Monday, April 27, 2009

Sebuah Kesaksian


Mugiyanto, Aan Rusdianto dan Nezar memberikan kesaksian publik di YLBHI, Jakarta Juni 1998

Pengantar

Saya akan menyampaikan sebuah kesaksian atas apa yang terjadi pada diri saya bersama Nezar Patria dan Aan Rusdianto pada hari Jumat malam tanggal 13 Maret 1998. Peristiwa ini ternyata menjadi bagian dari sebuah rangkaian panjang peristiwa penculikan dan penghilangan aktifis-aktifis politik, yang membuat wajah rejim orde baru semakin tidak populer di mata rakyat dan dunia internasional. Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa negara tidak lagi mampu menjamin keselamatan warganya, yang pada akhirnya semakin mempertebal rasa ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah yang berkuasa hingga menyebabkan keruntuhannya.

Nama saya Mugiyanto. Saya lahir pada tanggal 2 November 1973 di Jepara. Saat ini saya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Inggris UGM Yogyakarta. Sejak masuk kuliah di UGM pada tahun 1992 kesadaran politik saya mulai tumbuh. Hal ini memang tak lepas dari lingkungan saya di kampus, di mana mahasiswa sering melakukan diskusi-diskusi kritis baik masalah ekonomi, sosial, maupun politik. Aksi-aksi demonstrasi juga sering dilakukan dengan isu-isu serupa. Akses untuk membaca buku-buku baru dan kritis juga terbuka lebar bagi saya. Di samping itu kadang-kadang saya juga melakukan eksposure. Mulai dari situlah kepala saya seolah dibenturkan, mata dan telinga saya dibukakan pada realita-realita kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang timpang yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Hingga akhirnya saya terpanggil, hati nurani saya terdorong untuk melakukan suatu tindakan. Dan akhirnya saya bergabung dengan kawan-kawan SMID di Yogyakarta. Namun untuk itu semua, saya harus mengalami suatu peristiwa sebagai sebuah resiko yang tak akan pernah bisa saya lupakan dalam hidup saya. Berikut inilah kesaksian saya atas peristiwa tersebut.

Di Rumah; Terjebak
Pada hari Rabu, 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 dari Gramedia Matraman saya menghubungi rumah kontrakan (saat diculik saya bersama Nezar Patria, Aan Rusdianto dan Bimo Petrus tinggal di Rusun Klender Blok 37 No. 7 lantai II, Jakarta Timur) melalui telepon dan diterima Nezar Patria. Setelah tahu bahwa ia ada di rumah, saya bilang pada Nezar untuk menunggu dirumah karena saya membawa makan malam dan kebetulan ia belum makan. Saya bilang pada Nezar bahwa dalam satu jam saya akan sampai di rumah.

Pukul 20.15 saya turun dari kendaraan angkutan umum kemudian berjalan menuju rumah. Di sekitar rumah tak ada yang mencurigakan, kecuali adanya sekelompok ibu-ibu yang duduk-duduk di tangga naik ke kontrakan. Saya minta permisi pada ibu-ibu ini untuk lewat. Sesampai di depan pintu, saya ketok pintu berkali-kali, namun tak ada jawaban dari dalam. Saya tengok ke arah ibu-ibu tadi, namun mereka kemudian bubar secara serempak. Kemudian saya ketok pintu beberapa kali lagi dan yang keluar adalah tetangga, yang tinggal tepat berhadapan dengan kontrakan kami. Ia (seorang perempuan masih muda) bilang pada saya, "Orangnya sedang keluar, Mas. Sebentar lagi katanya akan balik". Kemudian saya cari kunci di kantong celana, dan menemukannya. Begitu saya buka pintu, ruangan gelap. Semua lampu padam kecuali lampu kamar. Lampu saya nyalakan dan saya melihat banyak keanehan. Pertama, saya lihat komputer laptop tidak ada, juga beberapa tas berisi buku-buku dan barang cetakan lain yang biasanya berserakan di lantai. Gagang telepon juga tidak berada di tempatnya. Di dapur saya juga dapatkan seplastik buah jeruk untuk minuman, dan tuangan air dalam gelas yang masih hangat. Saya jadi penasaran dan agak panik.

