Saturday, November 27, 2010

Penghilangan Paksa dan Hak Atas Kebenaran


Penghilangan Paksa dan Hak Atas Kebenaran
Mugiyanto

Pada bulan Mei yang lalu, Menteri Hukum dan Hak Asais Manusia Patrialis Akbar mengatakan bahwa proses hukum bagi pelaku pelanggaran HAM masa lalu sulit untuk dilakukan karena akan menimbulkan “kegaduhan politik”. Selanjutnya, secara tidak tegas, Menkumham mengatakan akan memberikan lapangan pekerjaan di kementeriannya bagi keluarga korban pelanggaran HAM sebagai bentuk kompensasi.

Pernyataan Menkumham ini tidak hanya mencederai hak korban atas keadilan, kebenaran dan reparasi atau pemulihan, tetapi bertentangan juga dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 1, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. “Kegaduhan politik” yang dikatakan oleh Menkumham sangat bias dengan kepentingan kekuasaan, yang menyebabkan sebagian masyarakat (korban, keluarga korban dan mereka yang menghendaki ditegakkannya HAM di Indonesia) mengalami diskriminasi.

Selain itu, tawaran Menkumham yang katanya akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi keluarga korban juga akan menjadi tindakan diskriminatif bagi warga masyarakat yang lain. Kita tahu bahwa ada jutaan warga negara Indonesia yang saat ini menjadi pengangguran dan berebut mencari lowongan pekerjaan. Pada sebuah jejaring sosial facebook, seorang kawan facebooker memprotes wacana yang dikembangkan Menkumham dengan mempertanyakan, “apakah seorang warga negara harus menjadi korban pembunuhan, penculikan atau penyiksaan dulu supaya mendapatkan pekerjaan di negeri ini?”

Kebijakan memberikan lapangan pekerjaan kepada korban atau keluarga korban pelanggaran HAM sebagai bagian kecil dari langkah-langkah reparatif tidak bisa dilakukan secara serta merta dan terpisah tanpa didasari landasan hukum atau politik yang kuat dari pemerintah. Ia juga menuntut adanya proses yang menyeluruh dan integral dengan cara-cara (mekanisme) penanganan yang lain, semisal dengan pengungkapan kebenaran, pengakuan dan permintaan maaf secara resmi oleh pemimpin negara, atau proses judisial kepada para pelaku.

Rekomendasi DPR kepada Presiden
Salah satu hal yang menjadi memicu (trigger) perdebatan tentang perlunya pemenuhan hak pemulihan bagi korban adalah disepakatinya rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) oleh Rapat Paripurna DPR terkait kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Putusan Rapat Paripurna yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 2009 itu mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah, c.q Presiden yang meliputi; 1) agar presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc, 2) agar presiden dan instansi terkait segera mencari 13 orang yang masih hilang, 3) agar pemerintah memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban dan keluarganya, 4) agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Rekomendasi DPR tersebut sangat diapresiasi oleh keluarga korban, yang lantas berharap Presiden SBY segera merealisasikannya. Dalam serangkaian proses diskusi dan konsultasi para penyintas (termasuk penulis) dan keluarga korban yang difasilitasi oleh IKOHI dan Kontras, mereka berharap agar pertama dan terutama Presiden SBY segera membentuk tim untuk mencari keberadaan 13 orang yang masih hilang. Keluarga korban berharap presiden bisa memberikan klarifikasi dan jawaban akhir (conclusive answer) tentang nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang. Keluarga korban juga menyampaikan penegasannya kembali bahwa mereka siap menerima informasi apapun mengenai orang-orang yang mereka cintai dari Presiden SBY.

“Hidup dan matinya Rian (Yani Afri) sudah saya pasrahkan kepada Allah. Saya hanya ingin kepastian, supaya ke depan kita semua bisa belajar” begitu Tuti Koto, Ibunda dari Yani Afri yang telah berjuang selama 13 tahun selalu menyampaikan keyakinan dan harapannya kepada Presiden SBY.

Dari sinilah mustinya Presiden SBY memulai langkah merealisasikan salah satu pilar pemerintahannya yaitu Keadilan (2 pilar yang lain adalah Demokrasi dan Kesejahteraan). Terlebih lagi, Presiden SBY juga telah merinci pilar Keadilan ini dalam pidatonya 4 Mei yang lalu dengan “memberikan keadilan kepada korban kasus hukum dan HAM masa lalu”.

Hak atas kebenaran
Sejalan dengan rekomendasi DPR dan harapan korban dan keluarga korban, pada tanggal 22 Juli 2010, Kelompok Kerja (Pokja) PBB untuk Penghilangan Orang Secara Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID) mengeluarkan sebuah general comment tentang hak atas kebenaran (General Comment on the Right to Truth in Relation to Enforced Disappearance). General comment merupakan panduan atau keterangan tentang aspek-aspek perjanjian HAM PBB untuk dipatuhi oleh negara pihak (state party) atau anggota PBB.

Pada paragraf 4 general comment itu dinyatakan bahwa “hak keluarga korban untuk mengetahui kebenaran atas nasib dan keberadaan orang yang dihilangkan adalah hak mutlak, yang tidak boleh dibatasi atau dikurangi”. Selanjutnya ditegaskan kembali bahwa “Tidak ada tujuan yang sah atau pengecualian yang bisa dibuat oleh negara yang bisa digunakan untuk membatasi hak ini”.

General comment ini mengandung arti bahwa usaha mengungkap kebenaran seputar nasib dan keberadaan 13 orang yang masih hilang sebagaimana direkomendasikan oleh DPR kepada Presiden tidak bisa ditunda hanya karena menimbulkan “kegaduhan politik”

Selanjutnya Pokja PBB menyadari adanya kemungkinan bahwa proses pencarian tidak bisa menemukan korban penghilangan paksa karena berbagai alasan. Namun demikian Pokja PBB menegaskan pada paragraf ke lima bahwa “negara tetap punya kewajiban untuk melakukan penyelidikan sampai negara bisa menentukan nasib dan keberadaan orang yang hilang”.

Bagi keluarga korban, mendapatkan informasi tentang nasib dan keberadaan atau “status” orang hilang dari negara sangatlah penting.

Pentingnya status korban
Tidak sedikit cerita keluarga korban mengenai berbagai kesulitan dan kesedihan yang timbul dari tidak jelasnya status orang yang hilang. Secara psikis dan mental, situasi ketidakpastian adalah sebuah siksaan. Dalam hal administrasi kependudukan, keluarga korban sering mendapatkan kesulitan bila diharuskan menghadirkan korban atau tanda tangan, karena mereka belum dicatatkan meninggal. Secara sosial, anggota keluarga inti terutama anak, juga masih mendapatkan cemoohan. Secara politik, setidaknya tiap ada pemilu, pilkada atau pemilihan lurah, suara korban sering disalahgunakan oleh para penyelenggara pemilu.

Kompleksitas lain adalah bahwa korban penghilangan paksa tidak bisa begitu saja disimpulkan meninggal, karena keluarga tidak mendapatkan jasad, pun kabar kematiannya. Menyimpulkan mereka hidup, walaupun itulah keyakinan sebagian besar keluarga korban, juga tidak mudah, karena mereka tidak mengetahui keberadaannya.

UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 44 Ayat (4) memang mengatur tentang ketidakjelasan status ini. Tetapi lagi, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru bias dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

Dari sinilah dituntut kebesaraan hati dan kearifbijaksanaan seorang Presiden SBY untuk sedikit saja mendengarkan teriakan hati para keluarga korban. Mereka tidak menuntut banyak. Itupun tidak bertentangan dengan janji, slogan dan program yang telah Presiden canangkan sendiri.

Saturday, November 13, 2010

What we are concerned about is the fate of those who are still missing


Protesters Ramping Up Calls for Indonesian Government Apology
Nivell Rayda & Markus Junianto Sihaloho | September 28, 2010


Jakarta. Undeterred by their arrest on Monday night, some 50 family members of activists who were kidnapped in 1997 and 1998 took to the streets again on Tuesday to rally outside the State Palace.

Their protest comes a little more than a month after the families demanded a public presidential apology and for President Susilo Bambang Yudhoyono to shed new light on past rights abuses.

Tuesday’s protest marked a year since the House of Representatives urged the government to investigate the abuses, including the disappearance of student activists during the May 1998 riots and the shooting of student protesters during a 1998 pro-democracy rally near the Semanggi cloverleaf in Jakarta.

No immediate action has been taken by the government since last year’s House recommendation.

Police detained the activists on Monday for questioning.

The majority are mothers whose sons and husbands were kidnapped by soldiers.

The police said the protesters violated the agreed time limit of the demonstration, which was to end at 6 p.m.

DT Utomo Rahardjo, the father of Bima Petrus Nugraha, a pro-democracy activist believed to have been kidnapped by Army soldiers in March 1998, said he had come from his home town of Malang, East Java, just to participate in the rally.

“I have participated in rallies like this hundreds of times. I have never grown tired of pushing the government to at least locate my son, regardless of whether he’s dead or alive,” Utomo told the Jakarta Globe.

“I don’t ask for the perpetrators to be prosecuted or arrested. I also don’t expect whoever is responsible to come forward. I just want to find my son.”

The Commission for the Disappeared and Victims of Violence (Kontras) estimated that 24 student activists had been kidnapped at the time.

Nine of them, according to Kontras, were released after months of torture while one other was found dead in Solo, Central Java.

The remainder, including Bima Petrus, are still missing.

Mugiyanto Sipin was one of the lucky few. He was released after being kidnapped for his fierce criticism of the Suharto regime.

“Ten people came to my house in Klender [East Jakarta] on March 13, 1998. Two of them were in military uniform. I was taken to several places before being taken to Kopassus Headquarters,” Mugiyanto said, referring to the Army’s special forces unit.

“Two of my friends were already there. I was blindfolded at the time but I could swear I heard the voices of [victims] Nezar Patria and Aan Rosdiyanto. Hours later I heard [the voices of kidnap victims] Andi Arief and Bima Petrus,” Mugiyanto said.

“We were interrogated in separate rooms. I was told to lie down on the floor and from time to time I was punched and kicked, even electrocuted.”

Mugiyanto was released on June 6, 1998, three months after he was kidnapped and weeks after Suharto resigned as president.

Most of those who were released have since joined politicians like Andi Arief who is now a presidential staff member and Pius Lustrilanang, who is now a politician from the Great Indonesia Movement Party (Gerindra).

