Mayjen. Kivlan Zen mengatakan dalam Debat di TV One, bahwa ia mengetahui 13 aktivis yang hilang diculik Kopassus yang selama 16 tahun kita perjuangkan. Bagi beberapa orang, mungkin ini bukan berita baru. Tapi IKOHI menganggap, informasi ini penting karena Kivlan Zen adalah pejabat militer (ABRI) ketika peristiwa terjadi. Ia punya otoritas sebagai representasi alat negara. Oleh karena itu, pengakuan Kivlan Zen yang disaksikan jutaan pasang mata harus ditindaklanjuti.
Memang KOMNAS HAM sudah selesai melakukan penyelidikan untuk kasus penghilangan paksa periode tahun 1997-1998 ini sejak November 2006. Namun, karena berkas penyelidikan ini masih disengketakan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, dimana Jaksa Agung menganggap belum lengkap, yang karenanya kasus ini tidak segera disidik dan dituntut di Pengadilan HAM, maka adalah kami memandang KOMNAS HAM punya kewajiban untuk menindaklanjuti pernyataan Kivlan Zen.
IKOHI, yang merupakan wadah keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998 dan korban pelanggaran HAM lainnya mendesak KOMNAS HAM untuk segera memanggil Mayjen Kivlan Zen untuk dimintai keterangannya.
Sebagai penegasan, informasi mengenai keberadaan para korban ini merupakan hal utama yang menjadi tuntutan keluarga korban selama 16 tahun berjuang.
Oleh karena itu, kami menganggap bagwa pengabaian atas informasi penting ini adalah pengingkaran hak atas kebenaran bagi korban dan keluarga korban.
Desakan ini kami tujukan kepada Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas, jajaran pimpinan dan segenap Komisioner KOMNAS HAM Republik Indonesia.
Lihat Debat di TV One di sini: http://www.youtube.com/watch?v=U3mGPrwB6kg&feature=youtu.be
I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Wednesday, April 30, 2014
Tuesday, April 22, 2014
Untuk seorang sahabat, Caleg Gerindra 2014
Kembali ke Khitah*
Berbeda dengan Ak Supriyanto, saya berharap Faris (Dhohir Farisi) tidak lagi terpilih menjadi anggota DPR dari GERINDRA, 5 tahun sudah cukup. Lebih dari cukup malah. Selanjutnya, kembali saja ke khitah, sebagaimana diajarkan Almarhum Gus Dur (Mertuamu), Ibu Makrufah (Ibumu) dan Faisol Riza (Kakakmu), dan jalan yang pernah Faris sendiri tempuh; membela kaum lemah, kaum yang dizalimi.
Untuk Faris, maaf aku menuliskan ini:
Saya kenal Faris sejak sekitar 1996, karena kakaknya, Riza adalah kawan sangat dekat saya di Fakultas Sastra UGM. Faris kemudian juga menjadi seperti adik dan kawan bagi saya. Ketika saat itu kami (sebagai aktivis pergerakan mahasiswa SMID/PRD) sedang diburu akibat peristiwa 27 Juli 1996. Faris adalah orang yang sering bawa saya pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk sembunyi. Karena kedekatan itulah, saya bersama Faris sering ngumpul, nongkrong, makan minum dan jalan bersama. Bahkan ketika tidak ada makan dan minum!
Pada sekitar September - Desember 1997, pada akhir masa studi, saya menempuh KKN di sebuah gunung di Desa Klumprit, sebelah selatan Candi Prambanan, Sleman Jogjakarta. Hebatnya perkawanan dan kedekatan kami; tiap akhir pekan, setiap hari Sabtu, ketika saya tidak ada pekerjaan "mengabdi pada masyarakat", Faris menjemput saya dengan motornya, motor Kaze Kawasaki (kalau tidak salah ini motor pinjaman, dari man Ris?). Untuk bisa menjemput saya di basecamp KKN, di rumah seorang warga, dengan motor yang agak butut Faris harus mendaki jalan terjal dengan batu-batu besar yang ketinggiannya melebihi 45 derajat. Hanya orang gila yang mau datang ke tempat itu. Kalau tidak, pasti ia punya motivasi kuat semisal mengunjungi pacar atau yang lain. Tetapi Faris tetap datang ke Gunung Klumprit, hampir setiap akhir pekan, selama beberapa bulan. Sedekat itu persahabatan kami waktu itu.
