Friday, April 26, 2013

Penantian Harus Dihentikan*

Oleh Mugiyanto**



Sebulan yang lalu, tepatnya pada hari Rabu, 27 Maret 2013, kami mendapatkan kabar duka, Pak Paimin, 70 tahun, ayahanda dari salah satu korban penghilangan paksa tahun 1997-1998, Suyat, meninggal dunia di rumahnya di sebuah desa kecil di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Almarhum Pak Paimin meninggal setelah 15 tahun menunggu hasil perjuangan yang dilakukan oleh anaknya yang lain, Suyadi dan Suyadi, dalam mencari kejelasan tentang nasib Suyat yang diambil oleh kelompok bersenjata di kampung sebelah pada Bulan Februari 1998.

Sampai ajal menjemput, Paimin masih belum mendapatkan kabar, apakah anak yang disayanginya masih hidup atau sudah meninggal. Dalam sebuah wawancara dengan harian Kompas (15/9/2009) Almarhum Paimin bersama istrinya Tamiyem pernah menyampaikan harapannya;

”Nek sih waras, ayo mulih. Ne wis ora ana, kuburane nengdi? (Kalau masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya),” kata Tamiyem.

”Nek dipenjara, nengdi (kalau dipenjara di mana),” tambah Paimin sambil mengisap rokok dalam-dalam dengan mata menerawang. Perasaan sedih, kesal, marah, dan tak berdaya tergambar di wajah keduanya.

Almarhum Paimin juga pernah memelihara kambing beberapa tahun yang lalu. Keluarga merencanakan untuk memotong kambing tersebut bila Suyat kembali pulang. Namun karena Suyat belum pulang juga setelah ditunggu beberapa tahun, kambing itu pun akhirnya dijual untuk menutupi kebutuhan sehari hari.

Pak Paimin bukan satu-satunya orang tua korban penghilangan paksa aktifis tahun 1997-1998 yang meninggal sebelum mereka mengetahui kabar anak-anak mereka. Sebelumnya, Ayahanda Yadin Muhidin telah meninggal di Jakarta (2003). Ayahanda Herman Hendrawan meninggal di Bangka (2004). Ayahanda Wiji Thukul meninggal di Solo (2006). Ayahanda Noval Alkatiri meninggal di Jakarta (2004). Ibunda Yani Afri meninggal di Jakarta (2012), dan terakhir Pak Paimin, ayahanda Suyat meninggal di Sragen (2013). Mereka semua meninggal dunia akibat sakit yang kami duga berhubungan dengan tekanan fisik dan mental akibat kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Tetapi yang jelas, mereka semua meninggal sebelum bisa menikmati hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan dan pemulihan yang menjadi tanggung jawab Negara, khususnya pemerintah untuk memenuhinya.

Angin segar telah bertiup sejak September 2009 ketika Ketua DPR mengirimkan surat rekomendasi hasil sidang paripurna DPR mengenai kasus Penculikagarn dan Penghilangan Paksa Aktifis tahun 1997-1998 kepada Presiden. Empat (4) rekomendasi tersebut adalah; 1) Agar Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; 2) Agar Presiden beserta instansi terkait mencari 13 aktifis yang masih hilang; 3) Agar pemerintah memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban; 4) Agar pemerintah meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.

Sejak saat itu, berbagai wacana terus dimunculkan oleh pemerintah, mulai dari wacana pemberian lapangan pekerjaan kepada para korban, kemudian wacana permintaan maaf dan yang terakhir adalah pernyataan yang disampaikan oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan bahwa Presiden SBY telah memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk mempersiapkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus 1998. Namun sayangnya harapan itu pupus kembali ketika Menkopolhukam Djoko Suyanto yang mengatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc masih belum bisa dibentuk, karena menunggu kelengkapan penyelidikan (Kompas, 28/3/2013)

Tidak kali ini saja harapan para korban dipupuskan oleh pejabat pemerintah. Sebelumnya, para korban juga telah dikecewakan oleh “permainan pingpong” Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR dengan “bola” berkas penyelidikan dugaan berbagai pelanggaran berat HAM. Akibat “permainan pingpong” inilah, setidaknya 6 berkas kasus dugaan pelanggaran berat HAM kini tertumpuk di meja Jaksa Agung. “Bola pingpong” menjadi “bola panas” dan tak ada yang berani menyentuh, apalagi menendangnya.