“I thought about leading a normal life. But then I met the parents and siblings of my activist friends who are still missing. I felt I had a moral obligation to find out what had become of the rest of my friends,” Mugiyanto said.

One year ago today, a House plenary meeting agreed to accept the recommendations of one of its special committees that, among other things, President Yudhoyono must issue a decree to establish an ad hoc human rights tribunal to try those allegedly involved in the kidnappings.

Mugiyanto, who chairs the Indonesian Association of Families of the Disappeared (Ikohi), said the government had done nothing about those recommendations.

“What we are concerned about is the fate of those who are still missing. If they are alive, bring them to us. If they have died, where are the graves?” Mugiyanto asked.

Some lawmakers said on Tuesday that they were considering using their political rights to question Yudhoyono, who has still given no response to the House’s recommendation.

Ahmad Yani, lawmaker from the United Development Party (PPP), said they had several times pressured the government to implement the House’s recommendations, to no avail.

“We are considering using our political rights to push the government to do something about the recommendations,” Ahmad said.

“As an example, we could use the interpellation rights to question the government over the stagnancy.”

Source: http://www.thejakartaglobe.com/home/protesters-ramping-up-calls-for-indonesian-government-apology/398597

Tuesday, October 05, 2010

Perjuangan Keadilan bukan "Business As Usual"


Dirgahayu ke-12 IKOHI
“Mengobarkan (Kembali) Semangat Perjuangan untuk Keadilan dan Kebenaran”

IKOHI didirikan dengan karakter dan misi yang khas. Pendiriannya tidak hanya ditujukan untuk membantu memastikan agar proses transisi yang berjalan di Indonesia adalah transisi menuju demokrasi, sebagaimana karakter sebagian besar organisasi-organisasi HAM atau gerakan sosial yang lain. IKOHI dirikan, terutama adalah karena terjadinya peristiwa pelanggaran HAM dalam bentuk penculikan dan penghilangan paksa yang sistematis pada pertengahan 1997-1998 terhadap puluhan aktifis demokrasi yang bersuara kritis terhadap pemerintahan otoriter Suharto, Jadi kita bisa mengatakan bahwa seandainya saja peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, maka bisa dipastikan IKOHI tidak pernah ada.

Berangkat dari latar itu, kita bisa melihat bahwa alasan keberadaan IKOHI adalah untuk memastikan agar korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mendapatkan hak-haknya sebagaimana diakui oleh masyarakat internasional yang terdiri atas hak akan keadilan, kebenaran, hak atas pemulihan dan hak atas kepuasan, serta jaminan ketidakberulangan. IKOHI menganggap bahwa pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM adalah prasyarat minimal yang mutlak dilakukan untuk memastikan agar proses transisi yang terjadi memiliki karakter dan tujuan demokratis. Pencapaian tujuan ini dilakukan dengan menggunakan ruang demokrasi dan kebebasan yang dihasilkan oleh gerakan reformasi tahun 1998.

Metamorfosis
Sebagaimana kita sedang peringati saat ini, IKOHI dideklarasikan berdiri pada tanggal 17 September 1998. Selama tiga hari sebelumnya, mulai tanggal 14-16 September, Kontras bersama korban dan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998 mendirikan tenda keprihatinan yang bertujuan untuk melakukan desakan pada pemerintah Habibie dan pengumpulan dana untuk kampanye internasional. Lalu sebelum keluarga korban pulang kembali ke rumah masing-masing, bersama Koordinator Kontras waktu itu, Munir, mereka mendeklarasikan berdirinya IKOHI sebagai wadah keluarga korban untuk tetap menjalin silaturahmi, dengan DT Utomo Raharjo, orang tua dari salah satu korban penghilangan paksa yang sampai saat ini belum diketahui nasibnya, Petrus Bima Anugerah, sebagai Ketua.

Selanjutnya secara kronologis, baru pada tahun 2000 Kontras memfasilitasi sebuah lokakarya nasional keluarga korban penghilangan paksa yang menghadirkan perwakilan korban dari luar daerah, termasuk dari Aceh, Papua, dan bahkan Timor Leste. Kebutuhan untuk memperkokoh tali silaturahmi dalam wadah IKOHI baru bisa dilakukan pada bulan Oktober 2002, dalam sebuah acara Kongres IKOHI yang pertama di Jakarta. Sejak saat ini, IKOHI tidak lagi menjadi organisasi yang secara eksklusif menjadi wadah korban penculikan tahun 1997-1998, tetapi sudah memiliki karakter nasional.

Dengan tetap memfokuskan kerja-kerja penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, khususnya pada kasus penghilangan paksa, IKOHI bisa menjangkau semakin banyak komunitas korban di berbagai tempat di Indonesia. Organisasi-organisasi dan komunitas-komunitas korban pelanggaran HAM dari aneka kasus juga mulai mengenal dan berjaringan dengan IKOHI. Karena alasan inilah, dalam Kongres ke-2 yang dituanrumahi oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKPHAM) Sulawesi Selatan pada bulan Maret 2006, IKOHI disetujui untuk menjadi organisasi korban pelanggaran HAM secara umum, dengan penghilangan paksa sebagai fokus isu kampanye . Dalam Kongres yang dihadiri oleh perwakilan organisasi dan komunitas korban dari 14 wilayah di Indonesia itu disepakati pula IKOHI menjadi organisasi dengan keanggotaan dan jaringan yang otonom .

Dinamika organisasi, terutama dalam hubungannya antara “Pusat” dan “Daerah” tidaklah terlalu mulus sebagaimana diharapkan. Disana-sini terjadi kesalahpahaman, yangdisebabkan oleh tidak jelasnya fungsi dan peran antara mereka yang berada di “Pusat” dan yang di “Daerah”. Masa-masa ini adalah masa-masa yang sangat dinamis, dimana proses pembelajaran bagi para korban menjadi sangat maksimal, yang kemudian menjadi dasar kesepakatan-kesepakatan baru sebagaimana terjadi pada Kongres ke-3 IKOHI di Jakarta pada bulan Desember 2009. Pada Kongres tersebut disepakati organisasi IKOHI diubah dari perkumpulan menjadi sebuah Federasi. Perubahan ini sebenarnya bukan sebuah perubahan drastis, tetapi sebuah penegasan atas kecenderungan yang dikehendaki oleh semua struktur organisasi dan jawaban atas beberapa ketidakjelasan fungsi dan peran pada masa-masa sebelumnya.

Beberapa tantangan

Waktu adalah sesuatu yang relatif. Kita akan mengeluhkan lamanya waktu ketika masa-masa yang dilalui penuh dengan ketidaknyamanan. Sebaliknya, kita juga akan merasakan betapa singkatnya waktu ketika kita menikmati masa-masa untuk mengisinya. Lamanya waktu juga relatif, tergantung dengan ukuran pembandingnya.

Demikian juga dengan periode 12 tahun yang telah dilalui IKOHI. Bila dibandingkan dengan periode berjuangnya Saudara-saudara kita para korban dan keluarga korban yang terjadi pada tahiun 1965-1966, tentu 12 tahun adalah waktu yang relatif pendek. Tetapi ketika kita merasakan dan memikirkan masa-masa sulit yang kita jalani, ketika Negara tetap abai dengan tuntutan-tuntutan konstitusional kita, kita akan merasakan betapa waktu berjuang 12 tahun bukanlah waktu yang pendek. Terlebih lagi kalau kita merasa dan menyaksikan, betapa secara fisik para ibu, bapak, sahabat dan kawan-kawan yang terus memperjuangkan penuntasan kasus penghilangan paksa sudah mulai melemah.

Secara fisik, memang para ibu dan bapak itu sudah mengalami kesulitan untuk melakukan march atau jalan kaki dari Tugu Proklamasi atau Bunderan HI ke Istana Presiden, seperti yang dilakukan pada tahun 1998 atau 1999. Tetapi kita semua tahu, tidak ada yang berkurang dari semangat dan kegigihan para ibu dan bapak yang anak-anaknya masih dihilangkan oleh kekuasaan. Bahkan bisa dipastikan, selama pemerintah masih abai dan ingkar, semangat berjuang sebagian besar dari mereka malah semakin membara.

Sebuah puisi Wiji Thukul “Derita Sudah Naik Seleher” yang ditulis tanggal 17 November 1996 menemukan kebenarannya.

“kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak”



Beberapa tantangan muncul pada masa-masa berjuang selama ini. Sebagian kecil dari tantangan-tantangan strategis yang muncul tersebut akan coba secara singkat disebutkan di sini.

Secara internal atau organik, tantangan terbesar IKOHI adalah bagaimana untuk menjadikan korban menjadi penyintas (survivor), lalu menjadi pejuang HAM (HRD). Hanya dengan transformasi ini, misi strategis IKOHI untuk menjadikan korban sebagai subjek dari perjuangan untuk keadilan, HAM dan demokrasi bisa terwujud. Ukuran keberhasilan menjawab tantangan ini antara lain bisa diukur dengan seberapa banyak para korban atau penyintas menjadi pengurus organisasi atau organiser bagi komunitas-komunitasnya. Ukuran lainnya adalah seberapa banyak dan seberapa luas cakupan berdirinya komunitas atau organisasi korban pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Selain itu, faktor regenerasi juga bisa dijadikan ukuran keberhasilan kita menjawab tantangan organik ini.

Selain itu, dukungan dana pada organisasi untuk mampu menjalankan misi dan visinya juga masih merupakan tantangan yang sangat besar. Sebuah organisasi korban yang merupakan organisasi gerakan sosial idealnya mendasarkan dukungan finansialnya pada anggota, atau setidaknya pada publik. Namun sampai hari ini, sebagian besar dari dukungan dana yang didapatkan oleh IKOHI masih bersumber dari lembaga donor. Bagi pengurus Federasi IKOHI, tantangan ini masih menjadi tantangan sangat besar yang musti ditaklukkan atau diminimalisir. Ketidakmampuan menghadapi tantangan ini akan bisa menjerumuskan IKOHI menjadi organisasi korban yang “artificial”, bukan yang sejati atau hanya papan nama. Roh IKOHI sebagai organisasi korban pelanggaran HAM dengan spirit “gerakan” akan bisa terkikis.

