Sunday, May 21, 2017

Suharto Tumbang, Tunai Sudah Janji Bakti - 21 Mei 1998


Bila ukurannya adalah bungkus dan kemasan, formalitas dan simbol-simbol, maka semua tuntutan Gerakan Reformasi 1998, termasuk saya dan kawan-kawan saya, sudah terpenuhi. Apa saja tuntutannya? Antara lain:

1. Pencabutan Paket 5 Undang-Undang Politik 1985
2. Pencabutan Dwi Fungsi ABRI
3. Penerapan Sistem Multi Partai
4. Upah Rp 7000
5. Referendum untuk Maubere

Di atas kertas, semuanya sudah tercapai. Bahkan ada yang terlampaui.

Bila demikian halnya, saat ini, mungkin kami sudah bisa hidup santai dan bahagia; hidup di kampung memancing, bercocok tanam, menjadi nelayan, mendirikan warung, usaha kecil, mendirikann perpustakaan, mendirikan sekolah-sekolah dan menjadi guru, udad-udud, leda-lede... semua hal-hal yang indah, damai, bermanfaat, produktif.

Tetapi hidup tidak selalu berjalan sesuai yang kita bayangkan.

Dan kita masih harus terus bekerja keras, entah untuk berapa lama lagi.

Sunday, May 14, 2017

A day to remember

Impunity persists 19 years after May riot
The Jakarta Post, 13 May 2017, Marguerite Afra Sapiie and Margareth S. Aritonang

“It feels like déjà vu,” said Mugiyanto Sipin, who was abducted by state officials along with other pro-democracy activists during the 1998 May riots.

“I, along with many others who opposed the authoritarian New Order regime, was face-to-face with Wiranto in May 1998 and now, almost 20 years later, we are facing the same person.”

Nineteen years ago, Mugiyanto, along with other Indonesians, had been calling for the ouster of then president Soeharto. Many lost their lives while several went missing during the days before Soeharto’s downfall, which was preceded by the shooting of four Trisakti University students on May 12 and a riot that claimed hundreds of lives.

A 2003 investigation by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) included Wiranto, who was then commander of the Indonesian Armed Forces, on the list of people considered culpable for the shooting and the riot. Former presidential candidate Prabowo Subianto, then commander of the Collaboration of Armed Forces Strategic Command (Pangkostrad), was also on the list. The patron of the Gerindra Party was accused of at the time ordering the torture and kidnapping of activists.
Both Wiranto and Prabowo have denied the allegations.

Almost two decades after the historic event, not a single person has been held responsible for the riot or the disappearances of prodemocracy activists. Prabowo is expected to run for president again in 2019, while Wiranto is now the nation’s chief security minister.
For Mugiyanto, the presence of Wiranto and Prabowo in the center of the country’s political stage has become a major challenge in the push for justice.

The compromise that President Joko “Jokowi” Widodo has made with the people believed to be responsible for the atrocities in 1998, including for instance by appointing Wiranto to be the coordinating political, legal and security affairs minister, was a mistake, he said.
“The first thing that Pak Jokowi must do is dismiss Wiranto from his Cabinet because it is clear that Wiranto doesn’t share the agenda the Jokowi administration has in promoting justice, including in resolving past rights abuses,” Mugiyanto said.

In a separate interview, Maria Catarina Sumarsih, the mother of murdered student Bernardus Realino Norma Irmawan, expressed a similar concern. “If Pak Jokowi really wants to keep the promise he made to the people, he must replace Wiranto.”
After serving in his position for six months, Wiranto announced a plan to establish the Council for National Harmony (DKN) in January, saying that it would have a similar function as the Truth and Reconciliation Commission, which had been declared unconstitutional by the Constitutional Court.

The plan revived suspicions among activists that Wiranto was trying to resolve all past abuse cases, including those that occurred during the 1998 riots, through reconciliation handled by the DKN.

Despite demands for clarity, Wiranto has refused to provide details about his plans. Even the Office of the Presidential Staff and Komnas HAM have reportedly been kept in the dark about them and were not informed about the DKN’s organizational structure or its mandate.