Saya memastikan sesuatu telah terjadi. Kemudian memikirkan beberapa kemungkinan; pertama, Nezar sedang melakukan evakuasi karena sesuatu terjadi pada kawan yang lain sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kedua, Nezar diculik dari rumah. Karena menganggap kemungkinan pertama lebih besar --berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya-- saya pager Nezar untuk menghubungi rumah. Setelah beberapa saat saya menunggu, telepon berdering tiga kali, namun dari kawan yang lain. Kepada mereka saya jelaskan apa yang terjadi. Telepon dari Nezar yang saya tunggu-tunggu tidak datang juga. Akhirnya saya segera masukkan catatan-catatan penting ke dalam tas untuk pergi. Kemudian saya tengok ke luar melalui jendela. Di sana ada beberapa orang berbadan besar mengawasi saya. Saya jadi panik. Sesaat setelah itu, sebelum saya keluar, pintu sudah diketuk. Karena tak ada alternatif untuk lolos, saya buka pintu dan ada sekitar 10 orang masuk. Empat orang diantaranya berpakaian seragan hijau dan membawa HT, dan yang lainnya berpakaian preman termasuk dua orang tua berpeci yang saya kira adalah perangkat kelurahan. Setelah memeriksa saya, mereka (4 orang berpakaian termasuk bapak tua berpeci) menuntun saya keluar menuju kendaraan L300 yang disediakannya. Saya duduk di belakang sopir diapit oleh mereka. Sekitar 15 menit kemudian sampai di Koramil Duren Sawit.

Di Koramil; Seseorang Menangkapkan Diri
Ada satu kejadian janggal saat saya berada di Koramil ini. Saat itu saya sedang ditanyai (bukan interogasi). Namun tiba-tiba saja ada orang lain yang juga ditanyai oleh mereka. Ia mengaku bernama Jaka, memakai topi dan badannya tidak terlalu besar namun kekar. Tingginya sekitar 165 cm. Ia mengaku tinggal di dekat LP Cipinang dan ikut ditangkap bersama saya saat sedang main di tempat kawannya di dekat rumah kontrakan saya. Mendengar jawabannya itu, saya heran karena setahu saya yang ditangkap dari rumah saat itu cuma saya.

Ia lebih banyak ditanya dari pada saya. Kemudian dia bilang pada para tentara ini bahwa ia tidak berhak ditangkap karena sedang main dan tidak kenal dengan saya. Dan kalau tetap ditangkap ia akan mendatangkan kakaknya yang perwira tinggi ABRI. Mereka malah marah dan menendangi si Jaka ini. Pada saat yang sama si Jaka menerima telepon melalui mobile phone dari kakaknya yang pimpinan ABRI tersebut dan ia berbicara di depan para tentara ini. Di Koramil ini hanya makan waktu sekitar 15 menit. Kami kemudian di naikkan kendaraan bak terbuka Patroli Polisi Militer. Duduk di kursi bak mobil tersebut dengan diborgol. Empat orang Polisi Militer berseragam lengkap mengapit kami masing-masing disebelah kiri dan kanan.