Mandegnya penyelesaian kasus ini sebenarnya bisa diatasi oleh kebijaksanaan (wisdom) dan ketegasan (firmness) Presiden SBY. Pasal 28I Ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara, khususnya Pemerintah memiliki tanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM. Selanjutnya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 43 Ayat 2 disebutkan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usulan DPR dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, memang tak terbantahkan bahwa Presiden lah pemegang kunci penanganan dan penyelesaian kasus Penghilangan Paksa Aktifis 1997-1998.

Dimulai dari yang kecil
Dalam sebuah talkshow di stasiun Metro TV pada hari Jumat, 22/3/2013, Menkopolhukam Djoko Suyanto menjelaskan bahwa ia memang ditugaskan Presiden SBY untuk menyusun kebijakan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu secara menyeluruh. Karenanya Menkopolhukam mengatakan bahwa pemerintah tidak akan menangani kasus per kasus, yang karenanya pemerintah tidak akan mengelar Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktifis 1997-1998.

Menurut saya, penyelesaian secara menyeluruh tidak bisa dilakukan tanpa memulainya dengan hal yang kecil, atau sebagian. Dengan rekomendasi dari lembaga tinggi Negara yaitu DPR pada tahun 2009, kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktifis 1997-1998 bisa menjadi awal menuju penyelesaian menyeluruh yang diakan dilakukan oleh Pemerintahan SBY sebelum masa kerjanya habis.

Penyelesaian kasus ini sudah terlalu lama dinanti oleh keluarga korban. Waktu 15 tahun seharusnya bisa digunakan oleh keluarga korban secara maksimal untuk mengembangkan diri sebagai individu dan berkontribusi pada kehidupan sosial sebagai warga masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada tataran negara. Seandainya berbagai kasus pelanggaran berat HAM ini telah bisa diselesaikan secepatnya, pada awal masa reformasi, sebagai bangsa tentu kita telah bisa maju, mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam mukadimmah UUD 1945. Beban sejarah bangsa ini harus segera diselesaikan.

Berbeda dengan bayang-bayang menakutkan yang direka-reka para aparat negara, atau mereka yang merasa terlibat atau dilibatkan dalam dugaan kasus pelanggaran berat HAM ini, harapan dan keinginan keluarga korban Penghilangan Paksa Aktifis 1997-1998 sebenarnya sangat sederhana. Mereka pertama-tama, dan terutama ingin mendapatkan kejelasan status anak-anak atau suami mereka yang menjadi korban penghilangan paksa. Mereka telah bersiap menerima kabar apapun dari negara. Bila jawaban ini mereka dapatkan, lebih dari separuh beban penderitaan mereka akan terobati.

Gambaran tentang Pengadilan HAM masih terlampau buram dalam harapan para keluarga korban yang masih hidup dalam tekanan. Namun mereka tetap memiliki keyakinan bahwa karena Indonesia adalah negara hukum, maka hukum harus ditegakkan.

Ibu Tuti Koto, Ibunda salah satu korban penghilangan paksa 1997 Yani Afri, yang pernah ditemui Presiden SBY di Istana Presiden telah meninggal dunia 5 November tahun lalu, sebelum mendapatkan realisasi janji Presiden. Beberapa waktu yang lalu (27/3/2013), Pak Paimin, ayahanda Suyat juga meninggal, sebelum mendapatkan kabar kepastian. Bapak Presiden SBY, berapa banyak lagi keluarga korban penghilangan paksa harus meninggal. Berapa lama lagi keluarga korban akan harus menunggu?

Penderitaan keluarga korban menjadi semakin bertambah saat melihat mereka yang diduga pelaku penculikan aktivis ini muncul di TV-TV dan berapi-api memberi janji-janji semu tentang keadilan dan kesejahteraan rakyat. Penantian ini harus dihentikan. Keluarga korban berhak mendapatkan keadilan.

