I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Friday, January 16, 2009
Refleksi Ketua IKOHI
Memperingati Satu Dasawarsa IKOHI
17 September 1998 – 17 September 2008
Mensyukuri Kemenangan
(Modal Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan bagi Korban)
17 September 2008 adalah peringatan hari jadi IKOHI yang ke-10. Persis 10 tahun yang lalu, keluarga korban aktifis pro-demokrasi yang diculik oleh satuan Kopassus mendirikan tenda keprihatinan di halaman YLBHI, Jakarta. Mereka prihatin, karena pemerintah Habibie tidak segera mencari korban penculikan yang masih hilang dan menindak para pelaku. Padahal keterlibatan militer, khususnya Kopassus pada waktu itu sudah terlihat gamblang.
Untuk mengejawantahkan keprihatinan menjadi tindak perjuangan, dan dengan dorongan dari Munir, para keluarga korban yang dimotori oleh Misiati dan Raharjo Utomo (orangtua Petrus Bima Anugerah), Said Alkatiri (ayah Noval Alkatiri), Hj. Marufah (ibunda Faisol Riza), Eva Arnaz (istri Dedy Hamdun), Yuniarsih (ibunda Herman Hendrawan), serta Paian Siahaan (ayah Ucok Siahaan) mendirikan sebuah paguyuban keluarga korban penghilangan paksa yang mereka beri nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI. Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Adi Andoyo, HJC Princen dan Amin Rais, adalah beberapa saksi hidup pendirian IKOHI pada waktu itu.
Kini usia IKOHI sudah beranjak satu dekade. Pada ulang tahun IKOHI yang ke-10 ini, kami mengambil tema “Mensyukuri Kemenangan”, sebuah tema yang mungkin kontroversial, menimbulkan beribu gugat tanya atau malah mencengangkan mengingat masih jauhnya keadilan, kebenaran dan perdamaian dari hati para korban pelanggaran HAM. Namun IKOHI memiliki cara tersendiri untuk memaknainya.
Ditengah politik dan budaya impunitas yang mengental, perjuangan menuntut kita untuk cermat dan tidak hanya melihat hal-hal negatif, halangan, rintangan, hambatan dan kegagalan. Kita juga dituntut untuk melihat, menghargai dan mensyukuri beberapa kemenangan yang sering tidak kita sadari. Menghargai dan mensyukuri kemenangan akan menebalkan optimisme dan harapan bahwa yang kita perjuangkan tidaklah tanpa hasil atau gagal. Mengenali, merawat dan mensyukuri kemenangan yang ada akan menjadi energi dan tenaga perjuangan yang memang menuntut stamina prima.
IKOHI menganggap bahwa kemenangan tidak hanya selalu berarti diadilinya para pelaku, terungkapnya kebenaran dan dipenuhinya hak-hak para korban dan keluarganya. Kemenangan bagi kami bisa berwujud hal-hal sepele yang sering kita abaikan, tapi ia bermakna jauh lebih agung dari sekedar digelarnya panggung dagelan pengadilan HAM, atau dibentuknya Komisi Kebenaran yang semangatnya adalah memaafkan dan melupakan.
Tanpa sadar, kita sebenarnya telah memenangi perjuangan pertama yang sangat menentukan. Kemenangan itu adalah ketika kita, para korban dan keluarga korban mempertanyakan keadilan lalu mengorganisasikan diri. Kita musti sadar, ketika Yani Afri, Suyat, Wiji Thukul, Herman Hendrawan dan Bima dihilangkan, para penculik bermaksud menghilangkan juga semangat dan perjuangan para aktifis pro-demokrasi ini. Ketika Munir dibunuh, para pembunuh juga ingin Munir mati bersama kegiatan, semangat dan perjuangannya untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi, apakah kegiatan mereka berhenti, semangat mereka pudar dan perjuangannya luntur. Jawabannya adalah tidak! Tidak hanya keluarga yang ditinggalkan yang terus berjuang, bahkan kini kelompok masyarakat yang lain pun akhirnya menjadi pewaris nilai dan pelanjut perjuangan mereka. Sehingga menjamurlah organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM di berbagai daerah. Ini adalah kemenangan terbesar kita, kemenangan untuk tetap hidup dan berlawan, dari usaha pembungkaman, ancaman bahkan pembunuhan dan penghilangan.
