Menuju Komnas HAM yang Berkualitas
Mugiyanto[1]
Sebagaimana kita ketahui, anggota Komnas HAM periode 2002 – 2007 akan berakhir masa kerjanya pertengahan tahun 2007 ini. Untuk itulah, Komnas HAM telah membuka pendaftaran calon anggota Komnas HAM yang baru sejak tanggal 19 Desember 2006 sampai 20 Januari 2007.
Sampai hari ini, belum jelas berapa banyak dan siapa saja yang telah mendaftarkan diri ke panitia seleksi. Tetapi dari pengalaman pendaftaran calon anggota komisi-komisi negara yang lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain, jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Namun sayangnya, hanya sedikit dari para pendaftar yang kompeten dan berkualitas, sisanya adalah pencari kerja. Semoga tidak demikian dengan calon anggota Komnas HAM.
Untuk menyeleksi para pendaftar yang masuk sampai 20 Januari yang lalu, Komnas HAM telah membentuk Panitia Seleksi yang terdiri dari lima orang yaitu, Soetandyo Wignjosoebroto, Musdah Mulia, Kamala Chandrakirana, Azumardi Azra dan Maria Hartiningsih. Nama-nama hasil Panitia Seleksi ini kemudian akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dikenakan fit and proper test, selanjutnya 35 orang akan dipilih menjadi anggota, lalu mereka akan dilantik oleh Presiden.
Periode Krusial
Mengamati kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM periode 2002 – 2007 yang jauh dari harapan masyarakat, proses pemilihan anggota untuk periode 2007 – 2012 ini menjadi tahapan yang sangat krusial. Karena kalau salah pilih, kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM periode 2007 – 2012 malah bisa lebih buruk. Bila terjadi, hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menegakkan, melindungi dan memajukan hak asasi manusia.
Tantangan yang akan dihadapi Komnas HAM kedepan juga akan sangat berat. Salah satu diantaranya adalah karena Komnas HAM periode 2007 – 2012 akan mendapatkan limpahan kasus-kasus yang belum ditangani Komnas HAM periode sebelumnya seperti kasus Talangsari Lampung, kasus Manggarai, kasus Bulukumba, kasus Wamena, kasus Wasior dan kasus-kasus lain yang belum diselesaikan Komnas HAM.
Komnas HAM kedepan juga dituntut untuk sangat responsif terhadap terjadinya kasus-kasus baru, baik dalam ranah hak sipil dan politik (sipol), terutama dengan munculnya kecenderungan baru dalam hal pelanggaran HAM dalam wilayah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus agraria, perburuhan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan hak-hak perempuan dan anak-anak. Kekerasan-kekerasan karena fanatisme primordial berbasis etnik dan religi juga menjadi tantangan untuk diselesaikan oleh Komnas HAM periode mendatang.
Selain itu, Komnas HAM kedepan juga harus menanggung beban penyelesaian kasus-kasus masa lalu yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme ekstra-judisial yaitu Komisi Kebenaran, paska dibatalkannya Undang Undang No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi bulan Desember 2006 yang lalu secara signifikan memberi dampak hilangnya satu mekanisme tambahan dan pelengkap (komplementer) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu di luar mekanisme pengadilan. Konsekuensi lanjutannya adalah bahwa Komnas HAM tetap akan menjadi satu-satunya lembaga penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui wewenang penyelidikan yang diberikan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Anggota Komnas HAM yang kompeten, berkualitas dan imparsial
Beberapa hari sebelum pendaftaran calon anggota Komnas HAM ditutup, beberapa perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus, sebagai kelompok masyarakat yang mengalami dampak langsung dari baik buruknya kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM, menemui panitia seleksi. Mereka bermaksud memberikan masukan kepada panitia seleksi agar anggota Komnas HAM periode 2007 – 2012 memiliki kualitas yang lebih baik.
Terlepas masuk akal atau tidaknya masukan mereka menurut panitia seleksi, masukan tersebut muncul dari pengalaman pribadi masing-masing keluarga korban, sehingga secara moral dan empiris sangat valid. Oleh karena itu, masukan ini harus diperhatikan secara seksama.
