PROFIL
Mugiyanto, Ketua IKOHI:Tembok Penghalang Itu Begitu Tebal...
OlehSihar Ramses Simatupang
JAKARTA - “Temui saya di seminar. Besok saya ke Aceh. Nanti kita bicara di kantor, sore usai seminar,” ujar Mugiyanto, pertengahan Juli 2007 lalu.Usai aktivitasnya selama beberapa jam dalam seminar itu, nyatanya, di tengah kelelahan dia masih saja antusias bercerita. Dari orang hilang, hingga perbaikan sistem hukum dan perundang-undangan yang perlu dilakukan pemerintah saat ini.
Mugiyanto adalah orang dengan latar belakang aktivis 1998, pernah mengalami penculikan pada Mei 1998. Ketika itu, ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Ia diculik beberapa saat setelah Aan Rusdianto dan Nezar Patria diambil dari Rusun Klender, Jakarta Timur. Saat itu, ia termasuk salah satu pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mengurusi bidang internasional.
Lelaki yang sempat menjadi reporter TV asing, suka menonton Liga Inggris di televisi dan hobi memancing ini, lalu berkisah tentang kehidupan awalnya hingga menjadi Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)—organisasi yang berdiri pada 17 September 1998 dan berfokus pada advokasi terhadap keluarga orang-orang yang hilang.
“Bagaimana pun, saya tetap optimistis karena yang saya perjuangkan adalah sebuah nilai, tidak sekadar memperjuangkan sesuatu yang bisa diraba dan dipegang. Tapi sebuah value yang saya yakin itu benar dan bisa tercapai. Nilai itu adalah keadilan, justice, yang bentuknya bermacam-macam,” tegasnya.
Soal kekhawatiran gagal dalam “misi perjuangan” ini, dia merasa ini bukan tanggung jawabnya sendiri karena dilakukan secara kolektif bersama teman-teman di IKOHI. “Saya melakukannya bersama korban-korban lain, meski saya yang bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya. Tetapi justru karena itu, kekhawatiran saya jadikan sebagai dorongan untuk tidak terjadi,” ujarnya.
Mugi meyakini bahwa semua orang tua yang kehilangan anaknya pun akan bertindak seperti dirinya. Namun menurutnya, tembok penghalang untuk pengusutan kasus orang hilang masih sangat tebal, selalu saja ada pihak yang menghambat. Meski demikian, bagi Mugi, tidak ada sesuatu yang mustahil, suatu saat akan terjadi perubahan dan keadilan, sehingga perjuangannya tidak sia-sia.
Ia juga tidak setuju bila dikatakan dirinya lebih menekankan pada advokasi internasional. Sebab, menurutnya, Indonesia merupakan negara yang tidak sepenuhnya independen terhadap tekanan internasional, sehingga dukungan internasional seperti PBB dan NGO akan lebih didengarkan oleh Indonesia.
Solidaritas
Selain itu, solidaritas korban hilang tidak hanya sebatas negara, IKOHI juga menjalin solidaritas dengan korban di negara-negara lain yang punya nasib serupa, seperti dengan Amerika Latin, Filipina, Srilanka, India, dan Thailand. Mugi kini dipercaya sebagai Ketua AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances) untuk periode tiga tahun ke depan, menggantikan pejuang HAM Munir.
IKOHI memang aktif melakukan kegiatan, termasuk program penguatan korban, diskusi tentang hak-hak korban dan hak azasi manusia, serta melakukan aksi ke Istana Kepresidenan, dan aksi Kamisan.
Tentang penyelidikan Komnas HAM yang kerap berhenti di DPR karena DPR menolaknya sebagai pelanggaran berat, diakui pula oleh Mugi sebagai suatu masalah. Hanya saja, Mugi melihatnya sebagai persoalan politik. Sebab secara formal dalam peraturan perundangan, Indonesia sudah punya perangkat yang bagus misalnya Komnas HAM, Indonesia punya Kovenan Hak Ekosob, dan beberapa konvensi sudah diratifikasi. Indonesia juga punya Undang-undang HAM yang negara lain belum tentu punya.
“Di tataran formal, kondisi HAM Indonesia sudah cukup bagus. Masalahnya adalah di tataran politik, sejauh mana otoritas-otoritas politik Indonesia, baik itu DPR maupun pemerintah mengimplementasikannya. Dan karena penguasa di Indonesia tidak punya komitmen dalam hal penegakan HAM, mereka memelintir, membuat lemah, memandulkan dan menyabotase perundang-undangan yang ada,” lanjut Mugi.
Ia mencontohkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi UU No 27/2004 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, itu adalah ekspresi dari otoritas politik dalam hal ini pemerintah, yang tidak ingin mengelola masa lalu dengan baik.
Sumber: Sinar Harapan 1 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment