Sunday, January 12, 2025

Kabinet Merah Putih: Mugiyanto, dari Korban hingga Pejuang HAM

Mugiyanto Sipin, begitu nama lengkapnya. Ia pernah menjadi salah satu korban penculikan di tahun kelam 1998. Pascareformasi, namanya kemudian melambung menjadi pejuang hak asasi manusia, sesuatu yang sebelumnya ia menjadi korban di dalamnya.

Pada 14 Juli 1998, harian Kompas menurunkan berita soal hasil kerja Tim Pencari Fakta Kasus Orang Hilang dan Kasus Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Kesimpulan dari temuan tim ini adalah beberapa oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD terlibat dalam kasus penculikan dan penyekapan sejumlah aktivis prodemokrasi.

Sejumlah nama aktivis yang menjadi korban penculikan itu adalah Pius Lustrilanang, Desmond J Mahesa, Haryanto Taslam, Andi Arief, Feisol Reza, dan Rahardjo Waluyo Jati, serta penyekapan Nezar Patria, Aan Rusdiyanto, dan Mugiyanto.

Dalam temuannya, Tim Pencari Fakta menyimpulkan bahwa kasus ini diduga merupakan suatu kesalahan prosedur, yang bermula dari suatu perintah pimpinan Kopassus untuk mengungkap sejumlah kegiatan radikal. Namun, dalam pelaksanaannya telah dilakukan tindakan yang melampaui batas kepatutan, dengan menyekap para korban secara melawan hukum.

Selanjutnya berdasarkan temuan tersebut, Panglima ABRI kala itu memerintahkan Polisi Militer dan Oditurat Militer untuk mengusut tuntas dan memproses para tersangka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Pascareformasi, nama-nama korban penculikan di atas bebas dan kemudian berkiprah di masyarakat, termasuk di antaranya Mugiyanto Sipin.

Dalam laman akun pribadi Linkedin Mugiyanto Sipin disebutkan, saat ini tokoh yang dulu menjadi korban penculikan ini adalah Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden (KSP) dalam bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia.

Menjadi korban pelanggaran HAM, seperti halnya penculikan, semakin membuat Mugiyanto matang menjadi aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai hak asasi manusia tersebut. Tak heran jika kemudian pascareformasi, ia lebih banyak bergerak di bidang HAM dan demokrasi selama puluhan tahun.

Sebelum aktif di KSP, Mugiyanto bergerak di dunia aktivis dengan aktif memperjuangkan HAM sebagai Senior Program Officer HAM dan Demokrasi di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). INFID adalah sebuah organisasi nonpemerintah yang fokus pada advokasi kebijakan nasional dan internasional terkait pembangunan serta demokratisasi di Indonesia.

Mugiyanto juga pernah aktif di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Di lembaga ini ia menjabat sebagai Ketua IKOHI selama periode 2000-2014. Lembaga ini merupakan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada bantuan bagi korban pelanggaran HAM.

Tidak hanya di dalam negeri, Mugiyanto yang alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, angkatan 1992 ini juga aktif di lembaga luar negeri. Ia tercatat pernah aktif dalam Federasi Asia Melawan Penghilangan Paksa (AFAD) yang berpusat di Manila, Filipina, selama periode 2006-2014. AFAD merupakan federasi organisasi hak asasi manusia yang berfokus pada isu penghilangan paksa di Asia.

Pengalamannya ini semakin membuat Mugiyanto memiliki jaringan luas perjuangan agenda advokasi isu-isu hak asasi manusia dan keadilan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia dan di tingkat Badan Hak Asasi Manusia PBB.

Mugiyanto juga tercatat sebagai anggota Komite Pengarah Koalisi Internasional Melawan Penghilangan Paksa (ICAED) dan Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Koalisi untuk Pengadilan Kriminal Internasional (CICC) pada tahun 2007-2009.

Kini, namanya kembali diperbincangkan publik setelah diundang oleh Presiden Prabowo Subianto di kediamannya pada Selasa, 15 Oktober 2024. Nama Mugiyanto kemudian menjadi pilihan Presiden Prabowo untuk duduk sebagai Wakil Menteri Hak Asasi Manusia.

Pengalaman dan rekam jejaknya sebagai korban penculikan yang kemudian bertransformasi sebagai aktivis pejuang HAM menjadi modal bagi Mugiyanto untuk melahirkan kerja-kerja bagi penguatan dan penjaminan hak asasi manusia di negeri ini.

Menarik mengutip tulisan Mugiyanto di harian Kompas edisi 24 Mei 2014 yang menanggapi isu pelanggaran HAM yang menjadi balutan dalam kontestasi pemilihan presiden kala itu. Bagi Mugiyanto, memperjuangkan hak asasi manusia adalah perjuangan sepanjang usia.

”Perjuangan kami untuk kebenaran dan keadilan melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini. Perjuangan kami adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali kebenaran dan keadilan bisa kami raih lebih cepat sebelum ajal menjemput,” tulis Mugiyanto.

Dalam tulisannya yang lain di harian yang sama edisi 16 Juni 2015, Mugiyanto juga mengapresiasi langlah-langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Dalam analisisnya tersebut, Mugiyanto menilai pemerintahan Joko Widodo beruntung sudah mengambil pilihan ketika masih berada di awal kekuasaan, yakni antara beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan, atau hadir, bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa lalu yang terus membelenggu.

”Tidak bisa dimungkiri, pelanggaran berat HAM dengan skala, cakupan, serta rentang waktu dan wilayah yang sedemikian lama dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun, setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya,” ungkap Mugiyanto di akhir tulisannya tersebut.

Namun, bukan berarti Mugiyanto sepi dari kontroversi. Pasca Pemilu 2024, tepatnya pada Agustus 2024 lalu namanya sempat diperbincangkan di kalangan aktifis karena menggelar pertemuan antara petinggi Partai Gerindra dengan sejumlah keluarga aktivis korban penculikan 1998.

Di sejumlah pemberitaan disebutkan, keluarga yang hadir merasa dijebak dengan pertemuan itu karena tanpa diberi tahu agenda yang sebenarnya. Polemik ini tentu akan menjadi ujian bagi Mugiyanto dalam kepemimpinannya sebagai Wakil Menteri HAM lima tahun ke depan. (LITBANG KOMPAS)

(Tulisan diambil darihttps://www.kompas.id/baca/riset/2024/10/21/mugiyanto-dari-korban-hingga-pejuang-ham)

No comments: