I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Monday, September 11, 2006
Mengenang Munir
Sore hari tanggal 7 September 2004, sebuah ruangan di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dipenuhi oleh para korban pelanggaran HAM. Hari itu, mereka mengadakan rapat untuk membicarakan Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU-KKR) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Para korban sedang resah karena mereka sebenarnya berharap RUU-KKR itu tidak terburu-buru disahkan oleh DPR. Menurut mereka, RUU-KKR lebih menguntungkan pelaku pelanggaran HAM dan dikhawatirkan hanya akan menjadi mesin cuci dosa. Mereka yang berkumpul menganggap RUU-KKR adalah sarana impunitas untuk membebaskan para pelanggar HAM di masa lalu. Sore itu, para korban sedang mengadakan rapat untuk membicarakan apa yang harus dilakukan setelah RUU-KKR yang tidak berpihak kepada korban itu disahkan oleh DPR.
Sekitar pukul 15.00, forum rapat korban yang sebelumnya ramai itu mendadak sunyi. Informasi yang sampai ke forum rapat, “Munir meninggal dalam pesawat menuju Belanda”. Semula, para korban menganggap informasi tersebut sebagai candaan teman-teman Kontras. Tapi melihat wajah-wajah serius, suasana menjadi tegang. Lalu informasi yang baru muncul lagi, “Munir benar meninggal dalam pesawat menuju Belanda karena serangan jantung”.
Rapat tentang RUU-KKR benar-benar kami hentikan karena semua orang panik. Beberapa korban mulai menangis. Satu jam kemudian, kami mendapat kepastian berita bahwa Munir, Cak Munir itu, pendamping kami, kawan kami dan pemimpin kami benar-benar sudah meninggal dalam pesawat menuju Belanda. Kami belum mendapat kepastian tentang penyebab kematiannya. Tetapi informasi yang beredar diantara kami adalah bahwa ia meninggal karena serangan jantung.
Munir sebagai Inspirator
Tanggal 7 September 2004 adalah tanggal sial bagi kami. Pada hari itu kami mendapatkan ‘kado’ berupa pengesahan RUU-KKR yang tidak berpihak kepada korban, oleh DPR. Pada saat yang sama, ketika para korban sedang membicarakan hal tersebut, Munir ditemukan meninggal di dalam pesawat Garuda menuju Belanda.
Dua hal terjadi persis bersamaan, padahal kami memiliki harapan atas hubungan diantara keduanya. Kami memiliki harapan bahwa bersama Munir, akan lebih mudah bagi kami untuk memperjuangkan perbaikan KKR, sehingga keadilan dan kebenaran lebih memungkinkan terwujud di negeri ini. Namun bahwa Munir sudah meninggal, perjuangan kami para korban tentu lebih berat karena kami kehilangan satu orang, yang kebetulan adalah seorang inspirator dan pemimpin.
Bahwa belakangan diketahui bahwa Munir meninggal karena dibunuh dengan racun arsenik, oleh sebuah konspirasi nan keji, kami sadar sepenuhnya bahwa pembunuhan Munir memang dilatarbelakangi oleh sebuah usaha untuk mematikan gerakan HAM dan demokrasi, melalui pembunuhan atas inspirator dan pemimpinnya, yaitu Munir.
Munir dan Korban Pelanggaran HAM
Munir dan korban pelanggaran HAM memiliki hubungan yang unik. Munir dan komunitas korban pelanggaran HAM ibarat ikan dan air. Keduanya memiliki hubungan amat erat dan saling membutuhkan, yang satu tidak bisa dicerabut dari lainnya. Kedekatan hubungan antara Munir dan korban pelanggaran HAM inilah yang membedakan Munir dengan tokoh HAM lainnya.
Dalam sebuah pembicaraan Munir pernah mengatakan, kedekatannya dengan korban inilah yang bisa menjadikan dirinya independen dari negara, termasuk mereka yang diduga sebagai pelanggar HAM. Sampai akhir hayatnya Munir tetap bisa menjaga jarak dan independensi dengan Negara, meski ia memiliki akses ke sana. Di sinilah kelihatan pribadi Munir sebagai sosok yang konsisten, istiqomah.
Munir pernah mengatakan, para korban adalah sumber inspirasi dalam bersikap, sumber keberanian dalam bertindak. Para korbanlah yang akan mengontrol sikap dan tindakannya. Para korban jugalah yang akan menghormati, menghargai serta menghujat dan mencacinya atas kebenaran dan kesalahan sikap dan tindakannya.
Kedekatan Munir dengan para korban ketidakadilan dan pelanggaran HAM ini tidak bisa dilepaskan dari kiprahnya saat menjadi aktifis kampus yang kritis. Ketika masih menjadi mahasiswa, ia telah banyak berhubungan dan melakukan pembelaan kepada para buruh di Jawa Timur.
