Menuju Komnas HAM yang Berkualitas
Mugiyanto[1]
Sebagaimana kita ketahui, anggota Komnas HAM periode 2002 – 2007 akan berakhir masa kerjanya pertengahan tahun 2007 ini. Untuk itulah, Komnas HAM telah membuka pendaftaran calon anggota Komnas HAM yang baru sejak tanggal 19 Desember 2006 sampai 20 Januari 2007.
Sampai hari ini, belum jelas berapa banyak dan siapa saja yang telah mendaftarkan diri ke panitia seleksi. Tetapi dari pengalaman pendaftaran calon anggota komisi-komisi negara yang lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain, jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Namun sayangnya, hanya sedikit dari para pendaftar yang kompeten dan berkualitas, sisanya adalah pencari kerja. Semoga tidak demikian dengan calon anggota Komnas HAM.
Untuk menyeleksi para pendaftar yang masuk sampai 20 Januari yang lalu, Komnas HAM telah membentuk Panitia Seleksi yang terdiri dari lima orang yaitu, Soetandyo Wignjosoebroto, Musdah Mulia, Kamala Chandrakirana, Azumardi Azra dan Maria Hartiningsih. Nama-nama hasil Panitia Seleksi ini kemudian akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dikenakan fit and proper test, selanjutnya 35 orang akan dipilih menjadi anggota, lalu mereka akan dilantik oleh Presiden.
Periode Krusial
Mengamati kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM periode 2002 – 2007 yang jauh dari harapan masyarakat, proses pemilihan anggota untuk periode 2007 – 2012 ini menjadi tahapan yang sangat krusial. Karena kalau salah pilih, kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM periode 2007 – 2012 malah bisa lebih buruk. Bila terjadi, hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menegakkan, melindungi dan memajukan hak asasi manusia.
Tantangan yang akan dihadapi Komnas HAM kedepan juga akan sangat berat. Salah satu diantaranya adalah karena Komnas HAM periode 2007 – 2012 akan mendapatkan limpahan kasus-kasus yang belum ditangani Komnas HAM periode sebelumnya seperti kasus Talangsari Lampung, kasus Manggarai, kasus Bulukumba, kasus Wamena, kasus Wasior dan kasus-kasus lain yang belum diselesaikan Komnas HAM.
Komnas HAM kedepan juga dituntut untuk sangat responsif terhadap terjadinya kasus-kasus baru, baik dalam ranah hak sipil dan politik (sipol), terutama dengan munculnya kecenderungan baru dalam hal pelanggaran HAM dalam wilayah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus agraria, perburuhan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan hak-hak perempuan dan anak-anak. Kekerasan-kekerasan karena fanatisme primordial berbasis etnik dan religi juga menjadi tantangan untuk diselesaikan oleh Komnas HAM periode mendatang.
Selain itu, Komnas HAM kedepan juga harus menanggung beban penyelesaian kasus-kasus masa lalu yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme ekstra-judisial yaitu Komisi Kebenaran, paska dibatalkannya Undang Undang No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi bulan Desember 2006 yang lalu secara signifikan memberi dampak hilangnya satu mekanisme tambahan dan pelengkap (komplementer) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu di luar mekanisme pengadilan. Konsekuensi lanjutannya adalah bahwa Komnas HAM tetap akan menjadi satu-satunya lembaga penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui wewenang penyelidikan yang diberikan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Anggota Komnas HAM yang kompeten, berkualitas dan imparsial
Beberapa hari sebelum pendaftaran calon anggota Komnas HAM ditutup, beberapa perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus, sebagai kelompok masyarakat yang mengalami dampak langsung dari baik buruknya kualitas anggota dan kinerja Komnas HAM, menemui panitia seleksi. Mereka bermaksud memberikan masukan kepada panitia seleksi agar anggota Komnas HAM periode 2007 – 2012 memiliki kualitas yang lebih baik.
Terlepas masuk akal atau tidaknya masukan mereka menurut panitia seleksi, masukan tersebut muncul dari pengalaman pribadi masing-masing keluarga korban, sehingga secara moral dan empiris sangat valid. Oleh karena itu, masukan ini harus diperhatikan secara seksama.
Salah satu masukan serius dari keluarga korban ini adalah agar bekas TNI/Polri atau purnawirawan TNI/Polri tidak bisa menjadi anggota Komnas HAM, dengan alasan bahwa mereka pernah terlibat dalam pelanggaran HAM baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, dari pengalaman keluarga korban selama ini, anggota Komnas HAM dari unsur mantan TNI/Polri seringkali tidak imparsial dan berpihak kepada corps mereka (TNI/Polri) dalam kinerjanya di Komnas HAM. Contoh mutahir adalah ketika seorang anggota Komnas HAM dari purnawirawan TNI menjadi satu-satunya anggota Komnas HAM yang tidak setuju untuk memutuskan, dalam rapat pleno November 2006 lalu, bahwa kasus penghilangan paksa 1997/1998 adalah tindakan pelanggaran berat HAM.
