Monday, July 18, 2005

Wiranto mengetahui 14 Korban Penculikan 1998

Mencari Jejak 14 Korban Penghilangan Paksa 1997-1998
Mugiyanto[1]


Aku pasti pulang
Mungkin tengah malam dini
Mungkin subuh hari
Pasti dan mungkin
Tapi jangan kau tunggu

(Kutipan puisi Catatan karya Wiji Thukul, Janauari 1997)


Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktifis pro-demokrasi yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998 kini sedang diselidiki oleh Tim Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa (TPPOSP) Komnas HAM sejak Bulan Januari 2005. Tim yang dibentuk berdasarkan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia ini akan selesai masa tugasnya pada tanggal 20 Juli 2005 nanti, dengan kemungkinan perpanjangan sebulan (lagi). Untuk membuktikan adanya tindak pelanggaran berat hak asasi manusia, dan mengungkap nasib 14 korban yang masih hilang, TPPOSP telah memeriksa beberapa pihak sebagai saksi, antara lain korban selamat, keluarga korban dan saksi-saksi lain yang mengetahui peristiwa tersebut. Beberapa personil Polri juga telah memberikan beberapa keterangan. Akan tetapi TPOSP mengalami kegagalan untuk melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang dari pihak TNI dengan alasan bahwa seseorang tidak bisa dituntut dua kali (nebis in idem), dan bahwa seseorang tidak bisa dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut, atau setelah peristiwa terjadi (retroaktif).

Akan tetapi, walaupun menyatakan menolak, salah seorang yang diundang untuk didengar kesaksiannya yaitu Jenderal Purnawirawan Wiranto sempat bertemu dengan Ketua TPPOSP Ruswiyati Suryasaputra dan seorang anggota Samsoedin, serta dua orang asisten Tim. Dalam pertemuan tanggal 10 Juni yang ditutup-tutupi tersebut, Jenderal Purnawirawan Wiranto sempat didengarkan Samsoedin mengatakan “Mereka semua telah mati” (Majalah Tempo Edisi 11-17 Juli 2005).

Bagi penulis, pernyataan Jenderal Purnawiraan Wiranto tersebut sangat signifikan dengan beberapa alasan. Pertama, pernyataan tersebut disampaikan di depan anggota TPPOSP yang nota bene tengah melakukan penyelidikan atas kasus yang dimaksud. Walaupun dalam suasana informal sambil minum kopi, masing-masing pihak yang mengadakan pertemuan tahu posisi masing-masing, sebagai penyelidik dan sebagai orang yang akan dimintai keterangannya.

Kedua, pernyataan Jenderal Purnawirawan Wiranto merupakan pernyataan pertama sejak peristiwa terjadi 8 tahun lalu, yang diucapkan oleh pihak yang pada saat itu memiliki otoritas. Pernyataan tersebut merupakan pernyataan pertama karena selama ini pengakuan yang terungkap baik dalam Pengadilan Militer tahun 1999 maupun pemeriksaan oleh DKP, Tim Mawar Kopassus dan Letjen Purnawirawan Praboro adalah bahwa mereka menculik 9 orang dan kesemuanya sudah dilepaskan. Pernyataan ini penting karena diucapkan oleh pihak yang ketika peristiwa terjadi memegang otoritas kekuasaan. Pada bulan Maret ketika peristiwa terjadi, Jenderal Purnawirawan Wiranto adalah Panglima ABRI. Selanjutnya pada tahun 1999 ketika kasus ini ditangani Pengadilan Militer, sebagai Pangab/Menhankam Jenderal Purnawirawan Wiranto membentuk Dewan Kehormaan Perwira (DKP) yang memeriksa Letjen Prabowo Subiyanto sebagai Pangkostrad, Mayjen Muchdi PR sebagai Dan Kopassus dan Kol. Chairawan sebagai Dan Grup IV Kopassus. Dengan kapasitas seperti itu, pernyataan Jenderal Purnawirawan Wiranto adalah pernyataan yang punya legitimasi kuat.

