Friday, January 27, 2006

Impunity in Indonesia

Impunitas dan Pengingkaran Keadilan
Mugiyanto*

“Ini tidak adil, mereka telah membunuh tapi bebas!
Negara Indonesia tidak adil kepada orang Papua.
Hakim tidak adil.
Semua tidak adil!”

Raga Kagoya pada sidang Pengadilan HAM di Makassar 8 September 2005
(Tabloid Suara Perempuan Papua)


William E. Gladstone, seorang negarawan dan Perdana Menteri Inggris (1868-1894) pernah mengatakan “justice delayed is justice denied”. Keadilan yang diulur-ulur, pada dasarnya adalah pengingkaran atas keadilan itu sendiri. Kutipan dari ucapan Gladstone ini menjadi sangat relevan pada saat ini (100 tahun setelah pernyataan itu diucapkan), ketika direfleksikan dengan kondisi penegakan keadilan di Indonesia di bawah pemerintahan SBY-JK. Para pelaku korupsi mendapatkan hukuman ringan atau malah dibebaskan dan diberi rehabilitasi, proses penyelidikan dihentikan dan pelaku kasus-kasus pelanggaran HAM menikmati impunity (Haryatmoko, Kompas, 18 Januari 2006).


***

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, narkoba dan terorisme kita melihat adanya upaya dan beberapa keberhasilan yang cukup signifikan. Penangkapan Dr. Azahari yang diduga sebagai pimpinan kelompok teroris dalam keadaan meninggal karena tertembak, serta pengadilan dan penghukuman para terdakwa teroris akhir tahun lalu tidak bisa dipungkiri adalah contoh keberhasilan kerja penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Demikian juga penggerebekan pabrik pembuatan ekstasi di Tangerang dan Malang beberapa waktu yang lalu. Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, pihak KPK, Tipikor dan kepolisian juga telah berhasil menangkap dan menahan beberapa koruptor kakap (big fishes) seperti Probosutejo, Abdullah Puteh, terakhir penangkapan koruptor BLBI David Nusa Wijaya di Amerika dan lain-lain.

Berbeda dengan pemberantasan narkoba, terorisme dan korupsi, wajah bopeng masih menjadi potret buram penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Impunitas (bebasnya pelaku pelanggaran dari sangsi hukum) masih menjadi masalah utama. Penulis mencatat ada 3 pola impunitas dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Pola pertama, pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum. Kasus tragedi kemanusiaan tahun 1965, yang meliputi peristiwa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang, penahanan semena-mena, dan bentuk pelanggaran HAM lain atas mereka yang dituduh oleh pemerintah Orde Baru terlibat dalam G30/S adalah kasus yang masuk dalam kategori ini. Selain itu, kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus konflik agraria, lingkungan, pendidikan, kesehatan, masyarakat adat dan lain-lainnya juga sangat sedikit yang ditangani melalui proses hukum. Disinilah para pelaku pelanggaran HAM menikmati impunitasnya.

Pola kedua, pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Contoh paling mutahir (13/1/2006), tercatat Mahkamah Agung dalam kasasinya membebaskan Mayor Jenderal (Purn) Pranowo, terdakwa kasus pelanggaran berat HAM pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dengan alasan bahwa perkara Pranowo tidak dapat diterima (niet ontvankelijkheid/NO). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) mencatat, setidaknya MA telah 18 kali membebaskan para pelanggar HAM, yang meliputi 16 kasus Timor Timur 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984 (Siaran Pers Kontras 16 Januari 2006). Sebelumnya, pada tanggal 8 dan 9 September 2005 Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura Berdarah tahun 2000 juga membebaskan 2 orang terdakwa yaitu Kombes Johny Wainal Usman dan AKBP Daud Sihombing.

