Monday, September 11, 2006

Hari Orang Hilang Sedunia


Hari Orang Hilang Sedunia, Munir dan Impunitas
Mugiyanto
1

“.... we must give priority to non-derogable rights.
The rights to life, as enshrined in the international bill of rights,
is without doubt non-derogable and should be strictly upheld by all nations.
We must do away with extrajudicial killings and enforced disappearances”
(Pidato Menlu Hassan Wirajuda pada High-Level Segment,
Sesi Pertama Sidang Dewan HAM PBB, Juni 2006)

Bagi korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa (orang hilang), tanggal 30 Agustus adalah momentum istimewa. Setiap tanggal tersebut, segenap korban dan keluarga korban penghilangan paksa di berbagai negara memperingati Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared) dengan menyelenggarakan berbagai jenis kegiatan. Di Indonesia, Hari Orang Hilang Sedunia telah diperingati selama 8 kali, tepatnya sejak 30 Agustus 1998, tak lama setelah organisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dipimpin oleh almarhum Munir berdiri. Sebagaimana di negara-negara lain, para keluarga korban di Indonesia juga memperingatinya dengan menggelar berbagai kegiatan seperti diskusi, aksi dan doa bersama.

Pada awalnya, tanggal 30 Agustus dipilih oleh organisasi-organisasi korban penghilangan paksa di negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Chile dan Colombia untuk didedikasikan bagi mereka yang dihilangkan secara paksa oleh rejim militer di negara-negara tersebut. Dari situlah selanjutnya oleh masyarakat internasional yang bekerja di bidang hak asasi manusia, tangal 30 Agustus dijadikan sebagai Hari Orang Hilang Sedunia.

Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari Orang Hilang Sedunia tahun ini ditandai dengan adanya beberapa kemajuan dan keprihatinan. Di satu pihak, pada tanggal 29 Juni 2006 yang lalu, Indonesia melakukan gebrakan yang cukup penting ketika sebagai anggota Dewan HAM PBB secara eksplisit dan tegas mendukung pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Pengesahan Konvensi oleh Dewan HAM PBB ini menunjukkan adanya komitmen negara-negara anggota PBB, khususnya 47 negara anggota Dewan HAM PBB untuk menindak dan mencegah terjadinya kasus penghilangan orang secara paksa.

Namun di lain pihak, komitmen Indonesia di tingkat internasional tersebut masih belum diwujudkan dalam praktik politik di dalam negeri. Uraian di bawah ini akan menunjukkan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia.

Proses penyelidikan Komnas HAM dan kendala yang dihadapi
Setelah bekerja sejak Oktober 2005 yang lalu, pada akhir September 2006 nanti KOMNAS HAM akan menyelesaikan tugas penyelidikan ad hoc kasus pelanggaran HAM penghilangan orang secara paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Selanjutnya, kalau penyelidikan tersebut menemukan adanya dugaan pelanggaran berat HAM, laporannya akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan, kemudian akhirnya dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc.

Akan tetapi, proses penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM menghadapi kendala ketika berhubungan dengan pihak TNI. Pihak TNI tidak mengijinkan anggotanya untuk diperiksa sebagai saksi oleh Komnas HAM. Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berbicara atas nama para saksi dari pihak TNI dalam surat penolakannya mengatakan bahwa tim penyelidik Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk memanggil para anggota TNI karena kejadian yang dituduhkan berlangsung sebelum UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan.

Karena penolakan oleh pihak TNI ini, pada tanggal 10 Juli 2006 yang lalu Komnas HAM mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta melakukan pemanggilan paksa terhadap para saksi dari pihak TNI tersebut. Namun lagi, Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso menyatakan penolakannya dengan alasan adanya perbedaan tafsir hukum pemanggilan paksa tersebut.

Selain soal pemanggilan paksa, pada bulan Juni 2006 Komnas HAM juga sudah mengirimkan surat ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh agar memberikan ijin kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penyekapan, penahanan dan penyiksaan para korban penculikan dan penghilangan paksa seperti Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Kodim Jakarta Timur dan Markas Kopassus Cijantung.

Akan tetapi, sebagaimana PN Jakarta Pusat, Kejaksaan Agung juga menyatakan penolakannya dengan alasan bahwa Pengadilan HAM harus lebih dulu dibentuk oleh Presiden. Alasan yang sama pernah juga dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung ketika memutuskan untuk tidak menindaklanjuti berkas laporan Komnas HAM dalam kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II.

Reformasi TNI diharapkan tidak sebatas retorika
Atas resistensi pihak TNI, penulis menganggap bahwa pemerintah, khususnya Presiden SBY seharusnya turun tangan dengan meminta Panglima TNI menginstruksikan anak buahnya untuk taat hukum dan bekerja sama dengan Komnas HAM. Langkah tersebut tidak hanya akan menunjukkan konsistensi kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM, tetapi juga akan memperbaiki citra TNI. Taat hukum akan menjadi ukuran nyata bahwa TNI memang telah mereformasi dirinya.

Lebih dari itu, memenuhi panggilan Komnas HAM merupakan peluang emas bagi TNI untuk klarifikasi dan 'membersihkan' diri dari tuduhan-tuduhan miring masyarakat. Apalagi, dalam penyelidikan awal Komnas HAM sudah menyimpulkan adanya indikasi keterlibatan TNI dalam kasus penghilangan paksa yang tengah diselidiki. Sebenarnya, saat inilah merupakan saat yang tepat bagi anggota dan purnawirawan TNI yang dipanggil untuk menjelaskan kepada Komnas HAM jika memang mereka tidak terlibat.

Kerja sama TNI dengan Komnas HAM juga akan menjadi ukuran penting konsistensi Panglima TNI Jenderal Djoko Suyanto dalam memenuhi janjinya. Sebagai catatan, pada kesempatan fit and proper test di DPR sebelum dipilih menjadi Panglima TNI, dengan disaksikan puluhan keluarga korban pelanggaran HAM Jenderal Djoko Suyanto mengatakan akan menjadikan TNI yang taat hukum dalam hubungannya dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang diduga melibatkan TNI. Kinilah saatnya panglima TNI membuktikan janjinya tersebut.

Penghilangan Paksa dan Munir
Tidak bisa dipungkiri, pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan figur Munir. Munir adalah orang yang pada masa hidupnya paling gigih mengangkat adanya kasus penghilangan paksa ke hadapan publik dan mendesak negara untuk mempertanggungjawabkannya. Peran yang dimainkan oleh Munir tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sehingga tidak mengherankan bila ia pada tahun 2003 dipilih menjadi Presiden AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances), sebuah organisasi di wilayah Asia yang berjuang mengkampanyekan penghentian, penindakan dan pencegahan tindakan penghilangan orang secara paksa. Sangat lah beralasan jika muncul dugaan bahwa pembunuhan Munir di pesawat Garuda pada tanggal 7 September 2004 berhubungan dengan kasus penghilangan paksa yang ditanganinya di Indonesia.

Sama dengan nasib penuntasan kasus penghilangan paksa di tangan Komnas HAM, penanganan kasus pembunuhan Munir di Mabes Polri juga tidak menunjukkan adanya kemajuan berarti. Peringatan Hari Orang Hilang Sedunia yang kebetulan jatuh hampir bersamaan dengan peringatan 2 tahun meninggalnya Munir kali ini hendaknya dijadikan momentum oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangkap dan mengadili para pelaku konspirasi pembunuhan Munir. P

roses hukum yang baru dapat menjerat Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda harus segera ditingkatkan dengan kepastian tersangka baru. Kepolisian RI harus menjelaskan perkembangan penyelidikan pasca putusan Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung musti mengoptimalkan masa kasasi dengan memeriksa nama-nama yang berhubungan dengan Pollycarpus BP.