Secara programatik, tantangan terbesar IKOHI adalah sejauh mana IKOHI tetap konsisten berada pada misi yang ditegaskannya ketika IKOHI didirikan atau sebagaimana Kongres memutuskan. Kegigihan, kecermatan, “keimanan” IKOHI untuk terutama menjalankan program-program penguatan dan pemberdayaan, serta program-program lain yang menjadi kebutuhan mendesak korban dan keluarga korban, serta komunitas korban adalah ukurannya. Demikian juga dengan kerja-kerja kampanye untuk keadilan.

Sampai 12 tahun ini, IKOHI dipastikan tidak keluar dari koridor visi dan misi orgnisasi. Tetapi itu saja tidak cukup, IKOHI harus beberapa langkah lebih maju dengan benar-benar menjalankan apa-apa yang sudah dicanangkan, seperti program program penguatan ekonomi korban dan pembukaan akses pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial secara layak dan memadahi.

Secara politik, IKOHI masih dihadapkan pada situasi dimana komitmen negara untuk memutus rantai impunitas belum menjadi tindakan nyata. Ia masih hanya menjadi pemanis bibir untuk tujuan pencitraan elit politik. Pemerintah sampai hari ini masih belum berani menarik garis batas demarkasi yang jelas antara pemerintahan yang menghargai HAM dan keadilan dengan pemerintahan otoriter masa lalu yang menihilkan HAM dan keadilan bagi masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, penguatan (secara kualitas) dan perluasan (secara kuantitas) organisasi adalah mutlak, sehingga IKOHI memiliki daya gedor dan dorong serta posisi tawar yang cukup tinggi ketika berhadapan dengan kekuasaan.

Pencapaian
Rasanya memang lebih mudah bagi kita untuk mencatat kelemahan dan kekurangan, dan agak sulit mengenali apalagi mensyukiri pencapaian dan kemenangan. Tapi, sebagaimana hampir tiap tahun saya sampaikan, selalu penting bagi kita untuk mengenali dan mensyukuri keberhasilan dan kemenangan, walaupun kecil.

Yang jelas, kemenangan terbesar IKOHI adalah didirikannya IKOHI itu sendiri, oleh keluarga korban. Pendirian IKOHI adalah jawaban nyata yang tegas atas usaha penaklukan dan pembungkaman yang dilakukan oleh Negara terhadap suara-suara kritis masyarakat. Hal ini bisa dianggap sebagai kemenangan organik atau organisasional.

Kemenangan dan keberhasilan lanjutannya ada banyak sekali untuk didata oleh masing-masih dari kita, karena selain bersifat organisasional, seringkali kemenangan dan keberhasilan itu bersifat personal. Tidak hanya itu, kemenangan dan keberhasilan tersebut juga seringkali tidak bisa dilihat.

Tetapi, beberapa yang menonjol dan layak untuk disebut adalah dilaksanakan dan tuntasnya penyelidikan kasus penghilangan paksa 1997-1998 oleh Komnas HAM pada tahun 2006 dan dikeluarkannya rekomendasi DPR pada Pemerintah (Presiden SBY) mengenai kasus tersebut pada tahun 2009 adalah juga pencapaian yang sangat besar yang layak dihargai dan syukiri.

Akan tetapi, kita semua juga menyadari bahwa penyelesaian tuntas dan menyeluruh atas kasus tersebut adalah jawaban yang masih terus kita prjuangkan.

Masa masa krusial
Memasuki tahun ke-12, IKOHI dihadapkan pada masa-masa krusial dan menentukan. Secara organisasional, IKOHI dituntut untuk mempertegas identitas dirinya sebagai organisasi korban pelanggaran HAM dengan roh gerakan yang kental. Secara programatik, IKOHI juga dituntut untuk secara lebih serius merealisasikan program-program penguatan dan pemberdayaan yang mampu menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban yang nota bene adalah anggota dan konstituennya. Sudah bukan waktunya lagi kita menjawab tuntutan kebutuhan para anggota (korban) dengan respon-respon yang sporadis dan fragmentatif. IKOHI harus benar-benar mulai menjalankannya secara menyeluruh, programatis dan strategis.

Untuk mampu melakukan hal tersebut, kerjasama dengan organisasi yang serius dan memiliki kerangka pikir yang sama mutlak untuk dilakukan. Kerja-kerja pendokumentasian dan assessment kondisi dan kebutuhan korban dan keluarga korban mutlak dilakukan. Rintisan awal pendirian koperasi korban seperti yang dilakukan oleh IKOHI Jakarta dan tempat-tempat lain sangat mendesak untuk diperkuat dan dikembangkan, serta dijadikan model bagi komunitas korban di wilayah yang belum melakukannya. Demikian juga dengan program-program yang ditujukan untuk membuka akses pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi keluarga korban pelanggaran HAM.

Pada wilayah kerja-kerja advokasi dan kampanye untuk keadilan, kini IKOHI juga memasuki masa-masa menentukan. Hal ini terjadi karena setelah dikeluarkannya rekomendasi DPR atas kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 , ada kecenderungan bahwa pemerintah hanya akan memberikan kompensasi kepada korban. Dari komunikasi informal yang terjadi selama ini antara pemerintah dengan IKOHI, dan dari sumber-sumber lain, ditemukan adanya kecenderungan pemerintah menghindari pemenuhan hak-hak keadilan dan kebenaran. IKOHI dituntut untuk sangat cermat dan hati-hati serta selalu berkonsultasi dengan korban pada kemungkinan-kemungkinan tawaran pemerintah untuk menukar keadilan dan kebenaran dengan kompensasi materiil.

IKOHI berpegang pada prinsip HAM yang diakui oleh masyarakat internasional, yang juga diakui oleh pemerintah yang memandang bahwa hak-hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan, dimana kompensasi dan rehabilitasi berada didalamnya, bukanlah hak-hak yang bisa saling ditukar atau menggantikan, tetapi hak-hak yang saling melengkapi.

IKOHI tidak menolak dipenuhinya hak-hak pemulihan korban oleh Negara, dengan syarat bahwa pemenuhan hak-hak tersebut tidak menutup pintu, apalagi dijadikan sebagai pengganti hak korban atas kebenaran dan keadilan.

Kita tentu belajar dari pengalaman korban Tanjung Priok 1984, dimana santunan ekonomi yang dibungkus dengan baju “islah” telah memecah belah komunitas korban. Hal yang serupa juga terjadi dengan organisasi korban di Argentina yang sering kita jadikan contoh, yaitu “Ibu-ibu Plaza de Mayo” yang karena kebijakan kompensasi oleh pemerintah telah memecah mereka menjadi dua, yaitu “Ibu-ibu Plaza de Mayo” dengan “Ibu-ibu Plaza de Mayo-Garis Pondasi” (Linea Fundadora).

“Negosiasi” (kalaupun terjadi) dengan pemerintah mengenai penanganan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip yang selama 12 tahun dipegang teguh oleh IKOHI. Dalam situasi seperti inilah langkah-langkah yang diambil oleh IKOHI menjadi sangat menentukan.

Pada kesempatan peringatan ulang tahun ke-12 kali ini, IKOHI juga menandainya dengan mengadakan aksi kemah keprihatinan dengan menginap di depan istana presiden mulai hari Senin, 27 September 2010. Selain untuk mengingatkan kita semua atas Aksi Tenda Keprihatinan yang melatari pendirian IKOHI tahun 1998 yang lalu, aksi menginap di depan istana presiden ini juga kami sadari sebagai aksi yang mungkin dinilai orang nekat atau “kurang kerjaan” yang lain setelah aksi yang dilakukan keluarga korban di markas Kopassus di Cijantung pada awal tahun 2010 ini,.

Bagi keluarga korban dan IKOHI, aksi kali ini dilakukan sebagai ekspresi atas semakin menipisnya kesabaran keluarga korban pada pemerintah SBY. Selama beberapa tahun terakhir selama SBY bekuasa, dan terutama selama setahun terakhir, kami merasa seperti diberi harapan dan angin surga oleh Presiden SBY dan pendukung-pendukungnya yang seolah-olah hendak menyelesaikan kasus dan menindaklanjuti rekomendasi DPR.

Kami hanya bermaksud “mengingatkan” Presiden SBY, bahwa bukan hanya dirinya yang boleh curhat ketika merasa diperlakukan tidak baik. Keluarga korban pelanggaran HAM terlebih lagi, memiliki hak konstitusional untuk menuntut tanggung jawab Negara, khususnya Presiden sebagai kepala pemerintah, untuk memenuhi hak hak korban. Yang presiden perlu ketahui juga, pemenuhan hak-hak korban adalah tanggung jawab dan kewajiban konstitusionalnya!

Setiap hari adalah Asyura, setiap Tempat adalah Karbala
Selama beberapa tahun terakhir, kami memang merasakan betapa pekerjaan-pekerjaan penegakan HAM dan keadilan seolah menjadi “business as usual”, baik bagi organisasi-organisasi HAM, terlebih lagi bagi Negara.

Dalam situasi seperti hari ini, terutama ketika Negara tidak hanya abai, tetapi khianat terhadap kewajiban konstitusionalnya, sudah sepatutnya organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih luas perlu melakukan refleksi, apakah sudah tepat menganggap kerja-kerja untuk keadilan sebagai business as usual. Penting rasanya bagi kita untuk mengingat referensi-referensi sejarah sebagaimana sering terdengar dalam slogan-slogan pergerakan yang bisa menggetarkan denyut jantung. Kita tentu masih ingat dengan slogan “Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala”, yang mengacu pada pertempuran antara Yazid bin Muawiyah melawan Imam Hussain pada tanggal 10 Asyura 61 Hijriyah di Karbala, Irak. Peristiwa ini mengandung pesan perlunya perlunya pengorbanan dan kerja sangat keras untuk memperjuangkan kebaikan, kebenaran dan keadilan.

Semoga kita semua tetap memiliki semangat dan kegigihan dalam kerja-kerja untuk keadilan, kebenaran, demokrasi, kebebasan, keberagaman dan perdamaian.

Selamat ulang tahun ke-12 IKOHI. Selamat berjuang korban pelanggaran HAM di Indonesia!

Mugiyanto

Sunday, October 03, 2010

Indonesia signs the UN Convention on Enforced Disappearances




After long campaign and advocacy works by the victims and their families, supported by human rights activists and networks, national and international including AFAD, FEDEFAM and the international coalition ICAED, Indonesia finally signs the UN Convention on Enforced Disappearances on September 27, 2010.

