HAM yang diakui oleh masyarakat internasional, yang juga diakui oleh pemerintah yang memandang bahwa hak-hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan, dimana kompensasi dan rehabilitasi berada didalamnya, bukanlah hak-hak yang bisa saling ditukar atau menggantikan, tetapi hak-hak yang saling melengkapi.

IKOHI tidak menolak dipenuhinya hak-hak pemulihan korban oleh Negara, dengan syarat bahwa pemenuhan hak-hak tersebut tidak menutup pintu, apalagi dijadikan sebagai pengganti hak korban atas kebenaran dan keadilan.

Kita tentu belajar dari pengalaman korban Tanjung Priok 1984, dimana santunan ekonomi yang dibungkus dengan baju “islah” telah memecah belah komunitas korban. Hal yang serupa juga terjadi dengan organisasi korban di Argentina yang sering kita jadikan contoh, yaitu “Ibu-ibu Plaza de Mayo” yang karena kebijakan kompensasi oleh pemerintah telah memecah mereka menjadi dua, yaitu “Ibu-ibu Plaza de Mayo” dengan “Ibu-ibu Plaza de Mayo-Garis Pondasi” (Linea Fundadora).

“Negosiasi” (kalaupun terjadi) dengan pemerintah mengenai penanganan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip yang selama 12 tahun dipegang teguh oleh IKOHI. Dalam situasi seperti inilah langkah-langkah yang diambil oleh IKOHI menjadi sangat menentukan.

Pada kesempatan peringatan ulang tahun ke-12 kali ini, IKOHI juga menandainya dengan mengadakan aksi kemah keprihatinan dengan menginap di depan istana presiden mulai hari Senin, 27 September 2010. Selain untuk mengingatkan kita semua atas Aksi Tenda Keprihatinan yang melatari pendirian IKOHI tahun 1998 yang lalu, aksi menginap di depan istana presiden ini juga kami sadari sebagai aksi yang mungkin dinilai orang nekat atau “kurang kerjaan” yang lain setelah aksi yang dilakukan keluarga korban di markas Kopassus di Cijantung pada awal tahun 2010 ini,.

Bagi keluarga korban dan IKOHI, aksi kali ini dilakukan sebagai ekspresi atas semakin menipisnya kesabaran keluarga korban pada pemerintah SBY. Selama beberapa tahun terakhir selama SBY bekuasa, dan terutama selama setahun terakhir, kami merasa seperti diberi harapan dan angin surga oleh Presiden SBY dan pendukung-pendukungnya yang seolah-olah hendak menyelesaikan kasus dan menindaklanjuti rekomendasi DPR.

Kami hanya bermaksud “mengingatkan” Presiden SBY, bahwa bukan hanya dirinya yang boleh curhat ketika merasa diperlakukan tidak baik. Keluarga korban pelanggaran HAM terlebih lagi, memiliki hak konstitusional untuk menuntut tanggung jawab Negara, khususnya Presiden sebagai kepala pemerintah, untuk memenuhi hak hak korban. Yang presiden perlu ketahui juga, pemenuhan hak-hak korban adalah tanggung jawab dan kewajiban konstitusionalnya!

Setiap hari adalah Asyura, setiap Tempat adalah Karbala
Selama beberapa tahun terakhir, kami memang merasakan betapa pekerjaan-pekerjaan penegakan HAM dan keadilan seolah menjadi “business as usual”, baik bagi organisasi-organisasi HAM, terlebih lagi bagi Negara.

Dalam situasi seperti hari ini, terutama ketika Negara tidak hanya abai, tetapi khianat terhadap kewajiban konstitusionalnya, sudah sepatutnya organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih luas perlu melakukan refleksi, apakah sudah tepat menganggap kerja-kerja untuk keadilan sebagai business as usual. Penting rasanya bagi kita untuk mengingat referensi-referensi sejarah sebagaimana sering terdengar dalam slogan-slogan pergerakan yang bisa menggetarkan denyut jantung. Kita tentu masih ingat dengan slogan “Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala”, yang mengacu pada pertempuran antara Yazid bin Muawiyah melawan Imam Hussain pada tanggal 10 Asyura 61 Hijriyah di Karbala, Irak. Peristiwa ini mengandung pesan perlunya perlunya pengorbanan dan kerja sangat keras untuk memperjuangkan kebaikan, kebenaran dan keadilan.

Semoga kita semua tetap memiliki semangat dan kegigihan dalam kerja-kerja untuk keadilan, kebenaran, demokrasi, kebebasan, keberagaman dan perdamaian.

Selamat ulang tahun ke-12 IKOHI. Selamat berjuang korban pelanggaran HAM di Indonesia!

Mugiyanto

Sunday, October 03, 2010

Indonesia signs the UN Convention on Enforced Disappearances




After long campaign and advocacy works by the victims and their families, supported by human rights activists and networks, national and international including AFAD, FEDEFAM and the international coalition ICAED, Indonesia finally signs the UN Convention on Enforced Disappearances on September 27, 2010.

The signing was done at the same time when the families and victims set up a "tent of concerns" in front of Presidential Palace in Jakarta, Indonesia. The victims urge the President to implement the recommendations of the Parliament issued in September 2009 in order to resolve the cases of disappearances in 1997-1998. The recommendations of the parliament to the president include; the establishment of the ad hoc human rights court, the seeking of the 13 still missing activists, the fulfillment of victims rights to compensation and rehabilitation, and the ratification of the UN Convention on Enforced Disappearances.

Now there are still more efforts to be undertaken by the civil society organizations, from the ratification and 3 others points of recommendations.

However, we appreciate the government and tremendously thank all friends and networks for their continous supports to our struggle in Indonesia.