Selama dua malam berturut-turut, tanggal 18 dan 20 Oktober 2014, pada malam hari, bersama keluarga kecil saya turut bergabung dengan segenap masyarakat di Jakarta untuk mensyukuri dan merayakan pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden ke 7 Republik Indonesia.
Saya memang sangat bungah, juga anak dan istri saya. Rasa bungah kami bukan karena Jokowi adalah Presiden sempurna yang pasti akan segera membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi, membawa masyarakat yang berkeadilan, berkemakmuran, dan berkesejahteraan, karena itu mustahil. Waktu maksimal 10 tahun bagi Jokowi tidak akan bisa digunakan untuk mewujudkan masyarakat impian seperti itu. Karena Jokowi bukan tukang sulap, bukan wali, apalagi malaikat. Ia tetap saja merupakan bekas seorang juragan mebel (kalau saya cuma tukang ukir), yang karena laku lampahnya, kerja kerasnya, kesederhanaannya, yang dianggap baik oleh banyak orang, kemudian ia dipilih orang-orang itu untuk menjadi pemimpin. Mulai dari walikota, gubernur dan kini jadi Presiden Indonesia.
Kami sekeluarga sadar sepenuhnya, ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku (terms and conditions applied!) bagi Jokowi untuk bisa berhasil memenuhi harapan jutaan masyarakat Indonesia. Terms and conditions itulah yang kami pegang untuk setiap waktu kami sampaikan ke Jokowi, dengan cara yang kami bisa, di sepanjang masa kekuasaannya. Dalam konteks ini, syukuran dan perayaan kami atas dilantiknya Jokowi adalah syukuran dan perayaan yang bersyarat!
Kembali soal syukuran dan perayaan. Selain dialamatkan pada Presiden Jokowi, walaupun term and condition applied, rasa syukur dan bungah kami lebih merupakan ekspresi perasaan dan sikap kami sekeluarga atas hasil Pemilu 9 Juli 2014, dimana mayoritas rakyat Indonesia memilih untuk tidak memilih Prabowo Subianto. Nilai (value) di keluarga kami adalah bahwa orang yang tercela, bermasalah terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, hak-hak asasi manusia, dan belum pernah mempertanggungjawabkannya secara hukum, politik dan moral, serta tidak kelihatan memiliki itikad baik untuk tidak patut menjadi pemimpin publik.