Dalam hubungannya dengan penghilangan paksa, penanganan yang serius atas kasus pembunuhan Munir adalah realisasi dari apa yang diucapkan oleh Menlu Hassan Wirayudha di forum High Level Segment sidang pertama Dewan HAM PBB yang menyatakan pemerintah Indonesia memberi prioritas pada hak untuk hidup (the rights to life) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya (non-derogable rights), termasuk hak untuk tidak dihilangkan secara paksa. Hal ini harus diartikan pula tidak memberikan toleransi bagi tindakan pembunuhan, terlebih lagi terhadap seorang yang berjuang memerangi penghilangan paksa, seperti yang telah dilakukan oleh almarhum Munir.

Impunitas harus diakhiri
Kalau ditarik benang merahnya, proses penanganan kasus pelanggaran berat HAM yang berlarut-larut secara teknis disebabkan adanya ketidaksepahaman dan perbedaan penafsiran atas peraturan yang berisi mandat, wewenang dan tanggung jawab dari masing-masing instansi terkait.

Dalam proses penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM, lembaga Komnas HAM menjadi kelihatan tidak berdaya (unable) dalam menghadapi resistensi pihak-pihak dan lembaga-lembaga lainnya. Dari sini tidak mengherankan bila masyarakat mulai mempertanyakan efektifitas Komnas HAM sebagai lembaga hak asasi manusia nasional yang pendiriannya dilandasi oleh Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM (untuk melakukan penyelidikan pelanggaran berat HAM).

Namun dari itu semua, nampaknya pihak pemerintah harus benar-benar bekerja keras untuk menuntaskan kasus secara adil dan menyeluruh sebagai usaha untuk mengenyahkan impunitas. Institusi Kejaksaan Agung, Kepolisian dan TNI harus secara ketat diarahkan oleh Presiden untuk berada dalam koridor supremasi hukum dan keadilan.

Komitmen bersama untuk menegakkan HAM dan keadilan harus segera diwujudkan karena persoalan penghilangan paksa di Indonesia bukan hanya persoalan korban dan keluarga korban, tetapi juga persoalan setiap umat manusia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Perjuangan pengungkapan kasus penghilangan paksa bukan lah sekedar milik korban dan keluarga korban, tetapi milik semua orang yang peduli pada kemanusiaan. Kita tidak ingin penghilangan paksa terjadi pada orang lain di masa yang akan datang. Biarkan penghilangan paksa hanya menjadi sejarah masa lalu kita.

1 Penulis adalah Ketua IKOHI

Mengenang Munir


Keadilan untuk Munir, Keadilan untuk Semua;
Mengenang 2 Tahun Dibunuhnya Munir
Mugiyanto1

Sore hari tanggal 7 September 2004, sebuah ruangan di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dipenuhi oleh para korban pelanggaran HAM. Hari itu, mereka mengadakan rapat untuk membicarakan Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU-KKR) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Para korban sedang resah karena mereka sebenarnya berharap RUU-KKR itu tidak terburu-buru disahkan oleh DPR. Menurut mereka, RUU-KKR lebih menguntungkan pelaku pelanggaran HAM dan dikhawatirkan hanya akan menjadi mesin cuci dosa. Mereka yang berkumpul menganggap RUU-KKR adalah sarana impunitas untuk membebaskan para pelanggar HAM di masa lalu. Sore itu, para korban sedang mengadakan rapat untuk membicarakan apa yang harus dilakukan setelah RUU-KKR yang tidak berpihak kepada korban itu disahkan oleh DPR.

Sekitar pukul 15.00, forum rapat korban yang sebelumnya ramai itu mendadak sunyi. Informasi yang sampai ke forum rapat, “Munir meninggal dalam pesawat menuju Belanda”. Semula, para korban menganggap informasi tersebut sebagai candaan teman-teman Kontras. Tapi melihat wajah-wajah serius, suasana menjadi tegang. Lalu informasi yang baru muncul lagi, “Munir benar meninggal dalam pesawat menuju Belanda karena serangan jantung”.

