Media Indonesia Edisi Cetak Siang - Polkam
Senin, 26 Mei 2008 10:16 WIB
Mugiyanto, Pejuang Orang Hilang
SUDAH 10 tahun berlalu. Namun, ke-13 orang aktivis prodemokrasi yang diculik hilang tidak tahu rimbanya. Hanya segelintir orang yang masih peduli dan memperjuangkan kembalinya tumbal demokrasi tersebut. Salah seorang di antaranya adalah Mugiyanto, mantan korban penculikan yang selamat.
Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu kini mendirikan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) sebagai wadah bagi keluarga dan mereka yang peduli untuk memperjuangkan kembalinya 13 aktivis yang masih belum kembali itu jika masih hidup. Apabila sudah meninggal keluarga bisa mengetahui di mana pusaranya.
"Saya merasa beruntung, beberapa teman belum ketahuan rimbanya. Korbanlah yang harus turut memperjuangkan nasibnya, tidak bisa menyerahkan kepada orang lain," Mugiyanto memaparkan alasan pendirian organisasi yang tidak punya cukup dana itu.
Dengan Ikohi, dia telah melakukan advokasi bagi korban maupun keluarga orang hilang ke dalam dan luar negeri untuk mengembalikan 13 rekannya tersebut. Ikohi tentu juga meminta pertanggungjawaban negara karena semua korban meyakini bahwa negara melalui tentara melakukan penculikan ini secara sistematis.
Keengganan Jaksa Agung melakukan penyidikan penghilangan paksa ini tidak membuat Ikohi putus asa. Pria kelahiran Jepara, 2 November 1973 itu yakin kunci penyelesaian masalah ini ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Korban penculikan
Mugiyanto lalu mengisahkan penculikan dirinya, Jumat, 13 Maret 1998, pukul 19.00 WIB di rumah kontrakan di Klender, Jakarta Timur. Dia sempat diinterogasi di Koramil Duren Sawit sebelum dibawa ke Kodim Jakarta Timur. Dengan mata tertutup dia kemudian dibawa ke sebuah tempat yang tidak diketahuinya.
"Ketika turun dari kendaraan, saya langsung dihajar sampai jatuh dan berdarah-darah, ditelanjangi, disetrum dengan kedua tangan terikat di sebuah ruangan yang sangat dingin," ujar ayah satu anak itu.
"Saya membayangkan hidup akan berakhir di sini. Selama dua hari dua malam bersama Nezar (Patria) dan Aan (Rusdianto), mata saya diikat. Kami dihajar dan disetrum. Teman-teman yang sudah lama di sana, siksaannya lebih parah lagi," tambah sarjana lulusan Fakultas Sastra Inggris UGM itu.
Dia menduga dirinya selamat dari pembunuhan karena ditangkap dan sempat menjadi rebutan beberapa pihak, seperti Kodim, Koramil, Babinsa, polisi, dan Tim Mawar Kopassus. Anak petani itu lantas ditahan di Rutan Polda Metro Jaya sejak 15 Maret hingga 6 Juni 1998. Mugi mengaku tidak pernah merasakan kesedihan luar biasa kecuali saat ayah dan kakaknya menengok dia saat berada di tahanan polda. Suaranya pun tak terdengar, hanya terdengar isak tangis dan linangan air mata yang membasahi kedua pipinya.
Walau orang tuanya tidak ada yang tamat sekolah dasar, keduanya tetap menghargai dan bangga atas pilihan hidup putranya itu. "Hati-hati, karena yang kamu hadapi adalah negara. Mereka sangat kuat," kenang Mugiyanto soal pesan kedua orang tua.
Restu orang tua ini juga yang menjadi pendorongnya untuk tetap memperjuangkan idealisme walaupun harus berulang kali menghadapi ancaman dan berseberangan dengan kebijakan negara.
Idealisme membela yang lemah memang tidak pernah luntur dari jiwa Mugiyanto. Di saat teman-teman seperjuangannya, seperti Andi Arief menjadi Komisaris PT Pos Indonesia, Pius Lustrilanang dekat dengan Kopassus atau Desmond Junaidi Mahesa menjadi pengacara konglomerat Eka Cipta Wijaya, Mugiyanto lebih memilih keluar dari stasiun TV Belanda yang sempat menjanjikan kehidupan layak dan mendirikan Ikohi. *
xatria@mediaindonesia.co.id
No comments:
Post a Comment