Keterangan:
* Tulisan ini dimuat di Koran Sinar Harapan 25 April 2013, bisa di akses di http://cetak.shnews.co/web/read/2013-04-25/11252/penantian.harus.dihentikan#.UXomjEqyOSq

** Mugiyanto adalah penyintas penculikan aktifis pro demokrasi 1998, sekarang Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)



Monday, April 15, 2013

Laporan Khusus BBC Indonesia

Mugiyanto mencari keadilan
Terbaru 15 April 2013 - 15:50 WIB

Lihat sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/04/130415_tokoh_mugiyanto.shtml

Mugiyanto, salah-seorang korban penculikan Tim Mawar Kopassus di tahun 1998, memilih mendampingi keluarga korban penculikan demi mencari keadilan.

Lima belas tahun silam, tepatnya di sebuah petang nan muram, 13 Maret 1998, Mugiyanto diculik oleh beberapa orang dari rumah kontrakannya di Jakarta Timur.

Ketika itu situasi politik Indonesia memasuki fase genting, tatkala tuntutan mahasiswa dan kekuatan oposisi agar Presiden Suharto turun dari kursi dari kursi kekuasaan, makin menguat.

Di saat itulah, bersama sejumlah rekannya sesama aktivis Partai Rakyat Demokratik, PRD, pria kelahiran 1973 ini diambil secara paksa oleh sekelompok orang -- yang belakangan diketahui pelakunya adalah anggota pasukan elit Angkatan Darat, Kopassus, melalui tim kecil yang disebut Tim Mawar…

Mugiyanto (kiri), Aan Rusdianto dan Nezar Patria, tiga aktivis PRD, menggelar jumpa pers di kantor YLBHI, 1998, beberapa pekan setelah dibebaskan.

Digelandang dengan mata tertutup ke sebuah tempat (di markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur), Mugi – demikian sapaan akrabnya -- dan sebagian kawan-kawannya, lantas disiksa, diteror, serta diinterogasi…

Mugiyanto (yang ketika itu berstatus mahasiswa Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, dan berusia 25 tahun) dan lima aktivis PRD lainnya termasuk beruntung, karena kemudian dia berhasil dilepaskan, tetapi tidak bagi 13 aktivis lainnya -- yang nasibnya belum jelas sampai sekarang.

Sekitar dua tahun setelah dibebaskan, dan masih dihantui semacam trauma, Mugi justru “terpanggil” untuk bergabung dengan keluarga korban penculikan, demi mencari keadilan.

"Dalam beberapa hal, saya merasa ini hidup kedua saya,” kata Mugi agak menerawang, menjelaskan latar belakang pilihannya itu, dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa, 26 Maret 2013 lalu.

“Karena,” lanjutnya, “saya pernah berada dalam situasi di mana hidup dan mati itu batasnya sangat tipis”.

"Dalam beberapa hal, saya merasa ini hidup kedua saya. Karena, saya pernah berada dalam situasi di mana hidup dan mati itu batasnya sangat tipis..."

“Ya, sebagai rasa bersyukur bahwa saya adalah orang yang beruntung (karena masih hidup), maka membuat saya kemudian untuk bersama dengan mereka (keluarga korban penculikan).”

Melibatkan keluarga orang hilang dan didukung pegiat HAM lainnya, Mugi mendirikan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), untuk mengetahui keberadaan mereka yang masih hilang (“Setidaknya, kalau mereka meninggal, dimana mereka dikuburkan,” kata Mugi), serta mendesak diberikannya hukuman setimpal kepada pelaku utamanya.

“Saya menjadi seperti terpanggil setelah melihat bahwa keluarga korban masih semangat, dan menginginkan keadilan ditegakkan”, Mugi lebih lanjut menjelaskan.

Hal ini dia lakukan juga tidak terlepas dari sikap politisi di parlemen, yang menurutnya, “sama sekali tidak ada komitmen terhadap penegakan HAM terhadap penyelesaian kasus ini, padahal mereka adalah orang-orang yang menikmati buah perjuangan kawan-kawan yang hilang”.
Bunyi ‘ctak,ctak’

Apa yang terjadi di ruangan penyiksaan di salah-satu ruangan di Markas Kopassus Cijantung, yang terjadi lima belas tahun silam, masih menyentak alam sadar Mugiyanto -- hingga saat ini.

