I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Monday, February 21, 2011
PENEGAKAN HUKUM
Kekerasan Dapat Diadili di Mahkamah Pidana Internasional
Kompas, 21 Pebruari 2011
Jakarta, Kompas - Ketidaktegasan pemerintah menerapkan hukum dalam berbagai kasus kekerasan dapat mengundang reaksi negatif dunia internasional. Terlebih, kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan persekusi, jenis pelanggaran norma internasional yang dilakukan berdasarkan perbedaan keyakinan, agama, suku, hingga jenis kelamin. Bentuk kejahatan ini dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional.
”Penegakan hukum yang lemah atas kasus-kasus kekerasan memang memberi ruang bagi dunia internasional memerhatikan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Sulitnya, karena Indonesia tidak termasuk dalam negara pihak di Mahkamah Pidana Internasional, kasus-kasus kekerasan yang masuk dalam kategori persekusi ini luput dari perhatian,” tutur Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Mugiyanto di Jakarta, Jumat (18/2).
Mugiyanto mengungkapkan, pelaku kekerasan yang masuk dalam tindak kejahatan persekusi sebenarnya dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Terlebih, jika aparat penegak hukum di Indonesia dinilai tidak mampu menuntaskan kasus-kasus kekerasan tersebut.
Mugiyanto menuturkan, meski Indonesia belum menjadi negara pihak di Mahkamah Pidana Internasional, tidak berarti kasus kejahatan persekusi luput dari jangkauan hukum internasional. ”Seperti kasus Presiden Sudan Omar Al Bashir yang juga bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional meski Sudan bukanlah negara pihak,” katanya.
Menurut peneliti dari Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, kelemahan negara dalam penegakan hukum terkait kasus-kasus kekerasan sebenarnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki instrumen hukum. Selama ini, lanjut Bhatara, kekerasan terus-menerus terjadi karena tidak ada instrumen hukum yang efektif dan menimbulkan efek jera terhadap pelaku.
”Indonesia harus memperbaiki instrumen hukum dan kapasitas aparat penegak hukum agar kekerasan pada masa yang akan datang bisa dicegah atau setidaknya diminimalkan,” ujar Bhatara.
Perbaikan tersebut, menurut dia, salah satunya adalah dengan meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. Dengan meratifikasi Statuta Roma, Indonesia bisa menerapkan instrumen hukum pidana domestik yang sesuai dengan norma hukum internasional. ”Seperti tidak lagi menghukum pelaku kejahatan persekusi dengan pasal-pasal penganiayaan. Tetapi, dengan pasal-pasal dan ketentuan tersendiri soal kejahatan persekusi itu,” kata Bhatara.
Menurut Mugiyanto, kelompok-kelompok yang sering melakukan kekerasan dan cenderung dibiarkan oleh aparat akan berpikir ulang jika ada campur tangan dunia internasional dalam penegakan hukum. ”Tentu ini akan memberikan efek jera bagi mereka, ketika apa yang mereka lakukan ternyata melanggar norma-norma internasional yang telah disepakati negara,” ujar Mugiyanto. (BIL)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/21/03144722/kekerasan.dapat.diadili.di.mahkamah.pidana.internasional
Monday, February 14, 2011
Welcoming the Entry into Force of the Convention
Welcoming the Entry into Force of the Convention
by Mugiyanto
Eighteen States have ratified the UN Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (hereinafter referred to as The Convention). Of these eighteen States, only 5 have recognized the competence of the Committee on Enforced Disappearances (CED). Of the parties, only two are Asian, namely Japan and Kazakhstan. It signifies more work for the Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) and the rest of the international movement against enforced disappearances not only to achieve the minimum number of 20 ratifications for the entry into force, but also to have more States recognize the competence of the CED and to put more Asian States on board.
The ratification by Asian States is important because it is in their region where the highest number of cases of enforced disappearances has been submitted to the UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances (UNWGEID) in the last few years.