Kedekatan dengan korban ketidakadilan ini semakin kuat ketika ia aktif di LBH Surabaya, dimana ia banyak menangani masalah-masalah perburuhan. Satu kasus besar yang pernah ia tangani pada tahun 1993 adalah kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah di Porong Sidoarjo. Bersama kawan-kawannya, ia kemudian mendirikan komite aksi yang diberi nama KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Marsinah). Dalam proses kegiatannya, KASUM berhasil sedikit mengungkap keterlibatan aparat militer dalam pembunuhan keji atas Marsinal.
Ironisnya, nama KASUM yang pernah Munir bentuk sebagai wadah advokasi untuk Marsinah, kita juga dipakai oleh sahabat-sahabat Munir sebagai wadah advokasi untuk Munir, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM).
Ketika Munir kemudian pindah ke YLBHI, ia juga tetap menjaga hubungan dengan korban ketidakadilan, khususnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, terutama setelah bersama teman-temannya ia mendirikan Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Pembunuhan Munir dan Pentingnya Perlindungan Pembela HAM
Oleh elemen masyarakat sipil, tanggal meninggalnya Munir yaitu 7 September dijadikan sebagai hari pembela HAM Indonesia. Pencanangan ini dimaksudkan agar kasus pembunuhan Munir menjadi titik balik bagi ditegakkannya HAM dan dihargai serta dilindunginya para pembela HAM (human rights defenders). Pembunuhan terhadap Munir diharapkan untuk menjadi kasus yang terakhir, sehingga tindakan keji serupa, termasuk tindakan-tindakan dan ancaman-ancaman kekerasan terhadap mereka yang bekerja menegakkan HAM tidak terjadi lagi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah SBY untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir secara adil, terbuka dan menyeluruh. Langkah tersebut bisa dimulai dengan penyampaian kepada publik laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang telah dibentuk oleh Presiden SBY melalui Kepres No. III Tahun 2004 yang lalu. Sebagai ingatan Kepres tersebut menyatakan bahwa laporan kerja TPF akan disampaikan kepada publik oleh Presiden begitu masa kerja TPF selesai. Masalahnya, sampai sekarang, Presiden SBY belum memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan Kepres yang ia buat sendiri.
Selain itu, pemerintah juga harus berani bersikap untuk segera menangkap dan mengadili otak dan pelaku konspirasi pembunuhan Munir. Proses hukum yang baru dapat menjerat Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda harus segera ditingkatkan dengan kepastian tersangka baru. Kepolisian RI harus menjelaskan perkembangan penyelidikan yang dilakukannya. Kalau pihak kepolisian memang tidak mampu lagi melanjutkan penyelidikan karena adanya hambatan yang besar dari pihak lain, pemerintah harus berani mengambil langkah untuk membentuk sebuah tim penyelidikan yang independen dengan otoritas yang besar dan luas termasuk untuk menembus institusi-institusi negara yang selama ini kebal hukum.
Mahkamah Agung juga musti mengoptimalkan masa kasasi dengan memeriksa nama-nama yang berhubungan dengan Pollycarpus BP. Hanya dengan cara itu, niat bersama untuk menghargai hak asasi manusia bisa mulai diwujudkan.
Selanjutnya, negara juga mesti mulai merealisasikan komitmen-komitmen internasional di bidang HAM di dalam negeri. Apa yang diucapkan oleh Menlu Hassan Wirayudha di forum High Level Segment sidang pertama Dewan HAM PBB bulan Juni 2006 lalu bahwa pemerintah Indonesia memberi prioritas pada hak untuk hidup (the rights to life) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya (non-derogable rights), harus dibumikan pula dengan memprioritaskan perlindungan para pembela HAM dari tindakan-tindakan pembunuhan, kekerasan, teror dan intimidasi.
Negara harus mulai memikirkan upaya-upaya penjaminan perlindungan para pembela HAM mengingat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah menetapkan sebuah Deklarasi Pembela HAM pada tahun 1999, yakni Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms.
Mengenai pentingnya perlindungan bagi pembela HAM ini Sekjen PBB Kofi Annan mengatakan bahwa "ketika hak seorang pembela HAM telah dilanggar, pada saat itu semua hak kita ada dalam bahaya".
Dari sinilah, pada peringatan Hari Pembela HAM Indonesia yang diperingati bersamaan dengan 2 tahun dibunuhnya Munir, kita mulai usaha bersama untuk berani mengungkap kasus Munir sebagai bagian dari usaha menegakkan dan melindungi hak asasi manusia secara umum.
1 Penulis adalah survivor penculikan aktifis 1998, Ketua IKOHI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment