Tuesday, November 13, 2007

Remembering the Disappeared, Fighting Forgetfulness

Remembering the Disappeared, Fighting Forgetfulness
Mugiyanto
[1]

The International Day of the Disappeared on August 30 is an annual commemoration day created to draw attention to the fate of individuals who have disappeared, imprisoned at places and under conditions unknown to their relatives or legal representatives. In Indonesia, the commemoration has been started with various activities, under the theme of “Remembering the Disappeared, Fighting against Forgetfulness”. The commemoration this year is aimed remembering all those made disappeared because of government repressive policy in the past. By remembering them and their circumstances, we expect that such tragedy will never happen again in the future.

Nature of disappearances
By nature, enforced disappearance is considered as "the perfect crime" since both the victim and the perpetrators "give no evidence and provide no identification". The disappearance of physical and tangible evidences of crime allows this "crime against humanity" to freely inflict terror like ghosts, as it escapes the borders of reason.

As this crime thrives in a culture of impunity, victims of disappearances are left in a limbo of existence and non-existence; of remembrance and oblivion; of life and death. The bereaved families, on the other hand, are torn between hope and despair; of remembering and forgetting; of living and dying.

Quite significantly, however, families have shown great resilience from succumbing to depression, forgetting and hopelessness. They constantly found ways to carry on with their lives, finding hope and courage to fight for Truth and Justice in memory of their vanished husbands, brothers, sons, wives, sisters, and daughters.

Convention Against Disappearances
The International Day of the Disappeared is also marked with the successful adoption by the UN General Assembly in December last year of the UN International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (Convention Against Disappearances). The Convention that has legal binding to the State Party will be a significant legal international human rights instrument to fill the absence of such instrument in national and international level. As of now, Indonesia and most countries have no national mechanism criminalizing disappearances nor Asian regional mechanism on disappearances like that in Latin America.

In the commemoration of the International Day of the Disappeared, the relatives of victims are expecting that the government sign the Convention Against Disappearances as promised by Human Rights Minister Hamid Awaluddin in the High Level Segment speech of the UN Human Rights Council meeting in Geneva, Swiss last March 2007. Signing the Convention Against Disappearances as an initial step towards ratification will prove that the government’s commitment is not only on paper. It will also strengthen Indonesian strategic position in the United Nations, especially in the UN Human Rights Council and UN Security Council.

When ratified, Indonesia will have to comply with the Convention, and along with the world will help stop, prevent, prosecute the perpetrators of disappearances, fulfill the rights of the victims and their relatives and make disappearances history of the past.

The outstanding cases
In October 2006, national Commission on Human Rights (KOMNAS HAM) finished the reports on the inquiry of the cases of disappearances happened in 1997 – 1998. In the reports, KOMNAS HAM found that there are 23 persons reported disappeared. Of the 23 cases, one found dead, nine resurfaced or released in 1998 and the remaining 13 are still disappearing up until today.

In the recommendation, KOMNAS HAM asks the Attorney General to investigate the case based on the Law No 26/2000 on Human Rights Court. The President and the Parliament are also recommended to expedite the process the establishment of Human Rights Court and to deliver the rights of the victims to reparations which include compensation, restitution and rehabilitation.

Of the whole recommendations by Komnas HAM, no satisfactory progress has been made, but the Attorney General awaiting the parliament for political decision on whether the cases being investigated are gross violations of human rights or not. This the most worrying process experiences by the victims and their relatives.

It is in the occasion of the International Day of the Disappeared that the government is expected to make a breakthrough by having the Attorney General investigate the cases, without waiting for the Parliament for political decision. Political decision by parliament is needed only for the cases of the past that happened before the enactment of the Law on Human Rights Court in 2000. Considering the fact that disappearances are continuing crimes by nature, as long as the fate and whereabouts of the victims are not yet clarified make the cases under the jurisdiction of the normal Human Rights Court, like those of the case of Abepura tackled by the Human Rights Court in Makasar in 2005.

[1] Mugiyanto is the chairperson of IKOHI and AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances)

Friday, November 09, 2007

Belajar dari Argentina

Mencontoh Argentina Menangani Masa Lalu
Mugiyanto
[1]

"As the President of Argentina I have no fear, I don't fear you,"
Ucapan Presiden Argentina Nestor Kirchner kepada anggota militer yang membangkang pada upacara peringatan Hari Angkatan Darat, 29 Mei 2006

Dalam sepekan terakhir, perhatian kita banyak tertuju pada perkembangan politik di Argentina, terutama karena adanya pemilu yang akhirnya dimenangi Cristina Hernandez Kirchner, yang kebetulan adalah istri Presiden Argentina saat ini, Nestor Kirchner.

Cristina memenangi pemilu bukan hanya karena ia seorang negarawan nan rupawan dan cerdas, tapi karena ia menjanjikan kebijakan yang berpihak pada kaum papa Argentina, sebagaimana selama ini telah dibuktikan oleh sang suami Presiden Kirchner. Salah satu langkah radikal yang telah diambil oleh Presiden Kichner adalah untuk melepaskan ketergantungan Negara pada lembaga keuangan internasional, IMF.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengupas presiden terpilih Cristina Kircher, ataupun keberhasilan Argentina membangun kebangkitan ekonomi paska krisis 2001 dengan cara melepaskan ketergantungan pada IMF. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat aspek lain “keberhasilan” Argentina, yaitu dalam mengelola masa lalu yang hitam yang terjadi pada masa kediktatoran Junta Militer 1976 – 1983.

Pada periode tersebut pelanggaran HAM terjadi sangat masif. Laporan Komisi Penyelidik Nasional untuk Penghilangan Paksa (CONADEP) tahun 1984 mencatat adanya 8.960 korban penghilangan orang secara paksa (orang hilang) dan 340 tempat penahanan dan penyiksaan rahasia. Bahkan organisasi-organisasi HAM di sana mencatat korban orang hilang mencapai 30.000 orang.