“We are told that the council would be aimed at also focusing on finding non-judicial solutions to past abuses, in addition to dealing with social conflicts,” Komnas HAM commissioner Roichatul Aswidah said, adding that the commissioners were never involved in the discussions.
Wiranto declined to comment when asked about the government’s attempt to resolve the 1998 human rights cases, saying he would deliver an explanation later.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2017/05/13/impunity-persists-19-years-after-may-riot.html

Thursday, January 19, 2017

19 Tahun Hilangnya Wiji Thukul


Wiji Thukul Masih Utuh, Dan Kata Kata Belum Binasa
Mugiyanto

Bulaksumur, Yogyakarta, tahun 1994. Wiji Thukul kami daulat membaca puisi di ruang Auditorium Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM di Bulaksumur Yogyakarta. Dengan suara cedal, ia melantunkan beberapa puisinya. Saya masih hingat suasana waktu itu. Hadirin, para mahasiswa fakultas Sastra, Filsafat, Psikologi , Fisipol dan Fakultas Hukum, serta beberapa aktivis non UGM menyimak serius. Sesekali mereka menimpalinya dengan seruan-seruan “Lawan!” dan “Hidup Rakyat”, terutama saat Wiji Thuul membaca Sajak Peringatan. Kami yang mengundang Wiji Thukul adalah Pers mahasiswa Fakultas Sastra UGM, Dian Budaya.

Setelah itu, perjumpaan kami hanya terjadi saat pertemuan organisasi. Itupun sangat jarang, karena sejak 27 Juli 1996, Wji Thukul Menjadi salah satu orang ang paling dicari oleh Rejim Otoriter Orde Baru., dan organisasi kami dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Pertemuan cukup intens terjadi lagi pertengahan tahun 1997 di Jakarta. Dalam momentum Pemilu 1997, organisasi kami melibatkan diri. Kami turut berkampanya. Kami waktu itu mendorong dan mendukung Megawati untuk menjadi Calon Presiden, menantang Suharto. Wiji Thukul terlibat dalam penulisan selebaran dan pengorganisasian (walau terbatas), untuk mendorong koalisi Mega (PDI) dan Bintang (PPP) dengan Rakyat. Kami tinggal bersama di sebuah flat sederhana di bilangan Cawang, Jakarta Timur. Itu nampaknya menjadi perjumpaan terakhir kami dengan Wiji Thukul.

Nama Wiji Thukul disebut-sebut lagi pada bulan Maret 1998. Kali ini dalam suasana berbeda. Namanya disebut-sebut oleh orang-orang yang tak pernah saya kenali, karena mata saya dalam keadaan ditutup, tangan dan kaki sata terikat dan saya hanya memakai celana dalam. Saya tidak ingat betul, apa mereka menyebut nama Wiji Thukul sebagai orang yang sudah mereka tangkat, atau sebagai orang yang sedang mereka buru.
Setelah Suharto diturunkan oleh gerakan mahasiswa, beberapa aktivis yang dinyatakan hilang mulai dibebaskan. Saya kebagian pembebasan tanggal 8 Juni 1998. Tetapi sebetulnya bukan pembebasan, melainkan penangguhan penahanan. Namun Wiji Thukul, sebagaimana Suyat, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah tidak kunjung dilepaskan, hingga hari ini.

Saat ini, 19 tahun kemudian, Wiji Thukul menjadi sosok dan objek yang kami cari. Wiji Thukul merupakan sosok yang pernah ada, menginspirasi jutaan orang yang terpinggirkan, diburu oleh aparat negara, tak pernah dinyatakan meninggal, tetapi wujudnya tidak ada. Inilah kejamnya tindakan penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance), ia menihilkan apa-apa yang oleh Tuhan dan semesta di-ada-kan. “Enforced disappearance annihilates human existence”, demikian pernah dikatakan advokat anti penghilangan paksa mendiang Patricio Rice dari Argentina kepada saya.

Saat saya di IKOHI, pernah beberapa kali mendapatkan informasi bahwa Wiji Thukul ada di tempat A, B, C. Tetapi setelah kami lacak dan temui, ia hanyalah orang yang mirip saja dengan Wiji Thukul. Pun, ternyata ada juga orang yang kurang kerjaan yang memanfaatkan hilangnya Wiji Thukul ini.

Wiji Thukul memang tidak bersama kita. Tetapi ia ada. Ia memiliki wujud. Bahkan berlipat ganda. Saya percaya dengan puisinya yang ditulis tahun 1997, “Aku masih utuh, dan kata-kata belum binasa”

Tulisan ini dimuat di Kumparan https://kumparan.com/mugiyanto/wiji-thukul-masih-utuh-dan-kata-kata-belum-binasa

Tuesday, January 17, 2017

Menjelang 10 Tahun Aksi Kamisan

Berdiam Melawan Lupa

MATAHARI menyengat ketika Maria Catarina Sumarsih membuka payung hitam di seberang Istana Negara, Kamis pekan lalu. Ibunda Bernardus Realino Norma Irmawan—korban tewas peristiwa Semanggi 1998—bersama 32 koleganya mengenakan baju hitam. Tak ada gemuruh orasi seperti layaknya demonstrasi. Aspirasi diungkapkan melalui spanduk dan payung yang bertulisan aneka tuntutan pengusutan kasus pelanggaran hak asasi.

