Thursday, April 21, 2022

Perempuan-Perempuan Perkasa Pejuang HAM

Mugiyanto (Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia - IKOHI)


 

11 Mei 2009 - Hampir sebulan yang lalu, Indonesia kedatangan dua orang tamu istimewa dari Argentina. Mereka bukan pemain bintang sepak bola seperti Maradona dan Lionel Messi. Bukan pula pasangan populer Presiden Cristina Fernandez Kirchner dengan suaminya yang juga mantan presiden Nestor Kirchner. Dua tamu istimewa itu adalah Lydia Taty Almeida dan Aurora Morea. Mereka datang ke Indonesia dalam rangka peringatan Hari Kartini dan ulang tahun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). 

 

Secara fisik, mereka adalah dua orang nenek berusia 80 tahunan. Tetapi hanya dari sorot mata dan bahasa tubuhnya, kita bisa membaca, mereka adalah perempuan-perempuan keras yang memiliki keyakinan kuat dalam hidupnya. Walaupun usia telah lanjut, masih terlihat sisa-sisa kegigihan dan keperkasaan mereka.  

 

Dimulai oleh 14 orang ibu Taty dan Aurora adalah anggota Las Madres de Plaza de Mayo (Las Madres). Las Madres,yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira berarti “Ibu-Ibu Plaza de Mayo” adalah organisasi para ibu yang anaknya hilang diculik atau lenyap begitu saja, saat Argentina berada di bawah pemerintahan junta militer dari tahun 1976 sampai tahun 1983.  

 

Pendirian organisasi ini diawali usaha ibu-ibu untuk mencari anak mereka yang hilang dengan mendatangi kantor polisi, militer, kantor menteri, dan bahkan geraja. Di situlah mereka bertemu dengan ibu yang lain, yang juga mencari anggota keluarga mereka. Lalu, suatu saat, salah satu dari mereka, Azucena Villaflor de Devicenti, mengatakan kepada yang lain, “Kalau kita melakukan hal ini sendiri-sendiri, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Mengapa kita tidak pergi ke Plaza de Mayo, dan bila kelompok kita membesar, pasti Videla akan mau menemui kita….” 

 

Pada hari Kamis sore, tanggal 30 April 1977, 14 orang ibu berkumpul di pusat keramaian kota Buenos Aires, di Plaza de Mayo, di depan Casa Rosada (Rumah Pink), istana kepresidenan Argentina. Untuk menarik perhatian publik yang lalu lalang, keempat belas orang ibu itu berdiri, diam, dengan foto anak atau suami mereka yang hilang digantungkan di leher. Sebagai penutup kepala, mereka menggunakan kain putih bertuliskan nama anggota keluarga korban yang hilang, yang dipakai seperti kerudung.  

 

Walaupun mereka adalah para perempuan, terutama ibu-ibu, yang sebenarnya sangat dihargai dalam budaya Argentina yang sangat taat pada ajaran Kristiani, tindakan ibu-ibu ini bukanlah tindakan yang aman. Junta militer rupanya sangat marah dengan tindakan ibu-ibu ini. Mereka tidak hanya menghina Ibu-Ibu Plaza de Mayo dengan sebutan Ibu-Ibu Gila di Plaza de Mayo (Las Locas de Plaza de Mayo), tetapi juga mengancam dan menteror mereka. Pernah beberapa kali mereka diseret ke dalam truk tentara dan ditahan selema beberapa hari di cantor polisi. Lebih dari itu, beberapa tokohnya juga dihilangkan setelah sebelumnya diculik dan disiksa. 

 

Salah satunya adalah Azucena Villaflor de Devicenti yang diculik pada tanggal 10 Desember 1979. Pada tahun 2005, Tim Forensik Antropologi Argentina (EAAF) berhasil menemukan dan mengidentifikasi tulang belulang Azucena, dan menemukan adanya bukti forensik berupa benturan besar pada kerangka tersebut. Diperkirakan Azucena diculik, disiksa lalu dalam keadaan masih hidup dilemparkan ke laut dari atas pesawat terbang.  

 

Taty Almeida bergabung dengan Las Madres karena anak laki-lakinya, Alejandro Martin Almeida dihilangkan oleh aparat intelijen militer pada tanggal 17 Juni 1975. Alejandro yang waktu itu berumur 20 tahun adalah seorang mahasiswa kedokteran. Sampai hari ini, Taty belum mendapatkan kabar dan menemukan jasad anaknya.  