Salah satu masukan serius dari keluarga korban ini adalah agar bekas TNI/Polri atau purnawirawan TNI/Polri tidak bisa menjadi anggota Komnas HAM, dengan alasan bahwa mereka pernah terlibat dalam pelanggaran HAM baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, dari pengalaman keluarga korban selama ini, anggota Komnas HAM dari unsur mantan TNI/Polri seringkali tidak imparsial dan berpihak kepada corps mereka (TNI/Polri) dalam kinerjanya di Komnas HAM. Contoh mutahir adalah ketika seorang anggota Komnas HAM dari purnawirawan TNI menjadi satu-satunya anggota Komnas HAM yang tidak setuju untuk memutuskan, dalam rapat pleno November 2006 lalu, bahwa kasus penghilangan paksa 1997/1998 adalah tindakan pelanggaran berat HAM.
Bahwa seorang mantan anggota TNI/Polri atau purnawirawan adalah bagian dari masyarakat sipil yang memiliki hak konstitusional untuk menjadi anggota Komnas HAM, adalah sesuatu yang sah dan legal dan karenanya harus dihormati. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa mantan anggota TNI/Polri atau purnawirawan seringkali tidak konsisten mengenai status dan hak konstitusional mereka ini. Ketika mereka dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan pada masa lalu, mereka selalu menyerahkan masalah ini ke corps atau institusi tempat mereka pernah mengabdi. Tetapi ketika berhadapan dengan proses-proses pemenuhan hak-hak sipil dan konstitusional warga, mereka buru-buru mengatakan bahwa mereka sudah menjadi sipil, bukan lagi militer dan tidak punya lagi hubungan dengan korps atau institusi tempat mereka bekerja sebelumnya.
Namun demikian, untuk tetap menjamin dan menghormati hak sipil dan konsitusional para mantan dan purnawirawan TNI/Polri, yang patut diperhatikan juga oleh panitia seleksi dan DPR saat melaksanakan fit and proper test nanti, adalah rekam jejak calon angota Komnas HAM yang menunjukkan sejauh mana mereka berkerja atau terlibat dalam usaha memajukan, menegakkan dan melindungi HAM, atau bahkan sebaliknya.
Sebagai sebuah referensi, resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/48/134 tahun 1993 mengenai Lembaga Nasional untuk Pemajuan dan Perlindungan HAM atau yang sering dikenal dengan Paris Principles yang menjadi acuan pembentukan dan kinerja Komnas HAM di semua negara anggota PBB menekankan pentingnya mempertimbangkan rekam jejak calon anggota Komnas HAM dalam hal kontribusi bagi penegakan dan perlindungan HAM.
Sehingga, bila rekam jejak ini diabaikan dan kepentingan politik diutamakan dalam proses pemilihan anggota Komnas HAM, baik itu oleh Panitia Seleksi maupun oleh DPR, maka Komnas HAM ke depan bukannya menjadi lembaga nasional penegakan dan perlindungan HAM, tapi akan menjadi lembaga pelestari impunitas.
Komnas HAM jangan terlalu gemuk
Dalam Undang Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang Komnas HAM, disebutkan bahwa anggota Komnas HAM adalah 35 orang. Kenyataannya, anggota Komnas HAM periode 2002 – 2007 yang dilantik oleh Presiden tahun 2002 berjumlah 23 orang.
Jumlah anggota Komnas HAM yang 23, dalam praktiknya menimbulkan kesulitan-kesulitan ditingkatan praktis karena masih terlalu banyak. Fakta bahwa anggota Komnas HAM memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan kepentingan yang belum tentu sama, menyebabkan proses pengambilan kebijakan, kerjasama dan koordinasi antar anggota menjadi sangat rumit. Dalam perkembangannya Komnas HAM bisa terjebak dalam conflict of interests dan birokratisme. Dalam situasi yang demikian, pekerjaan Komnas HAM yang menuntut efektifitas dan kesigapan, karena berhubungan dengan hak-hak dan nasib manusia menjadi terhalangi.
Tidak jarang pula proses pengambilan keputusan menjadi sangat lama dan berlarut-larut. Bahkan seringkali keputusan-keputusan penting yang berhubungan dengan fakta-fakta hukum dan peristiwa pelanggaran HAM dicapai melalui voting.
