Tuesday, July 22, 2008

Mugi Dampingi Korban

Timika Pos
Sabtu, 28-06-2008 03:45 (GMT+9.5)

Mantan Korban Penculikan Aktivis, Apa Aktivitas Mereka Kini (1)

Mugi Dampingi Korban, Jati dan Nezar Jadi Jurnalis

Sepuluh tahun lalu para aktivis diculik dalam sebuah operasi rahasia. Saat belasan korban tak diketahui nasibnya hingga kini, beberapa orang beruntung masih bisa kembali ke rumah. Apa yang mereka lakukan dalam kehidupan "kedua" mereka kini?

FAROUK ARNAZ, Jakarta

LUKA batin Mugiyanto hingga kini belum juga sembuh. Satu dasawarsa berlalu ternyata tak membuat dia lepas dari pengalaman traumatik itu. Terutama jika melihat tatapan mata Oetomo Rahardjo, ayahanda Petrus Bima Anugrah; ataupun Ibu Nung, ibunda Yadin Muhidin, yang masih berharap anak-anak mereka –dua di antara 13 korban penculikan– suatu hari akan pulang.

Menurut Mugiyanto, sebagai survivor (korban selamat) peristiwa penculikan, perasaan itu awalnya ini hanya soal personal. Dia merasa beruntung sehingga terdorong harus berjuang untuk teman-temannya. "Tapi, kini (sudah berkembang) soal keadilan, kepastian, dan kehidupan. Orang yang diculik bukan hanya teman-temanku," kata Mugiyanto yang kini menjadi ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) kepada Jawa Pos.

Bapak seorang orang anak kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 34 tahun lalu, hanyalah satu di antara sembilan korban penculikan yang selamat. Delapan korban yang lain adalah Aan Rusdianto, Andi Arief, Desmond Junaidi Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Raharja Waluya Jati.

Adapun yang masih hilang hingga kini adalah Yani Afri, Noval Al Katiri, Dedy Umar, Ismail, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Yadi Muhidin, Hendra Hambali, Ucok M. Siahaan, M. Yusuf, Sonny, dan Wiji Thukul. Seorang lagi, Leornardus "Gilang" Nugroho, ditemukan tewas.
Peristiwa penculikan itu terjadi pada akhir rezim kekuasaan Soeharto. Saat itu gerakan yang potensial dan dinilai radikal sehingga menggerogoti kekuasaan rezim harus dilenyapkan. Belakangan, operator lapangan kasus itu terungkap. Ada 11 anggota Kopassus yang divonis bersalah. Lima di antaranya dipecat.

Tidak berhenti sampai di situ. Mantan Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengumumkan hasil sidang Dewan Kehormatan Perwira yang mengakhiri karir Letjen Prabowo Subianto yang saat itu menjabat komandan Sesko ABRI. Sementara mantan Danjen Kopassus Mayjen Muchdi Purwopranjono dan mantan Komandan Grup IV/Sandi Yudha Kopassus Kol Inf Chairawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan struktural ABRI.

"Sampai kapan pun saya tak akan pernah lupa kengerian yang diciptakan saat itu," tambah Mugiyanto yang ketika kejadian adalah salah seorang aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (Smid) –sebuah organisasi underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD)– yang dikejar-kejar rezim Soeharto sebgai buntut kerusuhan di kantor PDI pada 27 Juli 1996.
Hari nahas bagi mahasiswa Fakultas Sastra Inggris UGM itu terjadi pada 12 Maret 1998. Saat itu dia diciduk bersama Aan dan Nezar di rumah susun Klender, Jakarta Timur. Rumah itu dijadikan markas bawah tanah PRD yang tetap ramai meski ketuanya saat itu, Budiman Sudjatmiko, dibui. "Sejak diambil itu, semua siksaan saya rasakan," imbuhnya.

Mugi, sapaan akrabnya, lalu dikejar para penyekap dengan pertanyaan seperti siapa saja teman-temannya. Tak hanya interogasi, dia juga menjalani siksaan seperti disetrum dan dipukuli dalam keadaan tangan diborgol.

Pada 15 Maret 1998, dia, Nezar, dan Aan diserahkan ke Polda Metro Jaya oleh penculiknya. Di markas korps baju cokelat itu, Mugi cs diproses pidana. Dia dikenai pasal subversif. Tapi, pada 6 Juni 1998, dia dilepaskan dari tahanan setelah mendapat penangguhan penahanan buntut tumbangnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.

"Aku baru merasa jadi manusia setelah dibebaskan," imbuhnya. Darah aktivis Mugi tak pernah berhenti menggelegak hingga akhirnya menjadi ketua IKOHI, organisasi tempat mendiang Munir menjadi penasihatnya.

Bertahan di dunia aktivis juga dilakoni Raharja Waluya Jati yang saat itu ditemui di forum yang sama dengan Mugi. Jati yang protolan Fakultas Filsafat UGM adalah salah seorang pimpinan PRD. Lelaki kelahiran Jepara, 24 Desember 1969, itu diculik di RS Cipto Mangunksumo, Jakarta, pada 12 Maret 1998 saat bersama Faisol Reza berjalan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

"Semua jengkal dari peristiwa itu masih saya ingat," kata Jati yang kini menjadi direktur eksekutif radio Voice of Human Rights. Munir adalah mantan ketua dewan pendiri VHR.
Mengapa masih setia dengan dunia aktivis? "Ini tanggung jawab moral. Saya pernah hidup dalam situasi itu. Reformasi belum selesai," kata Jati yang pernah disiksa penculik dengan dibaringkan telanjang di balok es.

Jati mengaku tetap menghormati pilihan rekan-rekannya yang sibuk dengan dunianya masing-masing. "Mereka merespons politik dan menyalurkan asipirasi dengan cara bermacam-macam. Andi Arief, misalnya, juga Reza (Faisol Reza)," tambahnya.

Nezar Patria, korban penculikan yang lain, menjalani kehidupan berbeda. Pascabebas dari penculikan, lelaki kelahiran Sigli, Aceh, 5 Oktober 1970, yang pernah menjabat Sekjen Smid memilih berkarir di jurnalistik. Dia pernah bergabung dengan majalah Tempo. Namun, belakangan dia bergabung dengan portal berita ekonomi dan politik Kanal One di media grup milik Aburizal Bakrie.

"Hingga kini belum ada partai politik yang cocok. Partai yang kuat, yang membangun basis massa, dan bukan hanya untuk mesin pemilu," katanya.

Nezar mengakui, sebenarnya mereka yang pernah diculik itu masih punya mimpi tentang Indonesia yang baik. Indonesia yang berkeadilan. "Tentu caranya yang beda-beda. Taktiknya yang berbeda-beda. Saya masih intens berkomunikasi dengan kawan-kawan itu," kata master lulusan London School of Economic and Political Science.

Nezar juga masih merasa punya utang: mencari tahu "keberadaan" teman-teman korban penculikan yang hingga kini belum diketahui rimbanya. Caranya, dia tak pernah merasa lelah untuk menjaga isu ini tetap hidup. "Ini kehidupan kedua saya yang tak akan saya sia-siakan." (el)