Walaupun tidak ada penghukuman, digelarnya pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok juga adalah merupakan kemenangan bagi korban, masyarakat dan bagi hak asasi manusia itu sendiri. Pengadilan itu menjadi anti klimaks dari kebrutalan sebuah rejim, yang dengan alat kekerasannya yaitu polisi dan tentara pernah secara barbar menginjak-injak kemanusiaan. Walau tidak berhasil menghukum pelaku, Pengadilan HAM Ad Hoc itu pernah meminta pertanggungjawaban pihak dan orang-orang yang pada masa Orde Baru sangat berkuasa dan karenanya menakutkan. Walaupun gagal, Pengadilan HAM Ad Hoc telah berhasil memberi pelajaran penting bagi aparat represif negara untuk tidak semena-mena diwaktu mendatang.
Demikian juga proses hukum dalam bentuk penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat seperti kasus Mei 1998, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1997 – 1998, Lampung 1989, Wamena dan lain-lainnya. Walaupun semuanya berhenti di laci Jaksa Agung, mereka adalah hasil dari buah perjuangan korban dan keluarganya, serta kelompok masyarakat yang mengagungkan ditegakkannya hak-hak asasi manusia.
Masih banyak dan teramat banyak kemenangan-kemenangan para korban untuk diuraikan disini. Orang boleh bilang, bahwa itu hanyalah kemenangan-kemenangan kecil. Tapi kita musti tahu, kemenangan-kemenangan kecillah yang akan membuka jalan bagi kemenangan-kemenangan besar. Kemenangan besar hanya bisa diraih bila kemenangan-kemenangan kecil sudah didapat. Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam sebuah rejim yang tidak bersahabat dengan hak asasi manusia sungguh luar biasa berat. Ia seperti perjuangan untuk menumbangkan rejim itu sendiri. Dalam hal ini, sastrawan asal Ceko Milan Kundera secara persis mengatakan dalam bukunya “the Book of Laughter and Forgetting” bahwa “the struggle of man against power is like the struggle of memory against forgetting”.
10 tahun sejak IKOHI berdiri, bukanlah waktu yang singkat untuk berjuang. Terlebih lagi bagi para korban pelanggaran HAM yang peristiwanya terjadi jauh sebelum itu, seperti korban peristiwa pembantaian paska 30 September 1965, DOM di Aceh dan Papua, Tanjung Priok, Lampung, Petrus dan sebagainya. Mereka telah berjuang sejak peristiwa terjadi hingga ke seluruh sisa hidupnya.
Dari sini, saya mencoba melontarkan sebuah pertanyaan, yang menurut saya layak untuk kita renungkan jawabannya. Karena dari sana kita mungkin bisa memetik makna atau hikmah. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat para korban sanggup bertahan untuk berjuang sedemikian lama? Energi apa yang mereka miliki untuk menjaga stamina perjuangan?
Dalam buku “Api Dilawan Air; Sosok dan Pemikiran Munir” yang diterbitkan LP3ES disebutkan bahwa Munir adalah orang yang sangat percaya pada sikap optimis. Optimisme dapat menggiring orang pada kehidupan yang lebih baik. Sikap optimis dapat membuat orang percaya pada pengharapan. Sikap itu juga dapat menuntun orang memahami kemanusiaan yang sesungguhnya.
Demikianlah, optimisme membuat orang hidup dan terus berusaha. Optimisme bisa muncul ketika kita memiliki harapan. Harapan bisa ada karena contoh-contoh dan pengalaman-pengalaman keberhasilan dan kemenangan. Disinilah pentingya kita menghargai keberhasilan dan kemenangan. Dan salah salah satu wujud penghargaan kita terhadap keberhasilan dan kemenangan adalah dengan mensyukurinya.