(Dalam situs pribadinya, Mugiyanto menggambarkan suasana penyiksaan yang dialaminya: “Mata ditutup, dua tangan dan dua kaki diikat di tempat tidur velbed. Hanya memakai celana dalam. Di sana ada suara sirine yang meraung-raung, suhu ruangan yang sangat dingin, dan alat setrum listrik yang bunyinya seperti cambuk…)

Selama dua hari, 13-15 Maret 1998, Mugiyanto mengaku disekap, diinterogasi, dan disiksa.

“Sampai sekarang, bisa dikatakan saya belum bisa sepenuhnya menghilangkan trauma,” aku Mugi, dengan nada datar.

Tak gampang untuk menghilangkan trauma, katanya.

“Prosesnya memang lama, memang butuh waktu”.

"Terutama ketika saya mendengar seperti cambuk, yang mana itu adalah suara setrum listrik: ctak, ctak, ctak…Saya setiap mendengar suara itu, langsung teringat masa lalu... "

“Terutama ketika saya mendengar seperti cambuk, yang mana itu adalah suara setrum listrik.

“Ctak, ctak, ctak…”

“Saya setiap mendengar suara itu, langsung teringat masa lalu, ” ujar Mugi.

“Sama mendengar handi talkie, karena itu alat komunikasi yang dipakai orang yang menculik saya pada waktu itu, ketika mata saya ditutup”.

(“Rumah kontrakan saya sudah dikepung. Badan saya melemas. Saya sudah membayangkan kematian. Lalu dengan tenaga tersisa, saya raih saklar untuk mematikan lampu. Persis pada saat itulah mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!”. Kunci pintu kubuka, lalu sekitar 10 orang masuk…”)
Melawan trauma

Sempat diinterogasi di Koramil Duren Sawit Jakarta Timur, Mugi kemudian dibawa ke Markas Kopassus Cijantung.

Selama dua hari, di tempat itu, Mugi ditempatkan satu sel dengan aktivis PRD Nezar Patria dan Aan Rusdiyanto.

Walaupun matanya ditutup rapat, pria asal Jepara ini mampu mengenali suara dua rekannya itu.

Kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Mugiyanto menjelaskan langkah-langkahnya menghilangkan trauma.

(Dalam kesaksiannya, di kantor YLBHI, 20 Juni 1998, yang saya hadiri, Mugiyanto menuliskannya kesaksiannya: “Ada juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa…”)

“Saya tahu dari teriakannya waktu disiksa,” katanya, suatu saat.

Bagaimana Anda bisa ‘kuat’ kembali, dan kemudian memilih terjun total bersama keluarga korban penculikan untuk mencari keadilan? Tanya saya.

“Cara saya menghadapi trauma,” ungkapnya, “bukan dengan menjauhi dunia ini, dari dunia hak asasi manusia, dari para korban”.

“Tapi,” imbuhnya, dengan nada lantang,” saya mengintegrasikan diri saya bersama-sama dengan mereka”.

“Saya menulis, saya berbicara, saya bercerita, itu proses dari penyembuhan psikologi saya,” ungkap Mugi.

(“Saya menuliskan lagi cerita ini dengan jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit. Saya tidak bisa melupakannya. Saya hanya bisa mengelolanya dan menyimpan memori ini untuk dijadikan energi hidup yang positif,” tulis Mugi dalam situs pribadinya.)
Peradilan HAM adhoc

Upaya pengungkapan kasus penculikan terhadap aktivis pada periode 1997 dan 1998, belum seperti yang diharapkan, demikian kesimpulan para pegiat HAM.

"Ada juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa…"

Para pegiat HAM menyatakan, setidaknya masih ada 13 orang aktivis yang diculik pada periode itu yang masih belum jelas nasibnya.

Pelaku utama yang diduga bertanggungjawab dalam kasus penculikan juga dianggap belum tersentuh sama-sekali.

Tuntutan pembentukan Peradilan HAM adhoc untuk mengungkap kasus-kasus kekerasan tidak juga direalisasikan oleh pemerintah, sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang semula diharapkan kini menguap begitu saja.

Tetapi, harapan Mugiyanto dan keluarga korban penculikan sempat berbinar, ketika terdengar sayup-sayup bahwa Presiden SBY menyetujui pembentukan Pengadilan HAM adhoc kasus penculikan 1997-1998.