Setelah KKN, pada awal 1998, situasi politik tidak makin baik. Budiman Sudjatmiko dkk tetap dipenjara, tetapi gerakan harus tetap berjalan. Sayapun kemudian diminta ke Jakarta. Dan bulan Maret 1998, terjadilah peristiwa itu. 12 Maret Herman, Jati, Riza diculik! Selanjutnya 13 Maret, Nezar, Aan dan saya yang mendapat giliran.
Pada akhir Maret - April 1998, dari rumah tahanan isolasi di Polda Metro Jaya, kami membaca berita koran tentang semakin memanasnya dan radikalnya gerakan mahasiswa. Dari Jogja, saya mendengar kabar, intelijen polisi, berbagai satuan militer termasuk Kopassus melakukan perburuan para aktivis SMID/PRD. Salah satu wilayah perburuan mereka adalah kampus UGM Bulaksumur. Beberapa nama menjadi target operasi mereka. Orang-orang tak dikenal berusaha masuk kampus dan mendekati pusat-pusat kumpulan aktivis seperti di sekretariat Majalah Pijar Fak Filsafat, Sintesa di FISIPOL dan Dian Budaya di Fakultas Sastra UGM, dll. Berita yang sampai ke kami (Nezar, Aan dan saya) di tahanan Polda Metrojaya, kawan-kawan dengan gagah berani menghalau para agen intelijen dan polisi/militer ini untuk tidak masuk ke kampus. Meraka menghalau secara fisik. Dan salah satu yang paling menonjol, karena paling berani dalam menghadapi agen-agen represi Orde Baru ini, sebagaimana saya dengar adalah Faris, Dhohir Farizi, sahabat dan kawan dekat saya.
Saya menduga, keberanian Faris menjadi berlipat ganda karena kemarahan pada pelaku penculikan kakaknya, Faisol Riza dan kawan-kawannya. Saya yakin itu. Karena kemarahan itu juga kemudian tumpah ruah di mana-mana, termasuk saat ada demontrasi besar di Gedung Pusat UGM dimana para intel yang ketahuan, dihajar massa, bahkan kalau tidak salah ada yang sampai meninggal. Sayangnya, demontrasi untuk penumbangan Orde Baru oleh kawan-kawan Jogja di UGM waktu itu coba dimoderasi oleh si reformis oportunis, Amin Rais. Untungnya, ia gagal.
Sampai saat itu, Faris adalah sahabat dan kawan yang sangat hebat, dan saya sangat bangga padanya. Sama dengan bangga saya pada kakaknya, Faisol Riza dan Ibu Makrufah yang sangat saya hormati. Oh ya, Ibu Makrufah masih terus berjuang bersama Ibu/Bapak/Istri yang anak-anaknya masih hilang, walau anak kesayangannya Faisol Riza sudah bebas dan segar bugar.
Lama setelah itu saya tidak pernah bertemu Faris, apalagi ngobrol seperti dulu. Selanjutnya yang terjadi adalah kekagetan, ketika pada tahun 2009, ketika saya tidak berada di Indonesia, mendengar kabar bahwa Faris bergabung dan menjadi Caleg Gerindra. Shock. Kaget tak terkira. Apa yang terjadi? Saya tidak tahu, dan tidak bisa minta klarifikasi.
Ada apa dengan Faris? Sampai saat ini, saya tidak pernah mendapat penjelasannya. Dan mungkin memang tidak penting.
Karena itulah, membaca berita bahwa Faris mungkin tidak terpilih menjadi anggota DPR dari Gerindra pada tahun 2014 ini, saya senang. Bukan karena Faris kemudian akan kehilangan kesempatan untuk menikmati previlege menjadi anggota dewan, karena previlege seperti itu pasti juga bisa dia dapatkan dengan mudah sekarang. Yang membuat saya senang adalah bahwa kemudian Faris tidak perlu lagi mengabdi pada partai politik (Gerindra) yang dewan pembinanya (pemiliknya) adalah orang yang ia lawan dengan sangat keras, dengan gagah berani, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa, bukan hanya dirinya, tetapi juga kakaknya. Faris tidak perlu lagi secara formal mendukung langkah-langkah politik Gerindra dalam menghalangi agenda-genda HAM di DPR.