Ketika didirikan 10 tahun lalu, yang kemudian disempurnakan pada Kongres I tanggal 11 sampai 14 Oktober 2002, kami ingin menjadikan IKOHI sebagai wadah perjuangan korban. Kami berkeyakinan bahwa sudah waktunya korban harus mengubah diri menjadi penyintas, atau bahkan pejuang. Korban harus menjadi pelaku atau subjek dari perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, untuk selanjutnya bergandengan tangan dengan para aktifis HAM atau siapapun yang menginginkan ditegakkannya keadilan di negeri ini. Korban dan keluarga korban kami yakini sebagai entitas yang paling punya kepentingan dan sah untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri atau keluarganya yang dijadikan korban oleh negara.
Sejak didirikan, IKOHI telah mengalami berbagai dinamika pasang surut dan metamorfosa. Dari paguyuban yang terdiri dari puluhan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998, IKOHI kemudian menjadi organisasi korban penghilangan paksa di seluruh Indonesia. Bahkan sejak Kongres II di Makassar pada tanggal 6-8 Maret 2006 IKOHI disepakati untuk menjadi wadah organisasi korban dan keluarga korban berbagai tindak pelanggaran HAM di seluruh Indonesia, tidak hanya penghilangan paksa saja. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa bagi korban untuk bersatu, menghilangkan sekat-sekat peristiwa, kasus dan wilayah. Hal ini juga didasari pada pengalaman bahwa korban pelanggaran HAM apapun, dimanapun, didasari konteks politik seperti apapun dampaknya bagi korban adalah sama, yaitu penderitaan.
Satu dasawarsa sudah usia IKOHI hari ini. Dengan prioritas kerja pada pemberdayaan dan penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta kampanye penyelesaian kasus oleh negara, IKOHI telah turut memberi warna pada keadaan hak asasi manusia pada hari ini. Memang masih jauh untuk bisa dikatakan baik, terutama bila diukur pada sejauh mana negara mengungkap kebenaran, meminta pertanggungjawaban pada para pelaku dan pemenuhan hak hak korban. Tetapi tidak bisa dikatakan pula bahwa perjuangan IKOHI gagal. Dengan segala keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia, dukungan dana, masyarakat dan terutama politik HAM pemerintah yang masih melanggengkan impunitas, IKOHI masih bisa bersama dengan korban memperjuangkan digelarnya pengadilan HAM, didirikannya Komisi Kebenaran dan merespon isu-isu mutahir lainnya seperti pembunuhan pemimpin kami, Munir. Dengan dukungan berbagai pihak, IKOHI juga bisa menjalankan program layanan konsultasi psikologis, biaya bantuan sekolah bagi anak-anak korban, menggelar pendidikan HAM di beberapa daerah, pelatihan psikososial, merintis usaha ekonomi mandiri dan koperasi seperti yang kami lakukan di Jakarta.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh keluarga korban penculikan aktifis tahun 1997-1998, IKOHI berhasil mengawal proses hingga Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan ad hoc untuk kasus tersebut, yang sayangnya kini di peti-eskan oleh jaksa Agung.
Di kancah internasional IKOHI juga telah bisa turut berperan aktif di forum-forum sidang Komisi HAM dan Dewan HAM PBB, terutama setelah IKOHI menjadi anggota Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) pada tahun 2003. Semua aktifitas itu ditujukan untuk menarik dukungan komunitas internasional agar mendesak dan mendorong Indonesia taat pada prinsip-prinsip HAM universal dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dan memperhatikan hak-hak korban. IKOHI juga secara rutin berkomunikasi dengan Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID) dengan melaporkan kasus-kasus penghilangan paksa secara individual. Bahkan khusus untuk isu penghilangan paksa, IKOHI berbahagia telah turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lobby di PBB hingga akhirnya Konvensi Internasional tentang Penghilangan Orang Secara Paksa disahkan oleh PBB pada bulan Desember 2006. Dan sebagai pengakuan atas sepak terjang IKOHI itu, ketua IKOHI, Mugiyanto akhirnya dipilih secara konsensus untuk menjadi Ketua AFAD dalam Kongres ke-3 di KatmandĂș, Nepal akhir tahun2006 yang lalu.