Isyarat ini ditangkap oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, Selasa, 19 Maret 2013 lalu, yang kemudian dia utarakan kepada media.

“Waktu itu presiden mengatakan diadakan persiapan-persiapan pada para menteri untuk mendirikan pengadilan HAM ad hoc," kata Albert.

Para aktivis HAM menuntut pelaku utama penculikan diadili melalui peradilan HAM adhoc.

Informasi penting ini, tentu saja, agak melegakan Mugiyanto, ketika kali pertama mendengarnya.

“Kami sudah senang, dan mengharap itu direalisasikan,” kata Mugi, yang masih dipercaya sebagai Ketua IKOHI, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia.

Belakangan, informasi itu dibantah oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Djoko Suyanto. Dia mengatakan, Albert Hasibuan salah menafsirkan pernyataan Presiden.

Menurutnya, Presiden SBY meminta agar kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan secara komprehensif, secara total dan keseluruhan.

Djoko Suyanto juga menyatakan, peradilan HAM adhoc belum bisa digelar, karena Komnas HAM menurutnya belum menyebut siapa pihak yang bertanggungjawab.

“Bukan hanya institusi (yang disebut), melainkan orang… Komnas HAM belum sampai ke situ,” kata Djoko, Kamis, 21 Maret 2013 lalu.
Tidak boleh terulang

Kejaksaan Agung sejauh ini telah berulangkali mengembalikan berkas penyelidikan yang dimajukan Komnas HAM sejak 2006 lalu.

Alasannya, pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk dan telah digelarnya pengadilan militer untuk kasus ini (yaitu terhadap 11 orang pelaku lapangan yang tergabung dalam Tim Mawar, yang merupakan tim kecil bentukan Kopassus, TNI Angkatan Darat).

Hasil penyelidikan Komnas HAM, yang digelar sekitar enam tahun silam (2005-2006), menyatakan, sudah ada bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mugiyanto menyatakan, peradilan HAM adhoc penting digelar agar siapapun yang berkuasa, tidak boleh mentolerir tindakan menghilangkan orang secara paksa.

Ketua Komnas HAM saat itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998.

Menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM ini, DPR pada September 2009 kemudian meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung melakukan penyelidikan atas kasus ini.

Menurut Mugi, apa yang dilakukan Komnas HAM dan sikap DPR ini merupakan upaya kemajuan dalam penyelidikan kasus penculikan.

Tetapi, menurutnya, “kemajuan-kemajuan tersebut tidak kemudian ‘ditutup’, tidak kemudian disimpulkan oleh pemerintahan SBY”.

“Padahal,” lanjutnya, “ini tinggal sedikit (langkah penuntasannya).”

“Sehingga sekarang semua menjadi menggantung,” kata Mugi, agak masygul.

Tetapi, apa pentingnya pembentukan peradilan HAM adhoc ini? Tanya saya lagi.

Dengan nada tegas, Mugi menyatakan, peradilan ini sangatlah penting.

“Peradilan HAM adhoc itu hanyalah salah-satu cara yang seharusnya diambil pemerintah, tetapi dia sangat penting,” tegas Mugiyanto, yang kini meneruskan kuliah di Universitas Kristen Indonesia, UKI.

“Selain memberi punishment (hukuman) kepada para pelaku dan mereka yang bertanggungjawab, adalah juga untuk memberi pesan kepada masyarakat Indonesia, kepada siapapun yang berkuasa ke depan, bahwa tindakan menghilangkan orang secara paksa, itu tidak boleh ditolerir, tidak boleh terulang,” tandasnya.
Diselidiki bertahap

“Tapi dia (pengadilan HAM adhoc) bukan satu-satunya jalan,” imbuh Mugi cepat-cepat.

Menurutnya, ada cara lain yang juga harus dilakukan untuk melengkapi proses peradilan.

"Tapi dia (pengadilan HAM adhoc) bukan satu-satunya jalan. Kita mengenalnya sebagai mekanisme non judicial. Jadi korban menjadi perhatian utama untuk didengarkan keterangannya, untuk dipulihkan hak-haknya..."

“Kita mengenalnya sebagai mekanisme non judicial,” katanya.

Inilah Komisi Kebenaran, kata Mugi, yang dipusatkan kepada para korban.