Saya yakin, keberanian Faris yang telah dibuktikannya pada tahun 1996-1998 dan segala potensi yang dimilikinya hari ini lebih bisa digunakan untuk membantu dan membela yang lemah, yang dizalimi, yang diabaikan, yang dihinakan, yang nota bene adalah keluarga dari kawan-kawannya sendiri, keluarga korban penghilangan paksa aktivis 1997-1998.
Demikian, Faris.
Kapan kita ke Klumprit lagi, minum teh poci di kaki gunung dan nongkrong sebentar di pajeksan?
Semoga baik-baik saja!
Mugi
* Tulisan (di Facebook) dipicu oleh berita ini: http://www.tempo.co/read/news/2014/04/21/078572076/Menantu-Gus-Dur-Kalah-di-Jember-Lumajang **
Berbeda dengan Ak Supriyanto, saya berharap Faris (Dhohir Farisi) tidak lagi terpilih menjadi anggota DPR dari GERINDRA, 5 tahun sudah cukup. Lebih dari cukup malah. Selanjutnya, kembali saja ke khitah, sebagaimana diajarkan Almarhum Gus Dur (Mertuamu), Ibu Makrufah (Ibumu) dan Faisol Riza (Kakakmu), dan jalan yang pernah Faris sendiri tempuh; membela kaum lemah, kaum yang dizalimi.
Untuk Faris, maaf aku menuliskan ini:
Saya kenal Faris sejak sekitar 1996, karena kakaknya, Riza adalah kawan sangat dekat saya di Fakultas Sastra UGM. Faris kemudian juga menjadi seperti adik dan kawan bagi saya. Ketika saat itu kami (sebagai aktivis pergerakan mahasiswa SMID/PRD) sedang diburu akibat peristiwa 27 Juli 1996. Faris adalah orang yang sering bawa saya pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk sembunyi. Karena kedekatan itulah, saya bersama Faris sering ngumpul, nongkrong, makan minum dan jalan bersama. Bahkan ketika tidak ada makan dan minum!
Pada sekitar September - Desember 1997, pada akhir masa studi, saya menempuh KKN di sebuah gunung di Desa Klumprit, sebelah selatan Candi Prambanan, Sleman Jogjakarta. Hebatnya perkawanan dan kedekatan kami; tiap akhir pekan, setiap hari Sabtu, ketika saya tidak ada pekerjaan "mengabdi pada masyarakat", Faris menjemput saya dengan motornya, motor Kaze Kawasaki (kalau tidak salah ini motor pinjaman, dari man Ris?). Untuk bisa menjemput saya di basecamp KKN, di rumah seorang warga, dengan motor yang agak butut Faris harus mendaki jalan terjal dengan batu-batu besar yang ketinggiannya melebihi 45 derajat. Hanya orang gila yang mau datang ke tempat itu. Kalau tidak, pasti ia punya motivasi kuat semisal mengunjungi pacar atau yang lain. Tetapi Faris tetap datang ke Gunung Klumprit, hampir setiap akhir pekan, selama beberapa bulan. Sedekat itu persahabatan kami waktu itu.
Setelah KKN, pada awal 1998, situasi politik tidak makin baik. Budiman Sudjatmiko dkk tetap dipenjara, tetapi gerakan harus tetap berjalan. Sayapun kemudian diminta ke Jakarta. Dan bulan Maret 1998, terjadilah peristiwa itu. 12 Maret Herman, Jati, Riza diculik! Selanjutnya 13 Maret, Nezar, Aan dan saya yang mendapat giliran.