Keberhasilan IKOHI melewati satu dasawarsa atau satu dekade ini tak lain dan tak bukan adalah karena kerjasama dan dukungan segenap keluarga korban yang selama ini hidup dan berjuang bersama-sama IKOHI. Tanpa mereka dan dukungan mereka, IKOHI bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Organisasi-organisasi daerah yang merupakan jaringan IKOHI seperti SPKP-HAM Aceh, SKP-HAM Sulteng, Sulsel dan Sultra, IKOHI K2N, serta IKOHI Jateng dan Jatim adalah jaringan utama kami, tempat para korban membangun dan menjalin solidaritas. Demikian juga Kontras Jakarta, Aceh, Papua dan Medan, serta Elsam, ICTJ, Praxis, Yayasan Pulih, ICMC, VHR dan Imparsial adalah lembaga-lembaga yang sangat berperan membesarkan dan menguatkan kami.
Terima kasih juga kami sampaikan atas dukungan dan kerjasamanya; Demos, HRWG, YLBHI, PSHK, PEC, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Ultimus, Media Bersama dan lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu, serta kawan-kawan yang bersama di jaringan gerakan HAM dan demokrasi; PRP, KORBAN, FPN dan gerakan sektoral lainnya. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada lembaga-lembaga yang telah memberikan dukungan finansial demi suksesnya program-program IKOHI seperti Yayasan Tifa, Kedutaan Besar Swiss, Hivos, IALDF, ICMC, AFAD, Tapol, EKD, the Bodyshop, Forum Asia, Kedutaan Besar Argentina, dll.
Menginjak usai ke-11, IKOHI akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran untuk memperbaiki dan melanjutkan apa yang telah kami raih. Menghargai dan mensyukuri kemenangan, walaupun yang terkecil sekalipun, akan kami jadikan sebagai modal untuk bersiap dalam perjuangan jangka panjang, terutama dengan memprioritaskan pada dipenuhinya hak-hak korban akan keadilan, kebenaran, perdamaian, jaminan ketidakberulangan serta pemulihan fisik dan mental.
Selamat Ulang Tahun IKOHI!
Jakarta, 17 September 2008
Pansus Penghilangan Paksa DPR
Dimana 13 Korban Penculikan Aktifis 1997-1998?
Mugiyanto
”Aparicion con Vida!” (Lepaskan mereka hidup-hidup!)
Seruan itu masih terdengar sampai kini, setiap hari Kamis sore di Plaza de Mayo, di depan istana Presiden Argentina Casa Rosada di jantung kota Buenos Aires. Adalah para ibu yang kehilangan suami dan anaknya pada akhir tahun 1970 dan awal 1980-an ketika Argentina dipimpin oleh junta militer yang bengis yang meneriakkan tuntutan itu. Mereka menuntut agar para korban dikembalikan dalam keadaan hidup, karena mereka diambil oleh para penculik dalam keadaan hidup. Kini, 30 tahun kemudian, para ibu itu masih mengulang-ulang hal yang sama, setiap Kamis sore, berjalan berputar di Plaza de Mayo.
Di Indonesia, hal yang sama terjadi. Selama 10 tahun terakhir, keluarga korban penghilangan paksa periode 1997 -1998 tak henti-hentinya berjuang dan meneriakkan tuntutan ”Kembalikan mereka!”. Berbagai upaya mereka lakukan untuk merealisasikan tuntutan itu, salah satunya adalah dengan menggabungkan diri bersama keluarga korban pelanggaran HAM yang lain dengan menggelar aksi keprihatinan rutin setiap Kamis sore di depan istana negara.
Setelah 10 tahun diperjuangkan, kini tersiar kabar, Pansus DPR untuk Orang Hilang dihidupkan lagi. Tapi pertanyaan besarnya adalah, apakan Pansus DPR adalah jalan yang baik untuk menyelesaikan kasus tersebut secara adil dan menyeluruh? Tulisan ini akan menjelaskan beberapa pemikiran tentang proses yang hendak berjalan dan harapan-harapan keluarga korban.
Pansus bekerja kembali
Sebulan lalu, pemberitaan mengenai berjalannya kembali Pansus DPR untuk kasus Penghilangan Paksa Aktifis tahun 1997-1998 menyeruak di media massa.