The signing was done at the same time when the families and victims set up a "tent of concerns" in front of Presidential Palace in Jakarta, Indonesia. The victims urge the President to implement the recommendations of the Parliament issued in September 2009 in order to resolve the cases of disappearances in 1997-1998. The recommendations of the parliament to the president include; the establishment of the ad hoc human rights court, the seeking of the 13 still missing activists, the fulfillment of victims rights to compensation and rehabilitation, and the ratification of the UN Convention on Enforced Disappearances.

Now there are still more efforts to be undertaken by the civil society organizations, from the ratification and 3 others points of recommendations.

However, we appreciate the government and tremendously thank all friends and networks for their continous supports to our struggle in Indonesia.

Wednesday, September 22, 2010

Hari Penghilangan Paksa Internasional dan Wiji Thukul


Penghilangan Paksa masih Terjadi Saat Ini
Tuesday, 31 August 2010 10:02 Mulyani Hasan
E-mail Print PDF


Memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, Senin, 30 Agustus 2010, berikut petikan wawancara saya dengan Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang sekaligus ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD). Menurut Mugiyanto, Aceh dan Papua merupakan daerah yang rawan terjadi penghilangan paksa hingga saat ini. Namun, pendokumentasian yang dilakukan oleh para aktivis organisasi hak asasi manusia masih minim di daerah-daerah itu. Penanganan kasus terorisme juga menjadi perhatian Mugiyanto dalam konteks hak asasi manusia. Simak wawancara selengkapnya.


Bagaimana perkembangan kasus penghilangan paksa sampai saat ini?
secara hukum maupun secara politik.


Perkembangan hukum dan politik untuk kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998 bisa dikatakan tidak cukup berarti, terutama karena perkembangan yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya keinginan politik yang baik untuk menyelesaikan kasus. Perkembangan yang lambat itu terjadi atau dibuat supaya kelihatan oleh masyarakat bahwa ada itikad baik dari pemerintah. Saya mengatakan demikian, karena saya tidak melihat sebaliknya. Padahal sudah ada rekomendasi yang cukup komprehensif dari DPR Bulan September tahun 2009 lalu, dimana tinggal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalankannya. Sebagai pengingat, pada bulan September 2009, DPR RI mengeluarkan 4 (empat) rekomendasi kepada Presiden RI terkait kasus ini. Rekomendasi itu antara lain: 1) Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad-hoc; 2) Merekomendasikan Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang; 3) Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; 4) Merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia.

Secara politis, apa yang sudah dilakukan organisasi-organisasi yg konsern terhadap isu HAM khususnya IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang) dalam hal ini?

Sejak didirikan tahun 1998, IKOHI menjadikan penyelesaian yang menyeluruh dan berkeadilan atas kasus ini menjadi prioritas utama, karena para keluarga korban dari kasus penghilangan paksa aktivis inilah yang pada awalnya mendirikan IKOHI. Berbagai upaya yang kita telah lakukan di antaranya adalah dengan terus menerus memberikan desakan politik kepada presiden sebagai kepala pemerintahan yang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi, memenuhi dan menegakan hak asasi manusia. Penyadaran publik tentang pentingnya menangani pelanggaran HAM masa lalu sebagai tugas sejarah setiap pemerintahan paska otoritarian juga kami lakukan, dengan harapan masyarakat luas bisa menjadi bagian dalam gerakan hak asasi manusia.

Untuk dua tujuan di atas, strategi yang selama ini dilakukan oleh IKOHI adalah pengorganisasian dan penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Kami percaya, bahwa hanya ketika korban pelanggaran HAM, baik itu yang ada di wilayah hak sipil dan politik, maupun di wilayah hak ekonomi, sosial dan budaya kuat, maka tujuan perjuangan untuk keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan perdamaian bisa dicapai. Pengorganisasian dan penguatan korban pelanggaran HAM kami yakini penting, karena pengalaman empiris kami mengajarkan bahwa hanya dengan cara demikian korban pelanggaran HAM memiliki kekuatan signifikan untuk memberikan desakan-desakan politik kepada siapapun yang berkuasa.

Apa prioritas yang dilakukan IKOHI terhadap keluarga korban?


IKOHI didirikan untuk menjadi wadah bagi para korban. Dari sini, sejak Kongres Pertama tahun 2002, bahkan sampai saat ini, prioritas IKOHI adalah pekerjaan penguatan korban dan keluarga korban, serta organisasi tempat mereka berhimpun. Penguatan yang kami maksudkan di sini adalah dalam pengertian yang luas, yang mencakup unsur-unsur penguatan dan pemberdayaan potensi ekonomi, sosial, politik, termasuk penguatan psikologis. IKOHI selalu berusaha untuk bisa bersama-sama korban menjawab kebutuhan-kebutuhan jangka panjang seperti keadilan, kebenaran, penegakan hukum dan sebagainya, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan mendesak yang berhubungan dengan pemberdayaan ekonomi. Pemiskinan terhadap korban karena dampak stigmatisasi, diskriminasi dan marginalisasi telah menyebabkan korban menjadi masyarakat yang oleh negara dikerdilkan. Disinilah IKOHI berusaha untuk memberikan kontribusi dengan kegiatan-kegiatan kecil seperti pendirian koperasi, membuka akses pendidikan dan kesehatan murah atau gratis untuk para korban dan sebagainya. Realita bahwa korban masih banyak yang mengalami trauma akibat kekerasan masa lalu juga sedikit demi sedikit coba dijawab oleh IKOHI dengan menyediakan layanan konseling psikologis. Secara singkat, dari aspek penguatan dan pemberdayaan korban, IKOHI bertujuan mentransformasikan korban, sebagai elemen masyarakat yang nampaknya powerless, tidak berdaya, menjadi survivor atau penyintas. Lebih dari itu, dalam konteks perjuangan HAM, kita bertujuan menjadikan para korban untuk menjadi human rights defenders atau pembela HAM.

Sementara itu, dari aspek advokasi kebijakan untuk keadilan, IKOHI memprioritaskan pada dipenuhinya hak-hak korban atas keadilan dan kebenaran, yang turunannya adalah agar ada pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi pada masa lalu, pengakuan, pertanggungjawaban hukum, permintaan maaf, dan komitmen bersama untuk membangun semangat agar negara tidak mengulangi berbagai pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan seperti pada masa lalu.

Bagaimana perbandingan proses penyelesaian kasus-kasus penghilangan
paksa yang terjadi di Indonesia dengan negara lain?


Cara berbagai negara menangani kasus penghilangan paksa memang bermacam-macam. Ada negara yang masih abai, ada yang menanganinya secara setengah-setengah dan normatif, yang karenanya tidak memberikan keadilan pada korban, dan ada juga yang cukup serius. Dengan perspektif yang positif, cara pemerintah Indonesia menangani kasus penghilangan paksa (tahun 1997-1998) saya kategorikan sebagai cara ke 2. Cara ini dilakukan karena perang melawan impunitas yang bahkan telah dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa belum direalisasikan oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itulah, kalau pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar mau menunjukkan dirinya sebagai pemerintah yang berbeda dengan Orde Baru, tunjukkan lah. Dan kerjakan itu rekomendasi DPR.

Argentina telah memberi kita contoh yang baik, mengenai bagaimana mengelola warisan (legacy) praktik penghilangan paksa di masa lalu, sebagaimana dilakukan oleh presiden demokratis pertama tahun 1983 Raul Alfonsin, dengan membentuk Komisi Penghilangan Paksa (CONADEP) untuk menyelidiki praktik penghilangan paksa oleh Junta Militer Argentina dari tahun 1976 - 1983. Hasil penyelidikan CONADEP yang berjudul “Nunca Mas” atau “Jangan Terjadi Lagi” berhasil mengungkap konteks dan latar belakan politik, korban, pelaku, tempat dan metode penyiksaan dan penghilangan, peristiwa dan pola-pola lain. Dari sana proses kebenaran terjadi, yang lalu lanjutkan dengan proses pertanggungjawaban hokum dalam bentuk pengadilan-pengadilan bagi pemimpin junta dan pemenuhan hak-hak korban atas kompensasi, rehabilitasi, restitusi dan lain-lain. Tentu saja proses-proses itu tidak mulus, karena pada kenyataannya sempat diberikan amnesty umum untuk para pelaku, tetapi oleh pemerintahan yang pro hak asasi manusia, proses hukum dijalankan lagi, sampai saat ini.

Nah dengan perbandingan ini, proses di Indonesia masih berada di belakang. Namun, sangat besar peluang Indonesia mempercepat proses dan kalau ini terjadi Indonesia akan bias menjadi contoh bagi negara lain, terutama yang di Asia seperti bagi Sriilangka, Pakistan, India, Thailand dan Philipina.

Dalam konteks kehidupan sosial dan politik saat ini, masihkah terjadi penghiangan paksa?

Sayangnya jawabannya adalah MASIH. Cuma, yang menjadi tantangan setiap organisasi HAM adalah pendokumentasian, dan sejauh mana kita bisa mendapatkan akses informasi dan kedatangan ke daerah-daerah tersebut, karena alasan keamanan atau minimnya infrastruktur. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang dikhawatirkan masih menjadi tempat penghilangan paksa.

Selain itu, kalau kita mengacu pada definisi penghilangan paksa sebagaimana disebutkan pada Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa), maka dalam konteks perang melawan terorisme, aparat negara telah melakukan praktik penghilangan paksa.

Soal Wiji Thukul, adakah informasi terbaru seputar fakta hilangnya Wiji Thukul?


Sampai detik ini, setidaknya 12 tahun setelah Wiji Thukul dinyatakan menjadi korban penghilangan paksa, kami tidak mendapatkan informasi apapun. Rumor tentu saja banyak berseliweran, tetapi selama tidak terverifikasi, dan ia tidak berasal dari otoritas resmi pemerintah, kita tidak terlalu menanggapi. Dalam situasi tertentu, rumor-rumor ini justru semakin menambah penderitaan keluarga korban yang masih pada perjuangan dan penantian mereka.

Di antara korban lain, mengapa Wiji Thukul yang sepertinya dijadikan ikon penghilangan paksa? Seperti acara-acara yang berkaitan dengan ulang tahun Wiji Thukul.


Wiji Thukul menurut saya merupakan salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, yang karenanya oleh rejim otoriter ia dikorbankan. Ia kemudian menjadi martir bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Kontribusinya terhadap gerakan demokrasi dan hak asasi manusia serta rule of law, dan lebih dari itu bagi sastra dan kebudayaan Indonesia, telah menjadikannya melampaui sekat-sekat sektoral kehidupan masyarakat. Karya-karyanya yang meliputi antara lain teater dan puisi telah menjadi inspirasi suara kritis yang menginginkan terwujudnya keadilan, kebenaran, kebebasan dan perdamaian di Indonesia. Hal yang sama sebenarnya ada pada diri masing-masing korban penghilangan paksa seperti Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat dan lain-lain, tentu pada bidang yang berbeda beda sebagai sesama aktifvs pro demokrasi.