 

Sementara itu, Aurora Morea bergabung dengan Las Madres karena anak perempuan dan menantunya, Susana Perdini de Bronzal dan suaminya, diculik lalu dieksekusi. Susana yang waktu itu berusia 27 tahun adalah seorang arsitek yang aktif dalam kegiatan politik menentang junta militer. Dalam sebuah penyelidikan dan penggalian (exhumation) EAAF atas peristiwa tersebut, kerangka Susana bisa ditemukan dan diidentifikasi pada tahun 1999. (Laporan Tahunan EAAF, 2000) 

 

Buah Manis Perjuangan

Perjuangan panjang Las Madres yang dilakukan di Argentina dan di luar negeri sejak tahun 1977, perlahan-lahan membawa perubahan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia di dunia internasional. Isu penghilangan paksa menjadi perhatian dunia, yang ditandai dengan dibentuknya Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghilangan Paksa (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances) pada tahun 1980. 

 

Kelompok Kerja ini menjadi mekanisme khusus untuk menjembatani korban dan pemerintah dalam usaha pencarian korban penghilangan paksa. Lalu pada tahun 1992, PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.  

 

Selanjutnya, perjuangan Las Madres bersama organisasi korban, termasuk Kontras dan Ikohi, dan NGO HAM Internasional lainnya juga berhasil mendorong PBB mengesahkan sebuah instrumen internasional yang secara hukum mengikat dalam bentuk Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa) pada tahun 2006. Bahkan, Argentina merupakan negara kedua (dari 10 negara) yang sudah meratifikasi Konvensi tersebut pada tahun 2007. 

 

Tidak hanya dalam tataran aturan yang normatif, perjuangan Las Madres juga menjadi salah satu alasan presiden baru paska junta militer di Argentina, Raul Alfonsin membentuk Komisi Nasional untuk Orang Hilang (CONADEP). Setelah bekerja selama satu tahun, CONADEP berhasil melakukan penyelidikan kasus penghilangan paksa pada masa junta militer 1976 – 1983 dan mengeluarkan laporan yang sangat dahsyat yang berjudul Nunca Mas, yang berarti “Jangan Lagi” atau “Cukup”.  

 

Nunca Mas berhasil mengungkap pola penghilangan paksa, tempat penyekapan, metode penyiksaan, identitas korban dan penanggung jawab. Dalam jangka waktu kerja yang cuma satu tahun, CONADEP berhasil mengidentifikasi 8000 korban, dari 30.000 yang mereka yakini ada. 

 

Nunca Mas ini kemudian menjadi acuan bagi proses pengadilan untuk para junta militer dan mereka yang bertanggung jawab pada masa junta militer (Dirty War) ini berkuasa. Skema pemulihan (reparasi) korban juga tengah dijalankan di Argentina dengan acuan laporan CONADEP ini.  

 

Las Madres Indonesia, ibu-ibu pejuang HAM

Pada masa kini, Indonesia juga tidak kekurangan perempuan-perempuan seperti ibu-ibu anggota Las Madres. Ketika rentetan peristiwa pelanggaran HAM terjadi dalam rentang 1998 – 1999, seperti peristiwa penculikan aktifis prodemokrasi, peristiwa kekerasan Mei, peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II, Las Madres mulai berkecambah di Indonesia.  

 

Dimulai pada akhir bulan Maret 1998, beberapa orang tua mulai resah, karena anak-anak mereka dikabarkan hilang diculik. Diantara mereka adalah orang tua Faisol Riza, Raharja Waluya Jati, Mugiyanto, Nezar Patria, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Andi Arief, Herman Hendrawan dan istri Wiji Thukul. Lalu menyusul orang tua Yani Afri, Noval Alkatiri, Yadin Muhidin dan Ucok Siahaan. Keresahan itu mereka salurkan dengan melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang waktu itu dipimpin Munir.

 

Dari sinilah mereka mulai mendatangi Komnas HAM, Polda Metrojaya, Mabes Polri, Puspom ABRI, Gedung DPR, Kejaksaan Agung dan bahkan Mabes TNI di Cilangkap hanya untuk menyampaikan satu pertanyaan, “Dimana anak-anak kami?” 

 

Dalam proses perjuangan dan pencarian ini, para ibu adalah mereka yang paling gigih dan berani. Pernah suatu saat di tahun 1999, di depan gedung DPR di Senayan dan di depan kantor Departemen Pertahanan, para ibu ini diusir oleh tentara dengan mengokang senjata. Ibu-ibu ini pun bergeming. Mungkin seperti yang juga dikatakan oleh Margaret Wakeley tentang Las Madres, “As long as mothers give birth to children, they will give birth to courage”


Ketika berada di Indonesia, Las Madres selalu menyampaikan pesannya kepada para ibu yang anaknya hilang atau meninggal sebagai korban pelanggaran HAM di Indonesia. “Terus berjuang, jangan pernah menyerah, jangan pernah lupa!”. Sama dengan Las Madres, perjuangan yang dilakukan para keluarga korban di Indonesia juga melampaui kepentingan mereka sendiri, tetapi demi masa depan negeri Indonesia. “Supaya tidak terulang lagi”. Begitu mereka sering berucap. 