Ketua Pansus DPR Effendi Simbolon mengatakan bahwa Pansus akan melakukan pemanggilan kepada sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangannya. Beberapa diantaranya adalah keluarga korban, lembaga-lembaga pendamping dan mereka yang diduga terlibat seperti Prabowo Subianto, Wiranto, SBY dll. Namun dari pihak keluarga korban dan lembaga pendamping yang diundang, hanya SETARA Institute pimpinan Hendardi yang datang. Mereka menolak datang ke DPR dan justru mengundang Pansus DPR yang datang ke kantor Kontras. Mereka menolak datang, karena mereka sedang menguji keseriusan Pansus
Terang saja pansus Sebagian besar orang lebih melihatnya sebagai manuver politik para politisi di Senayan menjelang Pemilu 2009 daripada sebagai usaha penyelesaian kasus. Para penyintas, keluarga korban dan lembaga-lembaga HAM menyambutnya dengan hati-hati. Dimulainya kembali pekerjaan Pansus diharapkan bisa membawa penyelesaian kasus secara hukum. Namun di lain pihak, ada juga kekhawatiran akan terjadinya politisasi yang bisa memupuskan harapan korban dan masyarakat akan keadilan. Pansus bisa menjadi pisau bermata dua. Yang akan menentukan adalah hati nurani para politisi di Senayan, dan kawalan masyarakat sipil terhadap proses ini.
Secara normatif, kita patut memberikan apresiasi kepada Pansus yang tiba-tiba bekerja kembali setelah lebih dari setahun tidak kedengaran aktifitasnya. Namun pekerjaan Pansus ini harus dikawal secara ketat oleh masyarakat untuk menghindari adanya politisasi yang pada akhirnya justru bisa merugikan masyarakat dan korban. Pansus DPR kasus Trisakti/Semanggi I dan Semanggi II (TSS) adalah contoh nyata proses dan hasil politisasi karena mereka memberikan keputusan politik yang sama sekali bertentangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran berat HAM pada peristiwa TSS, sementara Rapat Paripurna DPR memutuskan tidak adanya pelanggaran HAM pada peristiwa tersebut. Kasus TSS kini berhenti karena dianggap selesai oleh DPR.
Belajar dari pengalam tersebut, politisasi kasus mustinya dicegah dan dihindari. Salah satu cara yang kami tawarkan adalah agar Pansus DPR tidak perlu melakukan pemeriksaan dan penyelidikan ulang atas kasus yang ditangani. Karena DPR bukan lembaga penyelidik, Pansus seharusnya langsung mengukuhkan temuan Komnas HAM dan merekomendasikan Presiden agar segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Kekhawatiran politisasi
Kekhawatiran korban dan masyarakat akan politisasi kasus hukum untuk kepentingan politik ini bukanlah tak beralasan. Pansus DPR ini sebenarnya sudah dibentuk pada bulan Februari 2007 dan diketuai oleh Panda Nababan dari Fraksi PDIP. Keluarga korban dan lembaga-lembaga pendamping sempat menyampaikan penolakannya waktu itu. Namun, sebelum sempat menjalankan pekerjaannya, Pansus ini kemudian seperti hilang ditelan jaman.
Tiba-tiba, pada pertengahan bulan Oktober 2008, muncul berita di berbagai media yang mengutip Ketua Pansus Orang Hilang DPR, Efendi Simbolon bahwa Pansus DPR ini akan bekerja kembali dengan melakukan pemanggilan sejumlah pihak, terutama para purnawirawan seperti Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Letjen (Purn) Sutiyoso, Mayjen (Purn) Muchdi PR, Presiden SBY, dll untuk dimintai keterangannya sehubungan dengan kasus penculikan aktifis tahun 1997-1998. Tentu saja berita ini sangat spektakuler, terutama karena mereka yang akan diundang itu adalah para kandidat calon presiden dalam Pemilu 2009. Dari sinilah aroma dan tuduhan serta kekhawatiran bahwa Pansus hanyalah alat manuver politik anggota Pansus mulai tercium.
