Disclaimer: Javanese Guidance, karena percakapan menggunakan Bahasa Jawa.
Nenek; Pilpres dan Jokowi
Dikabarkan terdapat ribuan Golput-ers di kawasan perkotaan yang 9 Juli lalu gagal menjadi dirinya. Mereka dikalahan oleh keharusan untuk mencoblos Jokowi agar fasisme, fundamentalisme dan militerisme bisa dicegah untuk kembali menguasai Indonesia.
Di kampungku, sebuah desa kecil di tengah hutan jati dan perkebunan karet di daerah pantura Jawa Tengah, ratusan pengangguran, buruh kebun dan buruh tani juga gagal menjadi #Golput. Kalau selama 25 tahun terakhir mereka bisa tidak peduli pada setiap Pemilu, kali ini tidak. Saat berjumpa mereka minggu lalu, mereka bilang, "Capres nomer siji medeni, Mas. Mengko uwong-uwong do diculik koyo kowe, Mas.. Nik dibalekno si ijik lumayan. Lha nik koyo Wiji Thukul, terus kepiye??!!"
Hebat, orang-orang kebanyakan ini bisa melafalkan nama Wiji Thukul dengan fasih, seperti menyebut nama temannya sendiri. Mereka juga kelihatan tahu betul kasusnya. Kata mereka, mereka sering nonton berita di TV, jadi tahu Wiji Thukul, Jokowi dan Prabowo. "Nanging wong nok kene orak nonton Tivi Wan, Mas. Nontone Metro Tivi, luwih adhem"
Nah, kembali ke hari coblosan 9 Juli. Kakak tertua saya, termasuk orang yang sangat resah dengan Capres No 1. Karena itu, ia memaksa menjadikan dirinya relawan aktif, berkampanye untuk Jokowi di desa kami. Hal yang tak pernah ia lakukan sejak pemilu tahun 77, 82 sampai 2009 yang lalu.
"Jokowi kudu dimenangno, To" begitu ia memanggilku, "To" dari "Yanto". "Indonesia kudu nduwe Presiden sing merakyat, peduli karo wong cilik, tur resik" kata kakakku meyakinkanku mengapa harus memenangkan Jokowi. "Lha nik Prabowo, ben ngadepi Komnas HAM lan Pengadilan HAM wae" saran kakakku. Kakakku yang ini pernah datang ke Jakarta, dan bersama keluarga korban penculikan aktivis yang lain mendatangi Jaksa Agung, minta supaya Jaksa Agung menyidik dan mengadili penculik aktivis. Jadi ia lumayan update dengan kasus penculikan dan keterlibatan Prabowo.
Tanggal 9 Juli pagi hari, kakak saya bergegas mendatangi satu-satunya nenek kami, mungkin orang paling tua di kampong kami, yang kami simpulkan lahir sekitar tahun 1920, yang saat itu sedang menyapu halaman!
Kakak saya bilang, “Mbah, mengko melu nyoblos ya. Nyoblos Jokowi. Nyoblos nomer loro” kata kakakku sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya pada nenek. “Ojo salah, nomer loro nok sisih tengen”. Kakak saya terus menjelaskan ke nenek sambil agak berteriak, karena pendengaran nenek sudah jauh berkurang. Setelah itu, nenek dengan percaya diri menjawab, “Iyo, mengko tak nyoblos nomer loro”
Sehabis pencoblosan, kakak saya bertanya pada nenek, “Mbah, mau iso nyoblos sing ono nomere loro, to?” Nenek masih diam. “Mau nyoblos Jokowi sing nok sisih tengen, to?” Tanya kakak saya lagi. “Iyo, Nang. Aku yo nyoblos nomer loro, ah…”. “Sing tak coblos mau kok uwonge lemu yo Nang… putih, lemu…” Kakak saya mulai cemas, “Nanging fotone nok sisih tengan, to Mbah?!” “Yo iyo, ah… wonge lemu ngono kok…”. Kakak saya lemas karena yang dicoblos nenek kami orangnya berkulit putih dan gemuk. Padahal, Jokowi tidak gemuk, tidak pula putih, karena ia suka kerja keras, di lapangan… Mungkin nenek kami nyoblos Jusuf Kalla. Mungkin juga, karena ia kelihatan agak gemuk dan juga agak putih di kartu pemilihan itu.
Semoga saja, nenek kami tidak mencoblos orang gemuk dan berkulit putih yang ada di gambar bernomor satu. Tetapi kalaupun nenek kami nyoblos nomer satu, tentu karena ia tak mengerti. Tentu ia tak ada niat nyoblos Prabowo, apalagi memenangkannya jadi Presiden Indonesia. Nenek kami tahu betul, salah satu cucunya pada bulan Maret 1998 pernah diculik, disekap dan disiksa oleh segerombolan orang yang diperintah oleh Prabowo, capres nomor satu itu.
Tetapi kami juga tidak terlalu khawatir dengan nenek kami yang mungkin mencoblos gambar capres yang “gemuk” dan “putih”, karena pada kenyataannya, hasil Pilpres di desa kami memenangkan Jokowi dengan 75% suara. Padahal pada masa Suharto, 99,9 persen hasil setiap pemilu di desa kami selalu dimenangkan oleh Golkar!
Kami tertawa terbahak-bahak mendengar cerita tentang nenek kami, tentang usaha memenangkan Jokowi dalam bingkai besar menjadikan Indonesia yang lebih baik, bukan Indonesia seperti jaman Orde Baru Suharto.
Kami bisa bisa tertawa terbahak-bahak, berkumpul bersama keluarga besar dalam suasana lebaran karena KPU telah mengumumkan Jokowi dan Jusuf Kalla adalah pemenang Pilpres dan karenanya mereka akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden kita untuk 5 tahun yang akan datang.
Kalau yang memang adalah Capres #1, entah apa jadinya…
Cerita kami akhiri dengan makan opor ayam, masakan bersama keluarga besar kami di kampung yang hening tapi mulai panas, di desa kecil yang pasti akan digusur paksa pemerintah bila Prabowo – Hatta menang Pilpres, karena desa kami berada dalam radius 10km dari rencana pembangunan PLTN Bukit Muria.