Rapat tentang RUU-KKR benar-benar kami hentikan karena semua orang panik. Beberapa korban mulai menangis. Satu jam kemudian, kami mendapat kepastian berita bahwa Munir, Cak Munir itu, pendamping kami, kawan kami dan pemimpin kami benar-benar sudah meninggal dalam pesawat menuju Belanda. Kami belum mendapat kepastian tentang penyebab kematiannya. Tetapi informasi yang beredar diantara kami adalah bahwa ia meninggal karena serangan jantung.

Munir sebagai Inspirator
Tanggal 7 September 2004 adalah tanggal sial bagi kami. Pada hari itu kami mendapatkan ‘kado’ berupa pengesahan RUU-KKR yang tidak berpihak kepada korban, oleh DPR. Pada saat yang sama, ketika para korban sedang membicarakan hal tersebut, Munir ditemukan meninggal di dalam pesawat Garuda menuju Belanda.

Dua hal terjadi persis bersamaan, padahal kami memiliki harapan atas hubungan diantara keduanya. Kami memiliki harapan bahwa bersama Munir, akan lebih mudah bagi kami untuk memperjuangkan perbaikan KKR, sehingga keadilan dan kebenaran lebih memungkinkan terwujud di negeri ini. Namun bahwa Munir sudah meninggal, perjuangan kami para korban tentu lebih berat karena kami kehilangan satu orang, yang kebetulan adalah seorang inspirator dan pemimpin.

Bahwa belakangan diketahui bahwa Munir meninggal karena dibunuh dengan racun arsenik, oleh sebuah konspirasi nan keji, kami sadar sepenuhnya bahwa pembunuhan Munir memang dilatarbelakangi oleh sebuah usaha untuk mematikan gerakan HAM dan demokrasi, melalui pembunuhan atas inspirator dan pemimpinnya, yaitu Munir.

Munir dan Korban Pelanggaran HAM
Munir dan korban pelanggaran HAM memiliki hubungan yang unik. Munir dan komunitas korban pelanggaran HAM ibarat ikan dan air. Keduanya memiliki hubungan amat erat dan saling membutuhkan, yang satu tidak bisa dicerabut dari lainnya. Kedekatan hubungan antara Munir dan korban pelanggaran HAM inilah yang membedakan Munir dengan tokoh HAM lainnya.

Dalam sebuah pembicaraan Munir pernah mengatakan, kedekatannya dengan korban inilah yang bisa menjadikan dirinya independen dari negara, termasuk mereka yang diduga sebagai pelanggar HAM. Sampai akhir hayatnya Munir tetap bisa menjaga jarak dan independensi dengan Negara, meski ia memiliki akses ke sana. Di sinilah kelihatan pribadi Munir sebagai sosok yang konsisten, istiqomah.

Munir pernah mengatakan, para korban adalah sumber inspirasi dalam bersikap, sumber keberanian dalam bertindak. Para korbanlah yang akan mengontrol sikap dan tindakannya. Para korban jugalah yang akan menghormati, menghargai serta menghujat dan mencacinya atas kebenaran dan kesalahan sikap dan tindakannya.

Kedekatan Munir dengan para korban ketidakadilan dan pelanggaran HAM ini tidak bisa dilepaskan dari kiprahnya saat menjadi aktifis kampus yang kritis. Ketika masih menjadi mahasiswa, ia telah banyak berhubungan dan melakukan pembelaan kepada para buruh di Jawa Timur.

Kedekatan dengan korban ketidakadilan ini semakin kuat ketika ia aktif di LBH Surabaya, dimana ia banyak menangani masalah-masalah perburuhan. Satu kasus besar yang pernah ia tangani pada tahun 1993 adalah kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah di Porong Sidoarjo. Bersama kawan-kawannya, ia kemudian mendirikan komite aksi yang diberi nama KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Marsinah). Dalam proses kegiatannya, KASUM berhasil sedikit mengungkap keterlibatan aparat militer dalam pembunuhan keji atas Marsinal.