Pemanggilan yang sama untuk para korban, keluarga korban dan lembaga-lembaga pendamping juga kami khawatirkan sebagai usaha Pansus untuk menggelar “panggung politik terbuka” yang rentan untuk dimanfaatkan oleh siapapun, untuk kepentingan apapun. Pemanggilan-pemanggilan ini menurut kami rentan dengan terjadinya politisasi, buang-buang waktu, tenaga dan uang negara. Dan yang paling kami khawatirkan adalah bila hal-hal tersebut menjadikan hasil Pansus ini melenceng dari tujuan semula, yaitu untuk merekomendasikan Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Bila hal ini terjadi, maka korban yang telah berjuang dan menunggu selama 10 tahun terakhir akan dikorbankan kembali untyuk yang kesekian kalinya.
Kasus belum selesai
Menanggapi rencana kerja Pansus ini, pemerintah melalui Jaksa Agung Hendarman Supanji mengatakan bahwa kasus penghilangan paksa aktifis demokrasi sudah selesai tuntas karena Pengadilan Militer atas 11 anggota Tim Mawar Kopassus sudah digelar atas 9 korban yang telah dilepaskan. Sebelas orang anggota Tim Mawar itu juga dinyatakan sudah menjalani hukumannya. Pemberian sanksi pensiun dini dan pemberhentian dari dinas kemiliteran atas nama Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Mayjen (Purn) Muchdi PR dan Kol. Chairawan juga disebutkan sebagai alasan sudah selesainya kasus ini. Karena prinsip ne bis in idem dan tidak boleh adanya double jeopardy, kasus tersebut dinyatakan tidak boleh dilanjutkan kembali.
Ada beberapa hal yang perlu kita lihat dari proses Pengadilan Militer tahun 1998 tersebut. Pertama, pengadilan militer adalah pengadilan untuk domain pelanggaran disiplin militer, dan bukan untuk tindak pelanggaran berat HAM seperti penghilangan orang secara paksa. Kedua, 11 anggota Tim Mawar Kopassus tersebut dihukum karena pelanggaran pidana dan disiplin militer yang mereka lakukan, dan bukan atas tindak pidana umum, terlebih lagi pidana pelanggaran HAM yang berat seperti perampasan kemerdekaan, penganiayaan, penyiksaan, penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Dari sini bisa diartikan bahwa 11 orang tersebut belum diadili untuk tindak pidana mereka terhadap para korban.
Sementara itu, para perwira seperti Danjen Kopassus ketika peristiwa terjadi, Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR dan Kolonel Chairawan hanya diberi sanksi oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang dibentuk oleh Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Dan DKP bukanlah sebuah mekanisme pengadilan pidana.
Dari penjelasan di atas, azas ne bis in idem dan double jeopardy sama sekali tidak relevan disampaikan untuk menghambat usaha penyelesaian kasus. Kenyataannya, kasus ini masih merupakan kasus yang belum selesai (outstanding case).
SBY mengetahui
Pemerintah melalui Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi juga mengatakan bahwa selama berkarir di Militer, SBY sama sekali tidak terlibat dalam kasus penculikan aktifis tahun 1997-1998. Apa yang disampaikan pemerintah tersebut bisa jadi benar. Namun paling tidak, menurut catatan sejarah, SBY adalah salah satu anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bersama dengan Subagyo HS, Fachrul Razi, Yusuf Kertanegara, Agum Gumelar, Djamari Chaniago dan Achmad Sutjipto.
DKP yang dibentuk oleh Pangab/Menhankam Jenderal Wiranto ini bertugas untuk memeriksa tabiat atau perbuatan perwira yang nyata-nyata melanggar kode kehormatan perwira, juga melanggar disiplin keprajuritan dan ABRI. Dewan ini akan bersidang dan akan memberikan keputusan berupa pertimbangan kepada Panglima ABRI. untuk menyelidiki keterlibatan sejumlah perwira dalam penculikan aktifis.
Sebagai anggota DKP, SBY adalah orang yang turut memeriksa Prabowo, Muchdi PR dan Chairawan. Dari sana publik bisa menyimpulkan bahwa setidaknya SBY mengetahui peristiwa tersebut, termasuk informasi seputar nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, SBY juga harus turun tangan mengambil langkah-langkah politik, seperti dengan memerintahkan Panglima TNI membuka dokumen DKP dan berkas penyidikan di Puspom TNI dan dokumen di Kopassus dalam rangka mencari kejelasan nasib 13 korban yang masih hilang. Presiden SBY juga perlu minta maaf dan memberikan hak-hak rehabilitasi kepada korban dan keluarga korban yang telah 10 tahun berada dalam ketidakpastian.
