I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Friday, January 16, 2009
Pansus Penghilangan Paksa DPR
Dimana 13 Korban Penculikan Aktifis 1997-1998?
Mugiyanto
”Aparicion con Vida!” (Lepaskan mereka hidup-hidup!)
Seruan itu masih terdengar sampai kini, setiap hari Kamis sore di Plaza de Mayo, di depan istana Presiden Argentina Casa Rosada di jantung kota Buenos Aires. Adalah para ibu yang kehilangan suami dan anaknya pada akhir tahun 1970 dan awal 1980-an ketika Argentina dipimpin oleh junta militer yang bengis yang meneriakkan tuntutan itu. Mereka menuntut agar para korban dikembalikan dalam keadaan hidup, karena mereka diambil oleh para penculik dalam keadaan hidup. Kini, 30 tahun kemudian, para ibu itu masih mengulang-ulang hal yang sama, setiap Kamis sore, berjalan berputar di Plaza de Mayo.
Di Indonesia, hal yang sama terjadi. Selama 10 tahun terakhir, keluarga korban penghilangan paksa periode 1997 -1998 tak henti-hentinya berjuang dan meneriakkan tuntutan ”Kembalikan mereka!”. Berbagai upaya mereka lakukan untuk merealisasikan tuntutan itu, salah satunya adalah dengan menggabungkan diri bersama keluarga korban pelanggaran HAM yang lain dengan menggelar aksi keprihatinan rutin setiap Kamis sore di depan istana negara.
Setelah 10 tahun diperjuangkan, kini tersiar kabar, Pansus DPR untuk Orang Hilang dihidupkan lagi. Tapi pertanyaan besarnya adalah, apakan Pansus DPR adalah jalan yang baik untuk menyelesaikan kasus tersebut secara adil dan menyeluruh? Tulisan ini akan menjelaskan beberapa pemikiran tentang proses yang hendak berjalan dan harapan-harapan keluarga korban.
Pansus bekerja kembali
Sebulan lalu, pemberitaan mengenai berjalannya kembali Pansus DPR untuk kasus Penghilangan Paksa Aktifis tahun 1997-1998 menyeruak di media massa.
Ketua Pansus DPR Effendi Simbolon mengatakan bahwa Pansus akan melakukan pemanggilan kepada sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangannya. Beberapa diantaranya adalah keluarga korban, lembaga-lembaga pendamping dan mereka yang diduga terlibat seperti Prabowo Subianto, Wiranto, SBY dll. Namun dari pihak keluarga korban dan lembaga pendamping yang diundang, hanya SETARA Institute pimpinan Hendardi yang datang. Mereka menolak datang ke DPR dan justru mengundang Pansus DPR yang datang ke kantor Kontras. Mereka menolak datang, karena mereka sedang menguji keseriusan Pansus
Terang saja pansus Sebagian besar orang lebih melihatnya sebagai manuver politik para politisi di Senayan menjelang Pemilu 2009 daripada sebagai usaha penyelesaian kasus. Para penyintas, keluarga korban dan lembaga-lembaga HAM menyambutnya dengan hati-hati. Dimulainya kembali pekerjaan Pansus diharapkan bisa membawa penyelesaian kasus secara hukum. Namun di lain pihak, ada juga kekhawatiran akan terjadinya politisasi yang bisa memupuskan harapan korban dan masyarakat akan keadilan. Pansus bisa menjadi pisau bermata dua. Yang akan menentukan adalah hati nurani para politisi di Senayan, dan kawalan masyarakat sipil terhadap proses ini.
Secara normatif, kita patut memberikan apresiasi kepada Pansus yang tiba-tiba bekerja kembali setelah lebih dari setahun tidak kedengaran aktifitasnya. Namun pekerjaan Pansus ini harus dikawal secara ketat oleh masyarakat untuk menghindari adanya politisasi yang pada akhirnya justru bisa merugikan masyarakat dan korban. Pansus DPR kasus Trisakti/Semanggi I dan Semanggi II (TSS) adalah contoh nyata proses dan hasil politisasi karena mereka memberikan keputusan politik yang sama sekali bertentangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran berat HAM pada peristiwa TSS, sementara Rapat Paripurna DPR memutuskan tidak adanya pelanggaran HAM pada peristiwa tersebut. Kasus TSS kini berhenti karena dianggap selesai oleh DPR.
Belajar dari pengalam tersebut, politisasi kasus mustinya dicegah dan dihindari. Salah satu cara yang kami tawarkan adalah agar Pansus DPR tidak perlu melakukan pemeriksaan dan penyelidikan ulang atas kasus yang ditangani. Karena DPR bukan lembaga penyelidik, Pansus seharusnya langsung mengukuhkan temuan Komnas HAM dan merekomendasikan Presiden agar segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Kekhawatiran politisasi
Kekhawatiran korban dan masyarakat akan politisasi kasus hukum untuk kepentingan politik ini bukanlah tak beralasan. Pansus DPR ini sebenarnya sudah dibentuk pada bulan Februari 2007 dan diketuai oleh Panda Nababan dari Fraksi PDIP. Keluarga korban dan lembaga-lembaga pendamping sempat menyampaikan penolakannya waktu itu. Namun, sebelum sempat menjalankan pekerjaannya, Pansus ini kemudian seperti hilang ditelan jaman.