Sebelum dihilangkan, para korban terlebih dulu diculik, ditahan, disiksa lalu dihilangkan oleh alat-alat represi Junta Militer yang disebut “death squads” atas nama doktrin keamanan nasional. Sebagian diantaranya dibuang hidup-hidup di Samudera Atlantik dengan pesawat (death flights). Pimpinan Junta, Jenderal Videla mengatakan pada waktu itu, “Berapapun banyaknya orang harus mati, demi keamanan negeri ini”.

Menghapuskan Impunitas
Presiden sipil baru paska Junta Militer, Raul Alfonsin pada tahun 1983 membentuk sebuah komisi nasional untuk menyelidiki kasus penghilangan paksa yang terjadi pada masa periode kediktatoran Junta Militer 1976 – 1983. Pada November 1984, komisi penyelidik ini mempublikasikan hasilnya yang diberi judul Nunca Mas, yang berarti Jangan Terjadi Lagi. Laporan yang dalam pengantar salah satu edisinya disebut sebagai ‘laporan dari neraka’ ini membuat panik para pimpinan Junta dan para militer pendukungnya. Mereka semua membantah dan menolak untuk dimintai pertanggungjawaban.

Bukan hanya itu, merekapun mengancam untuk melakukan pemberontakan bila mereka dibawa ke pengadilan. Akhirnya pada tahun 1986 dan 1987 Presiden Raul Alfonsin mengeluarkan 2 undang-undang amnesti yang disebut La Ley de Punto Final (The Full Stop Law) dan La Ley de Obediencia Debida (The Law of Due Obedience). Dua undang-undang ini menjadi antiklimaks atas proses pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM yang sebenarnya sudah dimulai dengan penyelidikan oleh CONADEP. Yang lebih buruk lagi, presiden baru Carlos Menem memberikan amnesti kepada pejabat militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa kediktatoran.

Sebagaimana alur sejarah, politik Argentina juga bergerak maju. Hampir 20 tahun kemudian, pemimpin-pemimpin konservatif yang abai dan ingkar demokrasi dan HAM tidak banyak mendapat tempat. Pemerintahan Kirchner melakukan gebrakan radikal dalam bidang HAM ketika pada bulan Juni 2005 Mahkamah Agung Argentina menganulir dua undang-undang amnesti 1986 dan 1987 itu karena dianggap inkonstitusional. Selanjutnya proses pengadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada masa 7 tahun kediktatoran bisa dimulai lagi.

Hingga saat ini, FEDEFAM, Federasi Organisasi Keluarga Korban Penghilangan Paksa di Amerika Latin mencatat sekitar 160 anggota militer sudah diadili, 4 diantaranya berpangkat Jenderal. Selanjutnya sekitar 250 anggota militer yang lain masih menunggu pengadilan.

Perhatian pada korban
Usaha penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu seringkali mengabaikan kepentingan korban dan keluarganya. Penanganan kasus pelanggaran HAM biasanya dianggap usai ketika pengadilan telah digelar atau sedikit kebenaran telah terungkap, walaupun hanya di tataran formal. “Keadilan formal” seperti ini sering berakhir pada penelantaran korban dan keluarganya.

Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat fenomena ini pada proses penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi Timor Leste dan Tanjung Priok 1984. Walaupun pengadilan HAM ad hoc telah digelar di Jakarta dan Komisi Kebenaran dan Penerimaan (CAVR) juga telah diselesaikan di Timor Leste, korban masih belum mendapatkan hak-hak pemulihan (rights to reparations) yang layak.

Hal yang sama terjadi pada korban dan keluarga korban Tanjung Priok 1984 yang sudah diselesaikan di pengadilan HAM ad hoc. Perjuangan korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi (hak-hak pemulihan) kandas, begitu Mahkamah Agung memutus bebas semua terdakwa. Pelanggaran HAM dianggap tidak ada, dan karenanya keberadaan korban tidak diakui.

Argentina memilih jalan berbeda dalam mengelola sejarah hitam masa lalu. Selain dengan mengungkap kebenaran melalui CONADEP, pemerintah Argentina saat ini juga mengambil jalan pengadilan bagi mereka yang terlibat dan bertanggung jawab dalam serangkaian tindakan penculikan, penyiksaan dan penghilangan orang pada masa kediktatoran.

Tidak hanya itu, Argentina juga mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam bentuk undang-undang untuk merestorasi korban dan keluarga yang ditinggalkannya. Undang-undang yang telah dikeluarkan sekitar 12 tahun yang lalu ini mengatur status sipil korban penghilangan paksa (Civil Status Law) dan kompensasi (Special Benefit Law). Melalui dua undang-undang ini, keluarga korban bisa mendapatkan hak-hak kompensasi dari Negara sebesar kira-kita 100 dollar Amerika perbulan selama 20 tahun yang diambil dari kas Negara (state bond).

Untuk hal-hal yang berhubungan dengan administrasi kewarganegaraan sehari-hari, mereka yang hilang bisa mendapatkan status absence due to enforced disappearances atau absence on presumption of death setelah dilakukan verifikasi oleh lembaga resmi Negara. Status demikian memudahkan anggota keluarga bisa melakukan kepengurusan warisan, transaksi bisnis, hak pensiun, hak milik dan sebagainya. Status absence due to enforced disappearances mensyaratkan Negara untuk terus berusaha melakukan penyelidikan (criminal investigation) bagi yang bersangkutan.

Argentina bukan Negara maju dengan catatan HAM yang sangat mengagumkan. Tetapi Argentina telah menunjukkan kemampuannya untuk bangkit dari kebangkrutan ekonomi yang sempat memporakporandakan segala sendi kehidupan rakyatnya pada tahun 2001 dengan mengatakan ‘tidak’ pada resep IMF.

Argentina juga telah menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kedewasaannya dalam mengelola sejarah hitam masa lalunya dengan baik, dengan membentuk komisi kebenaran, pengadilan dan pemenuhan hak-hak korban.

Argentina telah berusaha untuk benar-benar mengatakan tidak pada kesalahan dan sejarah hitam masa lalu dengan satu semboyan; Nunca Mas!, Jangan terulang lagi!




