Hari Orang Hilang Sedunia, Munir dan Impunitas
Mugiyanto
“.... we must give priority to non-derogable rights.
The rights to life, as enshrined in the international bill of rights,
is without doubt non-derogable and should be strictly upheld by all nations.
We must do away with extrajudicial killings and enforced disappearances”
(Pidato Menlu Hassan Wirajuda pada High-Level Segment,
Sesi Pertama Sidang Dewan HAM PBB, Juni 2006)
Bagi korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa (orang hilang), tanggal 30 Agustus adalah momentum istimewa. Setiap tanggal tersebut, segenap korban dan keluarga korban penghilangan paksa di berbagai negara memperingati Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared) dengan menyelenggarakan berbagai jenis kegiatan. Di Indonesia, Hari Orang Hilang Sedunia telah diperingati selama 8 kali, tepatnya sejak 30 Agustus 1998, tak lama setelah organisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dipimpin oleh almarhum Munir berdiri. Sebagaimana di negara-negara lain, para keluarga korban di Indonesia juga memperingatinya dengan menggelar berbagai kegiatan seperti diskusi, aksi dan doa bersama.
Pada awalnya, tanggal 30 Agustus dipilih oleh organisasi-organisasi korban penghilangan paksa di negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Chile dan Colombia untuk didedikasikan bagi mereka yang dihilangkan secara paksa oleh rejim militer di negara-negara tersebut. Dari situlah selanjutnya oleh masyarakat internasional yang bekerja di bidang hak asasi manusia, tangal 30 Agustus dijadikan sebagai Hari Orang Hilang Sedunia.
Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari Orang Hilang Sedunia tahun ini ditandai dengan adanya beberapa kemajuan dan keprihatinan. Di satu pihak, pada tanggal 29 Juni 2006 yang lalu, Indonesia melakukan gebrakan yang cukup penting ketika sebagai anggota Dewan HAM PBB secara eksplisit dan tegas mendukung pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Pengesahan Konvensi oleh Dewan HAM PBB ini menunjukkan adanya komitmen negara-negara anggota PBB, khususnya 47 negara anggota Dewan HAM PBB untuk menindak dan mencegah terjadinya kasus penghilangan orang secara paksa.
Namun di lain pihak, komitmen Indonesia di tingkat internasional tersebut masih belum diwujudkan dalam praktik politik di dalam negeri. Uraian di bawah ini akan menunjukkan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia.
Proses penyelidikan Komnas HAM dan kendala yang dihadapiSetelah bekerja sejak Oktober 2005 yang lalu, pada akhir September 2006 nanti KOMNAS HAM akan menyelesaikan tugas penyelidikan ad hoc kasus pelanggaran HAM penghilangan orang secara paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Selanjutnya, kalau penyelidikan tersebut menemukan adanya dugaan pelanggaran berat HAM, laporannya akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan, kemudian akhirnya dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc.
Akan tetapi, proses penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM menghadapi kendala ketika berhubungan dengan pihak TNI. Pihak TNI tidak mengijinkan anggotanya untuk diperiksa sebagai saksi oleh Komnas HAM. Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berbicara atas nama para saksi dari pihak TNI dalam surat penolakannya mengatakan bahwa tim penyelidik Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk memanggil para anggota TNI karena kejadian yang dituduhkan berlangsung sebelum UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan.
Karena penolakan oleh pihak TNI ini, pada tanggal 10 Juli 2006 yang lalu Komnas HAM mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta melakukan pemanggilan paksa terhadap para saksi dari pihak TNI tersebut. Namun lagi, Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso menyatakan penolakannya dengan alasan adanya perbedaan tafsir hukum pemanggilan paksa tersebut.
Selain soal pemanggilan paksa, pada bulan Juni 2006 Komnas HAM juga sudah mengirimkan surat ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh agar memberikan ijin kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penyekapan, penahanan dan penyiksaan para korban penculikan dan penghilangan paksa seperti Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Kodim Jakarta Timur dan Markas Kopassus Cijantung.
Akan tetapi, sebagaimana PN Jakarta Pusat, Kejaksaan Agung juga menyatakan penolakannya dengan alasan bahwa Pengadilan HAM harus lebih dulu dibentuk oleh Presiden. Alasan yang sama pernah juga dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung ketika memutuskan untuk tidak menindaklanjuti berkas laporan Komnas HAM dalam kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II.
Reformasi TNI diharapkan tidak sebatas retorikaAtas resistensi pihak TNI, penulis menganggap bahwa pemerintah, khususnya Presiden SBY seharusnya turun tangan dengan meminta Panglima TNI menginstruksikan anak buahnya untuk taat hukum dan bekerja sama dengan Komnas HAM. Langkah tersebut tidak hanya akan menunjukkan konsistensi kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM, tetapi juga akan memperbaiki citra TNI. Taat hukum akan menjadi ukuran nyata bahwa TNI memang telah mereformasi dirinya.