 

Seruan “jangan pernah lupa” menjadi sangat penting dan relevan dalam konteks pemilihan presiden yang akan datang. Penyelidikan oleh lembaga resmi negara, Komnas HAM, menemukan adanya dugaan bahwa para aktifis mahasiswa dan prodemokrasi, ditembak dan hilang karena tindakan aparat militer yang pimpinannya kini menjadi capres atau cawapres. Hanya ketika mereka sudah mempertanggungjawabkan tindakan mereka di masa lalu, mereka berhak menjadi calon pemimpin negeri ini.  

 

Mengenai prinsip ini, Las Madres juga memberi inspirasi, “human errors can be pardoned; what is beyond the frontiers of humanity cannot”. Kekhilafan manusia bisa dimaafkan, tetapi apa yang melampaui batas-batas kemanusiaan, tentu tidak bisa.

 

 

Thursday, September 09, 2021

Menyempurnakan Komitmen Negara Menghentikan Praktik Penghilangan Paksa


”Konvensi ini bukan ramuan ajaib yang begitu diratifikasi bisa langsung menghentikan praktik penghilangan paksa. Akan tetapi merupakan satu langkah penting menuju ke sana.” (
Prof Gabriella Citroni, anggota Pokja PBB tentang Penghilangan Paksa)

Tanggal 30 Agustus lalu, kita memperingati Hari Internasional untuk Korban Penghilangan Paksa. Oleh masyarakat internasional, ini dimaksudkan agar kita mengingat bahwa masih ada orang-orang yang karena aktivitasnya kemudian dihilangkan begitu saja oleh alat-alat kekuasaan negara.

Praktik penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance) pernah menjadi praktik resmi negara di masa lalu ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru. Korbannya bisa siapa saja, aktivis atau warga masyarakat biasa. Selama yang bersangkutan dianggap sebagai pengganggu dan ancaman bagi stabilitas pemerintah, yang bersangkutan bisa dihilangkan begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa kita ketahui nasib dan keberadaan korban.

Salah satu contoh kasus yang paling dikenal publik adalah peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi pada tahun 1997-1998. Dalam peristiwa itu, 13 orang masih dinyatakan hilang, salah satunya Wiji Thukul.

Praktik penghilangan paksa ini sebenarnya sudah dikutuk oleh masyarakat internasional sejak 1992 ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 47/133 tentang Deklarasi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Dirasa kurang kuat karena tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (legally binding), maka pada tahun 2006 Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 61/177 yang menandai disahkannya Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Berbeda dengan deklarasi, konvensi ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara-negara yang meratifikasinya. 

Komitmen lama

Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini sebenarnya bukan instrumen yang asing bagi Indonesia. Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Geneva dan organisasi masyarakat sipil, seperti Kontras dan IKOHI, telah terlibat dalam proses perumusan dan negosiasi konvensi ini sejak awal tahun 2000 di Kelompok Kerja Komisi HAM PBB.


Munir, sebelum meninggal, dan penulis sebagai Ketua IKOHI pernah menghadiri beberapa kali sesi sidang Kelompok Kerja Komisi HAM PBB yang membahas instrumen ini. Bahkan, ada satu pasal dalam konvensi ini yang kesepakatannya diilhami oleh meninggalnya Munir, yaitu Pasal 18 tentang pentingnya perlindungan bagi keluarga dan pendamping yang terlibat dalam proses penyelidikan.


Di sisi lain, pemerintah juga mendukung dan menjadi salah satu negara sponsor (co-sponsor) pengesahan instrumen ini menjadi konvensi di Majelis Umum PBB pada tahun 2006. Dukungan pemerintah atas Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dilanjutkan dengan ditandatanganinya konvensi tersebut oleh Menlu Marty Natalegawa pada September 2010. Penanda tangan (signatory) konvensi ini merupakan tahap awal menuju ratifikasi (ratification) sebagaimana direkomendasikan oleh DPR tahun 2009 terkait hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi tahun 1997/1998.


Sayangnya upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi tersebut terhenti pada tahun 2014 ketika beberapa fraksi di DPR belum bersedia memberikan persetujuan. Alasannya, masih memerlukan waktu untuk melakukan pengkajian mendalam tentang konvensi yang dimaksud.


