I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Sunday, August 29, 2010
Families of the missing wait for the President
Families of the missing wait for the President
The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 08/27/2010 10:11 AM | National
A | A | A |
Resolution of the government’s alleged forced disappearances of its opponents before reform is not about concluding a bitter chapter of history — but about ensuring a just and humane future, say activists.
“It’s about how the future Indonesia will be and where it will go,” said Yetti, an activist with the Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI).
Yetti’s politically active father, Bachtiar, was allegedly abducted and shot dead by soldiers along with other activists in Tanjung Priok in 1984 during president Soeharto’s regime.
Forced disappearances have emerged as an issue several times, such as in the 1997 election and in a 1998 plenary meeting at the People’s Consultative Assembly (MPR).
The House of Representatives (DPR) issued four recommendations in 2009, after the release of the National Human Rights Commission’s (Komnas HAM) report on the forced disappearances of 13 activists and ordinary citizens during the tumultous years of 1997 and 1998.
The President, to whom the recommendations were directed, has yet to enact the recommendations.
The House proposed forming an ad hoc human rights court, discovering the whereabouts of the 13 people, rehabilitating and compensating the families of the disappeared and starting ratification of the International Convention on Forced Disappearances.
“If those four recommendations were followed through by the government, then Indonesia could probably experience true freedom and prove its genuine concern, which is what we have always hoped for,” Yetti said.
Another IKOHI activist, Mugiyanto, said that families had problems because of their disappeared relatives ambiguous legal status. Families of the disappeared hold neither death certificates nor proof that they live, he said.
Providing a formal status determination will allow families to claim rehabilitation, compensation and repatriation if the government follows the House’s recommendations, he added.
“One of the most brutal consequences of forced disappearances is that it transforms human existence into non-existence,” he said.
“This is what makes forced disappearances a perfect crime in the context of a court of law, since the person can’t be present,” Mugiyanto added.
Nur Hasanah, whose son 22-year-old son Yadin Muhidin, disappeared after he witnessed looting and burning sprees during the May 1998 riots, said that her neighborhood unit chief unilaterally decided to remove her son’s name from the family’s card. “The chief told me that my son was no more,” she said. “I told him that he was still around and will come home later.”
Knowing if her son was dead or alive would give the family closure, she said. “My heart hurts. To this moment, I can’t forget my son,” she said. “I need to know if he is still alive, and if he is dead, where was he buried.”
Mugiyanto said that families must receive certainty on the true status of the disappeared to give them a sense of peace.
“These families have a right to know the truth and it is the state’s responsibility to provide the truth on whatever their condition may be,” he said.
He added that similar incidents would continue to happen if no punitive action were taken against previous ones.
Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/08/27/families-missing-wait-president.html
Thursday, August 12, 2010
Publikasi Ulang
Mencontoh Argentina Menangani Masa Lalu
Mugiyanto[1]
"As the President of Argentina I have no fear, I don't fear you,"
Ucapan Presiden Argentina Nestor Kirchner kepada anggota militer yang membangkang pada upacara peringatan Hari Angkatan Darat, 29 Mei 2006
Dalam sepekan terakhir, perhatian kita banyak tertuju pada perkembangan politik di Argentina, terutama karena adanya pemilu yang akhirnya dimenangi Cristina Hernandez Kirchner, yang kebetulan adalah istri Presiden Argentina saat ini, Nestor Kirchner.
Cristina memenangi pemilu bukan hanya karena ia seorang negarawan nan rupawan dan cerdas, tapi karena ia menjanjikan kebijakan yang berpihak pada kaum papa Argentina, sebagaimana selama ini telah dibuktikan oleh sang suami Presiden Kirchner. Salah satu langkah radikal yang telah diambil oleh Presiden Kichner adalah untuk melepaskan ketergantungan Negara pada lembaga keuangan internasional, IMF.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengupas presiden terpilih Cristina Kircher, ataupun keberhasilan Argentina membangun kebangkitan ekonomi paska krisis 2001 dengan cara melepaskan ketergantungan pada IMF. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat aspek lain “keberhasilan” Argentina, yaitu dalam mengelola masa lalu yang hitam yang terjadi pada masa kediktatoran Junta Militer 1976 – 1983.