[1] Penulis adalah ketua IKOHI dan Asian Federation Against Involuntary Disappearances - AFAD

Monday, August 06, 2007

Profil Mugiyanto di Sinar Harapan 1/8, 2007

PROFIL

Mugiyanto, Ketua IKOHI:Tembok Penghalang Itu Begitu Tebal...
OlehSihar Ramses Simatupang

JAKARTA - “Temui saya di seminar. Besok saya ke Aceh. Nanti kita bicara di kantor, sore usai seminar,” ujar Mugiyanto, pertengahan Juli 2007 lalu.Usai aktivitasnya selama beberapa jam dalam seminar itu, nyatanya, di tengah kelelahan dia masih saja antusias bercerita. Dari orang hilang, hingga perbaikan sistem hukum dan perundang-undangan yang perlu dilakukan pemerintah saat ini.

Mugiyanto adalah orang dengan latar belakang aktivis 1998, pernah mengalami penculikan pada Mei 1998. Ketika itu, ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Ia diculik beberapa saat setelah Aan Rusdianto dan Nezar Patria diambil dari Rusun Klender, Jakarta Timur. Saat itu, ia termasuk salah satu pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mengurusi bidang internasional.

Lelaki yang sempat menjadi reporter TV asing, suka menonton Liga Inggris di televisi dan hobi memancing ini, lalu berkisah tentang kehidupan awalnya hingga menjadi Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)—organisasi yang berdiri pada 17 September 1998 dan berfokus pada advokasi terhadap keluarga orang-orang yang hilang.

“Bagaimana pun, saya tetap optimistis karena yang saya perjuangkan adalah sebuah nilai, tidak sekadar memperjuangkan sesuatu yang bisa diraba dan dipegang. Tapi sebuah value yang saya yakin itu benar dan bisa tercapai. Nilai itu adalah keadilan, justice, yang bentuknya bermacam-macam,” tegasnya.

Soal kekhawatiran gagal dalam “misi perjuangan” ini, dia merasa ini bukan tanggung jawabnya sendiri karena dilakukan secara kolektif bersama teman-teman di IKOHI. “Saya melakukannya bersama korban-korban lain, meski saya yang bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya. Tetapi justru karena itu, kekhawatiran saya jadikan sebagai dorongan untuk tidak terjadi,” ujarnya.

Mugi meyakini bahwa semua orang tua yang kehilangan anaknya pun akan bertindak seperti dirinya. Namun menurutnya, tembok penghalang untuk pengusutan kasus orang hilang masih sangat tebal, selalu saja ada pihak yang menghambat. Meski demikian, bagi Mugi, tidak ada sesuatu yang mustahil, suatu saat akan terjadi perubahan dan keadilan, sehingga perjuangannya tidak sia-sia.

Ia juga tidak setuju bila dikatakan dirinya lebih menekankan pada advokasi internasional. Sebab, menurutnya, Indonesia merupakan negara yang tidak sepenuhnya independen terhadap tekanan internasional, sehingga dukungan internasional seperti PBB dan NGO akan lebih didengarkan oleh Indonesia.

Solidaritas
Selain itu, solidaritas korban hilang tidak hanya sebatas negara, IKOHI juga menjalin solidaritas dengan korban di negara-negara lain yang punya nasib serupa, seperti dengan Amerika Latin, Filipina, Srilanka, India, dan Thailand. Mugi kini dipercaya sebagai Ketua AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances) untuk periode tiga tahun ke depan, menggantikan pejuang HAM Munir.

IKOHI memang aktif melakukan kegiatan, termasuk program penguatan korban, diskusi tentang hak-hak korban dan hak azasi manusia, serta melakukan aksi ke Istana Kepresidenan, dan aksi Kamisan.

Tentang penyelidikan Komnas HAM yang kerap berhenti di DPR karena DPR menolaknya sebagai pelanggaran berat, diakui pula oleh Mugi sebagai suatu masalah. Hanya saja, Mugi melihatnya sebagai persoalan politik. Sebab secara formal dalam peraturan perundangan, Indonesia sudah punya perangkat yang bagus misalnya Komnas HAM, Indonesia punya Kovenan Hak Ekosob, dan beberapa konvensi sudah diratifikasi. Indonesia juga punya Undang-undang HAM yang negara lain belum tentu punya.

“Di tataran formal, kondisi HAM Indonesia sudah cukup bagus. Masalahnya adalah di tataran politik, sejauh mana otoritas-otoritas politik Indonesia, baik itu DPR maupun pemerintah mengimplementasikannya. Dan karena penguasa di Indonesia tidak punya komitmen dalam hal penegakan HAM, mereka memelintir, membuat lemah, memandulkan dan menyabotase perundang-undangan yang ada,” lanjut Mugi.

Ia mencontohkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi UU No 27/2004 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, itu adalah ekspresi dari otoritas politik dalam hal ini pemerintah, yang tidak ingin mengelola masa lalu dengan baik.

Sumber: Sinar Harapan 1 Agustus 2007

Friday, July 27, 2007

Indonesia segera Ratifikasi ICC

Indonesia dan Gelombang Keadilan GlobalMugiyanto[1]

"In the prospect of an international criminal court lies the promise of universal justice. That is the simple and soaring hope of this vision. We are close to its realization"
-- Kofi Annan, Sekjen PBB


Tanggal 17 Juli adalah Hari Keadilan Internasional Sedunia (World Day for International Justice). Tahun ini adalah peringatan tahun ke-9, karena Hari Keadilan Internasional Sedunia adalah peringatan disepakatinya sebuah Statuta untuk Mahkamah Pidana Internasional (Statute for an International Criminal Court). Statuta ini sering disebut Statuta Roma, karena disepakati di Kota Roma, Italia dalam sebuah Konferensi Diplomatik Internasional. Ada 160 negara menghadiri dan menyetujui Statuta Roma ini, dan Indonesia adalah salah satunya.