Namun mungkin ia nampaknya mendapatkan perhatian lebih pada hari-hari ini, karena kita sedang memperingati Hari Penghilangan Paksa Internasional setiap tanggal 30 Agustus, dan salah satu korban yang sampai sekarang masih hilang adalah Wiji Thukul, yang kebetulan berulang tahun pada tanggal 26 Agustus.

Tapi siapa yang tidak mengenal Wiji Thukul sebagai sastrawan rakyat dan korban penghilangan paksa kalau kita membaca sajak “Peringatan” yang memiliki satu kalimat singkat penuh magis, “Hanya ada satu kata, Lawan!”

Juga satu bait puisinya yang berjudul “Catatan” sebagai berikut,

“Aku pasti pulang// mungkin tengah malam dini// mungkin subuh hari// Pasti// dan mungkin// tapi jangan kautunggu…”

Sumber: http://www.indoprogress.com/index.php?option=com_content&view=article&id=513:penghilangan-paksa-masih-terjadi-saat-ini&catid=110:hak-asasi-manusia&Itemid=564

Tuesday, September 07, 2010

Justice Delayed is Justice Denied


Statement on the 6th Anniversary of Munir’s Murder
7 September 2010

Justice Delayed is Justice Denied


The six-year delay in rendering justice for the murder of Indonesia's then leading human rights defender, Munir Said Thalib is nothing short of a denial of justice. It is but a shame for a state which tries to project itself before the international community as a country ruled by law, committed to the protection and respect of human rights and in transition to democracy. While the direct perpetrator has been found guilty and now imprisoned, those who plotted and ordered Munir’s murder remain free and unaccountable. This case hereby makes the long and highly politicized judicial process a mockery of justice as it reflects the pervasive climate of impunity for human rights violations.

Munir’s murder by arsenic poisoning on Garuda flight 974 from Jakarta to Amsterdam via Singapore has brutally deprived the international human rights community of his brilliance and commitment.

Moreover, it also creates a chilling atmosphere aimed at stifling dissent and preventing genuine reforms of a system that perpetuates impunity to those, especially in the security forces, guilty of human rights violations including torture, murder, enforced disappearances, etc. Worse still, the Indonesian legal system is now being manipulated to intimidate human rights advocates such as the case of Mr. Usman Hamid, Coordinator of the Commission for Disappeared and Victims of Violence (KontraS), who is charged of criminal defamation for testifying against Ret. Gen. Muchdi Purwopranjono, former Chief of National Intelligence Agency (BIN) in Munir’s murder case.

This proves that impunity begets even more wickedness. It does not only allow the perpetrators of human rights violations to escape prosecution and accountability but it also provides them with the legal weapon to strip the human rights defenders of the legitimacy of their cause.

The unresolved murder of Munir raises public concerns about the Indonesian government’s human rights position. President Susilo Bambang Yudhoyono, who promised in his first term of office in 2007 to put Munir’s murder case at the top of his agenda, did little, if at all, to ferret out the truth and to equally apply the rule of law by bringing those responsible, including the mastermind, to justice. For this reason, human rights activists and families of victims of human rights violations persistently rally outside the Parliament in Jakarta every Thursday to demand that Pres. Yudhoyono fulfills his promise.

After his re-election in October 2009, any little hope for the final resolution of Munir’s murder seems to vanish into thin air. The Indonesian government has never shown serious efforts to take necessary steps to resolve other past human rights cases particularly in accounting for persons who disappeared and in prosecuting those responsible. This is so despite the recommendations of the then Special Committee of the Indonesian Parliament for the President to establish an ad hoc Human Rights Court in relation to the disappeared students of 1997-1998; to take appropriate steps to immediately locate the whereabouts of the 13 students cited as still missing by Komnas HAM; to facilitate the rehabilitation and satisfactory compensation to victims and/or the families of the disappeared; and to immediately ratify the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances.

The fact that Munir’s murder involved agents of the state, the Indonesian government can never elude responsibility. It is an inherent obligation of the state not to guarantee and protect people’s civil liberties and fundamental freedom. Any efforts towards Indonesia’s democratization are rendered meaningless and sheer pretense unless a successful resolution of the Munir case is made. Such a resolution will require the full support of Indonesian government in the continuing struggle of victims and their families for truth, justice and redress.

On the 6th anniversary of the murder of our former Chairperson, we reverberate our deafening cry:
Justice for Munir! Justice for All!


Signed and authenticated by:


MUGIYANTO MARY AILEEN BACALSO
Chairperson Secretary-General

Monday, September 06, 2010

Families fight against ‘politics of amnesia’


The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 09/01/2010 8:50 AM | National
A | A | A |

Far from the glamor connected to international commemorations, families of victims of forced disappearances and gross human rights violations gathered to mark the International Day of Forced Disappearances on Aug. 30 with the resolute reminder that they refuse to have their history swept under the carpet by government inaction.

Yati Andriyani, an activist from the Commission for Disappearances and Victims of Violence (Kontras), said President Susilo Bambang Yudhoyono had employed “politics of amnesia” to avoid taking action against gross human rights violations committed in the past.

The President has not yet implemented four recommendations made by the House of Representatives in September 2009 regarding the forced disappearance of 13 activists and other people during the period before the House’s historic 1998 plenary assembly.

“This is done by discreetly refusing to follow up on investigation findings collected by the National Commission on Human Rights,” Yati said, adding the commission had concluded investigations on several human right violations such as the 1998 Semanggi and Trisakti tragedies, and the May 1998 riots.

The commission concluded the cases, including the forced disappearance of the 13, as gross human rights violation.

The House, she added, had not yet fulfilled their mandate by recommending the formation of an ad hoc human rights court for all cases investigated by the commission, besides the one for the kidnapping and forced disappearances of the 13.

The President has also not yet enacted recommendations regarding the forced disappearances and coordinate the work between the Attorney General’s Office and the human rights commission in solving all cases, she said. “These are outcomes of the politics of amnesia,” she told The Jakarta Post.

Mugiyanto, an activist from the Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI), further added that the scrapping of the 2004 Truth and Reconciliation Commission Law “expressed the President’s political view of shunning past cases”.

The Constitutional Court ruled the law unconstitutional in 2006, therefore disbanding the commission. Mugiyanto added the court had recommended the drafting of a new truth and reconciliation law, which the government has not yet acted on.

“This shows the government’s feeble political will in acting on past cases of human rights violations,” he told the Post.

The offering of compensation to victims and families of human rights violations and forced disappearances devoid of initiative to unveil the truth, he added, acted as a “negative shortcut”.

“They don’t want to be accountable by saying that it would set off political mayhem,” he said.

Justice and Human Rights Minister Patrialis Akbar previously said the government was focusing more on providing compensation to the victims of the May 1998 riots, rather than finding the perpetrators.

At least 1,200 people died amid widespread looting and arson in the racially spurred May riots.

According to Mugiyanto, public pressure to deal with the cases was needless if the government truly placed value on human rights.

“The state must be responsible in safeguarding and enforcing human rights,” he said, adding that the responsibility was part of the Constitution. (gzl)

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/01/families-fight-against-%E2%80%98politics-amnesia%E2%80%99.html

Sunday, August 29, 2010

Families of the missing wait for the President


Families of the missing wait for the President
The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 08/27/2010 10:11 AM | National
A | A | A |

Resolution of the government’s alleged forced disappearances of its opponents before reform is not about concluding a bitter chapter of history — but about ensuring a just and humane future, say activists.

“It’s about how the future Indonesia will be and where it will go,” said Yetti, an activist with the Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI).

Yetti’s politically active father, Bachtiar, was allegedly abducted and shot dead by soldiers along with other activists in Tanjung Priok in 1984 during president Soeharto’s regime.

Forced disappearances have emerged as an issue several times, such as in the 1997 election and in a 1998 plenary meeting at the People’s Consultative Assembly (MPR).

The House of Representatives (DPR) issued four recommendations in 2009, after the release of the National Human Rights Commission’s (Komnas HAM) report on the forced disappearances of 13 activists and ordinary citizens during the tumultous years of 1997 and 1998.

The President, to whom the recommendations were directed, has yet to enact the recommendations.

The House proposed forming an ad hoc human rights court, discovering the whereabouts of the 13 people, rehabilitating and compensating the families of the disappeared and starting ratification of the International Convention on Forced Disappearances.

“If those four recommendations were followed through by the government, then Indonesia could probably experience true freedom and prove its genuine concern, which is what we have always hoped for,” Yetti said.

Another IKOHI activist, Mugiyanto, said that families had problems because of their disappeared relatives ambiguous legal status. Families of the disappeared hold neither death certificates nor proof that they live, he said.

Providing a formal status determination will allow families to claim rehabilitation, compensation and repatriation if the government follows the House’s recommendations, he added.

“One of the most brutal consequences of forced disappearances is that it transforms human existence into non-existence,” he said.

“This is what makes forced disappearances a perfect crime in the context of a court of law, since the person can’t be present,” Mugiyanto added.

Nur Hasanah, whose son 22-year-old son Yadin Muhidin, disappeared after he witnessed looting and burning sprees during the May 1998 riots, said that her neighborhood unit chief unilaterally decided to remove her son’s name from the family’s card. “The chief told me that my son was no more,” she said. “I told him that he was still around and will come home later.”

Knowing if her son was dead or alive would give the family closure, she said. “My heart hurts. To this moment, I can’t forget my son,” she said. “I need to know if he is still alive, and if he is dead, where was he buried.”

Mugiyanto said that families must receive certainty on the true status of the disappeared to give them a sense of peace.

“These families have a right to know the truth and it is the state’s responsibility to provide the truth on whatever their condition may be,” he said.

He added that similar incidents would continue to happen if no punitive action were taken against previous ones.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/08/27/families-missing-wait-president.html

Thursday, August 12, 2010

Publikasi Ulang


Mencontoh Argentina Menangani Masa Lalu
Mugiyanto[1]

"As the President of Argentina I have no fear, I don't fear you,"
Ucapan Presiden Argentina Nestor Kirchner kepada anggota militer yang membangkang pada upacara peringatan Hari Angkatan Darat, 29 Mei 2006


Dalam sepekan terakhir, perhatian kita banyak tertuju pada perkembangan politik di Argentina, terutama karena adanya pemilu yang akhirnya dimenangi Cristina Hernandez Kirchner, yang kebetulan adalah istri Presiden Argentina saat ini, Nestor Kirchner.

