Sunday, December 20, 2015

MAJU SELANGKAH LAGI, PAK PRESIDEN


(Catatan dari peringatan Hari HAM Sedunia)
11 Desember 2015,

Hari ini, untuk pertama kalinya, saya mendapat kesempatan menghadiri Peringatan Hari HAM Sedunia di Istana Negara. Bukan saya yang diundang, tetapi pimpinan organisasi dimana saya bekerja. Saya melihat ada para Menteri dan Kepala Lembaga Negara, Gubernur, Bupati/Walikota, pegiat dan pejuang HAM, anak-anak sekolah, para jurnalis dan lain-lain. Pembawa acara menyebutkan, hadirin berjumlah sekitar 300 orang. Pejabat negara yang terkait HAM juga hadir. Ada Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menkumham, Kapolri dan Ketua Komnas HAM.

Acara dibuka dengan pidato Ketua Komnas HAM yang menyampaikan apresiasi terhadap Presiden atas komitmennya terhadap penegakan HAM, serta kritik Komnas HAM terhadap Polisi dan Korporasi yang menjadi pihak terlapor terbanyak terkait kasus pelanggaran HAM. Peran Pemerintah Daerah dalam perlindungan dan pemenuhan HAM dalam konteks Kabupaten/Kota Ramah HAM juga disebutkan. Selanjutnya adalah laporan kegiatan Komnas HAM terkait Hari HAM Sedunia termasuk Konferensi Kabupaten/Kota Ramah HAM bersama INFID, Elsam dan Kemenkumham, serta pameran Museum Temporer dalam bungkus Rekoleksi Memori. Di bagian penutup, Keyua Komnas HAM menyampaikan aspirasi public yang mengharapkan agar pemerintah mendirikan Museum HAM yang permanen.

Pidato selanjutnya adalah Menkumham yang menyampaikan laporan kegiatan Kemenkumham selama satu tahun terakhir. Bebrapa diantaranya terkait penyusunan RANHAM, Promosi Kab/Kota Peduli HAM. Selebihnya, tidak banyak yang baru atau menjadi terobosan.
Pidato yang paling ditunggu-tunggu adalah Pidato inti, pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Sebelumnya, di luar, ada rumor bercampur harapan, bahwa Presiden Jokowi akan membuat kejutan terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Yang lain, menyatakan sudah habis harapannya. Saya sendiri masih memiliki sisa harapan, karena bila tidak, tentu saya tidak akan memenuhi undangan ke Istana Negara, yang karenanya saya juga tidak akan bisa membuat tulisan ini.

Presiden Jokowi memulai pidato dengan mengatakan bahwa HAM bukan hanya merupakan amanat konstitusi, tetapi landasan berelasi antara rakyat dan pemerintah. Selanjutnya, seperti biasa, dengan sangat lugas Presiden Jokowi memberikan pengakuan (acknowledgement) atas adanya berbagai persoalan HAM yang ada di Indonesia, antara lain 1) pelangaran HAM masa lalu; 2) persoalan agrarian; 3) masyarakat adat; 4) pendidikan dan kesehatan; dan 5) kelompok marjinal, minoritas dan disabilitas.

Lalu secara singkat pula, Presiden Jokowi menegaskan bahwa tanggung jawab HAM ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penanganan dan pemenuhan HAM harus dipercepat. Kata “dipercepat” yang ditekankan oleh Presiden Jokowi ini penting, karena merupakan pengakuan atas lambannya penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

Terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu, Presiden Jokowi dengan suara yang nyaring mengatakan, diperlukan “Keberanian”, untuk melakukan “Rekonsiliasi”, serta menjajaki jalan “Yudisial”dan “Non Yudisial”. Pilihan kata yang diambil oleh Presiden Jokowi ini penting kita perhatikan, karena disanalah (bibit-bibit) keraguan atau ketidak percayaan publik mulai muncul. Komitmen indah dalam Nawacita dirasakan publik mulai dilupakan oleh Presiden. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu belum juga tersentuh. Pihak-pihak terkait di pemerintahan (Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menkumham, Komnas HAM) semuanya mengatakan bahwa formula kebijakan terbaik masih sedang diselesaikan. Ini adalah formulasi jawaban, the same old song, yang telah kita dengarkan sejak 2009, sejak awal periode kedua Pemerintahan SBY. Bukankah Presiden Jokowi adalah pembeda?!