Di Kodim; Saya Direbut
Sekitar 20 menit kemudian kami sampai di Kodim Jakarta Timur. Di depan tangga pintu Kodim tampak mobil mewah BMW (saya lupa warnanya) parkir dan di sampingnya ada seorang yang berpakaian batik, berbadan tegap dan sangat gagah, kulit putih berdiri ditemani 2 orang berpakaian dinas militer. Orang-orang ini nampak sedang menunggu kami, sehingga begitu kami sampai, seorang yang berpakaian batik berteriak pada anggota PM yang membawa kami, "Cepat turunkan mereka!" Namun anggota PM yang membawa kami tak juga menuruti perintahnya. Kami masih tetap di atas kendaraan bak terbuka tersebut. Orang berbaju batik ini berteriak lagi, "Kalian menghormati saya tidak! Ayo segera turunkan mereka!" Baru setelah berulang kali orang berbaju batik berteriak demikian, borgol kami dibuka dan kami diturunkan dari kendaraan. Kami lalu dibawa ke ruang tamu Kodim. Kami tidak sempat ditanyai apa-apa. Sekitar lima menit kemudian, kami disuruh keluar. Saat keluar ini si Jaka menggandeng saya sambil membisiki saya, "Mugi, kamu selamat. Kamu selamat. Kita pulang ke rumahku". Saya sempat berharap apa yang dikatakan si Jaka benar walau saya yakin hal itu nggak mungkin. Kemudian saya disuruh masuk ke dalam mobil BMW yang sudah menunggu. Di dalamnya saya sempat melihat banyak map berserakan. Sepuluh detik di dalam BMW tadi, lalu saya di suruh keluar lagi untuk pindah ke kendaraan lain. Saya dituntun menuju ke mobil kijang yang parkir di agak jauh dari BMW tadi. Saya di suruh masuk ke dalam mobil kijang tersebur kemudian masuk juga lima orang yang duduk mengapit saya. Mulai saat inilah saya sadar sepenuh-penuhnya bahwa jiwa saya benar-benar terancam.

Sebelum kendaraan dijalankan, mereka menyuruh saya buka baju, kemudian mereka menutupkannya pada mata saya. Di dalam kendaraan mereka tidak banyak tanya tentang aktifitas saya, namun mereka lebih banyak berbicara tentang mereka sendiri. Mereka bilang bahwa mereka adalah kelompok mafia yang bisa melakukan apa saja, pada siapa, dan untuk siapa saja asalkan ada uang. Mereka memegang pistol yang kadang mengancamkannya pada saya dan HT yang selalu digunakannya untuk berkomunikasi dengan yang lain. Sandi-sandi yang mereka sebut adalah Elang, Harimau dan Rajawali. Perjalanan yang kami lalui sepertinya cukup jauh, namun nampaknya tidak melewati jalan tol. Mereka kelihatannya juga tidak hafal dengan betul rute ke tujuan sehingga kadang mereka berdebat. Bahkan sempat balik lagi karena nyasar. Kadang juga terjebak kemacetan. Musik dalam kendaraan tidak dibunyikan dengan keras, hingga saya sempat dengar suara lalu lintas yang cukup padat.

Di Tempat "X" (Penyiksaan)
Sekitar satu jam kemudian kendaraan berhenti. Saya disuruh turun dan berjalan dituntun oleh mereka. Sekitar10 meter kemudian saya disuruh berhenti. Kemudian saya disuruh buka sepatu dan celana, hingga tinggal celana dalam yang saya pakai. Udaranya sangat dingin seperti di luar ruangan dan sampai saat itu saya memang belum merasa telah memasuki ruangan. Kemudian saya mulai mendengan suara orang berbisik-bisik diselingi suara-suara seperti cambuk dan raungan alarm seperti alarm mobil. Kemudian saya dipukul di perut berkali-kali dan pada muka sampai saya terjatuh. Kemudian ditidurkan telentang di atas tempat tidur lipat dari terpal. Ke dua kaki dan tangan saya diikatkan pada tempat tidur. Saat itulah saya mulai diinterogasi dengan cara disetrum dengan alat setrum yang suaranya seperti cambuk. Penyetruman ini dilakukan pada seluruh bagian kaki saya, terutama pada bagian sendi lutut. Interogasi pertama yang mereka ajukan adalah mengenai identitas Nezar, kemudian mengenai Aan. Setelah itu mereka berganti menginterogasi Nezar dan kemudian Aan. Saat itulah, ketika saya mendengat jeritan dan suara Nezar dan Aan yang disetrum dan di pukul, saya baru tahu bahwa di situ sudah ada Nezar dan Aan.