Cristina memenangi pemilu bukan hanya karena ia seorang negarawan nan rupawan dan cerdas, tapi karena ia menjanjikan kebijakan yang berpihak pada kaum papa Argentina, sebagaimana selama ini telah dibuktikan oleh sang suami Presiden Kirchner. Salah satu langkah radikal yang telah diambil oleh Presiden Kichner adalah untuk melepaskan ketergantungan Negara pada lembaga keuangan internasional, IMF.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengupas presiden terpilih Cristina Kircher, ataupun keberhasilan Argentina membangun kebangkitan ekonomi paska krisis 2001 dengan cara melepaskan ketergantungan pada IMF. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat aspek lain “keberhasilan” Argentina, yaitu dalam mengelola masa lalu yang hitam yang terjadi pada masa kediktatoran Junta Militer 1976 – 1983.

Pada periode tersebut pelanggaran HAM terjadi sangat masif. Laporan Komisi Penyelidik Nasional untuk Penghilangan Paksa (CONADEP) tahun 1984 mencatat adanya 8.960 korban penghilangan orang secara paksa (orang hilang) dan 340 tempat penahanan dan penyiksaan rahasia. Bahkan organisasi-organisasi HAM di sana mencatat korban orang hilang mencapai 30.000 orang.

Sebelum dihilangkan, para korban terlebih dulu diculik, ditahan, disiksa lalu dihilangkan oleh alat-alat represi Junta Militer yang disebut “death squads” atas nama doktrin keamanan nasional. Sebagian diantaranya dibuang hidup-hidup di Samudera Atlantik dengan pesawat (death flights). Pimpinan Junta, Jenderal Videla mengatakan pada waktu itu, “Berapapun banyaknya orang harus mati, demi keamanan negeri ini”.

Menghapuskan Impunitas
Presiden sipil baru paska Junta Militer, Raul Alfonsin pada tahun 1983 membentuk sebuah komisi nasional untuk menyelidiki kasus penghilangan paksa yang terjadi pada masa periode kediktatoran Junta Militer 1976 – 1983. Pada November 1984, komisi penyelidik ini mempublikasikan hasilnya yang diberi judul Nunca Mas, yang berarti Jangan Terjadi Lagi. Laporan yang dalam pengantar salah satu edisinya disebut sebagai ‘laporan dari neraka’ ini membuat panik para pimpinan Junta dan para militer pendukungnya. Mereka semua membantah dan menolak untuk dimintai pertanggungjawaban.

Bukan hanya itu, merekapun mengancam untuk melakukan pemberontakan bila mereka dibawa ke pengadilan. Akhirnya pada tahun 1986 dan 1987 Presiden Raul Alfonsin mengeluarkan 2 undang-undang amnesti yang disebut La Ley de Punto Final (The Full Stop Law) dan La Ley de Obediencia Debida (The Law of Due Obedience). Dua undang-undang ini menjadi antiklimaks atas proses pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM yang sebenarnya sudah dimulai dengan penyelidikan oleh CONADEP. Yang lebih buruk lagi, presiden baru Carlos Menem memberikan amnesti kepada pejabat militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa kediktatoran.

Sebagaimana alur sejarah, politik Argentina juga bergerak maju. Hampir 20 tahun kemudian, pemimpin-pemimpin konservatif yang abai dan ingkar demokrasi dan HAM tidak banyak mendapat tempat. Pemerintahan Kirchner melakukan gebrakan radikal dalam bidang HAM ketika pada bulan Juni 2005 Mahkamah Agung Argentina menganulir dua undang-undang amnesti 1986 dan 1987 itu karena dianggap inkonstitusional. Selanjutnya proses pengadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada masa 7 tahun kediktatoran bisa dimulai lagi.

Hingga saat ini, FEDEFAM, Federasi Organisasi Keluarga Korban Penghilangan Paksa di Amerika Latin mencatat sekitar 160 anggota militer sudah diadili, 4 diantaranya berpangkat Jenderal. Selanjutnya sekitar 250 anggota militer yang lain masih menunggu pengadilan.

Perhatian pada korban
Usaha penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu seringkali mengabaikan kepentingan korban dan keluarganya. Penanganan kasus pelanggaran HAM biasanya dianggap usai ketika pengadilan telah digelar atau sedikit kebenaran telah terungkap, walaupun hanya di tataran formal. “Keadilan formal” seperti ini sering berakhir pada penelantaran korban dan keluarganya.

Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat fenomena ini pada proses penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi Timor Leste dan Tanjung Priok 1984. Walaupun pengadilan HAM ad hoc telah digelar di Jakarta dan Komisi Kebenaran dan Penerimaan (CAVR) juga telah diselesaikan di Timor Leste, korban masih belum mendapatkan hak-hak pemulihan (rights to reparations) yang layak.

Hal yang sama terjadi pada korban dan keluarga korban Tanjung Priok 1984 yang sudah diselesaikan di pengadilan HAM ad hoc. Perjuangan korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi (hak-hak pemulihan) kandas, begitu Mahkamah Agung memutus bebas semua terdakwa. Pelanggaran HAM dianggap tidak ada, dan karenanya keberadaan korban tidak diakui.

Argentina memilih jalan berbeda dalam mengelola sejarah hitam masa lalu. Selain dengan mengungkap kebenaran melalui CONADEP, pemerintah Argentina saat ini juga mengambil jalan pengadilan bagi mereka yang terlibat dan bertanggung jawab dalam serangkaian tindakan penculikan, penyiksaan dan penghilangan orang pada masa kediktatoran.

Tidak hanya itu, Argentina juga mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam bentuk undang-undang untuk merestorasi korban dan keluarga yang ditinggalkannya. Undang-undang yang telah dikeluarkan sekitar 12 tahun yang lalu ini mengatur status sipil korban penghilangan paksa (Civil Status Law) dan kompensasi (Special Benefit Law). Melalui dua undang-undang ini, keluarga korban bisa mendapatkan hak-hak kompensasi dari Negara sebesar kira-kita 100 dollar Amerika perbulan selama 20 tahun yang diambil dari kas Negara (state bond).

Untuk hal-hal yang berhubungan dengan administrasi kewarganegaraan sehari-hari, mereka yang hilang bisa mendapatkan status absence due to enforced disappearances atau absence on presumption of death setelah dilakukan verifikasi oleh lembaga resmi Negara. Status demikian memudahkan anggota keluarga bisa melakukan kepengurusan warisan, transaksi bisnis, hak pensiun, hak milik dan sebagainya. Status absence due to enforced disappearances mensyaratkan Negara untuk terus berusaha melakukan penyelidikan (criminal investigation) bagi yang bersangkutan.

Argentina bukan Negara maju dengan catatan HAM yang sangat mengagumkan. Tetapi Argentina telah menunjukkan kemampuannya untuk bangkit dari kebangkrutan ekonomi yang sempat memporakporandakan segala sendi kehidupan rakyatnya pada tahun 2001 dengan mengatakan ‘tidak’ pada resep IMF. Argentina juga telah menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kedewasaannya dalam mengelola sejarah hitam masa lalunya dengan baik, dengan membentuk komisi kebenaran, pengadilan dan pemenuhan hak-hak korban. Argentina telah berusaha untuk benar-benar mengatakan tidak pada kesalahan dan sejarah hitam masa lalu dengan satu semboyan; Nunca Mas!, Jangan terulang lagi!

[1] Penulis adalah ketua IKOHI dan Asian Federation Against Involuntary Disappearances - AFAD

Keterangan: dipublikasi ulang dari blogspot ikohi (www.ikohi.blogspot.com)

Tuesday, August 03, 2010

The US, Indonesian Kopassus and West Papua


US-Jakarta ties 'threat to Papua'

Around 200 people raised the Morning Star flag in Indonesia's Papua province in December 2001, in a symbolic move to mark the Papuan independence campaign that has been pursued since 1962.

Filep Karma was arrested at that ceremony and jailed 15 years for flying the outlawed Papua flag.

And he warns, in a secretly recorded interview with Al Jazeera, that the decision to renew military co-operation between the US and Indonesia could have dangerous consequences for the Papuan people.

Step Vaessen reports.

See: http://english.aljazeera.net/video/asia-pacific/2010/07/201073124515884622.html

Thursday, May 20, 2010

Keluarga Orang Hilang Tolak Lowongan Kerja - Tawaran memberi keluarga korban hilang pekerjaan dinilai membodohi.




VIVAnews - Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menolak tawaran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar yang akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi keluarga korban penghilangan paksa. Tawaran itu dinilai membodohi keluarga korban.

Ketua IKOHI, Mugiyanto, melihat tawaran itu sebagai salah satu cara untuk meredam tuntutan keluarga korban atas pertanggung jawaban pemerintah. "Tuntutan soal kejelasan nasib korban malah tidak dijawab," katanya saat berbincang dengan VIVAnews, Rabu, 19 Mei 2010.

Menurutnya, tawaran itu tidak menjawab desakan korban yang menghendaki penyelesaian kasus. Ada sesuatu yang tidak sinkron. Ia khawatir jika tawaran itu diterima akan memberi dampak buruk di masa depan. "Ini seperti anakmu kubunuh maka kukasih duit," ujarnya.

Ia berharap, pemerintah masih memiliki niat baik menyelesaikan kasus penghilangan orang dengan paksa melalui kebijakan politik. Penyelesaian kasus itu, kata Mugiyanto, tidak bisa dilakukan dilakukan secara spontan, atau instan seperti tawaran Patrialis Akbar.

Ia sangat ingin pemerintah mengambil tindakan menjelaskan nasib dan keberadaan 13 aktivis yang hilang saat kerusuhan tahun 1997-1998. "Bisa mulai dengan membentuk tim verifikasi misalnya, karena kan banyak dokumen," ujarnya.

Apalagi, kata Mugiyanto, 13 orang hilang itu telah ditegaskan oleh Komnas HAM dan DPR sebagai korban penghilangan paksa pada periode tahun 1997-1998.

Karena itulah, Ikohi mendesak Presiden SBY agar memberikan hak atas pemulihan korban. "Hak itu mencakup hak atas mengetahui kebenaran, restitusi, rehabilitasi dan kompensasi," ujar Mugiyanto. Semua hak itu, kata dia diatur dalam hukum HAM internasional dan peraturan perundangan Republik Indonesia.

