Tuesday, December 05, 2006

back 9 years ago


Indonesian activist tours
19 February 1997
By Martin Iltis and Russel Pickering

Indonesian solidarity campaigners in Canberra, Wollongong and Sydney heard Robbie Hartono from the Indonesian People's Democratic Party (PRD) speak at public meetings between February 11-15. The meetings were part of a national speaking tour organised by Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET).

At a meeting of 30 people on February 13 in Canberra, Hartono outlined how the Peoples' Democratic Party (PRD), although illegal under Indonesian law, is organising mass opposition to the Suharto regime. He stressed the need for both political and financial support for the pro-democracy movement, particularly to secure the release of leaders of the PRD and affiliated groups presently facing charges of sedition and possibly execution.

The ACT Trades and Labour Council; the Construction, Forestry, Mining and Engineering Union; the Transport Workers Union; and the National Tertiary Education and Industry Union pledged solidarity with the PRD. The CFMEU and TWU promised financial support and the NTEU offered solidarity to the illegal union, the Indonesian Centre for Labour Struggles (PPBI).
The Student Representative Council (SRC) at the Australian National University recommended that the next student general meeting endorse a motion that offers wide-ranging political support to the campaign to free Indonesian political prisoners. The motion also provides for a financial contribution. The Student Association at the University of Canberra agreed to publish articles in the student paper in support of the campaign and decided to "adopt" Dita Sari, president of the PPBI, who is currently on trial for sedition.

Hartono visited Wollongong on February 11-12. He held interviews with the local media and meetings with the South Coast Labour Council and the University of Wollongong SRC. During a public meeting, Hartono stressed the need for international solidarity. He told Green Left Weekly, "On July 27, 47 people were killed and the Australian government said nothing because of the relationship between the Australian capitalists and the Indonesian capitalists. At the very least, the Australian government should withdraw its recognition of Indonesia's occupation of East Timor and call for the release of political prisoners."

Hartono joined ASIET activist Ed Aspinall who has recently returned from six weeks in Indonesia to address a public meeting attended by around 80 people in Sydney on February 15. The meeting raised more than $600 for ASIET's Free the Indonesian Political Prisoners campaign.

Friday, December 01, 2006

Opini Kompas: Kejelasan Nasib Penghilangan Paksa

Kejelasan Nasib Korban Penghilangan Paksa

Mugiyanto


Setelah bekerja selama satu tahun, akhirnya pada tanggal 10 November 2006 Komnas HAM mengeluarkan laporan akhir hasil kerja Tim Ad Hoc Penyelidikan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa selama tahun 1997-1998. Dalam laporan akhir itu Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup terjadinya pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Di akhir laporan itu, Komnas HAM menyatakan akan mengupayakan dipenuhinya hak-hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban maupun keluarga korban dalam peristiwa tersebut.


Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tujuh hari kemudian laporan akhir itu diserahkan Komnas HAM kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan. Namun, belum lagi menerima laporan tersebut, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah mengatakan tidak akan melakukan penyidikan sampai ada rekomendasi DPR agar Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.


Jaksa Agung sama sekali tidak mau tahu dan mengabaikan laporan dan rekomendasi Komnas HAM bahwa penghilangan paksa adalah kejahatan yang berkelanjutan (continuing crime), yang penanganannya tidak melalui mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc, melainkan Pengadilan HAM permanen.


Artinya, rekomendasi DPR dan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Presiden tidak diperlukan sebagai syarat pelaksanaan penyidikan oleh Jaksa Agung. Bahkan, Komisi II DPR yang membidangi hukum dan HAM sendiri mengatakan bahwa Jaksa Agung harus langsung melakukan penyidikan (Kompas, 23/11).


Harapan keluarga korban

Walaupun tidak ada temuan yang baru, kesimpulan dan rekomendasi Komnas HAM bahwa kasus penghilangan paksa 1997- 1998 memenuhi unsur adanya dugaan tindak pelanggaran berat HAM dan karena itu harus dibawa ke pengadilan HAM sudah sejalan dengan harapan masyarakat, terutama keluarga korban yang telah berjuang selama delapan tahun terakhir.


Laporan dan kesimpulan Komnas HAM ini merupakan penegasan (afirmasi) dan pengakuan (acknowledgement) negara atas pengetahuan dan asumsi publik yang selama ini berkembang bahwa kasus tersebut memang tindakan pelanggaran berat HAM dalam bentuk penghilangan paksa, penyiksaan, perampasan kebebasan, dan pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dan meluas terhadap masyarakat sipil.


Laporan Komnas HAM masih jauh dari harapan agung keluarga korban untuk mengetahui nasib dan keberadaan 13 orang yang sampai kini masih hilang entah di mana. Memang benar bahwa Komnas HAM tidak secara eksplisit memiliki mandat untuk menemukan mereka yang hilang. Namun, keluarga korban sudah telanjur berharap bahwa penyelidikan Komnas HAM akan mampu sedikit memberikan petunjuk yang mengarah pada keberadaan para korban yang masih hilang, dan bukan hanya mengenali pelaku dan penanggung jawab.