Ironisnya, nama KASUM yang pernah Munir bentuk sebagai wadah advokasi untuk Marsinah, kita juga dipakai oleh sahabat-sahabat Munir sebagai wadah advokasi untuk Munir, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM).

Ketika Munir kemudian pindah ke YLBHI, ia juga tetap menjaga hubungan dengan korban ketidakadilan, khususnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, terutama setelah bersama teman-temannya ia mendirikan Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Pembunuhan Munir dan Pentingnya Perlindungan Pembela HAM
Oleh elemen masyarakat sipil, tanggal meninggalnya Munir yaitu 7 September dijadikan sebagai hari pembela HAM Indonesia. Pencanangan ini dimaksudkan agar kasus pembunuhan Munir menjadi titik balik bagi ditegakkannya HAM dan dihargai serta dilindunginya para pembela HAM (human rights defenders). Pembunuhan terhadap Munir diharapkan untuk menjadi kasus yang terakhir, sehingga tindakan keji serupa, termasuk tindakan-tindakan dan ancaman-ancaman kekerasan terhadap mereka yang bekerja menegakkan HAM tidak terjadi lagi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah SBY untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir secara adil, terbuka dan menyeluruh. Langkah tersebut bisa dimulai dengan penyampaian kepada publik laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang telah dibentuk oleh Presiden SBY melalui Kepres No. III Tahun 2004 yang lalu. Sebagai ingatan Kepres tersebut menyatakan bahwa laporan kerja TPF akan disampaikan kepada publik oleh Presiden begitu masa kerja TPF selesai. Masalahnya, sampai sekarang, Presiden SBY belum memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan Kepres yang ia buat sendiri.

Selain itu, pemerintah juga harus berani bersikap untuk segera menangkap dan mengadili otak dan pelaku konspirasi pembunuhan Munir. Proses hukum yang baru dapat menjerat Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda harus segera ditingkatkan dengan kepastian tersangka baru. Kepolisian RI harus menjelaskan perkembangan penyelidikan yang dilakukannya. Kalau pihak kepolisian memang tidak mampu lagi melanjutkan penyelidikan karena adanya hambatan yang besar dari pihak lain, pemerintah harus berani mengambil langkah untuk membentuk sebuah tim penyelidikan yang independen dengan otoritas yang besar dan luas termasuk untuk menembus institusi-institusi negara yang selama ini kebal hukum.

Mahkamah Agung juga musti mengoptimalkan masa kasasi dengan memeriksa nama-nama yang berhubungan dengan Pollycarpus BP. Hanya dengan cara itu, niat bersama untuk menghargai hak asasi manusia bisa mulai diwujudkan.

Selanjutnya, negara juga mesti mulai merealisasikan komitmen-komitmen internasional di bidang HAM di dalam negeri. Apa yang diucapkan oleh Menlu Hassan Wirayudha di forum High Level Segment sidang pertama Dewan HAM PBB bulan Juni 2006 lalu bahwa pemerintah Indonesia memberi prioritas pada hak untuk hidup (the rights to life) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya (non-derogable rights), harus dibumikan pula dengan memprioritaskan perlindungan para pembela HAM dari tindakan-tindakan pembunuhan, kekerasan, teror dan intimidasi.

Negara harus mulai memikirkan upaya-upaya penjaminan perlindungan para pembela HAM mengingat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah menetapkan sebuah Deklarasi Pembela HAM pada tahun 1999, yakni Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms.

Mengenai pentingnya perlindungan bagi pembela HAM ini Sekjen PBB Kofi Annan mengatakan bahwa "ketika hak seorang pembela HAM telah dilanggar, pada saat itu semua hak kita ada dalam bahaya".

Dari sinilah, pada peringatan Hari Pembela HAM Indonesia yang diperingati bersamaan dengan 2 tahun dibunuhnya Munir, kita mulai usaha bersama untuk berani mengungkap kasus Munir sebagai bagian dari usaha menegakkan dan melindungi hak asasi manusia secara umum.