Lebih jauh, negara punya tanggung jawab atau tugas memenuhi hak korban itu. "Jadi, pemenuhan hak itu bukanlah sukarela atau kemurahan hati Menkumham," Mugiyanto menambahkan.

Beberapa waktu lalu, Menteri Patrialis Akbar mengatakan siap memberikan pekerjaan bagi keluarga korban penghilangan paksa di kantor kementriannya.

Tawaran itu sebagai bentuk kompensasi kepada keluarga korban dan menghindari kegaduhan. "Kita memberi persetujuan terhadap kemungkinan untuk kompensasi keluarga korban, misalnya kesempatan seluas-luasnya bagi keluarga korban untuk bekerja." (np)
• VIVAnews

Friday, March 05, 2010

SBY Belum Serius Tangani Pelanggaran HAM

Presiden SBY nampaknya belum serius menangani isyu-isyu pelanggaran HAM. SBY belum serius menjadikan isyu tersebut sebagai agenda kebijakannya.

SBY hanya menggunakan isyu-isyu pelanggaran HAM dalam tataran jargon-jargon, janji-janji tetapi belum dalam tataran implementasi. Jangan-jangan SBY enggan menindak perwira-perwira tinggi seperti Jendral Wiranto dan Prabowo yang kini terjun ke politik.

Demikian Mugiyanto ketua IKOHI yang memimpin aksi di Markas Kopasus Cijantung untuk merespon kelambatan pemerintah mengimplementasi 4 rekomendasi DPR September 2009, untuk terus melacak orang-orang yang hilang periode '78 - '79.

Polda Metro Jaya
Mugiyanto (M): Hari ini kami Keluarga Korban Penghilangan Paksa bersama dengan aktivis HAM di Jakarta dan Keluarga Korban yang datang dari daerah, mengadakan aksi ke Polda Metro Jaya di Jakarta. Aksi tadi pagi adalah rangkaian dari kegiatan kampanye dan advokasi yang akan kita lakukan sampai besok malam.

Ada tiga tempat yang kita jadikan sasaran untuk melakukan aksi. Yang pertama adalah Polda Metro Jaya karena di Polda Metro Jaya pada tahun 1998 setidaknya ada lima aktivis yang pernah ditahan di sana. Dan salah satunya adalah saya, Mugianto. Dan kemudian Aan Lutfianto, Nizar Patria dan Andi Arief. Kami ber-empat pernah ditahan di Polda Metro Jaya tetapi kemudian dilepaskan karena ada perubahan rejim ketika Habibie menggantikan Soeharto. Habibie kemudian mencabut UU anti-subversi yang membebaskan kami.

Tetapi sebetulnya ada satu orang juga yang saat itu sempat berada di Polda Metro Jaya. Ini berdasarkan kesaksian dari almarhum Munir yang melihat Herman Hendrawan, salah satu dari 13 korban yang masih hilang. Tetapi sejak saat itu Herman Hendrawan tidak ada. Kita minta kepada Polda Metro Jaya untuk menjelaskan kepada kami di mana sebetulnya Herman Hendrawan yang 12 tahun lalu berada di Polda Metro Jaya. Sampai hari ini kita tidak mendapat informasi sama sekali.

Sebetulnya tidak hanya mengenai Herman Hendrawan tetapi juga terhadap 12 aktivis lain yang masih hilang dari total 13. Kami sudah melaporkan peristiwa "Penghilangan Orang" ini sejak tahun 1998.

Radio Nederland (RN): Bung Mugiyanto, anda minta kejelasan dari Polda Metro Jaya mengenai nasib orang-orang yang hilang. Bukankah Presiden SBY pernah menjanjikan akan mengklarifikasi orang-orang hilang ini ?

Rekomendasi DPR
M: Betul. Sebetulnya tanggung-jawab tertinggi ada di Presiden SBY, karena sudah ada rekomendasi dari DPR periode lalu, yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 2009. Yang secara spesifik terdiri dari 4 butir. Rekomendasi nomor dua menyebutkan: bahwa Presiden SBY beserta institusi terkait harus terus mencari dan menemukan 13 orang yang masih hilang. Cuma kita semua tahu, Presiden SBY belum melakukan apa-apa.

Pesan yang juga kami sampaikan dengan aksi ke Polda Metro Jaya hari ini adalah juga untuk menunjukkan kepada SBY, tempat inilah, lembaga inilah di Polda Metro Jaya atau Lembaga Kepolisian inilah yang juga harus digerakkan oleh SBY. Dikerahkan untuk melakukan pencarian. Secara spesifik kami menyebutkan Polda Metro Jaya juga harus diperiksa.

RN: Tiga butir rekomendasi DPR yang lain itu apa saja?

M: Rekomenasi dari DPR-RI periode 2004-2009 yang menurut kami sangat komprehensif untuk menyelesaikan kasus "Penghilangan Paksa" atau "Penculikan Aktivis" tahun '97 - '98. Yang pertama ...

Klik tanda segitiga di bawah ini, untuk mengikuti wawancara selengkapnya:

http://www.rnw.nl/id/bahasa-indonesia/article/sby-belum-serius-tangani-pelanggaran-ham

Wednesday, January 27, 2010

Fighting Impunity in Nepal

Addressing impunity key to Nepali peace process: Experts KANTIPUR REPORT KATHMANDU, JAN 26 -

National and international experts on transitional justice have urged political parties to see the issue of addressing impunity as intrinsic to the peace process and to establish without delay the key instruments of transitional justice as proposed in the Comprehensive Peace Agreement.

Speaking at an interaction organised by Advocacy Forum in the Capital on Tuesday, they said political parties harbour the misconception that any effort to address impunity would be tantamount to disturbing the peace process and this has been contributing to frustration among victims of the decade-long war.

"Each stakeholder of peace should understand that without addressing the prevalent culture of impunity, peace cannot be institutionalised," said Chairman of Asian Federation of Involuntary Disappearances Mugiyanto. "We are here to support the victims of enforced disappearances and encourage the government to address their appeal for justice."

Mugiyanto said as most Asian countries lack instruments to deal with disappearances, Nepal has an opportunity to set an example in this regard.

Ratification of the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance would provide Nepal the framework to deal with cases of enforced disappearances that occurred during the decade-long war, said Professor Gabriela Citroni, one of the drafters of the Disappearance Convention. "Disappearance is a history of many unanswered questions, such as where, how, when, who was disappeared by whom."

Speaking at the same programme CPN-UML leader Pradip Gyawali said though the Constituent Assembly Committee on Fundamental Rights has successfully incorporated a provision on retroactive law that would provide constitutional validity to the instruments of transitional justice to be set up by the government, there were chances that other political parties may chop off the provision anytime. "Even during drafting of the Interim Constitution, UML was the only party that stood for keeping a provision on retroactive laws, the parties [Nepali Congress and UCPN (Maoist)] involved in the conflict agreed to remove it," said Gyawali, stressing that rights activists should stay alert this time around too.

Transitional justice instruments such as the proposed commissions on enforced disappearances and on truth and reconciliation will become unconstitutional if the CA fails to incorporate a provision in the new constitution allowing the government to enact laws that function retroactively. As per general principles of law, no government can enact laws to punish any past activity, which were not criminalised by the law of that time. However, this does not apply when it comes to dealing with past crimes such as enforced disappearances, which are listed as crimes under international human rights law. Since the proposed commissions, by nature, would function retroactively, a constitutional provision would be necessary to give them constitutional legitimacy.

Source: http://www.ekantipur.com/2010/01/26/top-stories/Addressing-impunity-key-to-Nepali-peace-process-Experts/307123/

Additional news on video: http://nnv.nepalnews.com/videoplay1.php?id=3426

Also can be seen here: http://www.kantipuronline.com/the-kathmandu-post/2010/01/26/Nation/Delivery-of-justice-provides-impetus-to-peace-process/4443/

Saturday, January 23, 2010

Haluan bernama Hukum Progresif


Primaironline.com - Dalam bentang akhir dan awal tahun lalu, setidaknya tercatat dua tokoh yang berperan besar dalam penegakan hukum dan keadilan, telah berpulang meninggalkan kita. Yang pertama adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan yang kedua adalah Prof. Satjipto Rahardjo, yang sering dipanggil Prof Tjip.

Semasa hidupnya, Gus Dur selalu istiqomah (konsisten) dalam membela kaum lemah dan minoritas serta memperjuangkan keadilan sosial (Andree Feillard; 1999). Demikian juga Prof Tjip, yang dengan latar akademis dan kepakarannya terus berjuang menegakkan hukum yang tujuan utamanya adalah keadilan.

Prof Tjip menyebutnya sebagai hukum progresif. Menurutnya, hukum tidak boleh menjadi tawanan sistem dan undang-undang. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.

Walaupun tidak mengenal mereka secara langsung, saya bermaksud memberikan penghargaan dan penghormatan atas kontribusi tindakan dan pemikiran almarhum berdua bagi penegakan keadilan dan hak asasi manusia.

Untuk itu saya mencoba memahami dan berusaha untuk turut memperjuangkan pemikiran dan teladan mereka dalam menempatkan dan melaksanakan hukum yang pada akhirnya bermanfaat bagi terwujudnya keadilan.

Secara sederhana saya menyebutnya sebagai hukum untuk keadilan, sebagai antitesa atas pandangan hukum normatif yang konvensional yang menempatkan hukum untuk hukum.

Kabar baiknya, pandangan hukum progresif itu juga telah diintrodusir dan dilaksanakan oleh Prof. Mahfud MD dan lembaga yang dipimpinnya, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam beberapa kesempatan, Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa MK tidak menegakkan hukum, tetapi menegakkan keadilan yang merupakan perpaduan antara akal sehat (common sense) dengan UU. Hanya dengan pandangan seperti itulah penegakan hukum akan memberikan keadilan pada masyarakat (keadilan substantif). Dan karenanya, hukum bisa dilanggar bila menutup jalan bagi tegaknya keadilan.

Hukum legal-formal
Saya menganggap bahwa bila pandangan hukum progresif dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, baik itu polisi, hakim maupun jaksa, karut marut dunia penegakan hukum di Indonesia akan bisa diatasi. Pemberantasan korupsi dan penegakan HAM yang kini sedang dijalankan oleh Pemerintah SBY akan sulit berhasil bila ditangani dengan pendekatan penegakan hukum yang formalis dan legalistis.