Langkah politik ini perlu diambil karena langkah hukum saja tidak cukup untuk menyelesaikan kasus yang dimensinya kompleks. Hal ini berhubungan dengan adanya dugaan keterlibatan para jenderal purnawirawan TNI serta karakteristik tindakan penghilangan paksa yang tidak hanya mengorbankan korban yang diculik, tetapi juga keluarganya dan masyarakat yang mengalami dampak penderitaan lanjutan karena ketidakjelasan status dan keberadaan para korban.
Mengutamakan 13 korban yang masih hilang
Karakteristik tindak dan dampak penghilangan paksa yang sedemikian besar dan kompleks lantas memunculkan tuntutan umum keluarga korban, yaitu mengetahui kepastian nasib sanak atau anggota keluarga korban yang hilang. Mereka terus menyatakan siap menerima informasi seburuk apapun. “Kalau mereka sudah meninggal, kami ingin tahu di mana kuburannya. Dan kalau mereka masih hidup, kita ingin tahu di mana mereka sekarang”. Begitu kalimat keluarga korban yang selalu muncul ketika ditanya apa keinginan tertinggi mereka.
Kejelasan nasib 13 korban yang masih hilang ini seharusnya yang menjadi perhatian utama Pansus DPR dan Pemerintah. Tanpa adanya kejelasan mengenai nasib ke-13 orang yang masih hilang, kasus ini tidak akan pernah bisa dinyatakan selesai.
Tantangannya kini ada di DPR dan Pemerintah. Masyarakat akan menyaksikan, apakah Pansus DPR ini memang dihidupkan lagi sekedar untuk dijadikan alat politik, atau untuk kepentingan penegakan hukum, HAM dan keadilan. Di sanalah kehormatan lembaga negara yang bernama DPR dipertaruhkan.
Demikian juga presiden. Masyarakat akan menjadi saksi perwujudan janji-janji manis penegakan dan perlindungan HAM yang sering diucapkan oleh Presiden SBY.
November 2008
60 Years of UDHR
60 Years of UDHR;
Dignity and Justice for All the Disappeared
The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) turns 60 on 10 December 2008. The document which confirms the acceptance of 30 rights was adopted by UN member states on 10 December 1948. It began as an initiative of governments, but today it is the common goal of people everywhere. In this years’s anniversary, the United Nations put the theme “Dignity and Justice for All of Us”. AFAD, as a regional federation working directly on the issue of disappearances in Asia modifies it in accordance with its mandate, “Dignity and Justice for All the Disappeared”. It marks the importance of the continuing struggle for the dignity and justice of all disappeared person all over the world.
Although the declaration has been adopted 60 years ago, all must still have to work very hard together to make that promise of universal, indivisible human rights a reality. Our world of today is still marked with practices that are obviously in strong contradiction with such universal value of human rights. Genocide, mass atrocities and armed conflicts in Darfur Sudan, Democratic Republic of Congo, Zimbabwe, Iraq, Srilanka, India, Pakistan, Afghanistan, Southern Thailand, Philippines, Columbia and many others are some of the examples. Recent heinous terrorists act like the one in Mumbay, India is another warning for the world order of the day.
Asia is still a continent no better than others in the sense of human rights realities. Countries like Srilanka, Nepal, Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh, China, Burma, Thailand, Malaysia, Indonesia, Philippines, Timor Leste, are still safe havens for the commission of human rights violation. The ongoing practices of extrajudicial killings and disappearances in the Philippines and repressions against human rights defenders in Kashmir, India are few to mention.
The latter refers to an event when Attorney Parvez Imroz, President of the Jammu and Kashmir Coalition of Civil Society (JKCCS) along with a team of around 50 volunteers composed of journalists, human rights activists, trade union activists from within and outside Kashmir, were beaten and detained in Bandipora when monitoring the first phase of the Jammu and Kashmir State Legislative Assembly Election in November 2008. Thanks to the massif supports and solidarity from fellow civil society in Kashmir and International community that all the detained were finally released the day after their arrest.