Ketiga, pernyataan Jenderal Purnawirawan Wiranto mengandung arti bahwa yang bersangkutan mempunyai pengetahuan tentang nasib korban yang sampai saat ini tidak diketahui public dan keluarganya. Penulis menganggap, pernyataan ini harus terus dikejar dan ditelusuri oleh TPPOSP sehingga bisa terungkap secara gamblang tentang bagaimana keadaan 14 korban yang masih hilang. Kalau mereka sudah meninggal, harus diusut siapa yang membunuh, mengapa dan bagaimana mereka dibunuh, serta dimana mereka dikuburkan. Dan kalau mereka masih hidup sebagaimana para keluarga berkeyakinan, TPPOSP harus bisa mendesak mereka yang tahu untuk mengatakan bagaimana keadaan mereka, dan di mana mereka pada saat ini.

***

Sikap menolak untuk diperiksa oleh pihak TNI seharusnya tidak menjadikan usaha pengungkapan kasus ini menjadi buntu. Terobosan-terobosan harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait seperti Komnas HAM, DPR dan Presiden. Tak kalah pentingnya adalah para keluarga korban untuk terus mengingatkan pihak-pihat tersebut diatas. Komnas HAM sebagai pemegang tunggal wewenang penyelidikan harus betul-betul menjalankan mandat yang wewenang yang diberikan oleh UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sesuai pasal 95 UU No. 39/1999, TPPOSP Komnas HAM harus melakukan pemanggilan paksa terhadap pihak-pihak kunci yang mangkir seperti Jenderal Purnawirawan Wiranto, Letjen Purnawirawan Prabowo Subiyanto, Letjen Sjafrie Syamsudin, Kolonel Chairawan dan lain-lain.

Selain melakukan pemanggilan paksa, TPPOSP seharusnya juga melakukan kunjungan atau inspeksi ke lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat penahanan dan penyiksaan. Inspeksi ini ditujukan untuk mendapatkan alat-alat bukti, termasuk untuk mendapatkan gambaran tentang proses penculikan, penyiksaan dan penghilangan para aktifis pada waktu itu. Terobosan lain yang harus dilakukan oleh TPPOSP adalah rekonstruksi BAP, untuk mendapatkan gambaran peristiwa, termasuk adanya kemungkinan mendapatkan bukti-bukti dan keterangan baru. Bila hal-hal tersebut diatas dilakukan oleh TPPOSP, maka ketidakhadiran saksi-saksi dari pihak TNI tidak akan terlalu bermasalah, karena informasi, alat bukti dan lain-lain telah cukup menunjukkan adanya tindak pelanggaran berat HAM dalam bentuk penghilangan paksa.

Selanjutnya, hal lain yang juga harus dilakukan oleh TPPOSP adalah mendapatkan dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang berisi pemeriksaan tiga perwira yang dituduh bertanggungjawab atas peristiwa ini yaitu, Letjen Prabowo Subiyanto, Mayjen Muchdi PR dan Kol. Chairawan. Dokumen yang dijadikan dasar pemberian pensiun dini terhadap Letjen Prabowo Subiyanto ini diyakini mengandung informasi penting seputar nasib dan keberadaan mereka yang sampai saat ini masih hilang.

***

DPR baru hasil pemilu langsung 2004 sudah seharusnya menunjukkan keberpihakannya pada mereka yang diwakili. Statemen dukungan oleh Komisi III DPR Bidang Hukum dan HAM atas pengungkapan kasus ini seharusnya bisa ditindaklanjuti dengan meminta Presiden menginstruksikan anggota dan purnawirawan TNI untuk bersedia memberi keterangan yang jujur kepada Komnas HAM. DPR juga harus meminta Presiden SBY yang pada tahun 1999 sempat duduk secagai anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memberi keterangan kepada Komnas HAM tentang hal-hal yang diketahuinya setelah memeriksa tiga orang perwira yang terlibat kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998.

Hanya dengan terobosan-terobosan seperti di ataslah para keluarga korban akan mendapatkan harapan bahwa masa 8 tahun penantian akan bisa berakhir dengan datangnya informasi tentang nasib orang-orang yang mereka cintai. Selanjutnya kalau kasus ini benar akan terungkap, mereka bersama dengan masyarakat secara umum baru akan melihat dan yakin bahwa pemerintah sekarang benar-benar mewujudkan janjinya untuk menegakkan dan menghormati HAM serta menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Namun bila masa menunggu akan terus diperpanjang, mereka pun tidak akan pernah menyerah dan berhenti berjuang. Karena para korban tahu bahwa Ibu-ibu Plaza de Mayo (Las Madres de Plaza de Mayo) di Argentina pun, sampai hari ini, sejak pertengahan tahun 70-an selalu mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden di Buenos Aires setiap Kamis sore untuk menuntut pemerintah mempertanggungjawabkan penghilangan anak-anak mereka tiga puluh tahun yang lalu.