Sebagaimana dikatakan oleh Kofi Annan, Sekjen PBB waktu itu, pada ICC terletak harapan adanya keadilan internasional. Harapan itu telah dirumuskan dalam Satuta Roma tersebut yang memang dibuat sebagai mekanisme pertanggungjawaban pidana internasional atas tindakan yang dianggap paling serius bagi umat manusia yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi (masih dirumuskan). Keberadaan ICC diharapkan menjadi lonceng peringatan dan pemberi efek jera bagi orang-orang seperti Hitler di Jerman dan Pinochet di Chile.

Indonesia segera meratifikasi ICC
Sebagai bagian dari negara yang hadir dalam Konferensi Diplomatik di Roma dan ikut menyetujui Statuta Roma, Indonesia juga nampak turut dalam arus keadilan global tersebut. Tidak bisa dipungkiri, UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM banyak mengambil pasal-pasal dalam Statuta Roma. Bahkan ada yang mengatakan UU No 26 tahun 2000 adalah “ratifikasi setengah hati” atas Statuta Roma. Dan karena “ratifikasi setengah hati”, maka UU No 26 tahun 2000 itu banyak memiliki kelemahan, sehingga kasus-kasus besar yang ditangani dengan mekanisme Pengadilan HAM seperti kasus Timor Timur paska jajak pendapat 1999 dan Tanjung Priok 1984. Kedua pengadilan atas kasus tersebut berakhir pada pembebasan pelaku dan bukan penghukuman. Kelemahan-kelemahan pada UU Pengadilan HAM ternyata memberikan banyak sekali peluang bagi berkembangbiaknya impunitas.

Harapan baru kini muncul, karena sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Ranham) 2003 – 2008 yang dibuat pemerintah, disebutkan Indonesia akan meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 2008. Berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk proses ratifikasi. Namun karena prosesnya yang terlampau lambat, tetap ada kekhawatiran proses ratifikasi ini akan mulur dan melewati target waktu yang dicanangkan (Kompas 7 Juli 2007). Untuk memastikan Indonesia meratifikasi dan menjadi negara pihak (State Party) atas ICC pada tahun 2008, DPR harus kerja keras dan menggandeng semua pihak, baik itu pemerintah (Depkumham) maupun organisasi-organisasi non pemerintah terkait.

Sasaran kampanye mendorong ratifikasi ICC, seperti yang dilakukan oleh Koalisi Internasional untuk Mahkamah Pidana Internasional (CICC), kini dipusatkan di Asia. Hal ini karena masih minimnya keterwakilan wilayah Asia pada badan ICC. Sebagaimana diketahui, sampai hari ini, 105 negara sudah meratifikasi ICC. Namun hanya 6 diantaranya berasal dari kawasan Asia, dimana salah satunya adalah Timor Leste. Namun pada saat ini beberapa negara seperti Laos, Nepal, Indonesia, Vietnam dan Cina sedang melakukan langkah-langkah persiapan ratifikasi. Bila terjadi, hal ini akan menjadikan Asia sebagai bagian dari barisan negara-negara yang sedang menuju pada ratifikasi universal ICC.

Ratifikasi ICC dan penegakan HAM di Indonesia
Mahkamah Internasional memang tidak dibuat untuk mengadili kasus-kasus dalam jurisdiksinya yang terjadi sebelum tahun 2002, atau sebelum sebuah negara meratifikasinya, sebagaimana prinsip tidak berlaku surut (non retroaktif) dalam hukum HAM internasional. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional memang ditujukan untuk mencegak kejahatan di masa mendatang. Namun tetap saja, dalam konteks penegakan HAM di Indonesia, ratifikasi ICC akan memiliki manfaat yang luar biasa besar.

Pertama, ratifikasi akan menjadi cambuk bagi pemerintah SBY untuk meralisasikan komitmen dan ucapannya dalam penegakan HAM dan keadilan. Ratifikasi oleh Indonesia akan dijadikan ukuran masyarakat atas keseriusan pemerintah saat ini yang cenderung hanya merealisasikan keadilan formal, dalam tataran tulisan dan ucapan.

Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.

Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.

Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.

[1] Penulis adalah Ketua IKOHI dan Asian Federation against Involuntary Disappearances (AFAD)

Wednesday, July 04, 2007

Negara Mengajak Kita untuk Lupa

Bingkai, VHR Radio

Negara Mengajak Kita untuk Lupa
22 Mei 2007 - 11:47 WIB

Ia pernah menjadi korban penculikan. Juga pernah menjadi asisten reporter televisi Belanda, NOS. Namun pekerjaan itu ditinggalkan dan memilih memimpin Ikatan Keluraga Orang Hilang Indonesia. Bertahun-tahun Mugiyanto kampanye agar pelaku penculikan diadili. Keadilan untuk korban adalah harapan mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini. Berikut petikan wawancara Indah Nurmasari dengan Mugiyanto di kantornya.

Bagaimana reformasi yang telah berlangsung sembilan tahun?
Saya melihat pengorbanan dan apa yang telah dilakukan berbagai elemen masyarakat yang tergabung dengan mahasiswa Mei 1998 tidak sia-sia. Saya orang yang cukup optimis, dan menurut saya meskipun sedikit, capaian dari bentuk-bentuk reformasi dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia yang demokratis. Contoh paling nyata menurut saya dari keberhasilan gerakan reformasi 1998 ini adalah adanya kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan media, juga kebebasan masyarakat dalam berorganisasi. Meskipun masih banyak represi disana sini, seperti masih adanya mahasiswa yang ditangkap dan bahkan dipidanakan saat melakukan demonstrasi karena dianggap mencemarkan nama baik, menghina presiden. Tetapi saya tetap melihat bahwa terbukanya ruang demokrasi dimana masyarakat bisa relatif bebas bergerak dan berekspresi menurut saya menrupakan salah satu kemenangan rakyat yang paling nyata dari gerakan Mei 1998. Saya merasa ada banyak elemen yang mengajak kita untuk mundur dari langkah-langkah reformasi yaitu elemen-elemen konservatif di negara ini, seperti elemen Orde Baru, militer, dan orang-orang yang secara sosial ekonomi akan dirugikan dengan adanya gerakan reformasi ini.