Dalampraktiknya selama ini, besarnya jumlah anggota Komnas HAM ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas proses dan hasil kerja yang mereka dapat. Hal ini terjadi karena banyak anggota Komnas HAM yang memang tidak punya kecakapan dan kapasitas kerja-kerja riil seperti pengkajian dan penelitian, pendidikan dan penyuluhan, mediasi dan penyelidikan. Kualitas orang-orang yang dibutuhkan oleh Komnas HAM memang tidak sekedar pemikir (thinker), publik figur dan pemimpin (leader), tetapi terutama adalah pekerja (doer).
Di India misalnya, dengan luas wilayah, kasus pelanggaran HAM dan penduduk yang jauh lebih besar dari Indonesia, jumlah anggota Komnas HAM-nya jauh lebih sedikit yaitu 5 orang. Namun mereka memiliki staff yang cukup dengan kapasitas yang baik. Hasilnya, pekerjaan mereka menjadi jauh lebih efektif dan efisien, dan Komnas HAM India menjadi bagian dari lembaga yang menjadikan India sebagai salah satu negara paling demokatis di dunia.
[1] Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan IKOHI
I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Wednesday, January 31, 2007
Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa
Harapan Baru bagi Penghentian Tindak Penghilangan Paksa
Mugiyanto[1]
Akhir tahun 2006 lalu, tepatnya tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB, mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini merupakan sebuah instrumen HAM internasional tentang penghilangan orang secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara anggota PBB yang meratifikasinya. Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh masyarakat internasional -terutama para keluarga korban- selama hampir 30 tahun terakhir.
Diawali oleh perjuangan Ibu-ibu
Pada awalnya, perjuangan untuk memiliki sebuah aturan hukum internasional ini dirintis oleh sekelompok ibu yang kehilangan anak-anaknya karena ditahan lalu dilenyapkan oleh pemerintahan junta militer di Argentina pada akhir tahun 1970-an. Ibu-ibu ini lalu mengatur diri dan melakukan protes diam dengan berjalan mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden Argentina setiap Kamis sore, di Plaza de Mayo. Karena itulah, sekelompok ibu-ibu ini mendapatkan julukan Las Madres des Plaza de Mayo (Ibu-Ibu di Plaza de Mayo).
Dari keringat, darah dan airmata ibu-ibu inilah, gelombang besar gerakan anti penghilangan paksa bergulung seperti tsunami di Amerika tengah dan selatan lainnya seperti Guatemala, Chile, El Salvador, Brasil, Costa Rica, Venezuela, Peru, Honduras, Uruguay dan Mexico. Dari belahan dunia inilah gerakan menentang praktik penghilangan paksa mengalir ke Eropa, sampai akhirnya memasuki badan-badan PBB.
Dari perjuangan itu, pada tahun 1980, PBB mendirikan mekanisme tematik khusus untuk kasus penghilangan paksa yang bernama Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID).
Kelompok Kerja ini memiliki mandat humanitarian dengan meneruskan laporan-laporan kasus individual oleh keluarga korban atau organisasi HAM ke pemerintah yang bersangkutan. Kelompok Kerja ini tidak memeliki wewenang memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas sebuah kasus penghilangan paksa.
Lalu pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Deklarasi Anti Penghilangan Paksa). Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Namun, Deklarasi hanya merupakan ekspresi komitmen dan kesepakatan moral yang bersifat umum segenap anggota PBB untuk bersama-sama memerangi penghilangan paksa tanpa sanksi dan aturan yang mengikat negara-negara yang tidak mematuhinya.
Proses panjang pembahasan dan pengesahan Konvensi
Hasilnya, pada tahun 2002, Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja (Working Group) yang bertugas untuk merumuskan bentuk dan isi instrumen hukum yang dimaksud.
Kelompok Kerja yang dipimpin oleh Duta Besar Perancis untuk PBB, Bernard Kessedjian ini mengadakan pertemuan dua kali setahun mulai tahun 2003 dengan melibatkan elemen masyarakat sipil. Pertemuan yang pernah diikuti oleh almarhum Munir ini sering diwarnai perdebatan panas, antara lain soal bentuk instrumen, apakah sebuah Protokol Tambahan (Optional Protocol) atas Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, ataukah sebuah Konvensi yang sama sekali terpisah.