[1] Penulis adalah Ketua IKOHI, korban penculikan Maret 1998

Kuda Troya KKR

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Kunci Keberhasilan (atau Kegagalan) Ada di Presiden

Mugiyanto[1]

Reconciliation was the Trojan horse used to smuggle an unpleasant aspect of the past
(that is, impunity) into the present political order.
(Richard A. Wilson, The Politics of TRC in South Africa)

Segera setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, wacana tentang Komisi Kebenaran sebagai mekanisme transisional untuk menangani berbagai pelanggaran berat HAM masa lalu sangat populer. Akan tetapi, tidak ada respon positif dari negara untuk merealisasikan pendirian komisi kebenaran tersebut. Baru lima tahun kemudian, wacana tersebut disambut oleh pemerintah, dalam hal ini Kementarian Kehakiman dan HAM dengan mengajukan rancangan UU-nya ke DPR. Mulai pertengahan tahun 2003 itulah penggodogan KKR dimulai lagi, hingga keluar menjadi Undang-Undang pada tanggal 7 September, 2004.

Oleh beberapa kalangan, pelaksanaan KKR pada periode ini dianggap terlambat karena momentum politik yang sudah tidak tersedia lagi. Momentum yang dianggap konsudif bagi terlaksananya KKR, yaitu ketika kelompok pelanggar HAM rejim sebelumnya tidak terlalu dominan dalam kehidupan sosial dan politik, pada saat ini sudah berlalu. Bahkan saat ini, secara gamblang bisa dilihat bahwa kelompok ini telah kembali dominan.

Tulisan singkat ini tidak diarahkan untuk membahas apakah KKR urgent atau tidak, atau apakan sesuai dengan momentum atau tidak, akan tetapi pada apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk menjadikan kelemahan-kelemahan yang ada pada KKR diminimalisir. Disinilah pentingnya respon dari masyarakat sipil, mengingat KKR dalam waktu dekat akan segera dijalankan.

***

Hal pertama yang harus kita jadikan landasan untuk bersikap adalah pemahaman bahwa KKR merupakan lembaga non-judisial. Ia bukan merupakan sebuah lembaga yang hendak digunakan menangani tindak pelanggaran HAM secara hukum, karena cara penyelesaian melalui jalur hukum ada pada Pengadilan HAM yang proses penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM. Oleh karena itu, kita harus memposisikan KKR secara sejajar atau paralel dengan Pengadilan HAM.

Kedua, posisi yang paralel diantara KKR dan Pengadilan HAM tersebut tidak berarti bahwa hubungan keduanya adalah saling mengganti (substitutif) dan opsional. Sebaliknya, hubungan keduanya adalah komplementer atau saling melengkapi. Dengan posisi dan hubungan yang demikian, KKR dan pengadilan HAM tidak seharusnya saling dipertentangkan. Penggunaan dua mekanisme tersebut harus disesuaikan dengan corak dan pola peristiwa pelanggaran HAM yang hendak ditangani, mana yang lebih memungkinkan terungkapnya peristiwa secara objektif dan lebih memungkinkan tercapainya keadilan.

Dua hal di atas tidak secara eksplisit tercermin dalam UU KKR No. 27/2004, tapi sebaliknya terdapat pasal-pasal yang menempatkan KKR sebagai substitusi dari Pengadilan HAM, seperti pasal 44 yang menyatakan bahwa kasus yang telah diselesaikan oleh KKR tidak bisa lagi dibawa lagi ke Pengadilan HAM. Pasal ini berseberangan dengan UU No 26 tahun 2000 yang telah menempatkan KKR sebagai pelengkap (komplementer) terhadapnya.