Pada periode tersebut pelanggaran HAM terjadi sangat masif. Laporan Komisi Penyelidik Nasional untuk Penghilangan Paksa (CONADEP) tahun 1984 mencatat adanya 8.960 korban penghilangan orang secara paksa (orang hilang) dan 340 tempat penahanan dan penyiksaan rahasia. Bahkan organisasi-organisasi HAM di sana mencatat korban orang hilang mencapai 30.000 orang.
Sebelum dihilangkan, para korban terlebih dulu diculik, ditahan, disiksa lalu dihilangkan oleh alat-alat represi Junta Militer yang disebut “death squads” atas nama doktrin keamanan nasional. Sebagian diantaranya dibuang hidup-hidup di Samudera Atlantik dengan pesawat (death flights). Pimpinan Junta, Jenderal Videla mengatakan pada waktu itu, “Berapapun banyaknya orang harus mati, demi keamanan negeri ini”.
Menghapuskan Impunitas
Presiden sipil baru paska Junta Militer, Raul Alfonsin pada tahun 1983 membentuk sebuah komisi nasional untuk menyelidiki kasus penghilangan paksa yang terjadi pada masa periode kediktatoran Junta Militer 1976 – 1983. Pada November 1984, komisi penyelidik ini mempublikasikan hasilnya yang diberi judul Nunca Mas, yang berarti Jangan Terjadi Lagi. Laporan yang dalam pengantar salah satu edisinya disebut sebagai ‘laporan dari neraka’ ini membuat panik para pimpinan Junta dan para militer pendukungnya. Mereka semua membantah dan menolak untuk dimintai pertanggungjawaban.
Bukan hanya itu, merekapun mengancam untuk melakukan pemberontakan bila mereka dibawa ke pengadilan. Akhirnya pada tahun 1986 dan 1987 Presiden Raul Alfonsin mengeluarkan 2 undang-undang amnesti yang disebut La Ley de Punto Final (The Full Stop Law) dan La Ley de Obediencia Debida (The Law of Due Obedience). Dua undang-undang ini menjadi antiklimaks atas proses pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM yang sebenarnya sudah dimulai dengan penyelidikan oleh CONADEP. Yang lebih buruk lagi, presiden baru Carlos Menem memberikan amnesti kepada pejabat militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa kediktatoran.
Sebagaimana alur sejarah, politik Argentina juga bergerak maju. Hampir 20 tahun kemudian, pemimpin-pemimpin konservatif yang abai dan ingkar demokrasi dan HAM tidak banyak mendapat tempat. Pemerintahan Kirchner melakukan gebrakan radikal dalam bidang HAM ketika pada bulan Juni 2005 Mahkamah Agung Argentina menganulir dua undang-undang amnesti 1986 dan 1987 itu karena dianggap inkonstitusional. Selanjutnya proses pengadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada masa 7 tahun kediktatoran bisa dimulai lagi.
Hingga saat ini, FEDEFAM, Federasi Organisasi Keluarga Korban Penghilangan Paksa di Amerika Latin mencatat sekitar 160 anggota militer sudah diadili, 4 diantaranya berpangkat Jenderal. Selanjutnya sekitar 250 anggota militer yang lain masih menunggu pengadilan.
Perhatian pada korban
Usaha penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu seringkali mengabaikan kepentingan korban dan keluarganya. Penanganan kasus pelanggaran HAM biasanya dianggap usai ketika pengadilan telah digelar atau sedikit kebenaran telah terungkap, walaupun hanya di tataran formal. “Keadilan formal” seperti ini sering berakhir pada penelantaran korban dan keluarganya.
Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat fenomena ini pada proses penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi Timor Leste dan Tanjung Priok 1984. Walaupun pengadilan HAM ad hoc telah digelar di Jakarta dan Komisi Kebenaran dan Penerimaan (CAVR) juga telah diselesaikan di Timor Leste, korban masih belum mendapatkan hak-hak pemulihan (rights to reparations) yang layak.
Hal yang sama terjadi pada korban dan keluarga korban Tanjung Priok 1984 yang sudah diselesaikan di pengadilan HAM ad hoc. Perjuangan korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi (hak-hak pemulihan) kandas, begitu Mahkamah Agung memutus bebas semua terdakwa. Pelanggaran HAM dianggap tidak ada, dan karenanya keberadaan korban tidak diakui.
Argentina memilih jalan berbeda dalam mengelola sejarah hitam masa lalu. Selain dengan mengungkap kebenaran melalui CONADEP, pemerintah Argentina saat ini juga mengambil jalan pengadilan bagi mereka yang terlibat dan bertanggung jawab dalam serangkaian tindakan penculikan, penyiksaan dan penghilangan orang pada masa kediktatoran.
Tidak hanya itu, Argentina juga mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam bentuk undang-undang untuk merestorasi korban dan keluarga yang ditinggalkannya. Undang-undang yang telah dikeluarkan sekitar 12 tahun yang lalu ini mengatur status sipil korban penghilangan paksa (Civil Status Law) dan kompensasi (Special Benefit Law). Melalui dua undang-undang ini, keluarga korban bisa mendapatkan hak-hak kompensasi dari Negara sebesar kira-kita 100 dollar Amerika perbulan selama 20 tahun yang diambil dari kas Negara (state bond).
Untuk hal-hal yang berhubungan dengan administrasi kewarganegaraan sehari-hari, mereka yang hilang bisa mendapatkan status absence due to enforced disappearances atau absence on presumption of death setelah dilakukan verifikasi oleh lembaga resmi Negara. Status demikian memudahkan anggota keluarga bisa melakukan kepengurusan warisan, transaksi bisnis, hak pensiun, hak milik dan sebagainya. Status absence due to enforced disappearances mensyaratkan Negara untuk terus berusaha melakukan penyelidikan (criminal investigation) bagi yang bersangkutan.
Argentina bukan Negara maju dengan catatan HAM yang sangat mengagumkan. Tetapi Argentina telah menunjukkan kemampuannya untuk bangkit dari kebangkrutan ekonomi yang sempat memporakporandakan segala sendi kehidupan rakyatnya pada tahun 2001 dengan mengatakan ‘tidak’ pada resep IMF. Argentina juga telah menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kedewasaannya dalam mengelola sejarah hitam masa lalunya dengan baik, dengan membentuk komisi kebenaran, pengadilan dan pemenuhan hak-hak korban. Argentina telah berusaha untuk benar-benar mengatakan tidak pada kesalahan dan sejarah hitam masa lalu dengan satu semboyan; Nunca Mas!, Jangan terulang lagi!
[1] Penulis adalah ketua IKOHI dan Asian Federation Against Involuntary Disappearances - AFAD
Keterangan: dipublikasi ulang dari blogspot ikohi (www.ikohi.blogspot.com)
Tuesday, August 03, 2010
The US, Indonesian Kopassus and West Papua
US-Jakarta ties 'threat to Papua'
Around 200 people raised the Morning Star flag in Indonesia's Papua province in December 2001, in a symbolic move to mark the Papuan independence campaign that has been pursued since 1962.
Filep Karma was arrested at that ceremony and jailed 15 years for flying the outlawed Papua flag.
And he warns, in a secretly recorded interview with Al Jazeera, that the decision to renew military co-operation between the US and Indonesia could have dangerous consequences for the Papuan people.
Step Vaessen reports.
See: http://english.aljazeera.net/video/asia-pacific/2010/07/201073124515884622.html
Subscribe to:
Posts (Atom)