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah mengenai keterlibatan saya dalam kerja dan struktur organisasi PRD, nama Mirah Mahardika sebagai koordinator KPP-PRD, dan terutama tentang posisi Andi Arief. Setelah disetrum berkali-kali saya menjawabnya dengan jawaban bahwa saya baru saja di Jakarta sehingga saya tidak tahu banyak tentang hal-hal tersebut. Juga bahwa selama ini kalau ketemu yang lain kami melalui seorang kawan yaitu Bimo Petrus jadi saya tidak tahu nama dan posisi kawan-kawan yang lain. Kemudian mereka mengejar saya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Andi Arief dan Bimo Petrus, lagi; dengan setruman berkali-kali. Mengenai Andi Arief, saya menjawab bahwa setelah 27 Juli 1996 dan ia lulus dari UGM saya jarang ketemu dia. Namun karena rumahnya di Lampung, saya bilang bahwa ia di Lampung sebagaimana kawan-kawan bilang pada saya. Namun mereka tidak percaya dengan berkata, "Dia tidak ada di sana. Berapa sih luasnya Lampung. Saya telah mencarinya di setiap jengkal tanah di Lampung". Mereka terus dan tetap memaksa saya untuk mengatakan tentang di mana dan bagaimana menangkap Andi Arief, namun saya menjawabnya dengan jawaban yang sama. Untuk hal itu mereka menggunakan cara-cara kekerasan dengan cara menyetrum dan juga dengan cara halus dengan merayu saya. Jawaban saya tetap sama. Pertanyaan tentang hal ini terus diberikannya sampai hari ke dua. Merekapun akhirnya menyerah --mungkin percaya. Kemudian dengan passport saya yang mereka dapatkan, mereka memaksa saya untuk mengakui bahwa saya adalah pengurus PRD, lalu mereka bertanya tentang kerja internasional PRD dan donator-donatornya.

Pada hari kedua sore hari, saya mendengar mereka terburu-buru memindahkan kursi-kursi yang ada di ruangan tersebut. Nampaknya mereka merapikan ruangan. Beberapa saat lama setelah itu datang beberapa orang yang kemudian berbicara dengan kami. Tepatnya diskusi masalah program-program PRD khususnya masalah Timor Timur, Aceh dan Irian Barat, serta situasi politik sekarang. Hari kedua ini, penyiksaan fisik pada saya sudah tidak banyak, namun mereka hanya menakut-nakuti.

Selama dua hari di tempat ini saya sempat keluar 3 kali, yaitu 2 kali kencing dan sekali saat difoto. Tempat kencing (toilet --saya tahu karena sempat meraba-raba saat ambil air) jauhnya kira-kira 25 meter dari tempat interogasi. Untuk menuju ke tempat ini saya harus berjalan dituntun oleh dua orang melalui koridor berlantai halus. Saat difoto dengan polaroid, tempat yang dipakai adalah juga di WC yang saya pakai untuk kencing berdasarkan arah dan jarak yang saya tempuh. Saat diambil foto saya ini, tutup mata saya dibuka, namun seorang yang mengambil photo saya memakai penutup kepala.

Posisi saya juga selalu berada di atas tempat tidur lipat ini namun siang hari pertama saya boleh ganti posisi miring dan ikatan hanya tinggal pada tangan kiri saja. Sehingga kadang-kadang mereka membolehkan saya mengambil posisi duduk, terutama saat makan pada pagi, siang dan malam hari. Mengenai makan yang saya dapatkan, memang cukup enak dan bergizi (nasi padang) namun saya tidak pernah habis karena bibir saya yang pecah karena pukulan mereka.

Selama dua hari dua malam itu pula, saya merasa bahwa saya tidak pernah dipindahkan dari tempat ini. Dan saya selalu berada satu tempat dengan Aan dan Nezar karena saya selalu bisa mendengar suara mereka di sebelah saya. Namun kadang-kadang mereka menjauhkan posisi diantara kami. Suara semacam alarm juga selalu meraung-raung di dalam ruangan bersama suara alat setrum yang seperti suara cambuk dan getaran-getaran kuat. Suara tersebut berhenti hanya pada saat tak ada interogasi pada kami, yang saya rasa waktunya adalah setelah tengah malam setelah mereka menyuruh kami tidur untuk beristirahat.