Lebih dari itu, memenuhi panggilan Komnas HAM merupakan peluang emas bagi TNI untuk klarifikasi dan 'membersihkan' diri dari tuduhan-tuduhan miring masyarakat. Apalagi, dalam penyelidikan awal Komnas HAM sudah menyimpulkan adanya indikasi keterlibatan TNI dalam kasus penghilangan paksa yang tengah diselidiki. Sebenarnya, saat inilah merupakan saat yang tepat bagi anggota dan purnawirawan TNI yang dipanggil untuk menjelaskan kepada Komnas HAM jika memang mereka tidak terlibat.
Kerja sama TNI dengan Komnas HAM juga akan menjadi ukuran penting konsistensi Panglima TNI Jenderal Djoko Suyanto dalam memenuhi janjinya. Sebagai catatan, pada kesempatan fit and proper test di DPR sebelum dipilih menjadi Panglima TNI, dengan disaksikan puluhan keluarga korban pelanggaran HAM Jenderal Djoko Suyanto mengatakan akan menjadikan TNI yang taat hukum dalam hubungannya dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang diduga melibatkan TNI. Kinilah saatnya panglima TNI membuktikan janjinya tersebut.
Penghilangan Paksa dan MunirTidak bisa dipungkiri, pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan figur Munir. Munir adalah orang yang pada masa hidupnya paling gigih mengangkat adanya kasus penghilangan paksa ke hadapan publik dan mendesak negara untuk mempertanggungjawabkannya. Peran yang dimainkan oleh Munir tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sehingga tidak mengherankan bila ia pada tahun 2003 dipilih menjadi Presiden AFAD (
Asian Federation Against Involuntary Disappearances), sebuah organisasi di wilayah Asia yang berjuang mengkampanyekan penghentian, penindakan dan pencegahan tindakan penghilangan orang secara paksa. Sangat lah beralasan jika muncul dugaan bahwa pembunuhan Munir di pesawat Garuda pada tanggal 7 September 2004 berhubungan dengan kasus penghilangan paksa yang ditanganinya di Indonesia.
Sama dengan nasib penuntasan kasus penghilangan paksa di tangan Komnas HAM, penanganan kasus pembunuhan Munir di Mabes Polri juga tidak menunjukkan adanya kemajuan berarti. Peringatan Hari Orang Hilang Sedunia yang kebetulan jatuh hampir bersamaan dengan peringatan 2 tahun meninggalnya Munir kali ini hendaknya dijadikan momentum oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangkap dan mengadili para pelaku konspirasi pembunuhan Munir. P
roses hukum yang baru dapat menjerat Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda harus segera ditingkatkan dengan kepastian tersangka baru. Kepolisian RI harus menjelaskan perkembangan penyelidikan pasca putusan Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung musti mengoptimalkan masa kasasi dengan memeriksa nama-nama yang berhubungan dengan Pollycarpus BP.
Dalam hubungannya dengan penghilangan paksa, penanganan yang serius atas kasus pembunuhan Munir adalah realisasi dari apa yang diucapkan oleh Menlu Hassan Wirayudha di forum High Level Segment sidang pertama Dewan HAM PBB yang menyatakan pemerintah Indonesia memberi prioritas pada hak untuk hidup (
the rights to life) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya
(non-derogable rights), termasuk hak untuk tidak dihilangkan secara paksa. Hal ini harus diartikan pula tidak memberikan toleransi bagi tindakan pembunuhan, terlebih lagi terhadap seorang yang berjuang memerangi penghilangan paksa, seperti yang telah dilakukan oleh almarhum Munir.
Impunitas harus diakhiriKalau ditarik benang merahnya, proses penanganan kasus pelanggaran berat HAM yang berlarut-larut secara teknis disebabkan adanya ketidaksepahaman dan perbedaan penafsiran atas peraturan yang berisi mandat, wewenang dan tanggung jawab dari masing-masing instansi terkait.
Dalam proses penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM, lembaga Komnas HAM menjadi kelihatan tidak berdaya (
unable) dalam menghadapi resistensi pihak-pihak dan lembaga-lembaga lainnya. Dari sini tidak mengherankan bila masyarakat mulai mempertanyakan efektifitas Komnas HAM sebagai lembaga hak asasi manusia nasional yang pendiriannya dilandasi oleh Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM (untuk melakukan penyelidikan pelanggaran berat HAM).
Namun dari itu semua, nampaknya pihak pemerintah harus benar-benar bekerja keras untuk menuntaskan kasus secara adil dan menyeluruh sebagai usaha untuk mengenyahkan impunitas. Institusi Kejaksaan Agung, Kepolisian dan TNI harus secara ketat diarahkan oleh Presiden untuk berada dalam koridor supremasi hukum dan keadilan.
Komitmen bersama untuk menegakkan HAM dan keadilan harus segera diwujudkan karena persoalan penghilangan paksa di Indonesia bukan hanya persoalan korban dan keluarga korban, tetapi juga persoalan setiap umat manusia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Perjuangan pengungkapan kasus penghilangan paksa bukan lah sekedar milik korban dan keluarga korban, tetapi milik semua orang yang peduli pada kemanusiaan. Kita tidak ingin penghilangan paksa terjadi pada orang lain di masa yang akan datang. Biarkan penghilangan paksa hanya menjadi sejarah masa lalu kita.
Penulis adalah Ketua IKOHI