***

Hal lain yang sampai saat ini masih menjadi keberatan para korban adalah tentang pasal amnesti atau pengampunan. Pertama, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran HAM sendiri masih ditolak oleh sebagian korban. Selain merupakan bagian dari impunitas, amnesti juga bertentangan dengan semangat keadilan. Pemberian amnesti bagi palaku pelanggaran berat HAM bertentangan dengan norma hukum internasional yang mensyaratkan pengadilan dan penghukuman. Kedua, pemberian amnesti yang dianggap sebagai reward atau penghargaan kepada pelaku pelanggaran HAM agar bersedia mengungkap kebenaran dan melakukan pengakuan dianggap tidak efektif. Banyak yang meyakini bahwa pengakuan oleh pelaku pelanggaran HAM tetap tidak akan banyak terjadi di KKR, walau dengan reward amnesti sekalipun, karena para pelaku akan lebih suka menghadapi pengadilan HAM yang juga tidak akan menghukum mereka. karena itulah, amnesti adalah ineffective dan tidak berguna, dan hanya akan menyakiti pihak korban. Atas dasar itu, banyak yang mengusulkan, termasuk International Centre for Transitional Justice (ICTJ) agar pasal tentang amnesti dicabut.

Pasal 27 UU No 27 tahun 2004 juga masih sangat kontroversial. Disana disebutkan bahwa hak-hak korban atas rehabilitasi dan kompensasi akan diberikan hanya ketika pelaku diberi amnesti oleh presiden. Disinilah terlihat jelas bahwa posisi korban dalam KKR disubordinasi oleh pelaku pelanggaran HAM. Hak-hak korban yang seharusnya melekat tanpa syarat apapun mejadi sebuah hadiah yang akan diberikan oleh negara karena pelaku diberi amnesti.

Atas dasar itulah, beberapa kelompok korban dan organisasi HAM mengajukan judicial review atas dua pasal kontroversial tersebut.

***

Selain pada faktor keseriusan presiden dalam penegakan HAM dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, faktor berhasil tidaknya KKR menjalankan mandat idealnya terletak pada 21 anggota yang sampai saat ini masih diseleksi. Kelemahan-kelemahan dalam pasal-pasal KKR bisa diperkuat dengan komitmen dan tindakan-tindakan para anggota Komisi kelak. Untuk itulah, anggota KKR yang punya pemahaman, dedikasi dan komitmen kuat untuk menegakkan HAM sangat dibutuhkan untuk mensukseskan KKR ini. Lebih dari itu, legitimasi publik dan kredibilitas para anggota juga akan menentukan legitimasi dan kredibilitas proses dan hasil kerja KKR dikemudian hari.

Melihat hal yang demikian, kemudian direfleksikan dengan figur 1300-an calon anggota yang mendaftar pada Panitia Seleksi KKR, penulis agak pesimis bahwa Panitia Seleksi akan mampu menjaring figur-figur yang berkomitmen, berdedikasi, berpengetahuan dan memiliki basis dukungan dan legitimasi yang kuat. Terlebih lagi ketika pada putaran ketiga seleksi, dimana dari 61 calon tersaring masih tampak adanya figur-figur yang patut dipertanyakan karena latar belakang militer disandangnya dan rekam jejak mereka di masa lalu yang sama sekali tidakmenunjukkan keberpihakannya pada keadilan. Karena itulah, faktor pemerintah dalam hal ini Presiden SBY akan sangat menentukan apakan KKR ini akan mampu menjadi mekanisme non-judicial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara objektif, jujur, terbuka dan berkeadilan, dan akan mengkasilkan rekonsiliasi nasional yang sejati, atau akan menjadi keranjang impunitas.

[1] Ketua Ikatan keluarga Orang Hilang Indonesia, korban penculikan aktifis 1998

World Day of Justice dan Ironi Keadilan Indonesia

Hari Keadilan Sedunia dan Ironi Keadilan Indonesia
Mugiyanto

"In the prospect of an international criminal court lies the promise of universal justice. That is the simple and soaring hope of this vision. We are close to its realization. We will do our part to see it through till the end. We ask you . . . to do yours in our struggle to ensure that no ruler, no State, no junta and no army anywhere can abuse human rights with impunity."
-- Kofi Annan, Sekjen PBB


Oleh masyarakat hak-hak asasi manusia, tanggal 17 Juli dicanangkan sebagai Hari Keadilan Sedunia (World Day of Justice). Pencanangan ini ditandai dengan disepakatinya sebuah Statuta untuk Mahkamah Pidana Internasional (Statute for an International Criminal Court) oleh 160 negara dalam sebuah Konferensi Diplomatik Internasional di Roma, Italia pada tanggal 17 Juli 1998.