Apa kelemahan dalam penegakan HAM di Indonesia?
Masalah utamanya adalah tidak bisa dipungkiri Soesilo Bambang Yudhoyono adalah bagian dari masalah pelanggaran HAM di masa lalu. Itu hal mendasar yang menjadikan SBY tidak bisa bergerak secara luas untuk betul-betul menjalankan amanat demokrasi ini. Karena, jika dia betul-batul mengagendakan ini dia akan berhadapan dengan dirinya sendiri, kawan-kawannya dan kesatuannya dan lembaganya dimasa lalu. Dan menurut saya, SBY tidak punya pilihan lain untuk melakukan tawar-menawar dengan masa lalunya sendiri. Jika tidak, dia tidak ada bedanya dengan orde baru meskipun secara de facto itu memang kenyataannya. Komitmen yang disampaikannya pada publik selama ini untuk menuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM harus segera direalisasikan. Kelemahan mendasar SBY adalah tidak beraninya dia melakukan dan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM di masa lalu. Dalam penanganan kasus ini, presiden SBY tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau cuma niat baik menyelesaikan kasus ini, dalam setiap statemennya itu ada. Tapi menurut saya, SBY tidak punya niat tulus, karena niat yang tulus selalu disertai perbuatan.Langkah nyata ini yang nol besar dalam penuntasan kasus HAM selama pemerintahan SBY. Sebetulnya kasus-kasus HAM yang mentok di Komnas HAM dan kejaksaan menunggu dukungan politik dari SBY. Contoh paling nyata adalah kasus Munir. Sebetulnya dalam kasus ini presiden tinggal memberikan dukungan politiknya untuk meminta orang-orang yang ada di Badan Intelejen Negara untuk bersikap lebih kooperatif dalam kepentingan penyidikan. Dan hal itu tidak dilakukan oleh SBY.

Langkah-langkah apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menuju negara yang lebih demokratis?
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, yang tidak hanya terjadi pada masa reformasi itu tetapi juga kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Itu adalah syarat utama untuk sebuah pemerintahan yang mengalami masa transisi dari rezim yang otoritarian menuju ke pemerintah yang demokratis. Langkah penting lainnya adalah, pemerintah harus mengikis meminimalisir elemen-elemen yang mengancam kehidupan berdemokrasi. Karena saat ini kecenderungan sektarianisme baik yang berbasis agama dan kesukuan marak terjadi dan merupakan ancaman yang serrius dalam berdemokrasi. Demokrasi mensyaratkan pruralisme dan toleransi.

Sampai kapan Anda akan berjuang menuntut keadilan bagi kawan-kawan yang diculik?
Sampai tuntutan saya dan kawan-kawan dipenuhi negara. Konsen utama saya, para korban pelanggaran HAM dipenuhi hak-haknya oleh negara, bukan hanya berhenti pada mengadili pelaku pelanggaran HAM. Saya bersama kawan-kawan akan terus mengingatkan negara dan masyarakat, karena kecenderungannya saat ini negara sedang mengajak kita semua untuk lupa.***

Monday, May 14, 2007

Ratifikasi ICC dan Penegakan HAM

Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan
Penegakan Keadilan di Indonesia
[1]
Mugiyanto[2]


ICC merupakan pengadilan permanen dan independen internasional yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC
Pada bulan Juli 1998 sebuah Konferensi Diplomatik di Roma Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstein). Statuta yang kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara.

Berdasaarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).

Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.

Pentingnya Ratifikasi bagi Indonesia
Indonesia adalah salah satu peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik di Roma 1998 yang melahirkan ICC. Sejak saat itu Indonesia sudah menampakkan diri untuk menjadikan dirinya sebagai negara pihak (state party) dari ICC. Niat ini juga ditunjukkan dengan diundangkannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma tentang ICC. Namun sayangnya, adopsi setengah-setengah atas prinsip-prinsip Statuta Roma ini menjadikan UU No 26 tahun 2000 menjadi tumpul dan tidak bisa memberikan penghukuman bagi pelaku. Lebih dari itu, Undang Undang tentang Pangadilan HAM tersebut justru dijadikan tameng impunitas sebagaimana nampak pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan HAM kasus Abepura.

Selama ini, komitmen Indonesia untuk bersama-sama masyarakat internasional melawan impunitas dan mewujudkan ratifikasi universal atas ICC nampaknya hanya jargon-jargon semata, karena pada kenyataannya Indonesia baru merencanakan melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC pada tahun 2008, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (RANHAM 2003-2008), Padahal, kalau serius sejak awal, ratifikasi bisa dilakukan jauh lebih cepat, paling tidak pada tahun 2007 ini.

Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.

Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.

Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.

Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.

Perlunya komitmen nyata
Proses ratifikasi ICC yang sudah dicanangkan Indonesia memang mengalami kemajuan. Namun ucapan berbusa baik itu oleh pemerintah maupun DPR tidak akan memberikan kemajuan berarti, karena yang diperlukan adalah kerja. Dan karena adalah DPR dan pemerintah yang musti merumuskan naskah ratifikasi, kerjasama keduanya adalah sesuatu yang mutlak. Komitmen pemerintah dan DPR harus segera direalisasikan sebagaimana pesan yang disampaikan Mantan Sekjen PBB Kofi Annan, dalam pidato sambutannya di hadapan Parlemen Swedia pada bulan Mei 1999 “... Saya mendesak Anda dan anggota parlemen Anda di seluruh dunia untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa ini secepat mungkin.”

Selain itu, ratifikasi juga bukan merupakan akhir dari pekerjaan ICC. Untuk memastikan ICC bisa berjalan, peraturan pelaksanaannya juga perlu dirumuskan. Belum lagi ketika pemerintah nanti dihadapkan pada lobi-lobi Amerika untuk mengecualikan warga negara mereka dalam yurisdiksi ICC melalui BIA (Bilateral Immunity Agreement) atau NSA (Non Surrender Agreement) untuk Indonesia yang sebetulnya tidak begitu kental lagi dalam konstelasi politik Amerika saat ini.