Pada akhir Maret - April 1998, dari rumah tahanan isolasi di Polda Metro Jaya, kami membaca berita koran tentang semakin memanasnya dan radikalnya gerakan mahasiswa. Dari Jogja, saya mendengar kabar, intelijen polisi, berbagai satuan militer termasuk Kopassus melakukan perburuan para aktivis SMID/PRD. Salah satu wilayah perburuan mereka adalah kampus UGM Bulaksumur. Beberapa nama menjadi target operasi mereka. Orang-orang tak dikenal berusaha masuk kampus dan mendekati pusat-pusat kumpulan aktivis seperti di sekretariat Majalah Pijar Fak Filsafat, Sintesa di FISIPOL dan Dian Budaya di Fakultas Sastra UGM, dll. Berita yang sampai ke kami (Nezar, Aan dan saya) di tahanan Polda Metrojaya, kawan-kawan dengan gagah berani menghalau para agen intelijen dan polisi/militer ini untuk tidak masuk ke kampus. Meraka menghalau secara fisik. Dan salah satu yang paling menonjol, karena paling berani dalam menghadapi agen-agen represi Orde Baru ini, sebagaimana saya dengar adalah Faris, Dhohir Farizi, sahabat dan kawan dekat saya.
Saya menduga, keberanian Faris menjadi berlipat ganda karena kemarahan pada pelaku penculikan kakaknya, Faisol Riza dan kawan-kawannya. Saya yakin itu. Karena kemarahan itu juga kemudian tumpah ruah di mana-mana, termasuk saat ada demontrasi besar di Gedung Pusat UGM dimana para intel yang ketahuan, dihajar massa, bahkan kalau tidak salah ada yang sampai meninggal. Sayangnya, demontrasi untuk penumbangan Orde Baru oleh kawan-kawan Jogja di UGM waktu itu coba dimoderasi oleh si reformis oportunis, Amin Rais. Untungnya, ia gagal.
Sampai saat itu, Faris adalah sahabat dan kawan yang sangat hebat, dan saya sangat bangga padanya. Sama dengan bangga saya pada kakaknya, Faisol Riza dan Ibu Makrufah yang sangat saya hormati. Oh ya, Ibu Makrufah masih terus berjuang bersama Ibu/Bapak/Istri yang anak-anaknya masih hilang, walau anak kesayangannya Faisol Riza sudah bebas dan segar bugar.
Lama setelah itu saya tidak pernah bertemu Faris, apalagi ngobrol seperti dulu. Selanjutnya yang terjadi adalah kekagetan, ketika pada tahun 2009, ketika saya tidak berada di Indonesia, mendengar kabar bahwa Faris bergabung dan menjadi Caleg Gerindra. Shock. Kaget tak terkira. Apa yang terjadi? Saya tidak tahu, dan tidak bisa minta klarifikasi.
Ada apa dengan Faris? Sampai saat ini, saya tidak pernah mendapat penjelasannya. Dan mungkin memang tidak penting.
Karena itulah, membaca berita bahwa Faris mungkin tidak terpilih menjadi anggota DPR dari Gerindra pada tahun 2014 ini, saya senang. Bukan karena Faris kemudian akan kehilangan kesempatan untuk menikmati previlege menjadi anggota dewan, karena previlege seperti itu pasti juga bisa dia dapatkan dengan mudah sekarang. Yang membuat saya senang adalah bahwa kemudian Faris tidak perlu lagi mengabdi pada partai politik (Gerindra) yang dewan pembinanya (pemiliknya) adalah orang yang ia lawan dengan sangat keras, dengan gagah berani, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa, bukan hanya dirinya, tetapi juga kakaknya. Faris tidak perlu lagi secara formal mendukung langkah-langkah politik Gerindra dalam menghalangi agenda-genda HAM di DPR.
Saya yakin, keberanian Faris yang telah dibuktikannya pada tahun 1996-1998 dan segala potensi yang dimilikinya hari ini lebih bisa digunakan untuk membantu dan membela yang lemah, yang dizalimi, yang diabaikan, yang dihinakan, yang nota bene adalah keluarga dari kawan-kawannya sendiri, keluarga korban penghilangan paksa aktivis 1997-1998.
Demikian, Faris.
Kapan kita ke Klumprit lagi, minum teh poci di kaki gunung dan nongkrong sebentar di pajeksan?
Semoga baik-baik saja!
Mugi
* Tulisan (di Facebook) dipicu oleh berita ini: http://www.tempo.co/read/news/2014/04/21/078572076/Menantu-Gus-Dur-Kalah-di-Jember-Lumajang **
Subscribe to:
Posts (Atom)