The AFAD, which conducted a lobby tour to some Asian countries such as the Philippines, Indonesia, Timor Leste, Thailand, India and Nepal during the last six months, received initial positive feedbacks. All government authorities that the Federation met, except for those in India, have been supportive and already undergoing initial processes of ratification. Indonesia and Thailand are formulating academic papers toward ratification. The Philippines and Nepal are
in the process of adopting national legislation on disappearances to serve as enabling mechanisms for the treaty’s implementation. In the Philippines, President Gloria Macapagal-Arroyo, whom leaders and members of the Families of Victims of Involuntary Disappearances (FIND) and AFAD met, promised to sign the Convention before her term would end in June 2010. Timor Leste, through President Jose Ramos-Horta whom the AFAD lobby team met in Dili in November 2009, said that had he been informed about the Convention earlier, Timor Leste would have been a party.
Although until now, Timor Leste has not yet ratified the Convention, some processes are being done toward ratification. Worth mentioning here is that Timor Leste is one of the few Asian countries which is a party to the Rome Statute of the International Criminal Court. The governments of Timor Leste and Indonesia are also in the process of negotiating the establishment of a follow-up institution as recommended by the joint Truth and Friendship Commission (TFC). It has been recommended that both governments establish a commission on missing persons to identify the missing and disappeared persons in Timor Leste during the Indonesian occupation. Moreover, on 28 September 2009, the Indonesian Parliament recommended the government to ratify the Convention.
If the situation develops accordingly, the Convention would enter into force within the first half of the year 2010. This, of course, requires the broad and active participation of civil society all over the world in promoting the Convention to States. When the entry into force of the Convention is achieved, the struggle against one of the worst human rights violations ever practiced, which "turns humans into non-humans" (as Jeremy Sarkin, chair of the UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances said on the 30th Anniversary of the body’s creation), will be entering a new stage. There will be a new source of hope for the desaparecidos, their families and the greater society.
The entry into force of the Convention also signifies that the long-drawn struggle against uncertainty and despair of millions of family members of disappeared persons in the whole world are getting closer to its direction. The world free from enforced disappearances shall be realized in the not-so-distant future.
More power to the families of victims!
Ratify the Convention NOW!
Source: AFAD Magazine "The Voice", March 2010 Edition. Article can be seen on: http://www.afad-online.org/voice/march_2010/editorial.htm
Friday, February 11, 2011
Mbak Sipon yang sakit dan perjuangan yang berlanjut
Beberapa hari yang lalu saya pergi ke Solo, menengok seorang sahabat, yang sebenarnya sudah saya anggap kakak sendiri. Selama seminggu sejak 31 Januari sampai 8 Februari 2011, ia dirawat di rumah sakit di Solo. Mbak Sipon, kakak saya ini adalah istri dari Wiji Thukul, salah satu dari 13 orang aktifis pro demokrasi yang dihilangkan secara paksa oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1998.
Mbak Sipon menderita sakit Diabetes Melitus yang cukup akut. Penyakit yang dideritanya ini diperburuk oleh rasa kecewa yang amat sangat pada pemerintah yang ia anggap selalu mempermainkan dirinya, dengan tidak menuntaskan kasus yang menimpa suaminya.
Presiden SBY pernah berjanji untuk menuntaskan kasus tersebut. Juga, pada september 2009 lalu DPR telah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden SBY agar menuntaskan kasus yang melibatkan 13 orang yang masih hilang. Staf khusus presiden bidang HAM, Denny Indrayana juga telah berjanji dihadapan Mbak Sipon bahwa ia akan menangani kasus tersebut, setalah ia mengatakan mendapat perintah dari Presiden SBY untuk merumuskan kebijakannya.
Mbak Sipon hanyalah salah satu dari ribuan korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim Orde Baru yang masih diabaikan oleh negara.
IKOHI, organisasi saya dan keluarga korban kini hendak menagih (kembali) tanggung jawab negara yang belum muncul-muncul itu.
Sampai jumpa sebentar lagi, Bapak Presiden SBY!
Subscribe to:
Posts (Atom)