Tanggal 30 Agustus lalu, kita memperingati Hari Internasional untuk Korban Penghilangan Paksa. Oleh masyarakat internasional, ini dimaksudkan agar kita mengingat bahwa masih ada orang-orang yang karena aktivitasnya kemudian dihilangkan begitu saja oleh alat-alat kekuasaan negara.
Praktik penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance) pernah menjadi praktik resmi negara di masa lalu ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru. Korbannya bisa siapa saja, aktivis atau warga masyarakat biasa. Selama yang bersangkutan dianggap sebagai pengganggu dan ancaman bagi stabilitas pemerintah, yang bersangkutan bisa dihilangkan begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa kita ketahui nasib dan keberadaan korban.
Salah satu contoh kasus yang paling dikenal publik adalah peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi pada tahun 1997-1998. Dalam peristiwa itu, 13 orang masih dinyatakan hilang, salah satunya Wiji Thukul.
Praktik penghilangan paksa ini sebenarnya sudah dikutuk oleh masyarakat internasional sejak 1992 ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 47/133 tentang Deklarasi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Dirasa kurang kuat karena tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (legally binding), maka pada tahun 2006 Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 61/177 yang menandai disahkannya Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Berbeda dengan deklarasi, konvensi ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara-negara yang meratifikasinya.
Komitmen lama
Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini sebenarnya bukan instrumen yang asing bagi Indonesia. Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Geneva dan organisasi masyarakat sipil, seperti Kontras dan IKOHI, telah terlibat dalam proses perumusan dan negosiasi konvensi ini sejak awal tahun 2000 di Kelompok Kerja Komisi HAM PBB.
Munir, sebelum meninggal, dan penulis sebagai Ketua IKOHI pernah menghadiri beberapa kali sesi sidang Kelompok Kerja Komisi HAM PBB yang membahas instrumen ini. Bahkan, ada satu pasal dalam konvensi ini yang kesepakatannya diilhami oleh meninggalnya Munir, yaitu Pasal 18 tentang pentingnya perlindungan bagi keluarga dan pendamping yang terlibat dalam proses penyelidikan.
Di sisi lain, pemerintah juga mendukung dan menjadi salah satu negara sponsor (co-sponsor) pengesahan instrumen ini menjadi konvensi di Majelis Umum PBB pada tahun 2006. Dukungan pemerintah atas Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dilanjutkan dengan ditandatanganinya konvensi tersebut oleh Menlu Marty Natalegawa pada September 2010. Penanda tangan (signatory) konvensi ini merupakan tahap awal menuju ratifikasi (ratification) sebagaimana direkomendasikan oleh DPR tahun 2009 terkait hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi tahun 1997/1998.
Sayangnya upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi tersebut terhenti pada tahun 2014 ketika beberapa fraksi di DPR belum bersedia memberikan persetujuan. Alasannya, masih memerlukan waktu untuk melakukan pengkajian mendalam tentang konvensi yang dimaksud.
Mulai dari awal
Proses ratifikasi instrumen internasional umumnya dilakukan dengan inisiatif pemerintah, bukan oleh DPR. Demikian pula yang berlaku untuk rencana ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini. Oleh karena itu, apabila terjadi pergantian pemerintahan, proses ratifikasi telah diajukan oleh pemerintah sebelumnya tidak bisa di-carry over atau dilanjutkan oleh pemerintah saat ini.
Dengan alasan itu, walaupun pada 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan izin prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, pemerintahan Joko Widodo yang berkomitmen kuat melakukan ratifikasi harus memulai proses dari awal. Untuk tujuan tersebut, terhitung sejak 2019 Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM telah menjalani proses panjang penyusunan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang mengenai ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini.
Pemerintah merencanakan setidaknya pada Oktober 2021 dokumen ratifikasi sudah bisa diserahkan ke DPR,dan berharap segera mendapat persetujuan DPR, sehingga target pemerintah agar Indonesia melakukan ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa pada tahun 2021 bisa terwujud. Belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya, komitmen HAM pemerintah termasuk proses ratifikasi tidak bisa terwujud tanpa dukungan dan kerja sama dari DPR.
Menyempurnakan komitmen
Bagi pemerintah, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa memiliki beberapa dimensi manfaat. Pertama, ratifikasi konvensi ini dimaksudkan untuk melengkapi dan menyempurnakan komitmen perlindungan HAM dan kepatuhan (compliance) negara pada instrumen dan norma HAM internasional. Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini merupakan satu-satunya instrumen HAM inti yang belum diratifikasi oleh Indonesia. Terdapat sembilan instrumen HAM inti dan Indonesia sudah meratifikasi delapan instrumen lainnya.
Kedua, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa akan memperkuat komitmen bersama, baik aparatur pemerintahan sipil serta aparat TNI dan Polri, untuk membangun infrastruktur peradaban bangsa dimana demokrasi serta penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia adalah fondasinya.
Ketiga, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa merupakan realisasi dari harapan masyarakat, khususnya keluarga korban pelanggaran HAM agar negara hadir dan secara bertahap memenuhi hak korban atas ketidakberulangan (guarantee of non-repetition) sebagai bagian dari berbagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu yang kini juga sedang dikerjakan oleh pemerintah.
Sebagaimana instrumen hukum lainnya, spirit dari Konvensi ini ketika dibahas dan disahkan oleh PBB adalah untuk mencegah agar praktik penghilangan paksa yang dianggap sebagai musuh dari seluruh umat manusia (hostis humani generis) ini tidak terjadi lagi. Sebagai instrumen pencegahan, orientasi dari konvensi ini adalah ke depan.
Akhir penantian panjang
Tuti Koto, ibunda korban penghilangan paksa Yani Afri, semasa hidupnya selalu mengatakan, ”Saya rela kalau anak saya memang sudah meninggal. Tapi tolong kasih tahu di mana kuburannya serta tegakkan hukum. Agar setelah Rian, tidak ada lagi anak-anak muda yang dihilangkan oleh negara.” Rian adalah nama panggilan kesayangan Tuti Koto untuk Yani Afri, aktivis PDI Jakarta Utara yang menjadi korban penghilangan paksa pada tahun 1997.
Harapan Tuti Koto merupakan aspirasi sebagian besar keluarga korban penghilangan paksa. Mereka mengharapkan hadirnya kebenaran terkait kondisi keluarga mereka yang dihilangkan, selanjutnya berharap agar mereka menjadi korban terakhir. Dalam konteks seperti ini, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa akan disegerakan oleh pemerintah, sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak korban.
Sampai saat ini tidak kelihatan akan adanya hambatan. Dalam sebuah pertemuan audiensi terbuka yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penghilangan Paksa dan dihadiri oleh LSM HAM, pemerintah, dan DPR, beberapa hari yang lalu, terlihat visi, semangat, dan keinginan yang sama agar ratifikasi bisa dilakukan secepatnya sehingga sebagai bangsa kita bisa mengakhiri penantian panjang para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dan rakyat Indonesia secara umum.
Mugiyanto, Penyintas Praktik Penghilangan Paksa 1998, Tenaga Ahli Madya di Kantor Staf Presiden
Sumber:https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/07/menyempurnakan-komitmen-negara-menghentikan-praktik-penghilangan-paksa/?status=sukses_login&status_login=login