Setelah perdebatan alot selama 3 tahun, akhirnya pada bulan September 2005, Kelompok Kerja tersebut menyetujui rancangan instrument dalam bentuk Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Selanjutnya pada bulan Juni 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan Rancangan Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa Rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20 Desember 2006, Sidang Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa. Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini secara resmi telah menjadi Konvensi yang bisa segera diberlakukan secara aktif.
Tahun 2007 tahun krusial
Tahun 2007 adalah tahun krusial dalam usaha masyarakat global melawan penghilangan paksa karena pada tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang baru disahkan itu akan mulai diratifikasi oleh berbagai negara dan diberlakukan secara aktif (enter into force).
Menurut Konvensi tersebut, Konvensi akan berlaku secara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Dibandingkan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi negara, Konvensi ini dipastikan akan bisa berlaku aktif jauh lebih cepat, yaitu pada bulan Maret 2007, mengingat tanggal 7 Pebruari 2007, sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis.
Dalam konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh PBB harus dijadikan momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM. Secara khusus, momentum ini harus dijadikan kesempatan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang saat ini berhenti di kantor Jaksa Agung.
Di sini penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Pebruari 2007. Ratifikasi oleh Indonesia ini akan menjadi ukuran konsistensi sikap Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia “akan memprioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa ditunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghilangan paksa). Ratifikasi oleh Indonesia juga akan sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 61 tanggal 20 Desember 2006 yang lalu.
Efektifitas Konvensi
Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, berarti Indonesia menjadi negara pihak (state party) atas Konvensi tersebut. Artinya pula, Indonesia mengikatkan diri pada aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi. Konsekuensi lanjutannya, Indonesia harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi dimaksud.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana Konvensi bisa efektif memerangi penghilangan paksa, mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai Konvensi internasional, namun tidak terimplementasi secara baik?
Pertama, Konvensi menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang membenarkan tindak penghilangan paksa. Konvensi juga menyatakan bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran yang berkelanjutan (continuing offense) dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi melarang seseorang ditahan di tahanan rahasia dan semua negara pihak harus memiliki catatan resmi atas orang-orang yang sedang ditahan.
Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain itu, Konvensi juga mengharuskan negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan bekerjasama dalam mencari, menyelidiki dan membebaskan orang-orang yang dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal, negara pihak harus melakukan penggalian (exhumation), pengidentifikasian dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.
Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin hak anggota keluarga dan masyarakat untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban serta untuk mengetahui kemajuan dan hasil penyelidikan. Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan serta kompensasi yang cepat dan adil.
Kedua, untuk memastikan bahwa aturan Konvensi dijalankan oleh Negara pihak, Konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances). Komite ini beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten, berdedikasi, berintegritas dan mewakili wilayah geografis internasional serta secara jender berimbang.
Komite inilah yang akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima, menanggapi dan memberikan rekomendasi atas laporan negara pihak mengenai langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional. Komite juga memiliki wewenang untuk meminta informasi dari negara pihak tentang orang yang dilaporkan hilang, serta memintanya melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari korban. Selain itu, atas persetujuan negara pihak, anggota Komite juga bisa melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dan mengeluarkan laporan atas hasil kunjungan tersebut ke Komite.
Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi, Komite Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB melalui Sekjen PBB bila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama, dan bila ada indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis atau meluas.
Pertanda awal penegakan HAM 2007
Adanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak akan secara otomatis melenyapkan praktik penghilangan paksa dari muka bumi. Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa secara konsensus berarti adanya kesepakatan hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk bersama-sama menghentikan, mencegah dan menghukum pelaku tindakan penghilangan paksa. Pengingkaran dan pelanggaran atas aturan-aturan Konvensi yang telah diratifikasi akan menjadikan sebuah negara pihak tercoreng dan terkucil dari pergaulan masyarakat dunia yang beradab.
Implementasi di tingkat nasional yang harus dilakukan setalah proses ratifikasi, sepenuhnya ditentukan oleh sejauh mana pemerintah sebuah negara benar-benar berkomitmen memerangi tindakan keji yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai hostis humanis generis ini.