Di Sebuah Tempat di Lantai 2; Tutup Mata Saya Dibuka untuk Interogasi Sekitar pukul 13.00 hari Minggu, 15 Maret 1998 saya disuruh pakai baju dan sepatu lalu diborgol lagi. Dengan mata tetap tertutup, saya kemudian dibawa naik kendaraan. Satu jam kemudian kendaraan berhenti, dan saya disuruh turun. Lalu dituntun memasuki sebuah gedung. Di dalam gedung saat menaiki tangga, saya sempat mendengar suara perempuan yang sepertinya ibu yang suka kerja di dapur. Kemudian berhenti, tutup mata saya dibuka, dan ternyata saya berada di sebuah ruangan di lantai dua. Saya lihat-lihat ruangan itu sukup luas dan disekat-sekat. Ruangan di lantai dua tersebut menghadap halaman yang cukup luas dan sekitar 300 meter di kejauhan terdapat jalan raya. Dalam ruangan itu tergantung sebuah kalender UKI Jakarta. Sebelum diinterogasi, saya disuruh makan dulu dan borgol saya dilepas. Interogator berjumlah dua orang yang didampingi sekitar 5 orang. Juga difoto dan di shoot dengan kamera video. Semua interogator tidak ada yang mukanya tertutup kecuali seorang yang membawa handycam yang menutup mukanya dengan koran. Interogasi ini berjalan sekitar 30 menit.

Di Polda Metro Jaya; Diisolasi
Setelah interogasi selesai, mata saya ditutup lagi. Kemudian dibawa turun dan diborgol bersama orang lain yang ternyata adalah Aan. Kemudian naik kendaraan bersama Aan dan Nezar. Dari suaranya, di dalam kendaraan terdengar ada sekitar 5 orang. Dalam kendaraan tersebut mereka menteror kami dengan bilang pada kami untuk berjanji tidak berbohong kalau diinterogasi nanti dengan ancaman pistol yang ditempelkan di kepala saya. Mereka juga menyuruh kami agar berdoa dan meninggalkan pesan terakhir untuk orang tua kami. Sekitar satu jam kemudian kendaraan berhenti. Lalu turun, tutup mata dan borgol dibuka, dan ternyata kami sudah berada di Polda Metro Jaya. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul empat. Kemudian kami langsung diperiksa sampai pukul sembilan malam, tanpa pengacara. Dari pemeriksaan tersebut saya tahu bahwa saya diduga melakukan tindak pidana subversi. Setelah pemeriksaan selesai kami langsung dimasukkan ke dalam sel isolasi masing-masing satu orang. Pada dua bulan pertama kami bahkan tak diperbolehkan mengikuti kegiatan senam tiap hari Rabu dan Jumat, demikian juga Sholat Jumat. Baru satu bulan terakhir kami sudah diijinkan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Pada hari Minggu tanggal 17 Mei 1998 saya bersama Nezar dan Aan diperiksa oleh Puspom ABRI sebagai saksi atas kasus penculikan yang terjadi pada kami. Setelah delapan puluh tiga hari mendekam di tahanan isolasi ini, saat kami bersiap-siap untuk menghadapi sidang pengadilan kasus politik pertama "Era Reformasi", tiba-tiba pada hari Jumat tanggal 5 Juni 1998 kami disuruh menandatangani Surat Perintah Penangguhan Penahanan dari Polda Metro Jaya. Mulai saat itulah, kira-kira pukul 14.00 kami kembali menghirup udara "kebebasan". Namun saat menulis kesaksian ini saya masih ragu akan "kebebasan" tersebut mengingat perkembangan kehidupan politik nasional yang masih belum menentu, khususnya pengalaman pribadi saya dan juga kawan-kawan korban penculikan yang lain.

Jakarta, 8 Juni 1998

Penyaksi,

M u g i y a n t o

Sunday, April 12, 2009

Indonesia is Ready and Should Ratify the ICC

Indonesia is ready and should ratify the ICC

Mugiyanto , Jakarta | Fri, 04/10/2009 1:39 PM | Opinion

Prof. Hikmahanto Juwana wrote an interesting article on April 2, on whether Indonesia should ratify the Rome Statute of the International Criminal Court (ICC). The professor of law's position is clear, he is against the ratification.

The article is interesting, as Indonesia is now in the process of ratifying the ICC, and due to the controversy on the issuing by the ICC of an arrest warrant against Sudan President Omar al Bahsir.