Setiap Kamis, anggota Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban ini menagih janji Presiden dan mengingatkan publik soal belum tuntasnya kasus pelanggaran hak asasi masa lalu. ”Aksi Kamisan akan berhenti kalau ada pengadilan hak asasi manusia,” kata Sumarsih. Selain mengusung spanduk, mereka memajang foto-foto orang hilang dan keluarga korban pembunuhan 1965.

Peserta aksi ini mencerminkan keberagaman anggota Jaringan. Kamis pekan lalu, ada 33 orang yang datang. Ada Suciwati, janda almarhum Munir; Nurlaila (korban kasus Sekolah Menengah Pertama 56 Melawai); Sumarsih (keluarga korban insiden Semanggi); Darwin (korban kerusuhan Mei); serta Bejo Untung, Tumiso, Susmadja (korban 1965). Selain itu, solidaritas datang dari Ketua Jaringan Relawan Kemanusiaan Romo Sandyawan dan Christina Widi-antarti dari Forum Warga Kota Jakarta.

Aksi dimulai pukul 16.00 WIB. Setelah satu jam, mereka melipat payung dan membuat lingkaran. Seusai aksi diam, ada sesi refleksi: beberapa orang diminta bicara apa saja tentang isu hak asasi manusia. Romo Sandyawan didapuk untuk berpidato. Ia bicara soal penolakan para purnawirawan menghadiri undangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, selain menyinggung soal kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.

Nurlaila sempat didaulat untuk memberikan refleksi. Tapi ia tak beranjak dari tempat duduknya. ”Saya belum siap,” katanya. Ia datang dalam acara ini sebagai bentuk solidaritas sesama korban kesewenang-wenangan. Telah lima kali ia datang dalam demo Kamisan ini. ”Saya kan pengacara, pengangguran banyak acara,” kata ibu rumah tangga ini terkekeh.

l l l

DEMO Kamisan terinspirasi oleh gerakan perlawanan korban pelanggaran hak asasi manusia dan keluarganya di berbagai belahan dunia. Menurut Sumarsih, ide membuat aksi ini muncul melalui beberapa diskusi. Salah satunya adalah pertemuan Jaringan dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan akhir 2006. Saat itu Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang Haris Azhar memberikan sejumlah contoh kegiatan yang bisa dilakukan untuk menggalang aksi solidaritas.

Gerakan perempuan Korea, yang menuntut keadilan dalam kasus jugun ianfu, misalnya. Dengan mengenakan pakaian putih, setiap Rabu, mereka menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul. Contoh lain, gerakan perempuan Argentina yang anaknya diculik dan dihilangkan oleh junta militer Argentina pimpinan Jenderal Fidela.

Di Indonesia, aksi diam itu dilakukan pada Kamis karena pertimbangan praktis. Menurut Sumarsih, Senin tak dipilih karena anggota Jaringan punya kesibukan sendiri-sendiri. Selasa ada agenda rutin sidang kasus Munir. Rabu, Komisi untuk Orang Hilang punya agenda diskusi rutin. ”Ketemulah Kamis.” Jumat tidak dipilih karena waktunya pendek.

Dalam pertemuan 12 Januari 2007 itu juga disepakati para demonstran mengenakan busana hitam-hitam plus menenteng payung hitam. Warna ini dipilih sebagai simbol keteguhan. ”Kami sepakat, kalaupun pesertanya cuma tiga orang, aksi akan tetap jalan,” kata Sumarsih. Umumnya peserta demo ini berkisar 20 sampai 80 orang. Jadi, ”Belum pernah sampai cuma tiga orang.” Aksi Kamisan pertama dilakukan 18 Januari 2007, dan hingga pekan lalu sudah 65 Kamis yang mereka lalui.

Tak semua demo Kamisan berjalan mulus. Pada aksi pertama, 18 Januari 2007, mereka dihadang polisi. Tapi mereka tak mundur, meski polisi meminta mereka bubar. Pada Kamisan 16 Agustus 2007, polisi juga meminta aksi dibatalkan karena ada geladi bersih peringatan tujuh belasan.