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) adalah sebuah pengadilan internasional yang bersifat permanen untuk mengadili individu-individu yang diangap bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan yang dianggap paling serius bagi masyarakat global, yaitu genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun demikian, baru terhitung sejak 1 Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional berlaku aktif, setelah lebih dari 60 negara melakukan ratifikasi. Sayangnya, Indonesia belum merupakan negara yang meratifikasi Statuta Roma tersebut (sampai hari ini sudah ada 99 negara yang meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional), walaupun pemerintah Indonesia terlibat aktif pada Konferensi Diplomatik yang menelurkan Mahkamah Pidana Internasional tersebut. Dalam Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Ranham) 2004 – 2009, disebutkan Indonesia akan meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 2009. Itupun masih perlu penegasan pemerintah mengingat rencana ratifikasi tersebut tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

* * *

Bila di tataran global kita melihat adanya semangat masyarakat dunia untuk menegakkan keadilan dan melawan impunitas, di Indonesia kita melihat kenyataan yang sebaliknya. Bebasnya seluruh terdakwa atas pelanggaran HAM pada kasus Timor Timur 1999, kecuali pimpinan milisi pro integrasi Eurico Guterres, oleh Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan contoh yang masih segar di ingatan masyarakat. Oleh Komisi Ahli (Commission of Experts) bentukan Sekjen PBB Kofi Annan, proses pengadilan kasus Timor Timur di Jakarta itu dinyatakan gagal untuk menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Pengadilan di Jakarta ini dianggap nyata-nyata tidak memadai (manifestly inadequate) dan menunjukkan kurangnya respek atau kurang sesuai dengan standar internasional yang relevan (scant respect for or conformity to relevant international standards). Kerja dari penuntut dinyatakan tidak memadai, tuntutan tidak konsisten, dan impunitas tidak terbendung.

Selanjutnya pada Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok 1984, hanya dua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah dan divonis, yaitu Rudolf Butarbutar (Dandim Jakarta Utara) dan Sutrisno Mascung (Komandan Regu III Yon Arhanudse-06). Akan tetapi, ketika mengajukan banding di pengadilan tinggi, mereka berdua ini dibebaskan setelah dinyatakan tidak terbukti bersalah. Baru setelah didesak oleh keluarga korban dan masyarakat, akhirnya pihak Kejaksaan Agung mengatakan akan mengajukan kasasi atas putusan pengadilan tinggi. Akan tetapi putusan pengadilan itu telah secara nyata memberi kekebalan hukum pada pelaku pelanggaran HAM yang menimbulkan ratusan orang meninggal dan hilang tersebut.

Kedua Pengadilan HAM Ad Hoc, baik itu atas kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 telah menunjukkan adanya anomali, dimana kasus besar yang secara vulgar nyata-nyata terjadi dan menimbulkan jatuhnya korban yang tidak sedikit, oleh Pengadilan HAM Ad Hoc diputuskan tidak ada yang bertanggung jawab, bahkan tidak ada pelakunya. Dari sinilah muncul pertanyaan awam, lalu siapa yang membumihanguskan Timor Timur, menembaki masyarakat sipil? Lalu siapa yang melakukan penembakan membabi buta di malam hari tanggal 12 September 1984? Dan siapa pula yang menyeret, menyekap dan menyiksa orang-orang di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Guntur, Jakarta waktu itu?

* * *

Belum bergabungnya Indonesia dalam rezin keadilan global juga ditunjukkan dengan belum tersentuhnya pelaku pelanggaran berat HAM pada kasus-kasus seperti peristiwa Mei 1998, peristiwa Trisakti-Semanggi I dan Semanggi II (TSS), peristiwa Lampung 1989 dan terakhir peristiwa penghilangan paksa aktifis demokrasi tahun 1998. Pada kasus terakhir para perwira tinggi TNI secara tegas menyatakan menolak memberi keterangan kepada Komnas HAM yang punya wewenang hukum melakukan penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM.

Hal serupa terjadi pada usaha pengungkapan kasus pembunuhan atas aktifis HAM Munir. Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden SBY pun belum berhasil mengungkap fakta setelah gagal memeriksa para (mantan) pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) yang masih (bisa) menikmati impunitas.

Ironis memang, ketika kecenderungan global telah secara nyata bergerak ke aras keadilan dan perang melawan impunitas, Indonesia justru masih terus berkutat pada usaha-usaha untuk membatasi keadilan dan melanggengkan impunitas, dan karenanya keadilan hanya ada dipikiran korban. Ironisnya lagi, semua itu terjadi justru di saat Indonesia punya rejim baru yang menjanjikan perubahan, dan menjadi ketua Komisi HAM PBB yang terhormat.