“Jadi korban menjadi perhatian utama untuk didengarkan keterangannya, untuk dipulihkan hak-haknya, dan sebagainya,” kata pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah, ini.

Faktanya sekarang, peradilan HAM adhoc belum dibentuk dan Komisi Kebenaran tidak jelas rimbanya, menyusul keputusan MK yang membatalkannya? Tanya saya.

“Sampai saat ini memang jalan di tempat,” aku Mugi, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Sejauh ini, pemerintah dan DPR sejauh ini belum menyiapkan UU KKR yang baru, walaupun dua tahun silam, draf RUU yang baru telah diserahkan ke Sekretariat Negara, japada pertengahan September 2010 lalu.

Namun demikian, menurut Mugi, penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998 “bisa dilakukan secara bertahap”.

“Mulai dari apa yang paling diharapkan oleh keluarga korban, (yaitu) supaya mereka mengetahui apakah orang-orang yang mereka kasihi, anak-anak mereka sayangi, suami mereka, masih hidup atau sudah meninggal. Mereka ingin kepastian itu,” tegasnya.
Saling menguatkan

Bagaimanapun, Mugi, IKOHI dan lembaga lain seperti Kontras, terus melakukan berbagai upaya untuk mendesak agar kasus penculikan aktivis 1997-1998 dituntaskan.

Selain berupa aksi-aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka ( melalui “Aksi Kamisan”), Mugi dan kawan-kawan juga melakukan berbagai upaya melalui lobi di DPR (yang pernah membuahkan rekomendasi DPR agar pemerintah menyelesaikan kasus penculikan, pada 2009 lalu) hingga kampanye di luar negeri.

Keluarga korban kasus penculikan terus menjalin kontak untuk saling menguatkan.

Ke depan, menurutnya, pihaknya juga terus melakukan komunikasi dengan Menkopolhukam, dan orang-orang di sekitar Presiden SBY.

“Kalau kami tidak bisa bertemu Presiden SBY,kami akan temui orang-orang dekatnya,” katanya dalam sebuah wawancara.

Tetapi, bagaimana Anda dan keluarga korban bisa mampu menjaga energi, sehingga mampu menjaga stamina untuk terus mendesak penyelesaian kasus ini?

"Karena, dari saling menguatkan, timbul semangat atau pengetahuan kesadaran bahwa kita tidak sendiri, bahwa yang menjadi korban tidak sendiri, dan karena yang menjadi korban tidak sendiri, maka yang berjuang tidak sendiri..."

Rupanya, semenjak mereka mendirikan IKOHI sekitar olima belas tahun silam, diantara keluarga korban kasus penculikan, melakukan apa yang disebut Mugiyanto sebagai upaya “saling menguatkan”.

“Ya , karena dengan kata menguatkan itulah, yang kemudian melandas berdirinya IKOHI,” kata Mugi, yang baru saja dikaruniai anak kedua, Minggu, 14 April 2013 lalu.

“Karena,” kata Mugi, “dari saling menguatkan, timbul semangat atau pengetahuan kesadaran bahwa kita tidak sendiri, bahwa yang menjadi korban tidak sendiri, dan karena yang menjadi korban tidak sendiri, maka yang berjuang tidak sendiri.”

Menurut Mugi, salah-satu cara paling sederhana yang terus dilakukan adalah “bertelepon dan berkirim surat”.

“Itu menjadi elemen yang luar biasa untuk menguatkan korban,” ungkap Mugi yang mengaku hobi berkebun di halaman depan rumahnya.
Didukung keluarga

Secara khusus Mugi menyebut ayah dan ibunya, sebagai dua sosok penting dalam perjalanan hidupnya.

“Mereka dua orang yang luar biasa, yang mendukung apa yang saya lakukan selama ini,” ungkapnya.

Dia kemudian mengungkapkan sebuah momen tidak terlupakan, yaitu ketika ayahnya menemuinya di tahanan Polda Metro Jaya, setelah kelompok penculiknya menyerahkannya kepada aparat kepolisian.

Mugiyanto mengaku, kedua orang tuanya, istri dan anaknya, merupakan orang-orang luar biasa dalam perjalanan hidupnya.