1 Penulis adalah survivor penculikan aktifis 1998, Ketua IKOHI

Arus Balik Gerakan Reformasi

ARUS BALIK; PENEGAKAN HAM PASKA GERAKAN REFORMASI 1998
(Refleksi akhir tahun 2004)
Oleh: Mugiyanto

Pada mulanya adalah beberapa gelintir mahasiswa yang dari kampus ke kampus berdiskusi dan berdemonstrasi menuntut agar Paket Lima Undang-Undang Politik dan Dwi Fungsi ABRI dicabut. Dua hal itulah yang mereka yakini menjadi tulang punggung (back bone) pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan (Muridan S. Widjoyo; 2001). Paket Lima Undang-Undang Politik 1985 mengatur Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD I dan II, Partai Politik dan Golkar, Organisasi Massa dan Referendum. Kesemuanya diatur sedemikian rupa sehingga kekuasaan Orde Baru tetapt bisa dipertahankan.

Paket tersebut diperkuat dengan doktrin dwi-fungsi ABRI, yang memungkinkan militer melibatkan diri dalam kehidupan sosial politik, selain tugas utamanya, pertahanan dan keamanan. Dari kegiatan yang bersifat lokal dan kecil inilah benih-benih kesadaran akan kebebasan dan anti kekerasan tumbuh berkembang. Pada pertengahan 1997, ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi yang kian memburuk, benih-benih kesadaran tersebut gayung bersambut dengan kemarahan dan frustasi masyarakat hingga terejawantahkan dalam bentuk aksi-aksi masyarakat.

Pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mencabut subsisi BBM. Hal ini menyebabkan keresahan dan ketidakpastian hidup di kalangan masyarakat. Mahasiswa didukung kelompok-kelompok pro reformasi semakin gencar menggelar aksi-aksi demonstrasinya, hampir setiap hari di seluruh wilayah tanah air. Keresahan, ketidakpastian dan demonstrasi mahasiswa telah menciptakan instabilitas sosial dan politik yang kemudian memuncak saat terjadi penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti (Fadli Zon; 2004).Sejak saat itulah gerakan mahasiswa semakin massif dengan tuntutannya yang makin mengkristal, penggantian dan pengadilan Presiden Suharto. Kemenangan diraih tanggal 21 Mei 1998 ketika Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri.

Proses tumbangnya Presiden Suharto meninggalkan serangkaian peristiwa yang dalam dalam kategori hak asasi manusia termasuk pelanggaran berat, seperti Kasus 27 Juli 1996, Penculikan 1997/1998, Trisakti, Tragedi Mei 1998, dan Semanggi I dan II, serta yang kadang terlupakan, peristiwa pembumihangusan di Timor Leste 1999. Kalau dirunut lagi ke belakang, Orde Baru juga bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa Pembantaian 1965/1966, Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Operasi Militer di Aceh dan Papua dan sebagainya.

Rejim-rejim sipil paska Suharto, mulai dari Habibie, Gus Dur dan Megawati, terlepas adanya batasan rentang waktu kekuasaan, berjanji akan menegakkan hukum dan melindungi hak asasi manusia. Karena itulah, peristiwa-peristiwa pelanggaran berat HAM yang mendapatkan perhatian luas masyarakat sempat coba ditangani pemerintah. Kita masih ingat, segera setelah berkuasa, Habibie mendesak ABRI untuk menangani kasus penculikan aktifis. Dari situ lalu digelar Pengadilan Militer untuk mengadili 11 anggota Tim Mawar Kopassus pelaku penculikan, serta dibentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang akhirnya memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas aktif dan memberhentikan Muchdi PR dari Danjen Kopassus (Wiranto; 2003). Baik Pengadilan Militer maupun Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tidak mau menyebut nasib dan keberadaan mereka yang sampai saat ini masih hilang, kecuali 9 orang yang sudah dibebaskan. Prabowo menyebutkan adanya pihak lain yang lebih tinggi yang melakukan penculikan.