Indonesia, yang kini duduk di dua lembaga terhormat PBB yaitu Dewan HAM (United Nations Human Rights Council) dan Dewan Keamanan (United Nations Security Council) diharapkan bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain dalam implementasi penegakan HAM, khususnya dalam isu penghilangan paksa dengan cara meratifikasi Konvensi.
Secara paralel, laporan penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 juga musti segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bila demikian, hal ini bisa menjadi pertanda awal yang baik bagi pemerintahan SBY-JK di tahun 2007 dalam bidang penegakan HAM.
[1] Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan IKOHI
Mugiyanto[1]
Akhir tahun 2006 lalu, tepatnya tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB, mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini merupakan sebuah instrumen HAM internasional tentang penghilangan orang secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara anggota PBB yang meratifikasinya. Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh masyarakat internasional -terutama para keluarga korban- selama hampir 30 tahun terakhir.
Diawali oleh perjuangan Ibu-ibu
Pada awalnya, perjuangan untuk memiliki sebuah aturan hukum internasional ini dirintis oleh sekelompok ibu yang kehilangan anak-anaknya karena ditahan lalu dilenyapkan oleh pemerintahan junta militer di Argentina pada akhir tahun 1970-an. Ibu-ibu ini lalu mengatur diri dan melakukan protes diam dengan berjalan mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden Argentina setiap Kamis sore, di Plaza de Mayo. Karena itulah, sekelompok ibu-ibu ini mendapatkan julukan Las Madres des Plaza de Mayo (Ibu-Ibu di Plaza de Mayo).
Dari keringat, darah dan airmata ibu-ibu inilah, gelombang besar gerakan anti penghilangan paksa bergulung seperti tsunami di Amerika tengah dan selatan lainnya seperti Guatemala, Chile, El Salvador, Brasil, Costa Rica, Venezuela, Peru, Honduras, Uruguay dan Mexico. Dari belahan dunia inilah gerakan menentang praktik penghilangan paksa mengalir ke Eropa, sampai akhirnya memasuki badan-badan PBB.
Dari perjuangan itu, pada tahun 1980, PBB mendirikan mekanisme tematik khusus untuk kasus penghilangan paksa yang bernama Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID).
Kelompok Kerja ini memiliki mandat humanitarian dengan meneruskan laporan-laporan kasus individual oleh keluarga korban atau organisasi HAM ke pemerintah yang bersangkutan. Kelompok Kerja ini tidak memeliki wewenang memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas sebuah kasus penghilangan paksa.
Lalu pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Deklarasi Anti Penghilangan Paksa). Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Namun, Deklarasi hanya merupakan ekspresi komitmen dan kesepakatan moral yang bersifat umum segenap anggota PBB untuk bersama-sama memerangi penghilangan paksa tanpa sanksi dan aturan yang mengikat negara-negara yang tidak mematuhinya.
Proses panjang pembahasan dan pengesahan Konvensi
Hasilnya, pada tahun 2002, Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja (Working Group) yang bertugas untuk merumuskan bentuk dan isi instrumen hukum yang dimaksud.
Kelompok Kerja yang dipimpin oleh Duta Besar Perancis untuk PBB, Bernard Kessedjian ini mengadakan pertemuan dua kali setahun mulai tahun 2003 dengan melibatkan elemen masyarakat sipil. Pertemuan yang pernah diikuti oleh almarhum Munir ini sering diwarnai perdebatan panas, antara lain soal bentuk instrumen, apakah sebuah Protokol Tambahan (Optional Protocol) atas Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, ataukah sebuah Konvensi yang sama sekali terpisah.
Setelah perdebatan alot selama 3 tahun, akhirnya pada bulan September 2005, Kelompok Kerja tersebut menyetujui rancangan instrument dalam bentuk Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Selanjutnya pada bulan Juni 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan Rancangan Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa Rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20 Desember 2006, Sidang Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa. Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini secara resmi telah menjadi Konvensi yang bisa segera diberlakukan secara aktif.
Tahun 2007 tahun krusial
Tahun 2007 adalah tahun krusial dalam usaha masyarakat global melawan penghilangan paksa karena pada tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang baru disahkan itu akan mulai diratifikasi oleh berbagai negara dan diberlakukan secara aktif (enter into force).