Pola ketiga, kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan alasan-alasan teknis yuridis-prosedural. Keberadaan undang-undang, seperti UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pangadilan HAM yang banyak kelemahan, serta belum adanya UU perlindungan Saksi dan Korban kerap dijadikan pelindung bagi pihak-pihak yang punya tanggung jawab untuk menuntaskan pelanggaran HAM seperti Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, terutama sekali pihak TNI yang paling sering menjadi pihak yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Contoh nyata dari pola ini terjadi antara lain pada kasus tragedi Mei 1998 dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II yang berhenti di Kejaksaan Agung, kasus Lampung 1989, Bulukumba, tragedi 1965 dan Manggarai di Komnas HAM, dan yang sangat menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pembunuhan aktifis HAM Munir di Kepolisian.

Dari ketiga pola impunitas ini, nuansa mengulur-ulur waktu, buying time sambil menunggu situasi yang menguntungkan pihak penikmat impunitas rupanya menjadi benang merah yang saling menghubungkannya. Hal ini akan sangat mengkhawatirkan apabila nuansa mengulur-ulur waktu ini secara sistematis ditujukan untuk mengajak publik melupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di republik ini.

Kekhawatiran ini bukan sesuatu yang berlebihan dan mengada-ada. Ada beberapa indikasi yang bisa dipaparkan di sini. Pertama, kita masih ingat, Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye pemilunya pada tahun 2004 pernah menjanjikan untuk menjadikan penegakan hukum dan HAM sebagai prioritas kerja bila kelak dipilih oleh rakyat untuk menjadi Presiden. Kini Susilo Bambang Yudhoyono adalah benar-benar Presiden, dan sangat wajar kemudian bagi rakyat untuk kemudian menagih janji-janji kampanye yang belum secara serius direalisasikan tersebut.

Kedua, Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR No 27/2004) telah disahkan pada tanggal 7 September 2004 (persis bersamaan dengan waktu dibunuhnya Almarhum Munir di pesawat Garuda dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam). Oleh pemerintah dan DPR, UU KKR diharapkan bisa menjadi payung hukum menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana Afrika Selatan melakukannya untuk menangani pelanggaran HAM masa Apartheid. Proses penyusunan anggota telah dilakukan selama kurang lebih satu tahun, dan selama hampir 6 bulan proses seleksi berhenti hanya untuk menunggu presiden menyeleksi 21 dari 42 calon anggota yang telah disaring oleh Tim Seleksi dari sekitar 1500-an pelamar.

Di sinilah kemudian masyarakat yang kritis akan bertanya-tanya ada apa dengan presiden yang tidak segera memilih 21 nama calon anggota KKR untuk selanjutnya meminta persetujuan DPR?

Ketiga, dalam kasus pembunuhan politik atas aktifis HAM Munir, dalam sebuah pertemuan yang diliput media massa dengan istri almarhum Munir, Suciwati dan beberapa aktifis yang mendampinginya, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa ia akan mengungkap kasus ini dengan sangat serius. Untuk itu, Presiden SBY juga membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang ditugaskan untuk mengumpulkan fakta-fakta seputar kasus pembunuhan aktifis HAM Munir. Ucapan dan tindakan Persiden SBY itu juga diperkuat dengan pernyataannya bahwa kasus pembunuhan Munir adalah “a test of our time” dan menjadi tolok ukur ada tidaknya perubahan di Indonesia.

Kini, ketika usaha pengungkapan kasus pembunuhan Munir stagnan, dan menyebabkan adanya desakan yang meluas (outcry) dari masyarakat sipil agar Presiden membentuk Tim Kepresidenan yang baru untuk menindaklanjuti kerja-kerja TPF, sudah sepatutnya Presiden SBY mendengarkan ulang desakan-desakan ini. Tujuannya tidak hanya untuk menunjukkan adanya keterbukaan dan perubahan pada masa pemerintahan SBY-JK ini, tetapi lebih dari itu untuk membuktikan bahwa memang tidak ada usaha dari siapapun untuk melupakan adanya berbagai pelanggaran HAM masa lalu, dan tidak ada usaha-usaha untuk mengingkari keadilan.

* Penulis adalah ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)