Thursday, August 11, 2011

Arti Penting Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Mugiyanto

Pengantar
Setelah melalui proses perjuangan panjang selama hampir 30 tahun, akhirnya pada bulan Desember 2006 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance) atau Konvensi Anti Penghilangan Paksa (KAPP). KAPP ini kemudian menjadi sebuah perjanjian internasional (international treaty) di bidang HAM yang utama yang paling baru yang dimiliki oleh komunitas internasional.

Berbeda dengan konvensi-konvensi PBB yang lain, KAPP lahir dari sebuah proses perjuangan panjang yang dipelopori oleh korban dan keluarga korban penghilangan paksa, khususnya oleh mereka yang menjadi korban penghilangan paksa pada masa pemerintahan rejim-jejim diktator militer di negara-negara Amerika Latin, seperti Argentina, Chile, Brazil, Guatemala dan sebagainya. Merekalah yang mula-mula menarik perhatian komunitas internasional akan adanya praktik penghilangan paksa (enforced disappearance) yang massif dan sistematis, dan minta komunitas internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turun tangan dan mengambil tindakan.

Berkat kepeloporan dan perjuangan tanpa henti, antara lain oleh kelompok korban dari Argentina Las Madres de Plaza de Mayo, akhirnya pada tahun 1980 PBB membentuk satu kelompok kerja tematik untuk kasus penghilangan paksa yang bernama United Nations Working Group of Enforced or Involuntary Disappearances (UNWGEID). Kelompok Kerja PBB ini terdiri dari 5 orang ahli independen dan memiliki mandat humaniter, yaitu menerima laporan kasus dari keluarga korban atau wakilnya, dan mengkomunikasikannya dengan pemerintah yang bersangkutan untuk mengklarifikasi nasib dan keberadaan (fate and whereabouts) korban penghilangan paksa.

Kelompok Kerja ini tidak memiliki kekuatan kompetensi judisial untuk meminta pertanggungjawaban individual ataupun melakukan penyelidikan serta mengeluarkan rekomendasi untuk pemenuhan hak-hak reparasi bagi korban dan keluarga korban.

Selanjutnya, karena fenomena penghilangan paksa yang tidak juga berhenti, pada tanggal 18 Desember 1992 PBB mengeluarkan Resolusi 47/133 tentang pengesahan deklarasi yang diberi nama United Nations Declaration for the Protection of All Persons from Enforced or Involuntary Disappearances. Deklarasi inilah yang kemudian menjadi dasar kerja Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa. Walaupun tidak punya kekuatan hukum mengikat, Deklarasi ini mengatur beberapa prinsip dasar untuk tidak mentolerir serta mencegah terjadinya praktik penghilangan orang secara paksa, atas nama apapun.

Pencapaian Bersejarah
Walaupun melalui proses perjuangan yang sangat panjang, tetapi proses negosiasi KAPP terhitung cukup pendek. Dimulai tahun 2002 oleh Komisi HAM PBB, teks konvensi akhirnya disetujui oleh oleh pada tanggal 23 September 2005. Selanjutnya pada 27 Juni 2006 Dewan HAM PBB mengesahkannya dan tanggal 20 Desember 2006, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini. Satu hal yang paling unik, dan menjadikan konvensi ini berbeda dengan konvensi-konvensi PBB yang lain adalah karena pada proses negosiasi, kelompok korban diberi ruang yang sangat luas untuk intervensi.

Dengan kepemimpinan Duta Besar Perancis untuk PBB, (Almarhum) Bernard Kessedjian, kelompok-kelompok korban yang bergabung dalam FEDEFAM, AFAD, FEMED dan lain-lain dipersilahkan memberikan masukan dan perspektifnya selama proses negosiasi . Hal inilah yang kemudian menjadikan KAPP ini banyak sekali mengakomodasi suara dan kepentingan korban, yang karenanya juga menjadi sangat kuat.

Saat pengesahan KAPP oleh Dewan HAM PBB di Jenewa yang turut saya hadiri, Presidente de Las Madres de Plaza de Mayo Linea Fundadora, Martha Vasquez Ocampo dari Argentina didaulat untuk memberikan sambutan, dimana ia menyebutkan bahwa KAPP adalah sebuah ”pencapaian bersejarah” dari proses perjuangan panjang yang mungkin ia sendiri tidak akan bisa menikmatinya, tetapi anak cucunya.

Arti Penting Konvensi
Sebagai sebuah pencapaian bersejarah dalam gerakan korban pelanggaran HAM, KAPP memiliki beberapa arti penting, terutama bagi negara-negara Asia, yang antara lain adalah:

Pertama, instrument-instrumen atau lembaga yang ada belum cukup efektif untuk memerangi praktik penghilangan paksa yang terjadi selama ini. Beberapa instrumen dan lembaga yang ada yang berhubungan dengan penghilangan paksa antara lain adalah; Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa, Mahkamah Pidana Internasional (ICC), European, African dan Inter-American Courts, UN Human Rights Committee serta Palang Merah Internasional (ICRC).

Kelompok Kerja PBB hanya memiliki mandat humanitarian, ICC hanya memiliki jurisdiksi bila praktik penghilangan paksa dilakukan secara sistematis dan meluas, serta berada dalam rejim hukum pidana (bukan HAM). Selain itu, Asia juga belum memiliki mekanisme regional seperti di Afrika, Eropa atau Amerika Latin. Human Rights Committee juga memiliki kompetensi terbatas pada Negara-negara yang sudah meratifikasi ICCPR dan protokol opsionalnya. Sementara ICRC hanya memiliki kompetensi pada situasi konflik dan hukum humaniter internasional. ICRC juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, serta bekerja secara ketat pada level humanitarian dan sangat rahasia (confidential).