Menurut Konvensi tersebut, Konvensi akan berlaku secara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Dibandingkan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi negara, Konvensi ini dipastikan akan bisa berlaku aktif jauh lebih cepat, yaitu pada bulan Maret 2007, mengingat tanggal 7 Pebruari 2007, sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis.
Dalam konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh PBB harus dijadikan momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM. Secara khusus, momentum ini harus dijadikan kesempatan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang saat ini berhenti di kantor Jaksa Agung.
Di sini penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Pebruari 2007. Ratifikasi oleh Indonesia ini akan menjadi ukuran konsistensi sikap Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia “akan memprioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa ditunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghilangan paksa). Ratifikasi oleh Indonesia juga akan sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 61 tanggal 20 Desember 2006 yang lalu.
Efektifitas Konvensi
Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, berarti Indonesia menjadi negara pihak (state party) atas Konvensi tersebut. Artinya pula, Indonesia mengikatkan diri pada aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi. Konsekuensi lanjutannya, Indonesia harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi dimaksud.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana Konvensi bisa efektif memerangi penghilangan paksa, mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai Konvensi internasional, namun tidak terimplementasi secara baik?
Pertama, Konvensi menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang membenarkan tindak penghilangan paksa. Konvensi juga menyatakan bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran yang berkelanjutan (continuing offense) dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi melarang seseorang ditahan di tahanan rahasia dan semua negara pihak harus memiliki catatan resmi atas orang-orang yang sedang ditahan.
Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain itu, Konvensi juga mengharuskan negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan bekerjasama dalam mencari, menyelidiki dan membebaskan orang-orang yang dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal, negara pihak harus melakukan penggalian (exhumation), pengidentifikasian dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.
Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin hak anggota keluarga dan masyarakat untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban serta untuk mengetahui kemajuan dan hasil penyelidikan. Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan serta kompensasi yang cepat dan adil.
Kedua, untuk memastikan bahwa aturan Konvensi dijalankan oleh Negara pihak, Konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances). Komite ini beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten, berdedikasi, berintegritas dan mewakili wilayah geografis internasional serta secara jender berimbang.
Komite inilah yang akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima, menanggapi dan memberikan rekomendasi atas laporan negara pihak mengenai langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional. Komite juga memiliki wewenang untuk meminta informasi dari negara pihak tentang orang yang dilaporkan hilang, serta memintanya melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari korban. Selain itu, atas persetujuan negara pihak, anggota Komite juga bisa melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dan mengeluarkan laporan atas hasil kunjungan tersebut ke Komite.
Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi, Komite Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB melalui Sekjen PBB bila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama, dan bila ada indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis atau meluas.
Pertanda awal penegakan HAM 2007
Adanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak akan secara otomatis melenyapkan praktik penghilangan paksa dari muka bumi. Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa secara konsensus berarti adanya kesepakatan hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk bersama-sama menghentikan, mencegah dan menghukum pelaku tindakan penghilangan paksa. Pengingkaran dan pelanggaran atas aturan-aturan Konvensi yang telah diratifikasi akan menjadikan sebuah negara pihak tercoreng dan terkucil dari pergaulan masyarakat dunia yang beradab.
Implementasi di tingkat nasional yang harus dilakukan setalah proses ratifikasi, sepenuhnya ditentukan oleh sejauh mana pemerintah sebuah negara benar-benar berkomitmen memerangi tindakan keji yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai hostis humanis generis ini.
Indonesia, yang kini duduk di dua lembaga terhormat PBB yaitu Dewan HAM (United Nations Human Rights Council) dan Dewan Keamanan (United Nations Security Council) diharapkan bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain dalam implementasi penegakan HAM, khususnya dalam isu penghilangan paksa dengan cara meratifikasi Konvensi.
Secara paralel, laporan penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 juga musti segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bila demikian, hal ini bisa menjadi pertanda awal yang baik bagi pemerintahan SBY-JK di tahun 2007 dalam bidang penegakan HAM.
[1] Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan IKOHI
Subscribe to:
Posts (Atom)