Friday, June 05, 2009

Dalam konteks HAM, PDIP adalah masa lalu



1. Sebagai korban penculikan di era orde baru, bagaimana perasaan anda ketika mengetahui Prabowo Subianto, yang diduga memberi perintah penculikan anda, menjadi cawapres dari Megawati Soekarnoputri?

Saya sangat kecewa dengan PDIP yang memutuskan menjadikan Prabowo Subianto sebagai Cawapres-nya Megawati, karena sebelumnya kami berharap bahwa PDIP masih memiliki komitmen, walaupun sedikit, dalam penegakan hak asasi manusia. Indikasi yang terakhir sebelum pemilu 2009 adalah ketika PDIP sangat antusias menghidupkan kembali Panitia Khusus (PANSUS) Penghilangan Paksa di DPR pada bulan September 2008. Sebagaimana diketahui, PDIP sebagai partai yang lahir dari rahim perjuangan menentang Orde Baru, bahkan beberapa pimpinannya sendiri adalah korban kebijakan politik Orde Baru, mustinya memiliki keberpihakan terhadap para sesama korban Orde Baru. Dan korban Orde Baru adalah juga para wong cilik, yang selama ini diklaim sebagai konstituen PDIP. Oleh karena itu, klaim PDIP sebagai representasi orang kecil, orang miskin, orang tertindas menurut saya telah dikhianati begitu PDIP menjadikan Prabowo Subianto sebagai Cawapres;nya Megawati.

2. Banyak pihak menilai pencalonan Prabowo merupakan ujian bagi penegakan hukum, khususnya hak asasi manusia, di Indonesia. Bagaimana komentar Anda?

Pencalonan Prabowo bukan lagi ujian bagi penegakan hukum, tapi mengingkaran dari usaha penegakan hukum. Orang yang terindikasi kuat telah melakukan pelanggaran berat HAM, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditemukan oleh Komnas HAM untuk kasus Tragedi Mei 1998 dan Penghilangan Paksa Aktifis tahun 1997-1998, sebenarnya tidak punya otoritas moral untuk memegang jabatan publik, apalagi menjadi presiden atau wakil presiden. Mengambil contoh di beberapa negara yang memiliki warisan pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan pada masa pemerintahan otoriter, seperti yang terjadi di negara-negara Jerman, Polandia, Ceko dan beberapa negara Eropa Timur lainnya, lustrasi sosial perlu dilakukan. Lustrasi, adalah istilah dalam transitional justice yang mengatur agar orang-orang yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan di masa lalu tidak menempati jabatn publik. Dalam situasi negara transisi yang sedang membangun demokrasi seperti Indonesia saat ini, orang-orang yang terlibat pelanggaran berat pada masa kediktatoran masa lalu sepatutnya tidak mencalonkan diri menjadi Capres atau Cawapres, sebelum mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dimuka hukum yang adil dan imparsial. Dan kalau mereka memaksakan diri untuk mencalonkan diri karena kekuasaan dan kekayaan, masyarakat Indonesia harus berani tegas untuk tidak memberikan suaranya untuk mereka.

3. Apakah majunya Prabowo Subianto sebagai cawapres dalam Pemilihan Presiden 2009, menjadi preseden, bahwa di masa depan, pelanggar HAM bisa saja mencalonkan diri menjadi pejabat tertinggi negara ini?

Iya, ini preseden buruk bagi masa depan hukum dan demokrasi di Indonesia. Mereka mustinya dimintakan pertanggungjawabannya dulu, secara hukum. Proses hukum harus dijalankan supaya peristiwanya jelas, dalam artian kebenaran seputar peristiwa pelanggaran HAM terungkap. Pelaku dan penangungjawab harus diproses secara hukum yang adil dan tidak berpihak (imparsial), serta korban dipulihkan. Tujuannya apa, supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi di waktu yang akan datang. Kalau seperti yang terjadi sekarang, para pelaku dan penanggungjawab tidak diproses secara hukum, dan malah dijadikan calon presiden dan calon wakil presiden, ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia. Para pejabat publik dan pejabat negara akan terus mengulang tindak pelanggaran HAM demi tujuan kekuasaan karena hal tersebut seolah dibolehkan di Indonesia. Kalau di masa lalu kami yang menjadi korban, di waktu yang akan dating, siapapun bias menjadi korban. Ini bahayanya, dan karenanya perlu kita cegah bersama-sama.

4. Bagaimana pendapat Anda tentang keputusan Megawati dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memilih Prabowo Subianto sebagai cawapres? Sebab, PDIP selama ini justru dikenal sebagai partai politik yang paling lantang berbicara soal HAM di parlemen?