Penutup
Secara formal, Ratifikasi ICC oleh Indonesia tidak secara langsung menjadikan kasus-kasus besar pelanggaran berat HAM seperti kasus tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1998 dan kasus-kasus 'masa lalu' lainnya bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Akan tetapi, ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi dilakukannya perubahan (amandemen) fundamental bagi perundangan mengenai HAM dan pengadilan HAM, terutama bagi UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadi monumen peringatan (warning) bagi para calon dan residivis diktator dan penjahat HAM untuk tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan HAM sebagaimana mereka lakukan pada masa lalu, kecuali mereka mau meghadapi pengadilan di Den Haag.

Ratifikasi ICC Secepatnya!

[1] Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Publik tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam rangka CICC Asia Strategy Meeting, kerjasama CICC, Forum Asia, Elsam dan IKOHI, 9 Mei 2007
[2] Mugiyanto adalah Ketua IKOHI dan AFAD

Wednesday, January 31, 2007

Menuju Komnas HAM yang Berkualitas

Menuju Komnas HAM yang Berkualitas
Mugiyanto[1]

Sebagaimana kita ketahui, anggota Komnas HAM periode 2002 – 2007 akan berakhir masa kerjanya pertengahan tahun 2007 ini. Untuk itulah, Komnas HAM telah membuka pendaftaran calon anggota Komnas HAM yang baru sejak tanggal 19 Desember 2006 sampai 20 Januari 2007.

Sampai hari ini, belum jelas berapa banyak dan siapa saja yang telah mendaftarkan diri ke panitia seleksi. Tetapi dari pengalaman pendaftaran calon anggota komisi-komisi negara yang lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain, jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Namun sayangnya, hanya sedikit dari para pendaftar yang kompeten dan berkualitas, sisanya adalah pencari kerja. Semoga tidak demikian dengan calon anggota Komnas HAM.

Untuk menyeleksi para pendaftar yang masuk sampai 20 Januari yang lalu, Komnas HAM telah membentuk Panitia Seleksi yang terdiri dari lima orang yaitu, Soetandyo Wignjosoebroto, Musdah Mulia, Kamala Chandrakirana, Azumardi Azra dan Maria Hartiningsih. Nama-nama hasil Panitia Seleksi ini kemudian akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dikenakan fit and proper test, selanjutnya 35 orang akan dipilih menjadi anggota, lalu mereka akan dilantik oleh Presiden.

Periode Krusial
Mengamati kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM periode 2002 – 2007 yang jauh dari harapan masyarakat, proses pemilihan anggota untuk periode 2007 – 2012 ini menjadi tahapan yang sangat krusial. Karena kalau salah pilih, kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM periode 2007 – 2012 malah bisa lebih buruk. Bila terjadi, hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menegakkan, melindungi dan memajukan hak asasi manusia.

Tantangan yang akan dihadapi Komnas HAM kedepan juga akan sangat berat. Salah satu diantaranya adalah karena Komnas HAM periode 2007 – 2012 akan mendapatkan limpahan kasus-kasus yang belum ditangani Komnas HAM periode sebelumnya seperti kasus Talangsari Lampung, kasus Manggarai, kasus Bulukumba, kasus Wamena, kasus Wasior dan kasus-kasus lain yang belum diselesaikan Komnas HAM.

Komnas HAM kedepan juga dituntut untuk sangat responsif terhadap terjadinya kasus-kasus baru, baik dalam ranah hak sipil dan politik (sipol), terutama dengan munculnya kecenderungan baru dalam hal pelanggaran HAM dalam wilayah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus agraria, perburuhan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan hak-hak perempuan dan anak-anak. Kekerasan-kekerasan karena fanatisme primordial berbasis etnik dan religi juga menjadi tantangan untuk diselesaikan oleh Komnas HAM periode mendatang.

Selain itu, Komnas HAM kedepan juga harus menanggung beban penyelesaian kasus-kasus masa lalu yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme ekstra-judisial yaitu Komisi Kebenaran, paska dibatalkannya Undang Undang No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi bulan Desember 2006 yang lalu secara signifikan memberi dampak hilangnya satu mekanisme tambahan dan pelengkap (komplementer) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu di luar mekanisme pengadilan. Konsekuensi lanjutannya adalah bahwa Komnas HAM tetap akan menjadi satu-satunya lembaga penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui wewenang penyelidikan yang diberikan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Anggota Komnas HAM yang kompeten, berkualitas dan imparsial
Beberapa hari sebelum pendaftaran calon anggota Komnas HAM ditutup, beberapa perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus, sebagai kelompok masyarakat yang mengalami dampak langsung dari baik buruknya kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM, menemui panitia seleksi. Mereka bermaksud memberikan masukan kepada panitia seleksi agar anggota Komnas HAM periode 2007 – 2012 memiliki kualitas yang lebih baik.

Terlepas masuk akal atau tidaknya masukan mereka menurut panitia seleksi, masukan tersebut muncul dari pengalaman pribadi masing-masing keluarga korban, sehingga secara moral dan empiris sangat valid. Oleh karena itu, masukan ini harus diperhatikan secara seksama.

Salah satu masukan serius dari keluarga korban ini adalah agar bekas TNI/Polri atau purnawirawan TNI/Polri tidak bisa menjadi anggota Komnas HAM, dengan alasan bahwa mereka pernah terlibat dalam pelanggaran HAM baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, dari pengalaman keluarga korban selama ini, anggota Komnas HAM dari unsur mantan TNI/Polri seringkali tidak imparsial dan berpihak kepada corps mereka (TNI/Polri) dalam kinerjanya di Komnas HAM. Contoh mutahir adalah ketika seorang anggota Komnas HAM dari purnawirawan TNI menjadi satu-satunya anggota Komnas HAM yang tidak setuju untuk memutuskan, dalam rapat pleno November 2006 lalu, bahwa kasus penghilangan paksa 1997/1998 adalah tindakan pelanggaran berat HAM.