Pada 6 September tahun lalu, acara Kamisan bersamaan dengan kedatangan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Istana Negara. Menurut Kepala Divisi Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi untuk Orang Hilang Yati Andriyani, sebelumnya memang ada polisi yang menelpon meminta aksi dibatalkan. Tapi permintaan ini diabaikan. Akibatnya, sesaat sebelum rombongan Putin mendekati Istana Negara, terjadi tarik-menarik payung antara massa dan polisi. ”Saat itu korban bergandengan tangan sehingga upaya polisi tak berhasil,” kata Yati.

Kamisan yang sangat menegangkan terjadi 17 April lalu. Sebelum aksi itu terjadi, polisi sempat memberitahukan kebijakan baru tentang larangan melakukan demonstrasi yang terlalu dekat dengan Istana Negara. Jaringan tak mempedulikan peringatan itu. Walhasil, saat pendemo tiba di lokasi, tempat demo sudah diisi 14 mobil polisi. Massa tak gentar dan memilih duduk di depan mobil polisi. Setelah melalui negosiasi, mobil polisi ini pun berlalu dan aksi bisa jalan terus. ”Konsistensi, kesungguhan, dan ketulusan itu juga meluluhkan aparat keamanan,” kata Yati.

Hampir pada setiap aksi Kamisan mereka juga tak lupa mengirimkan surat kepada Presiden. Dari puluhan surat itu, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa baru sekali memberikan balasan. Dalam surat tertanggal 28 September 2007, Hatta Rajasa menyampaikan telah berkirim surat kepada Kejaksaan Agung agar menampung permasalahan yang disampaikan para demonstran. Pada 26 Maret 2008, Jaringan juga diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Presiden berjanji akan membantu penuntasan kasus hak asasi manusia. ”Ternyata tidak ada buktinya,” ujar Sumarsih. Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, mengatakan komitmen Presiden soal pelanggaran hak asasi manusia sudah jelas. ”Semua ada aturannya,” kata Andi.

Alih-alih pemerintah memberi bukti, 1 April lalu, empat berkas kasus pelanggaran hak asasi hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Keempatnya adalah berkas kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; penghilangan orang secara paksa; kerusuhan Mei; dan kasus Wamena-Wasior.

l l l

MENURUT Ketua Federasi Organisasi Keluarga Orang Hilang Asia (AFAD) Mugiyanto, apa yang dilakukan Kamisan ini mirip dengan Las Madres Plaza de Mayo (Ibu-ibu Plaza Mei). Di Argentina, perempuan-perempuan itu menggunakan scarf putih berjalan mengitari sebuah tugu di depan Istana Kepresidenan Casa Rosando. Pesertanya juga tak banyak: sekitar 50 orang. Jumlahnya membeludak hanya pada saat tertentu, seperti pekan terakhir Mei, yang memang ditahbiskan sejak 1980 sebagai Pekan Anti-Penghilangan Orang Secara Paksa.

Suasana Argentina saat itu juga sangat represif: pers dibungkam, oposisi diberangus. Semasa Jenderal Fidel berkuasa (1976-1983), menurut laporan Komisi Orang Hilang Argentina, korban perang kotor diperkirakan 8.000 orang. Kabarnya mereka dibuang ke Laut Atlantik. ”Aksi yang dilakukan ini sangat simbolis,” kata Mugiyanto, Ketua Ikatan Orang Hilang Indonesia.

Bagi Mugiyanto, yang membedakan Las Madres Plaza de Mayo dengan Kamisan adalah situasi politiknya. Gerakan Las Madres itu dilakukan sebagai cara kreatif mengatasi represi, sedangkan aksi Kamisan di Indonesia sebagai bentuk aksi simbolis setelah upaya lain untuk mendorong penuntasan kasus hak asasi menemui jalan buntu. ”Aksi Kamisan ini sebagai inisiatif melawan lupa,” ujar Mugiyanto.

Konsistensi Las Madres Plaza de Mayo membawa dampak besar bagi perjuangan orang-orang hilang di dunia. Gerakan itu menginspirasi gerakan lain tak hanya di Amerika Latin, tapi juga dunia. Politik ibu-ibu Argentina itu juga yang mendorong lahirnya Konvensi Anti-Penghilangan Orang Secara Paksa, yang disahkan dalam Majelis Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 19 Desember 2006. Indonesia, kata Mugiyanto, belum meneken, apalagi meratifikasi, konvensi tersebut. ”Itulah yang akan kami dorong,” ujarnya.

Abdul Manan, Shinta Eka P.

Majalah Tempo, Edisi. 12/XXXVII/12 – 18 Mei 2008