Dalam perseteruan antara KPK dan Kepolisian beberapa waktu yang lalu, yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, kelihatan sekali bagaimana pasal-pasal diotak-atik oleh penyidik supaya Bibit dan Chandra bisa ditahan.

Tapi sebaliknya untuk kasus Anggodo Widjojo yang diduga menyuap pimpinan KPK, perundang-undangan ditelan mentah-mentah oleh penyidik kepolisian, sehingga mereka menyimpulkan tidak ada bukti yang kuat untuk menahan Anggodo.

Cara kerja pihak kepolisian yang sangat legal-formal dan konvensional ini terbukti gagal melahirkan keadilan publik dan menyelesaikan masalah.

Demikian juga di bidang hak asasi manusia (HAM). Pandangan hukum legal-formal dan konvensional terbukti gagal digunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia. Penerapan hukum yang hanya didasarkan pada apa yang tertulis dalam undang-undang menjadikan Indonesia tidak bisa melangkah maju, karena pelanggaran berat HAM di masa lalu tak memungkinkan untuk disentuh.

Kalau kita tengok ke belakang, tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab utama dibebaskannya semua terdakwa pada Pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura adalah karena para hakim menerapkan pasal-pasal UU Pengadilan HAM secara kaku. Padahal, undang-undang tersebut memiliki banyak sekali kelemahan mendasar.

Hal yang sama dilakukan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji dan jajarannya yang sampai hari ini tidak mau melakukan penyidikan berkas-berkas penyelidikan untuk sedikitnya tujuh kasus dugaan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan oleh Komnas HAM.

Dalam banyak sekali kesempatan audiensi dengan komunitas korban, Kejaksaan Agung selalu mengatakan bahwa mereka belum bisa melakukan tindak lanjut (penyidikan) atas tujuh berkas kasus tersebut, karena belum ada Pengadilan HAM ad hoc dan alasan-alasan teknis prosedural lain yang menurut kami dibuat-buat (artifisial).

Bahkan, untuk kasus Penghilangan Paksa Aktivis tahun 1997-1998 yang sudah direkomendasikan oleh DPR agar Presiden mendirikan Pengadilan HAM ad hoc, Jaksa Agung masih mengeluarkan alasan baru: menunggu sikap Presiden.

Dari contoh-contoh di atas kelihatan sekali betapa para penegak hukum memandang hukum sebagai kitab suci yang kaku yang terlepas dari kondisi sosial dan politik. Padahal hukum dan undang-undang dibuat melalui sebuah proses politik pada konteks tertentu, yang sangat mungkin pada konteks dan jaman tertentu tidak sesuai lagi.

Pendekatan seperti inilah yang menyebabkan mandeknya berbagai proses hukum untuk kasus pelanggaran berat HAM, sehingga proses hukum berseberangan dengan akal sehat (common sense).

Walaupun sangat mungkin, para jaksa dan hakim mengambil sikap ini karena mereka memang tidak hendak mewujudkan keadilan, sebagaimana otoritas politik yang membawahi mereka memberikan arahan.

Hal ini sangat berseberangan dengan hukum progresif yang dikembangkan oleh Prof Tjip dan dilaksanakan oleh Mahfud MD, dimana hukum harus diperuntukkan untuk tujuan keadilan. Dan kalau hukum tidak memungkinkan terwujudnya keadilan, maka hukum bisa dilanggar.

Tantangan baru
Usaha menegakkan hukum dan keadilan di awal tahun 2010 ini nampaknya masih menghadapi tantangan sangat berat. Setelah dicederai oleh kasus perseteruan cicak dan buaya serta megaskandal Bank Century yang juga belum selesai, wajah hukum dan keadilan kini sedang ditampar lagi apa yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Pondok Bambu. Di LP ini narapidana kasus penyuapan dan narkotika seperti Artalyta Suryani (Ayin) dan Limarita (Aling) menikmati privilege, berupa berbagai fasilitas kenyamanan mewah seperti ruang karaoke, springbed, perlengkapan kecantikan pribadi, TV layar datar dan sebagainya.

Fakta yang ditemukan saat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY melakukan inspeksi mendadak itu menjadi bukti nyata betapa hukum bisa dibeli dan adanya diskriminasi terhadap para narapidana. Padahal, semua orang harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, juga secara tegas disebutkan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas (b) persamaan perlakuan dan pelayanan.

Dalam situasi inilah, yang bisa dimulai pada hari ke-100 masa pemerintahannya yang kedua, Pemerintahan SBY dituntut untuk menunjukkan bahwa Pemerintahan SBY jilid dua ini merupakan pemerintahan koreksi atas pemerintahan sebelumnya. Tiga pilar program yang dideklarasikan pada pidato pelantikannya di Gedung DPR/MPR RI yang meliputi peningkatan kesejahteraan rakyat (prosperity), penguatan demokrasi (democracy), dan penegakan keadilan (justice) ini tidak mungkin tercapai bila ia masih dan hanya berkutat pada politik pencitraan.

Sudah waktunya Pemerintah SBY melakukan pergantian (shift) ke politik substantif, ketika prosperity, democracy dan justice tidak hanya diksi-diksi tak bermakna. Mereka harus diejawantahkan menjadi kenyataan yang bisa dilihat, dirasakan dan dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

Demikian juga dalam hal penegakan keadilan. Sudah datang waktunya bagi mereka yang selama ini terpuruk oleh diskriminasi, stigmatisasi, marjinalisasi dan pemiskinan akibat peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu untuk turut bisa menikmati buah pembangunan di republik tercinta ini.

Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

Sumber: http://www.primaironline.com/interaktif/detail.php?catid=Opini&artid=haluan-bernama-hukum-progresif

Monday, January 11, 2010

Ratifying Convention on Disappearances



Ratifying Convention on Disappearances
Mugiyanto , Jakarta | Mon, 01/11/2010 9:32 AM | Opinion

At the end of its 2004-2009 term, the House of Representatives (DPR) left an exemplary legacy in the field of human rights. On Sept. 28, 2009, it surprisingly issued a set of comprehensive recommendations to the government on the disappearances of pro-democracy activists in 1997-1998.

The recommendations consist of four points that cover the areas of justice, truth, reparations and a guarantee of non-repetition, in which they reflect the victims’ rights.

Of the four recommendations, two are addressed directly to the President, urging the President to establish an ad hoc human rights court and to search for the 13 people still missing.

The other two are addressed to the government to provide compensation and rehabilitation to the victims, and to ratify the Convention on Enforced Disappearances for the purpose of preventing cases of enforced disappearances happening again in the future.

The four recommendations were issued by the House through its plenary session as a result of the work of the parliamentary special committee on the report by the National Human Rights Commission on the disappearance cases in 1997-1998.
The House was mandated by Article 43 of the 2000 law on the Human Rights Court. The committee had been working on it for two years, since it was established in February 2008.

This article, however, wants to highlight the recommendation to the government to ratify the Convention on Enforced Disappearance, which indicates Indonesia’s intention to comply with the development of the international human rights treaty.
Civil society organizations have repeatedly urged the government to ratify the Convention on Enforced Disappearances.

Back in March 2007, three months after the adoption of the convention by the United Nations General Assembly in New York, the ratification of the convention was promised by the then justice and human rights minister Hamid Awaluddin in a high-level speech during the first sessions of the UN Human Rights Council in Geneva, Switzerland.

Once it ratifies the convention, Indonesia is legally bound to comply with its provisions. One of the important forms of compliance is the inclusion of the act of disappearance as a crime in domestic legislation (currently, it falls under abduction, kidnapping, deprivation of liberty). Others are measures on the obligation of the state to hold the perpetrators accountable and take preventative measures.

As stipulated in Article 39 of the convention, it will come into force on the thirtieth day after the date of deposit of the twentieth ratification with the secretary-general of the United Nations.

As of today, the convention has been signed by 81 governments and ratified by 18 states. Of those 18 ratifying states, eight states are from Latin America, four states from Europe, four states from Africa and only two states from Asia. The two Asian states that have ratified the convention are Japan and Kazakhstan.
The composition of the ratifying states has not yet reflected the purpose of the convention, which is to put an end of the global phenomenon of disappearances. The fact that there are eight Latin American states and only two Asian states seem to imply that the convention is more relevant to Latin American states. The fact, however, is that it is needed more by Asian countries as disappearances are still ongoing phenomena in the region.

The report of the United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances in the last three years indicated that Asian regions submitted the highest number of cases of enforced disappearances as compared to other regions. Of the countries in the region, Nepal, Sri Lanka, Iraq, India, China, and the Philippines are those among the contributors.

It is because of this situation that an organization like the Asian Federations against Involuntary Disappearances (AFAD) in cooperation with the Latin American Federation of Association of Families of Disappeared Detainees (FEDEFAM) has been conducting a series of lobbying and campaign activities in Indonesia and other countries in the region in order that more Asian states ratify the convention.
Worth mentioning here is that Indonesia, Timor-Leste, Thailand, the Philippines and Nepal are supportive and in the process of studying eventual ratification of the convention.

In its final report entitled Ad Memoriam Per Spem which means “from Memory to Hope” released in 2008, the joint Commission for Truth and Friendship (CTF) of Timor-Leste and Indonesia produced one specific recommendation that related to disappearances.
The recommendation is for both governments to establish the Commission on Disappeared Persons. The said commission is tasked to locate the missing persons who disappeared in Timor-Leste during the conflict. Now that both governments are preparing to follow up on the said recommendation, immediate ratification of the convention will provide several benefits, some of them are:

First, the criticism by the international community that the Commission for Truth and Friendship is denying justice and accountability will be less profound than before. This is because it will base its recommendations on the international treaty directly related to the matter.

Second, the said Commission on Disappeared Persons, or whatever name both governments will give to the new follow-up institution, will fulfill and be compatible with international standards.

This will prevent the possibility of receiving international criticism later for not complying with existing standards and according to the principles of organizations working on the issues of disappearances and missing persons.

Third, being the state parties to the convention, both governments will obtain technical assistance from others. This includes, among others, in searching for, locating and releasing disappeared persons and, in the event of death, in exhuming and identifying them and returning their remains (Article 15 of the convention).

Fourth, ratifying the convention means laying the foundations for the ongoing institutional reforms that both governments are doing to prevent the same crimes happening again in the future.


The writer is the chairman of the Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) and Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI).

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/11/ratifying-convention-disappearances.html