Wawancara khusus soal penghilangan paksa: "Mereka bertanya: di mana anak kami?"
Diperbaharui 4 March 2013, 18:00 AEST
Pemerintah dan DPR pekan ini bertemu membahas rekomendasi DPR terkait kasus penghilangan paksa yang terjadi pada awal Reformasi 1997-98, di mana 3 orang masih dinyatakan hilang dalam kasus itu. Namun hasil kesepakatan keduanya akan mengembalikan hasil penyelidikan ke Komnas HAM dan menunggu koordinasi dengan Jaksa Agung. Apa pendapat aktivis yang pernah diculik pada masa itu dan suara dari keluarga korban? Radio Australia melakukan wawancara khusus dengan Direktur Ikatan Korban Orang Hilang yang juga pernah diculik, Mugiyanto Sipin.
RA: Mas Mugiyanto, Bagaimana tanggapan Anda sebagai korban penculikan atas pernyataan Pemerintah dan DPR yang hendak mengembalikan kasus penghilangan paksa ke Komnas HAM?
Mugiyanto: Terus terang saya kaget dengan perkembangan terakhir. Kenapa kaget? Karena kasus ini sebetulnya proses penyelesaiannya sudah cukup maju setelah pada 2009 DPR sudah memberikan 4 rekomendasi kepada Pemerintah, yaitu untuk membentuk Pengadilan HAM, mencari 13 orang yang masih hilang, merehabilitasi dan kompensasi pada keluarga korban dan meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa.
Tetapi apa yang terjadi pada pekan ini, sebagai hasil rapat antar pimpinan DPR dan Pemerintah, membuat kecewa dan kemunduran luar biasa.
Yang membuat saya heran, kok DPR malah menyetujui sikap dari Pemerintah untuk mengembalikan berkas ke Komnas HAM. Bukankah DPR yang merekomendasi hal itu?
Dari pertemuan itu kelihatan betul DPR disetir oleh Pemerintah, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru di bawah Soeharto. DPR hanya jadi rubber stamp Presiden Soeharto pada waktu itu.
Saya mencurigai ini adalah ekspresi politik Pemerintahan SBY yang masih denial terhadap kasus pelanggaran HAM untuk menjalankan tanggung jawabnya menyelesaikan kasus penghilangan paksa dengan tidak membentuk Pengadilan Ham, tetapi malah mengembalikan kasusnya ke Komnas Ham.
RA: Anda melihat ada motif apa di balik sikap Pemerintah dan Parlemen?
Mugiyanto: Saya curiga ini digunakan sebagai komoditas politik untuk kontestasi Pemilu 2014, jadi mereka tarik-ulur di sini.
Tapi sikap kami sebagai korban dan keluarga korban, kami inginnya tak peduli untuk kepentingan apa. Mau kami kasus ini diselesaikan, dalam hal kebenarannya diungkap, pelaku diminta bertanggung jawab, keluarga korban diminta kompensasi dan rehabilitasi yang memang hak-nya dan Pemerintah membuat serangkaian kebijakan agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Kalau itu dilaksanakan, menurut saya, Presiden SBY kan mendapat kredit yang baik dan meninggalkan warisan yang luar biasa bagusnya dalam penegakan HAM
Cara Pemerintah yang dilakukan saat ini dengan mengembalikan kasus ini ke Komnas HAM untuk menyelidiki untuk menentukan siapa tersangka, siapa korban dan di mana korbannya itu membodohi.
Bukankah sudah jelas, bahwa mandat dan wewenang Komnas HAM sesuai Undang Undang 39 tahun 1999, kalau yang diinginkan Pemerintah untuk mengidetifikasi siapa tersangkanya, itu bukan tanggung jawab Komnas Ham, tapi itu tanggung jawab penyidikan yaitu Jaksa Agung.
Menurut saya itu sudah cukup untuk Jaksa Agung melakukan penyidikan.
RA: Seberapa besar arti Pengadilan HAM buat korban dan keluarga korban?
Mugiyanto: Pada hari ini keluarga korban menganggap Pengadilan HAM itu tidak sepenting kebutuhan dan keinginan keluarga korban untuk mengetahui nasib keberadaan mereka yang masih hilang.
Saya sempat bertanya sama mereka, Kata yang muncul pertama dari mereka itu bukan “diadili saja mereka para pelaku.”
Tapi yang muncul dari mereka bertanya di mana anak kami, suami kami dan orang-orang yang kami kasihi itu? Kalau mereka masih hidup ada di mana? Kalau mereka sudah meninggal, kuburannya di mana? Dan itu kan ada di salah satu point rekomendasi DPR, Itu harapan dari keluarga korban yang harus dipenuhi Pemerintah.
Tidak dipungkiri di hati saya dan keluarga korban jika Pengadilan digelar saat ini , saat lembaga peradilan ngga bisa dipercaya, saat pelaku masih dominan, pengadilan malah menjustifikasi dan melegalkan impunitas.
RA: Pesimis atau optimis Pengadilan Ham bisa digelar di Indonesia, atau penemuan keberadaan mereka yang diculik?
Mugiyanto: Kami selalu optimis dan memiliki harapan. Itu terbukti ada capaian dan progress. Salah satunya adalah rekomendasi DPR yang merupakan pengakuan dari Negara terhadap kasus ini.
Kalau Pemerintah belum melakukan rekomendasi, itu soal lain.
Ada kemajuan yang lain, seperti korban sekarang bisa mendapat layanan psiko-sosial dari LPSK, tapi harapan kami bukan penyelesaian parsial seperti itu.
Kami masih ada harapan terakhir, Presiden SBY masih punya waktu beberapa bulan ke depan untuk diganti dengan yang baru supaya meninggalkan warisan yang baik buat penegakan Ham di Indonesia.
RA: Jelang beberapa bulan sebelum pergantian Pemerintahan, apa yang akan dilakukan para korban dan keluarga korban?
Mugiyanto: Kami akan terus mendorong Pemeirntah untuk menjalankan tanggung jawabnya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan Undang Undang Dasar 45.
Kami akan terus lobi yakinkan lembaga-lembaga yang relevan. Kita akan terus berkomunikasi dengan (Menko Polhukam) Pak Djoko Suyanto dan (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang hukum dan HAM) Albert Hasibuan.
Walaupun di dalam hati kami ada kemarahan, tapi kami akan coba kemas itu menjadi sesuatu yang positif untuk dinegosiasikan dengan lembaga lembaga Pemerintah.
Kalau kami tidak bisa bertemu dengan SBY, kami akan temui orang orang dekatnya.
Wawancara khusus Laban Laisila dengan Direktur Ikatan Korban Orang Hilang yang juga pernah diculik, Mugiyanto Sipin. (Credit: ABC) : http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/wawancara-khusus-soal-penghilangan-paksa-mereka-bertanya-di-mana-anak-kami/1-0