Bahwa seorang mantan anggota TNI/Polri atau purnawirawan adalah bagian dari masyarakat sipil yang memiliki hak konstitusional untuk menjadi anggota Komnas HAM, adalah sesuatu yang sah dan legal dan karenanya harus dihormati. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa mantan anggota TNI/Polri atau purnawirawan seringkali tidak konsisten mengenai status dan hak konstitusional mereka ini. Ketika mereka dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan pada masa lalu, mereka selalu menyerahkan masalah ini ke corps atau institusi tempat mereka pernah mengabdi. Tetapi ketika berhadapan dengan proses-proses pemenuhan hak-hak sipil dan konstitusional warga, mereka buru-buru mengatakan bahwa mereka sudah menjadi sipil, bukan lagi militer dan tidak punya lagi hubungan dengan korps atau institusi tempat mereka bekerja sebelumnya.

Namun demikian, untuk tetap menjamin dan menghormati hak sipil dan konsitusional para mantan dan purnawirawan TNI/Polri, yang patut diperhatikan juga oleh panitia seleksi dan DPR saat melaksanakan fit and proper test nanti, adalah rekam jejak calon angota Komnas HAM yang menunjukkan sejauh mana mereka berkerja atau terlibat dalam usaha memajukan, menegakkan dan melindungi HAM, atau bahkan sebaliknya.

Sebagai sebuah referensi, resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/48/134 tahun 1993 mengenai Lembaga Nasional untuk Pemajuan dan Perlindungan HAM atau yang sering dikenal dengan Paris Principles yang menjadi acuan pembentukan dan kinerja Komnas HAM di semua negara anggota PBB menekankan pentingnya mempertimbangkan rekam jejak calon anggota Komnas HAM dalam hal kontribusi bagi penegakan dan perlindungan HAM.

Sehingga, bila rekam jejak ini diabaikan dan kepentingan politik diutamakan dalam proses pemilihan anggota Komnas HAM, baik itu oleh Panitia Seleksi maupun oleh DPR, maka Komnas HAM ke depan bukannya menjadi lembaga nasional penegakan dan perlindungan HAM, tapi akan menjadi lembaga pelestari impunitas.

Komnas HAM jangan terlalu gemuk
Dalam Undang Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang Komnas HAM, disebutkan bahwa anggota Komnas HAM adalah 35 orang. Kenyataannya, anggota Komnas HAM periode 2002 – 2007 yang dilantik oleh Presiden tahun 2002 berjumlah 23 orang.

Jumlah anggota Komnas HAM yang 23, dalam praktiknya menimbulkan kesulitan-kesulitan ditingkatan praktis karena masih terlalu banyak. Fakta bahwa anggota Komnas HAM memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan kepentingan yang belum tentu sama, menyebabkan proses pengambilan kebijakan, kerjasama dan koordinasi antar anggota menjadi sangat rumit. Dalam perkembangannya Komnas HAM bisa terjebak dalam conflict of interests dan birokratisme. Dalam situasi yang demikian, pekerjaan Komnas HAM yang menuntut efektifitas dan kesigapan, karena berhubungan dengan hak-hak dan nasib manusia menjadi terhalangi.

Tidak jarang pula proses pengambilan keputusan menjadi sangat lama dan berlarut-larut. Bahkan seringkali keputusan-keputusan penting yang berhubungan dengan fakta-fakta hukum dan peristiwa pelanggaran HAM dicapai melalui voting.

Dalampraktiknya selama ini, besarnya jumlah anggota Komnas HAM ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas proses dan hasil kerja yang mereka dapat. Hal ini terjadi karena banyak anggota Komnas HAM yang memang tidak punya kecakapan dan kapasitas kerja-kerja riil seperti pengkajian dan penelitian, pendidikan dan penyuluhan, mediasi dan penyelidikan. Kualitas orang-orang yang dibutuhkan oleh Komnas HAM memang tidak sekedar pemikir (thinker), publik figur dan pemimpin (leader), tetapi terutama adalah pekerja (doer).

Di India misalnya, dengan luas wilayah, kasus pelanggaran HAM dan penduduk yang jauh lebih besar dari Indonesia, jumlah anggota Komnas HAM-nya jauh lebih sedikit yaitu 5 orang. Namun mereka memiliki staff yang cukup dengan kapasitas yang baik. Hasilnya, pekerjaan mereka menjadi jauh lebih efektif dan efisien, dan Komnas HAM India menjadi bagian dari lembaga yang menjadikan India sebagai salah satu negara paling demokatis di dunia.

[1] Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan IKOHI

Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa

Harapan Baru bagi Penghentian Tindak Penghilangan Paksa
Mugiyanto[1]

Akhir tahun 2006 lalu, tepatnya tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB, mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini merupakan sebuah instrumen HAM internasional tentang penghilangan orang secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara anggota PBB yang meratifikasinya. Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh masyarakat internasional -terutama para keluarga korban- selama hampir 30 tahun terakhir.

Diawali oleh perjuangan Ibu-ibu
Pada awalnya, perjuangan untuk memiliki sebuah aturan hukum internasional ini dirintis oleh sekelompok ibu yang kehilangan anak-anaknya karena ditahan lalu dilenyapkan oleh pemerintahan junta militer di Argentina pada akhir tahun 1970-an. Ibu-ibu ini lalu mengatur diri dan melakukan protes diam dengan berjalan mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden Argentina setiap Kamis sore, di Plaza de Mayo. Karena itulah, sekelompok ibu-ibu ini mendapatkan julukan Las Madres des Plaza de Mayo (Ibu-Ibu di Plaza de Mayo).

Dari keringat, darah dan airmata ibu-ibu inilah, gelombang besar gerakan anti penghilangan paksa bergulung seperti tsunami di Amerika tengah dan selatan lainnya seperti Guatemala, Chile, El Salvador, Brasil, Costa Rica, Venezuela, Peru, Honduras, Uruguay dan Mexico. Dari belahan dunia inilah gerakan menentang praktik penghilangan paksa mengalir ke Eropa, sampai akhirnya memasuki badan-badan PBB.

Dari perjuangan itu, pada tahun 1980, PBB mendirikan mekanisme tematik khusus untuk kasus penghilangan paksa yang bernama Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID).