Kedua, dalam konteks Asia, KAPP ini sangat penting karena Asia tidak memiliki mekanisme atau instrument HAM regional dalam bentuk konvensi ataupun pengadilan seperti yang ada di Eropa, Amerika (Inter-American) atau di Afrika. Mekanisme sub-regional Asia Tenggara (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights – AICHR) juga belum memiliki mandat yang jelas dan kuat untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.

Ketiga, menurut laporan tahunan Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID), Asia adalah benua yang memiliki kasus penghilangan paksa terbanyak yang dilaporkan ke PBB. Fenomena penghilangan paksa telah dan sedang terjadi di negara-negara Asia seperti Nepal, India, Pakistan, Srilanka, Filipina, Thailand, China, Indonesia, Timor-Leste (pada masa pendudukan Indonesia). Pada saat yang sama tindakan penghilangan paksa (enforced disappearance) belum dimasukkan dalam hukum pidana negara-negara Asia sebagai tindak pidana tersendiri. Karena itulah, KAPP bisa menjadi dasar untuk perbaikan sistem perlindungan hak asasi manusia.

Keempat, KAPP yang sudah berlaku (enter into force) sejak tanggal 23 Desember 2010 ini memiliki Komite Penghilangan Paksa (monitoring body) yang sangat kuat . Komite yang terdiri dari 10 orang ahli yang dipilih oleh negara pihak ini telah terbentuk pada Bulan Juni 2011 yang lalu. Komite ini antara lain memiliki mandat sebagai berikut.

1) Memerima, mempertimbangkan dan mengeluarkan komentar, penilaian dna rekomendasi kepada negara pihak (state party). 2) Kedua, meminta negara pihak untuk memberikan informasi tentang korban penghilangan paksa kepada Komite. 3) Meminta satu atau lebih anggota Komite untuk melakukan kunjungan ke negara pihak. 4) Menerima dan mempertimbangkan komunikasi individual oleh korban atau wakilnya. 5) Membawa persoalan ke majelis Umum PBB bila ada dugaan penghilangan paksa dilakukan secara sistematis atau meluas.

Pentingnya Ratifikasi
Sampai hari ini, KAPP telah ditandatangani oleh 88 negara dan diratifikasi oleh 27 negara. Dari angka-angka tersebut, hanya ada 2 negara Asia yang meratifikasi, yaitu Jepang dan Kazakhstan. Akan tetapi, beberapa negara di Asia kini sedang mempersiapkan untuk melakukan ratifikasi. Indonesia adalah negara yang pada bulan September 2010 menandatangani KAPP. Ratifikasi KAPP juga sudah dimasukkan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014. Besar kemungkinan, berdasarkan komunikasi dengan pemerintah, Indonesia akan meratifikasi KAPP pada awal tahun 2012.

Ini adalah signal yang sangat positif, karena untuk isu penghilangan paksa, Pemerintah Indonesia memang dituntut untuk bertindak cepat. Pada bulan September 2009, DPR RI mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden SBY untuk menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa dan meratifikasi KAPP. DPR juga minta Presiden mencari aktifis yang masih hilang, menbggelar Pengadilan HAM dan memberikan hak-hak reparasi kepada para korban.

Selain itu, dalam hubungannya dengan Timor-Leste, pemerintah Indonesia (dan Timor-Leste) juga direkomendasikan oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) untuk segera membentuk sebuah komisi untuk mencari orang hilang pada masa pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Atas dasar itulah, Indonesia dan Timor-Leste sudah seharusnya berada di jalur yang benar untuk segera meratifikasi KAPP. Juga karena pada bulan November 2009, dalam pertemuan dengan delegasi AFAD dan HAK Association, President Ramos Horta telah berjanji bahwa Timor-Leste akan segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Demikian juga saat pertemuan AFAD dan HAK Association dengan Komisi A Parlemen Nasional Timor-Leste.

KAPP adalah sebuah instrumen pencegahan yang bila diimplementasikan secara serius akan memberi manfaat pada penguatan rule of law dan perlindungan HAM, serta pemenuhan hak-hak korban di negara-negara demokratis atau negara-negara yang baru keluar dari otoritarianisme atau konflik berkepanjangan.

Footnotes:
1. Materi singkat disiapkan untuk diskusi dalam pertemuan NGO Forum Timor-Leste
2. Mugiyanto, ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD)
3. FEDEFAM adalah Federasi Organisasi Penghilangan Paksa Amerika Latin, AFAD adalah Federasi Organisasi Penghilangan Paksa Asia dan FEMED adalah Federasi Organisasi Penghilangan Paksa di Ero-Mediterania yang sangat aktif dalam proses negosiasi di Komisi dan Dewan HAM PBB di Jenewa.
4. Konvensi Anti Penghilangan Paksa berlaku aktif pada hari ke-30 setelah adanya Negara ke-20 yang melakukan ratifikasi. Karena pada tanggal 23 November 2010 Irak meratifikasi KAPP dan menjadikannya Negara ke-20 yang meratifikasi, maka tanggal 23 Desember 2010 KAPP diberlakukan secara aktif.