Ketidakberhasilan menemukan petunjuk yang mengarah pada keberadaan para korban ini sudah diketahui oleh keluarga korban setelah adanya penolakan pihak TNI untuk diperiksa, Jaksa Agung untuk memberikan izin kunjungan lapangan, dan pengadilan negeri untuk melakukan pemanggilan paksa pada saat penyelidikan sebelumnya. Dari pemeriksaan atas anggota TNI yang terlibat, kunjungan ke tempat-tempat penyekapan dan penyiksaan diharapkan akan mampu menemukan bukti, informasi, dan petunjuk penting yang selama ini tersembunyi rapat. Penolakan-penolakan kerja sama oleh institusi-institusi ini juga dilihat oleh keluarga korban yang setiap hari memantau kerja Komnas HAM, bahwa Komnas HAM belum cukup maksimal dan percaya diri menjalankan mandat dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Komnas HAM.


Alat politik negara

Bagi keluarga korban, laporan penyelidikan Komnas HAM ini adalah langkah awal dari usaha besar mengungkap kebenaran sejarah dan keadilan. Dan seperti kasus-kasus lainnya, langkah lanjutan ternyata jauh lebih berat dan sulit. Terbukti belum apa-apa Jaksa Agung sudah pasang badan dengan mengatakan tidak akan melakukan penyidikan.


Ada kejanggalan di sini ketika Jaksa Agung mengambil sikap yang sama atas sebuah kasus yang tengah diselidiki dan telah diselidiki. Masih sedikit agak masuk akal ketika Jaksa Agung meminta rekomendasi DPR untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebelum ia memberi izin kunjungan lapangan ke Komnas HAM, karena kasus memang sedang tahap penyelidikan. Menjadi sangat tidak masuk akal ketika proses penyelidikan Komnas HAM telah selesai dan menemukan penghilangan paksa sebagai kejahatan yang berlanjut (bukan kasus masa lalu), tetapi Jaksa Agung tetap mengambil sikap yang sama dengan ketika hasil laporan belum ada.


Jaksa Agung telah mengambil sikap menutup pintu rapat-rapat bagi pemahaman atas temuan dan pendapat Komnas HAM yang diperkuat oleh Deklarasi Antipenghilangan Paksa PBB tahun 1992, Resolusi Dewan Eropa 2005, dan Konvensi Inter-Amerika untuk Penghilangan Paksa 1996 yang mengatakan bahwa sampai ada pengakuan resmi negara atas nasib mereka yang hilang, kasus penghilangan paksa merupakan kejahatan yang berlanjut.


Di sini kelihatan sekali Jaksa Agung lebih menampakkan dirinya sebagai institusi dan alat politik negara yang kurang peka terhadap keadilan, penegakan hukum, dan HAM, serta menjadikan dirinya sebagai tameng politik pemerintah.


Dua sisi mata uang

Untuk kasus penghilangan paksa, di mana keluarga yang ditinggalkan berada dalam ketidakpastian, maka bagi mereka kejelasan nasib dan keberadaan para korban, baik itu masih hidup maupun sudah meninggal, adalah sesuatu yang utama dan sangat penting. Di sini berarti kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah sebuah bangsa, karena peristiwa ini terjadi dalam konteks transisi politik sebuah bangsa, adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi harapan utama keluarga korban.


Meski demikian, dalam konteks politik dan penegakan hukum di Indonesia yang demikian lemah, kebenaran yang didambakan tersebut tidak akan mungkin muncul, kecuali mereka yang tahu, para pelaku dan mereka yang bertanggung jawab mendapatkan konsekuensi hukum yang tegas. Selain itu, informasi atas kebenaran yang tidak muncul dari proses yang terbuka dan transparan tidak akan mampu memberikan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku pelanggaran HAM, yang akibatnya akan menjadikan mereka berkesempatan melakukan tindakan yang sama pada ruang dan waktu yang berbeda.


Di sini penulis menganggap bahwa proses pengungkapan kebenaran atas sebuah peristiwa pelanggaran berat HAM tidak bisa dipisah-pisahkan dengan proses pencarian keadilan baik bagi pelaku (prosecution) maupun bagi korban (reparation; pemulihan). Keduanya seperti dua sisi mata uang. Hanya dengan cara penyelesaian menyeluruh seperti inilah bangsa Indonesia akan mampu berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya.


Di sinilah untuk kesekian kalinya komitmen dan kredibilitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di bidang HAM dipertaruhkan, yang dalam konteks penanganan kasus pelanggaran berat HAM, melalui tangan seorang Jaksa Agung. Akan sangat menyakitkan masyarakat dan keluarga korban apabila Jaksa Agung tetap mensyaratkan adanya rekomendasi DPR sebelum ia melakukan penyidikan, sementara DPR sendiri mengatakan bahwa Jaksa Agung harus langsung melakukan penyidikan.


Mugiyanto Penyintas (Survivor) Peristiwa Penghilangan Paksa 1998, Kini Ketua IKOHI