Kelompok Kerja ini memiliki mandat humanitarian dengan meneruskan laporan-laporan kasus individual oleh keluarga korban atau organisasi HAM ke pemerintah yang bersangkutan. Kelompok Kerja ini tidak memeliki wewenang memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas sebuah kasus penghilangan paksa.

Lalu pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Deklarasi Anti Penghilangan Paksa). Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Namun, Deklarasi hanya merupakan ekspresi komitmen dan kesepakatan moral yang bersifat umum segenap anggota PBB untuk bersama-sama memerangi penghilangan paksa tanpa sanksi dan aturan yang mengikat negara-negara yang tidak mematuhinya.

Proses panjang pembahasan dan pengesahan Konvensi
Hasilnya, pada tahun 2002, Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja (Working Group) yang bertugas untuk merumuskan bentuk dan isi instrumen hukum yang dimaksud.

Kelompok Kerja yang dipimpin oleh Duta Besar Perancis untuk PBB, Bernard Kessedjian ini mengadakan pertemuan dua kali setahun mulai tahun 2003 dengan melibatkan elemen masyarakat sipil. Pertemuan yang pernah diikuti oleh almarhum Munir ini sering diwarnai perdebatan panas, antara lain soal bentuk instrumen, apakah sebuah Protokol Tambahan (Optional Protocol) atas Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, ataukah sebuah Konvensi yang sama sekali terpisah.

Setelah perdebatan alot selama 3 tahun, akhirnya pada bulan September 2005, Kelompok Kerja tersebut menyetujui rancangan instrument dalam bentuk Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Selanjutnya pada bulan Juni 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan Rancangan Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa Rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20 Desember 2006, Sidang Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa. Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini secara resmi telah menjadi Konvensi yang bisa segera diberlakukan secara aktif.

Tahun 2007 tahun krusial
Tahun 2007 adalah tahun krusial dalam usaha masyarakat global melawan penghilangan paksa karena pada tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang baru disahkan itu akan mulai diratifikasi oleh berbagai negara dan diberlakukan secara aktif (enter into force).

Menurut Konvensi tersebut, Konvensi akan berlaku secara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Dibandingkan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi negara, Konvensi ini dipastikan akan bisa berlaku aktif jauh lebih cepat, yaitu pada bulan Maret 2007, mengingat tanggal 7 Pebruari 2007, sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis.

Dalam konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh PBB harus dijadikan momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM. Secara khusus, momentum ini harus dijadikan kesempatan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang saat ini berhenti di kantor Jaksa Agung.

Di sini penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Pebruari 2007. Ratifikasi oleh Indonesia ini akan menjadi ukuran konsistensi sikap Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia “akan memprioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa ditunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghilangan paksa). Ratifikasi oleh Indonesia juga akan sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 61 tanggal 20 Desember 2006 yang lalu.


Efektifitas Konvensi
Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, berarti Indonesia menjadi negara pihak (state party) atas Konvensi tersebut. Artinya pula, Indonesia mengikatkan diri pada aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi. Konsekuensi lanjutannya, Indonesia harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi dimaksud.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana Konvensi bisa efektif memerangi penghilangan paksa, mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai Konvensi internasional, namun tidak terimplementasi secara baik?

Pertama, Konvensi menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang membenarkan tindak penghilangan paksa. Konvensi juga menyatakan bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran yang berkelanjutan (continuing offense) dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi melarang seseorang ditahan di tahanan rahasia dan semua negara pihak harus memiliki catatan resmi atas orang-orang yang sedang ditahan.

Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain itu, Konvensi juga mengharuskan negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan bekerjasama dalam mencari, menyelidiki dan membebaskan orang-orang yang dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal, negara pihak harus melakukan penggalian (exhumation), pengidentifikasian dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.

Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin hak anggota keluarga dan masyarakat untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban serta untuk mengetahui kemajuan dan hasil penyelidikan. Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan serta kompensasi yang cepat dan adil.

Kedua, untuk memastikan bahwa aturan Konvensi dijalankan oleh Negara pihak, Konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances). Komite ini beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten, berdedikasi, berintegritas dan mewakili wilayah geografis internasional serta secara jender berimbang.

Komite inilah yang akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima, menanggapi dan memberikan rekomendasi atas laporan negara pihak mengenai langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional. Komite juga memiliki wewenang untuk meminta informasi dari negara pihak tentang orang yang dilaporkan hilang, serta memintanya melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari korban. Selain itu, atas persetujuan negara pihak, anggota Komite juga bisa melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dan mengeluarkan laporan atas hasil kunjungan tersebut ke Komite.

Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi, Komite Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB melalui Sekjen PBB bila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama, dan bila ada indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis atau meluas.

Pertanda awal penegakan HAM 2007
Adanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak akan secara otomatis melenyapkan praktik penghilangan paksa dari muka bumi. Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa secara konsensus berarti adanya kesepakatan hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk bersama-sama menghentikan, mencegah dan menghukum pelaku tindakan penghilangan paksa. Pengingkaran dan pelanggaran atas aturan-aturan Konvensi yang telah diratifikasi akan menjadikan sebuah negara pihak tercoreng dan terkucil dari pergaulan masyarakat dunia yang beradab.

Implementasi di tingkat nasional yang harus dilakukan setalah proses ratifikasi, sepenuhnya ditentukan oleh sejauh mana pemerintah sebuah negara benar-benar berkomitmen memerangi tindakan keji yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai hostis humanis generis ini.

Indonesia, yang kini duduk di dua lembaga terhormat PBB yaitu Dewan HAM (United Nations Human Rights Council) dan Dewan Keamanan (United Nations Security Council) diharapkan bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain dalam implementasi penegakan HAM, khususnya dalam isu penghilangan paksa dengan cara meratifikasi Konvensi.

Secara paralel, laporan penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 juga musti segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bila demikian, hal ini bisa menjadi pertanda awal yang baik bagi pemerintahan SBY-JK di tahun 2007 dalam bidang penegakan HAM.

[1] Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan IKOHI