Bahwa seorang mantan anggota TNI/Polri atau purnawirawan adalah bagian dari masyarakat sipil yang memiliki hak konstitusional untuk menjadi anggota Komnas HAM, adalah sesuatu yang sah dan legal dan karenanya harus dihormati. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa mantan anggota TNI/Polri atau purnawirawan seringkali tidak konsisten mengenai status dan hak konstitusional mereka ini. Ketika mereka dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan pada masa lalu, mereka selalu menyerahkan masalah ini ke corps atau institusi tempat mereka pernah mengabdi. Tetapi ketika berhadapan dengan proses-proses pemenuhan hak-hak sipil dan konstitusional warga, mereka buru-buru mengatakan bahwa mereka sudah menjadi sipil, bukan lagi militer dan tidak punya lagi hubungan dengan korps atau institusi tempat mereka bekerja sebelumnya.
Namun demikian, untuk tetap menjamin dan menghormati hak sipil dan konsitusional para mantan dan purnawirawan TNI/Polri, yang patut diperhatikan juga oleh panitia seleksi dan DPR saat melaksanakan fit and proper test nanti, adalah rekam jejak calon angota Komnas HAM yang menunjukkan sejauh mana mereka berkerja atau terlibat dalam usaha memajukan, menegakkan dan melindungi HAM, atau bahkan sebaliknya.
Sebagai sebuah referensi, resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/48/134 tahun 1993 mengenai Lembaga Nasional untuk Pemajuan dan Perlindungan HAM atau yang sering dikenal dengan Paris Principles yang menjadi acuan pembentukan dan kinerja Komnas HAM di semua negara anggota PBB menekankan pentingnya mempertimbangkan rekam jejak calon anggota Komnas HAM dalam hal kontribusi bagi penegakan dan perlindungan HAM.
Sehingga, bila rekam jejak ini diabaikan dan kepentingan politik diutamakan dalam proses pemilihan anggota Komnas HAM, baik itu oleh Panitia Seleksi maupun oleh DPR, maka Komnas HAM ke depan bukannya menjadi lembaga nasional penegakan dan perlindungan HAM, tapi akan menjadi lembaga pelestari impunitas.
Komnas HAM jangan terlalu gemuk
Dalam Undang Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang Komnas HAM, disebutkan bahwa anggota Komnas HAM adalah 35 orang. Kenyataannya, anggota Komnas HAM periode 2002 – 2007 yang dilantik oleh Presiden tahun 2002 berjumlah 23 orang.
Jumlah anggota Komnas HAM yang 23, dalam praktiknya menimbulkan kesulitan-kesulitan ditingkatan praktis karena masih terlalu banyak. Fakta bahwa anggota Komnas HAM memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan kepentingan yang belum tentu sama, menyebabkan proses pengambilan kebijakan, kerjasama dan koordinasi antar anggota menjadi sangat rumit. Dalam perkembangannya Komnas HAM bisa terjebak dalam conflict of interests dan birokratisme. Dalam situasi yang demikian, pekerjaan Komnas HAM yang menuntut efektifitas dan kesigapan, karena berhubungan dengan hak-hak dan nasib manusia menjadi terhalangi.
Tidak jarang pula proses pengambilan keputusan menjadi sangat lama dan berlarut-larut. Bahkan seringkali keputusan-keputusan penting yang berhubungan dengan fakta-fakta hukum dan peristiwa pelanggaran HAM dicapai melalui voting.
Dalampraktiknya selama ini, besarnya jumlah anggota Komnas HAM ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas proses dan hasil kerja yang mereka dapat. Hal ini terjadi karena banyak anggota Komnas HAM yang memang tidak punya kecakapan dan kapasitas kerja-kerja riil seperti pengkajian dan penelitian, pendidikan dan penyuluhan, mediasi dan penyelidikan. Kualitas orang-orang yang dibutuhkan oleh Komnas HAM memang tidak sekedar pemikir (thinker), publik figur dan pemimpin (leader), tetapi terutama adalah pekerja (doer).
Di India misalnya, dengan luas wilayah, kasus pelanggaran HAM dan penduduk yang jauh lebih besar dari Indonesia, jumlah anggota Komnas HAM-nya jauh lebih sedikit yaitu 5 orang. Namun mereka memiliki staff yang cukup dengan kapasitas yang baik. Hasilnya, pekerjaan mereka menjadi jauh lebih efektif dan efisien, dan Komnas HAM India menjadi bagian dari lembaga yang menjadikan India sebagai salah satu negara paling demokatis di dunia.
[1] Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan IKOHI
No comments:
Post a Comment