Pidato Presiden Jokowi ini sebenarnya biasa saja. Tidak banyak yang baru. Juga tidak konkrit, atau actionable. Kebanyakan hanya pengulangan dan penekanan. Tetapi pengakuan adanya berbagai persoalan masih patut diapresiasi. Pengakuan dan penghargaan beberapa daerah terkait HAM yang dikemas dalam konsep Kab/Kota Ramah HAM mungkin bisa dibilang baru. Namun dari perspektif yang positif, saya melihat, Presiden Jokowi masih membuka diri pada masukan-masukan konstruktif. Saya bisa melihat dari poin-poin persoalan yang diidentifikasi dan diksi atau pilihan kata yang diambil. Tidak sepenuhnya ia dikendalikan oleh mereka yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.

Pilihan kata-kata “Dipercepat”, “Keberanian”, “Rekonsiliasi”, mekanisme “Yudisial dan Non Yudisial” adalah kata-kata kunci, magic words, yang mustinya ditunjukkan realisasinya. Kata “Dipercepat” harus dijadikan Jaksa Agung untuk mempercepat proses penyidikan dan penuntutan atas berkas-berkas kasus pelanggaran berat HAM yang sudah ada di laci Jaksa Agung. Lalu karena mekanisme “Non Yudisial”juga disebut Presiden, maka bila Komisi Kebenaran (Truth Commission) dijadikan pilihan mekanisme pelengkap (complimentarity), proses penyusunan dan pengesahan rancangan undang-undangnya harus dipercepat penyelesaiannya.

Kata “Keberanian” memiliki makna sentral. “Keberanian” sebenarnya merupakan hal yang biasa. Tetapi karena jarang dimiliki manusia dalam memperjuangkan atau melakukan hal-hal yang merupakan kebajikan, ia menjadi barang mewah. Padahal, tanpanya, manusia bukanlah manusia. Sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, tanpa “Keberanian”, manusia adalah ternak-ternak, yang siap digiring ke sana kemari oleh pemiliknya.

Terkait “Keberanian” ini, Perdana Menteri Canada yang baru terpilih memberi tauladan juara bagi pemimpin atau kepala negara. Minggu lalu, Justin Trudeau, Perdana Menteri berusia 43 tahun ini menyampaikan permintaan maaf resmi (apologies) dan pengampunan (forgiveness) kepada masyarakat Aborigin yang menjadi korban kebijakan di masa lalu. Tidak hanya minta maaf, Perdana Menteri Tradeau juga mengucapkan terima kasih atas Keberanian para korban. “I say: thank you for your extraordinary bravery and for your willingness to help Canadians understand what happened to you”. Tradeau memiliki keberanian berlapis. Pertama ia memiliki Keberanian meminta maaf dan pengampunan kepada para korban. Selanjutnya ia memiliki Keberanian untuk berterima kasih kepada para korban atas Keberanian mereka membantu Kanada (sebagai Bangsa) mengetahui masa lalunya.

Soal percepatan, keberanian, rekonsiliasi serta mekanisme judisial dan non judisial, terkait pelanggaran HAM masa lalu yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato peringatan Hari HAM Sedunia sejatinya adalah self reminder, peringatan pada diri Presiden Jokowi sendiri. Setidaknya UUD 1945 sebagai Konstitusi dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengamanatkan bahwa Negara, khususnya Pemerintah adalah pemegang tanggung jawab di bidang HAM. Presiden juga telah diamanatkan undang-undang untuk mengeluarkan Perpres pembentukan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus yang telah diselesaikan Komnas HAM dan DPR, yatu kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998. Demikian juga untuk langkah-langkah lain terkait pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan (reparasi).

Pak Presiden, waktunya telah tiba. Kata-kata telah terucap berulang kali. Kini waktunya melangkah, kerja.