Selain itu, masa pemerintahan Habibie juga diwarnai dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kasus kerusuhan Mei 1998. Dengan segala konflik kepentingan yang ada, TGPF berhasil mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah menindaklanjuti secara hukum hasil dari TGPF tersebut. Perjuangan korban dan keluarga korban peristiwa Mei 1998 yang tak pernah henti baru disambut oleh Komnas HAM pada tahun 2003 dengan membentuk KPP HAM Kasus Mei 1998. Sebagaimana kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang akhirnya kandas karena beda tafsir UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR, Kasus Mei 1998 juga mengalami nasib yang sama.

Pencapaian paling maju dari usaha pencarian keadilan dan pengungkapan kebenaran atas terjadinya tindak pelanggaran berat HAM ada pada kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur paska jejak pendapat 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984. Pada kedua kasus tersebut, Komnas HAM telah membentuk KPP HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc telah digelar. Walaupun Pengadilan HAM telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM di Timor Timur, namun para penanggung jawab, termasuk Jenderal (Purn) Wiranto yang waktu itu adalah Panglima ABRI masih menikmati kekebalan hukum (impunity). Ia bahkan kini melaju menjadi calon kuat Presiden RI. Sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Tanjung Priok yang merupakan Pengadilan HAM kedua setelah kasus Timor Timur tidak mencantumkan penanggung jawab struktural seperti Jenderal (Purn) Benny Murdani dan Jenderal (Purn) Try Sutrisno sebagai terdakwa. Namun demikian, dua minggu lalu Hakim Pengadilan HAM telah memvonis 10 tahun penjara untuk Mayjen Butar Butar, Mantan Dandim Jakarta Utara pada saat kejadian.

Pemerintah sipil paska Suharto, hanya mampu memberikan keadilan simbolis, dalam bentuk pengadilan-pengadilan militer dan pengadilan umum yang tidak fair dan tidak impartial bagi masyarakat dan korban. Keadilan substantif sebagaimana diharapkan masyarakat korban, yang dalam konteks pelanggaran HAM berupa pengungkapan kebenaran dan pemulihan (reparation) yang terdiri atas rehabilitasi, restitusi dan kompensasi, masih sebatas harapan dan cita-cita. Hal ini terjadi karena selama ini otoritas pemerintahan sipil terlalu banyak memberikan ruang dan otoritas kepada mereka yang terlibat dalam tindak pelanggaran berat HAM masa lalu, yang nota bene adalah militer dan elemen Orde Baru. Mereka yang diuntungkan oleh kebijakan otoritas pemerintah sipil inilah yang terus berusaha menghalangi usaha-usaha pencarian keadilan (obstructing justice) yang terus menerus diperjuangkan oleh oleh masyarakat korban.

Kesalahan dan kelemahan otoritas pemerintahan sipil yang diwakili oleh Megawati dengan memberikan ruang dan fasilitas kepada kelompok status quo ini kemudian berbuah pada mantapnya konsolidasi mereka, yang ditunjukkan dengan menangnya Golkar dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan meluncurnya calon presiden dari unsur militer Wiranto dan Susilo bambang Yudhoyono.

Lalu bagaimana prospek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?
Perkembangan terakhir memberikan indikasi-indikasi bahwa mereka yang selama ini melakukan obstruction of justice sangat potensial menjadi penentu hitam putihnya negara-bangsa. Dengan titik acuan gerakan reformasi tahun 1998, kita melihat arus telah mulai berbalik. Pondasi reformasi yang sedikit demi sedikit disusun untuk dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan, yang ditandai dengan ditariknya militer dalam kehidupan politik pada awal-awal masa reformasi, kini kembali dibongkar.

Yang lebih ironis, bukan militer sendiri yang kini tengah membongkar pondasi reformasi tersebut, tetapi mereka yang dulu ikut berkoar-koar meneriakkan reformasi atau mati. Dalam kondisi yang demikian, prospek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu telah meredup, bersama dengan arus yang mulai berbalik.