Mulai dari awal

Proses ratifikasi instrumen internasional umumnya dilakukan dengan inisiatif pemerintah, bukan oleh DPR. Demikian pula yang berlaku untuk rencana ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini. Oleh karena itu, apabila terjadi pergantian pemerintahan, proses ratifikasi telah diajukan oleh pemerintah sebelumnya tidak bisa di-carry over atau dilanjutkan oleh pemerintah saat ini.


Dengan alasan itu, walaupun pada 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan izin prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, pemerintahan Joko Widodo yang berkomitmen kuat melakukan ratifikasi harus memulai proses dari awal. Untuk tujuan tersebut, terhitung sejak 2019 Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM telah menjalani proses panjang penyusunan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang mengenai ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini.


Pemerintah merencanakan setidaknya pada Oktober 2021 dokumen ratifikasi sudah bisa diserahkan ke DPR,dan berharap segera mendapat persetujuan DPR, sehingga target pemerintah agar Indonesia melakukan ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa pada tahun 2021 bisa terwujud. Belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya, komitmen HAM pemerintah termasuk proses ratifikasi tidak bisa terwujud tanpa dukungan dan kerja sama dari DPR.


Menyempurnakan komitmen

Bagi pemerintah, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa memiliki beberapa dimensi manfaat. Pertama, ratifikasi konvensi ini dimaksudkan untuk melengkapi dan menyempurnakan komitmen perlindungan HAM dan kepatuhan (compliance) negara pada instrumen dan norma HAM internasional. Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini merupakan satu-satunya instrumen HAM inti yang belum diratifikasi oleh Indonesia. Terdapat sembilan instrumen HAM inti dan Indonesia sudah meratifikasi delapan instrumen lainnya.

Kedua, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa akan memperkuat komitmen bersama, baik aparatur pemerintahan sipil serta aparat TNI dan Polri, untuk membangun infrastruktur peradaban bangsa dimana demokrasi serta penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia adalah fondasinya.


Ketiga, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa merupakan realisasi dari harapan masyarakat, khususnya keluarga korban pelanggaran HAM agar negara hadir dan secara bertahap memenuhi hak korban atas ketidakberulangan (guarantee of non-repetition) sebagai bagian dari berbagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu yang kini juga sedang dikerjakan oleh pemerintah.


Sebagaimana instrumen hukum lainnya, spirit dari Konvensi ini ketika dibahas dan disahkan oleh PBB adalah untuk mencegah agar praktik penghilangan paksa yang dianggap sebagai musuh dari seluruh umat manusia (hostis humani generis) ini tidak terjadi lagi. Sebagai instrumen pencegahan, orientasi dari konvensi ini adalah ke depan.


Akhir penantian panjang

Tuti Koto, ibunda korban penghilangan paksa Yani Afri, semasa hidupnya selalu mengatakan, Saya rela kalau anak saya memang sudah meninggal. Tapi tolong kasih tahu di mana kuburannya serta tegakkan hukum. Agar setelah Rian, tidak ada lagi anak-anak muda yang dihilangkan oleh negara.” Rian adalah nama panggilan kesayangan Tuti Koto untuk Yani Afri, aktivis PDI Jakarta Utara yang menjadi korban penghilangan paksa pada tahun 1997.

Harapan Tuti Koto merupakan aspirasi sebagian besar keluarga korban penghilangan paksa. Mereka mengharapkan hadirnya kebenaran terkait kondisi keluarga mereka yang dihilangkan, selanjutnya berharap agar mereka menjadi korban terakhir. Dalam konteks seperti ini, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa akan disegerakan oleh pemerintah, sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak korban.


Sampai saat ini tidak kelihatan akan adanya hambatan. Dalam sebuah pertemuan audiensi terbuka yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penghilangan Paksa dan dihadiri oleh LSM HAM, pemerintah, dan DPR, beberapa hari yang lalu, terlihat visi, semangat, dan keinginan yang sama agar ratifikasi bisa dilakukan secepatnya sehingga sebagai bangsa kita bisa mengakhiri penantian panjang para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dan rakyat Indonesia secara umum.


MugiyantoPenyintas Praktik Penghilangan Paksa 1998, Tenaga Ahli Madya di Kantor Staf Presiden


Sumber:https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/07/menyempurnakan-komitmen-negara-menghentikan-praktik-penghilangan-paksa/?status=sukses_login&status_login=login

Saturday, October 24, 2020

Working with the Government


Starting February 3, 2020, I work as an Advisor on human rights at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia. It is as simple as that I want to contribute to the government I have been critically supporting since 2014 on field I have been working in the last 25 years; human rights and democracy. It is not easy and challenging. just like what I have been undergoing and doing in half of my current age.