In the context of the struggle for the world without enforced disappearances, many efforts still need to be done. Almost two years after its adoption of the United Nations Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances by the UN General Assembly, only 6 ratification and 78 signatures are achieved despite of the fact that it needs only 20 ratifications to enter into force. Of the six ratifications, none is from Asia.
Despites of the difficult journey, the 60th anniversary of the UDHR also bring hopes to some improvement in the level of formal human rights performance. Some of the indications among others are the development of the Bill criminalizing disappearances in Nepal that has been submitted by the government in November to the Constituent Assembly. This Bill second the existing similar Bill in the Philippines that has been the Bill for more than a decade.
Some judicial processes on the cases of disappearances are also undergoing progress like the one in Indonesia, on the case of disappearances of pro democracy activists in 1997-1998. The case is now awaiting investigation and prosecution before the ad hoc human rights court in Jakarta.
The struggle for dignity and justice for everyone is never easy. But the Universal declaration of Human Rights which covers 30 rights have given us foundation and conviction that it is not impossible. But it is so only when it is being done together.
Dignity and justice for all disappeared.
December 10, 2008
Dignity and Justice for All the Disappeared
The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) turns 60 on 10 December 2008. The document which confirms the acceptance of 30 rights was adopted by UN member states on 10 December 1948. It began as an initiative of governments, but today it is the common goal of people everywhere. In this years’s anniversary, the United Nations put the theme “Dignity and Justice for All of Us”. AFAD, as a regional federation working directly on the issue of disappearances in Asia modifies it in accordance with its mandate, “Dignity and Justice for All the Disappeared”. It marks the importance of the continuing struggle for the dignity and justice of all disappeared person all over the world.
Although the declaration has been adopted 60 years ago, all must still have to work very hard together to make that promise of universal, indivisible human rights a reality. Our world of today is still marked with practices that are obviously in strong contradiction with such universal value of human rights. Genocide, mass atrocities and armed conflicts in Darfur Sudan, Democratic Republic of Congo, Zimbabwe, Iraq, Srilanka, India, Pakistan, Afghanistan, Southern Thailand, Philippines, Columbia and many others are some of the examples. Recent heinous terrorists act like the one in Mumbay, India is another warning for the world order of the day.
Asia is still a continent no better than others in the sense of human rights realities. Countries like Srilanka, Nepal, Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh, China, Burma, Thailand, Malaysia, Indonesia, Philippines, Timor Leste, are still safe havens for the commission of human rights violation. The ongoing practices of extrajudicial killings and disappearances in the Philippines and repressions against human rights defenders in Kashmir, India are few to mention.
The latter refers to an event when Attorney Parvez Imroz, President of the Jammu and Kashmir Coalition of Civil Society (JKCCS) along with a team of around 50 volunteers composed of journalists, human rights activists, trade union activists from within and outside Kashmir, were beaten and detained in Bandipora when monitoring the first phase of the Jammu and Kashmir State Legislative Assembly Election in November 2008. Thanks to the massif supports and solidarity from fellow civil society in Kashmir and International community that all the detained were finally released the day after their arrest.
In the context of the struggle for the world without enforced disappearances, many efforts still need to be done. Almost two years after its adoption of the United Nations Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances by the UN General Assembly, only 6 ratification and 78 signatures are achieved despite of the fact that it needs only 20 ratifications to enter into force. Of the six ratifications, none is from Asia.
Despites of the difficult journey, the 60th anniversary of the UDHR also bring hopes to some improvement in the level of formal human rights performance. Some of the indications among others are the development of the Bill criminalizing disappearances in Nepal that has been submitted by the government in November to the Constituent Assembly. This Bill second the existing similar Bill in the Philippines that has been the Bill for more than a decade.
Some judicial processes on the cases of disappearances are also undergoing progress like the one in Indonesia, on the case of disappearances of pro democracy activists in 1997-1998. The case is now awaiting investigation and prosecution before the ad hoc human rights court in Jakarta.
The struggle for dignity and justice for everyone is never easy. But the Universal declaration of Human Rights which covers 30 rights have given us foundation and conviction that it is not impossible. But it is so only when it is being done together.
Dignity and justice for all disappeared.
December 10, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)