In an article, "Should RI ratify ICC Statute?" Prof. Juwana argues that Indonesia should not ratify the Rome Statute. First of all, Prof. Juwana said Indonesia did not need to ratify the ICC because the country had promulgated the Human Rights Court Law (Law No. 26/2000), which had been able to bring to court three human rights abuse cases (the cases of Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984 and Abepura 2001).

He pointed out the reforms within the Indonesian Military (TNI), that the TNI was no longer involved in politics and made reports about respecting human rights.

Prof. Juwana proposed three conditions in order for Indonesia to ratify the Rome Statute; the need of the international community to treat all those who commit international crimes the same; that countries like the United States should not pursue impunity for their soldiers who commit international crimes; and that Non-Surrender Agreements (NSA) should not be imposed by other countries.

There is nothing wrong with these prerequisites. They are exactly the reasons why the ICC was established as a permanent Court, to complement existing ad hoc international courts such as the Nuremberg Tribunal, the Tokyo Tribunal and the International Criminal Tribunals for former Yugoslavia and Rwanda (ICTY and the ICTR) which are criticized more as political Courts.

What is more important to note, however, is that in order to make the ICC treat all countries equally, and not be politicized nor target only less developed or powerful states, Indonesia, as well as the states he specifically mentioned, the United States and Israel, should ratify the ICC.

Not ratifying the ICC with the argument that other big countries alleged to have committed international crimes have not ratified the ICC either, is like looking for justification to committing similar crimes.

Indonesia, as one of the world's largest democracies, is right in leading the move toward getting big and powerful countries onboard the international justice regime.

With the arguments above, this writer is convinced Indonesia is ready and should ratify the ICC without delay.

The ratification of the ICC by Indonesia will not merely improve its image with respect to human rights and provide only a symbolic significance, as Prof. Juwana said.

Much more than that, the ratification of the ICC will make sure that Indonesian citizens are protected from any possible acts of genocide, crimes against humanity and war crimes.

It will also make Indonesia able to prevent such crimes happening in the future, as well as to main-tain peace in the region and in the world. Moreover, it will give Indone-sia equal footing with other countries that committed themselves earlier to the order of international justice.

It is not only that the ratification of the ICC has been mandated by Presidential Decree No. 20, 2004 in the National Plan for Action on Human Rights (RANHAM).

The Indonesian Civil Society Coalition for the International Criminal Court (The Coalition), that has been working in parallel with the government on the process of ratifying the ICC could only list the advantages of the ratification and disadvantages of not ratifying the ICC.

Some of the principle advantages of the ratification are that it will give protection to citizens, including the Indonesian peace keeping force; it will enable Indonesia to play a bigger role in the international justice system; accelerate legal reform; improve human rights protection and many other benefits (Academic Paper of the Coalition, 2008).

However, some substantive issues are still "burning", and, accordingly, still need further discussion to resolve, such as the following:

First, some still think the ICC will disrupt national sovereignty. Based on the preamble of the Rome Statute, the ICC is complementary to national judiciary (the complementary principle). Article 17 (1) of the Rome Statute on the inadmissibility of the case guarantees this principle.

It is mentioned there that the ICC cannot intervene in criminal cases in national courts when a state is performing an investigation or prosecution, and if the case has been settled by a proper and fair court.

Based on this provision, the ICC is actually aimed at making the national criminal judiciary of a state run more effectively.

Thereby, the ICC will neither intervene in nor reduce the sovereignty of the legal system of Indonesia. National legal mechanisms remain the main avenue to prosecute crime.

Second, on the principle of nonretroactivity, some still think that alleged perpetrators of crimes which happened before the ICC comes into force will be brought before the court.

Article 24 of the Rome Statute states that nobody will be held responsible in term of penal law for things done before the Statute is put into effect. This provision shows that the Statute of Rome does not prevail retroactively, and that it holds dear the principle of legality as a cardinal principle in criminal law.

The writer is chairman of the Association of Families of Victims of Involuntary Disappearance (Ikohi)

The article was published by the Jakarta Post, April 10, 2009 (http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/10/indonesia-ready-and-should-ratify-icc.html)