Dalam kontek HAM, PDIP sudah menjadi masa lalu. Keputusan menggandeng Prabowo Subianto adalah keputusan yang blunder dari PDIP. Tetapi kita masih belum tahu bagaimana proses selanjutnya, karena yang saya dengar, keputusan mendukung Prabowo juga bukan keputusan bulat. Banyak pimpinan PDIP, terutama yang unsur genuine PDIP dan mereka yang berlatar belakang aktifis juga sebenarnya tidak menyetujui pencalonan Prabowo. Tapi karena Ketua Umum Megawati memutuskan demikian, mereka tidak bisa menolak. Beginilah watak partai politik yang masih sangat feodal. Tetapi kita lihat saja perkembangan internal di PDIP, setelah mereka tidak mendapatkan mandar dari rakyat dalam Pilpres 2009 Juli nanti. Sebagai indikator terakhir soal sikap PDIP dalam penegakan HAM, kita akan lihat bagaimana sikap Fraksi PDIP di DPR mengenai kelanjutan Pansus Penghilangan Paksa di DPR. Pada awalnya, mereka sangat getol untuk memeriksa Prabowo, Wiranto dan SBY. Kita lihat saja langkah mereka. Kalau mereka ternyata berubah sikap, maka saya pikir para pemilih perlu mengubur ilusi bahwa Megawati adalah pembela rakyat kecil, pembela korban pelanggaran HAM. Megawati perlu “dihukum” untuk yang kesekian kalinya.

5. Dengan citra PDIP yang banyak berbicara soal HAM, apakah sebenarnya saat Megawati memerintah, dia benar-benar tidak melanggar HAM dan tidak melakukan politik neoliberal?

Sebagai Parpol yang lahir dari rahim penindasan Orde Baru, PDIP pada awalnya memang menjadi harapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Terlebih lagi ketika Megawati menjadi Presiden. Tetapi saat itu, harapan tersebut tidak terwujud. Bukannya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, ia malah banyak membuat kebijakan yang melukai korban pelanggaran HAM, yaitu dengan memberikan ruang bagi para pelanggar HAM untuk masuk ke DPP dan menjadi Gubernur di beberapa daerah. Megawati juga gagal menyelesaikan proses penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Pada level ini, ketika hak korban dan masyarakat atas keadilan tidak dipenuhi oleh Negara, pemerintah sudah melanggar HAM. Selain itu, kebijakan Megawati mengenai Aceh dengan memberlakukan Darurat Militer dan Darurat Sipil benar-benar telah melukai rakyat Aceh. Soal yang terakhir ini (Aceh), saya khawatir, Megawati yang punya kecenderungan nasionalisme chauvinis akan menjadi ultra-nasionalis bila bergandengan dengan Prabowo Subianto yang juga memiliki semangat dan jargon-jargon yang juga ultra-nasionalis.

Mengenai kebijakan ekonomi-politik neoliberal, menurut saya semua pasangan capres dan cawapres sama saja. Mereka tidak akan mau melepaskan dirinya dari kebijakan tersebut. Megawati juga sudah membuktikannya ketika berkuasa, dengan kebijakan privatisasi yang massif, yang merupakan salah satu contoh kebijakan neoliberal. Bahwa sekarang ia berkampanye soal kebijakan yang tidak neoliberal alias kerakyatan, menurut saya itu hanya jargon dan janji kosong yang tidak akan pernah direalisasikan, karena itu juga akan merugikan kepentingan dia sendiri dan kelompoknya, termasuk Prabowo Subianto. Jargon anti neoliberal dan ekonomi kerakyatan dijual, terutama karena Prabowo tidak bisa memjual

Menurut saya, Pilpres 2009 ini adalah tahapan yang paling krusial dari proses transisi di Indonesia yang sudah berjalan selama 11 tahun. Proses transisi ini perlu dikawal oleh seluruh masyarakat supaya tidak dipimpin oleh unsur-unsur yang menjadi penghalang atau musuh reformasi ketika transisi ini dicanangkan pada tahun 1998 yang lalu. Ketika kita belum bisa 100 persen melepaskan diri dari neoliberalisme, maka kita musti mengkondisikan agar hasil Pilpres 2009 setidaknya tetap memberikan jaminan bahwa demokrasi yang selama ini kita rawat akan tetap ada dan memungkinkan untuk diperluas dan diperkuat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, diwilayah ekonomi, politik, sosial dan hak asasi manusia.