Dia mengaku, saat itu merasakan kesedihan luar biasa, saat ayahnya dan kakaknya menjenguknya di ruang tahanan.

Sang ayah, menurutnya, tetap mendukung apa yang dilakukannya.

Restu orang tua ini pula yang menjadi pendorongnya untuk tetap yakin atas pilihan perjuangannya.

Mugiyanto kemudian menyebut istrinya, Mutiara Taripar Pulo, serta anak pertamanya, Binar Mentari Malahayati, sebagai dua orang yang mampu membuatnya tetap bersemangat dalam memperjuangkan korban kasus penculikan.

“Anak saya, masih berusia 12 tahun, tapi dia inspirasi luar biasa buat saya,” ungkap Mugi, seraya menambahkan bahwa anaknya mengetahui bahwa dirinya pernah menjadi korban penculikan.

“Dan dia bangga,” tambah Mugi. “Dia bercerita kepada teman-teman sekolahnya”.

Dia memberikan sebuah contoh, ketika anaknya ikut membagikan buku yang diterbitkan IKOHI seputar kasus penculikan, kepada teman-temannya.

“Bagaimana dia dengan bangga membagikan buku itu kepada teman-temannya,” kata Mugi, yang saat ini berambisi menulis buku tentang apa yang pernah dia alami.

“Itu menurut saya, juga sumber dari kekuatan, motivasi yang saya dapatkan dari orang-orang terdekat saya,” papar Mugi.
Mau memaafkan?

“Saya bisa memaafkan, tapi ada syaratnya,” kata Mugiyanto, ketika saya tanya, apakah suatu saat dia dapat memaafkan pelaku utama penculikan atas dirinya?

“Syarat-syaratnya, tentu saja, dia harus mengakui bersalah,” tegasnya.

“Tapi ini secara personal”, katanya, menambahkan cepat-cepat.

"Ya mengakui bahwa itu tindakan yang salah, kemudian minta maaf, kemudian dia harus memperjelas mengapa dia melakukan itu...Dan lebih dari itu, bagaimana dengan orang-orang yang saat itu bersama saya (yang kemudian tidak kembali), itu ada di mana?"

“Kalau secara publik, lain lagi ya”.

Menurutnya, aksi penculikan yang kemudian disertai penyiksaan atas dirinya, merupakan tindakan kejahatan yang di luar batas-batas kemanusiaan.

“Tetapi toh sebagai pribadi, saya masih membuka pintu permaafan, tapi dengan syarat-syaratnya,” tandasnya.

“Ya mengakui bahwa itu tindakan yang salah, kemudian minta maaf, kemudian dia harus memperjelas mengapa dia melakukan itu.

“Dan lebih dari itu,” tambahnya, “bagaimana dengan orang-orang yang saat itu bersama saya (yang kemudian tidak kembali), itu ada di mana?”

“Setelah semuanya clear, saya pikir secara personal, saya bisa memaafkan,” tegas Mugi, yang mengaku belakangan membaca sejumlah buku karya Michael Sandel, ahli filsafat politik dan guru besar di Universitas Harvard, AS.

Menanggapi sejumlah korban penculikan yang memilih terjun ke politik dan bergabung dengan partai politik yang didirikan mantan jenderal yang diduga terlibat penculikan, Mugiyanto mengaku “kecewa”.

“Apa yang saya terima dari senior-senior kami, itu bukan yang seperti itu, bukan yang kemudian berpihak pada orang yang melakukan kekerasan kepada kami, bukan orang yang melakukan tindakan represi kepada kami,” jelasnya.

“Tapi kemudian, saya lebih reseptif, bahwa ‘ya sudah memang itulah pilihan dia',” kata Mugiyanto, yang mengisi waktu luangnya antara lain dengan menonton Liga Primer Inggris.

"Saya penggemar berat Liverpool..., " ujarnya seraya tertawa, sekaligus menutup wawancara yang berlangsung sore di kantor BBC Jakarta.

Wednesday, April 03, 2013

BBC Indonesia: Perjalanan Mugiyanto dalam berjuang mencari keadilan bagi para korban penculikan 1998

Wawancara Tokoh dengan BBC Indonesia
http://www.bbc.co.uk/indonesia/multimedia/2013/03/130329_audio_tokoh_mugiyanto1.shtml