Tiba-tiba, pada pertengahan bulan Oktober 2008, muncul berita di berbagai media yang mengutip Ketua Pansus Orang Hilang DPR, Efendi Simbolon bahwa Pansus DPR ini akan bekerja kembali dengan melakukan pemanggilan sejumlah pihak, terutama para purnawirawan seperti Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Letjen (Purn) Sutiyoso, Mayjen (Purn) Muchdi PR, Presiden SBY, dll untuk dimintai keterangannya sehubungan dengan kasus penculikan aktifis tahun 1997-1998. Tentu saja berita ini sangat spektakuler, terutama karena mereka yang akan diundang itu adalah para kandidat calon presiden dalam Pemilu 2009. Dari sinilah aroma dan tuduhan serta kekhawatiran bahwa Pansus hanyalah alat manuver politik anggota Pansus mulai tercium.
Pemanggilan yang sama untuk para korban, keluarga korban dan lembaga-lembaga pendamping juga kami khawatirkan sebagai usaha Pansus untuk menggelar “panggung politik terbuka” yang rentan untuk dimanfaatkan oleh siapapun, untuk kepentingan apapun. Pemanggilan-pemanggilan ini menurut kami rentan dengan terjadinya politisasi, buang-buang waktu, tenaga dan uang negara. Dan yang paling kami khawatirkan adalah bila hal-hal tersebut menjadikan hasil Pansus ini melenceng dari tujuan semula, yaitu untuk merekomendasikan Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Bila hal ini terjadi, maka korban yang telah berjuang dan menunggu selama 10 tahun terakhir akan dikorbankan kembali untyuk yang kesekian kalinya.
Kasus belum selesai
Menanggapi rencana kerja Pansus ini, pemerintah melalui Jaksa Agung Hendarman Supanji mengatakan bahwa kasus penghilangan paksa aktifis demokrasi sudah selesai tuntas karena Pengadilan Militer atas 11 anggota Tim Mawar Kopassus sudah digelar atas 9 korban yang telah dilepaskan. Sebelas orang anggota Tim Mawar itu juga dinyatakan sudah menjalani hukumannya. Pemberian sanksi pensiun dini dan pemberhentian dari dinas kemiliteran atas nama Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Mayjen (Purn) Muchdi PR dan Kol. Chairawan juga disebutkan sebagai alasan sudah selesainya kasus ini. Karena prinsip ne bis in idem dan tidak boleh adanya double jeopardy, kasus tersebut dinyatakan tidak boleh dilanjutkan kembali.
Ada beberapa hal yang perlu kita lihat dari proses Pengadilan Militer tahun 1998 tersebut. Pertama, pengadilan militer adalah pengadilan untuk domain pelanggaran disiplin militer, dan bukan untuk tindak pelanggaran berat HAM seperti penghilangan orang secara paksa. Kedua, 11 anggota Tim Mawar Kopassus tersebut dihukum karena pelanggaran pidana dan disiplin militer yang mereka lakukan, dan bukan atas tindak pidana umum, terlebih lagi pidana pelanggaran HAM yang berat seperti perampasan kemerdekaan, penganiayaan, penyiksaan, penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Dari sini bisa diartikan bahwa 11 orang tersebut belum diadili untuk tindak pidana mereka terhadap para korban.
Sementara itu, para perwira seperti Danjen Kopassus ketika peristiwa terjadi, Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR dan Kolonel Chairawan hanya diberi sanksi oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang dibentuk oleh Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Dan DKP bukanlah sebuah mekanisme pengadilan pidana.
Dari penjelasan di atas, azas ne bis in idem dan double jeopardy sama sekali tidak relevan disampaikan untuk menghambat usaha penyelesaian kasus. Kenyataannya, kasus ini masih merupakan kasus yang belum selesai (outstanding case).
SBY mengetahui
Pemerintah melalui Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi juga mengatakan bahwa selama berkarir di Militer, SBY sama sekali tidak terlibat dalam kasus penculikan aktifis tahun 1997-1998. Apa yang disampaikan pemerintah tersebut bisa jadi benar. Namun paling tidak, menurut catatan sejarah, SBY adalah salah satu anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bersama dengan Subagyo HS, Fachrul Razi, Yusuf Kertanegara, Agum Gumelar, Djamari Chaniago dan Achmad Sutjipto.
DKP yang dibentuk oleh Pangab/Menhankam Jenderal Wiranto ini bertugas untuk memeriksa tabiat atau perbuatan perwira yang nyata-nyata melanggar kode kehormatan perwira, juga melanggar disiplin keprajuritan dan ABRI. Dewan ini akan bersidang dan akan memberikan keputusan berupa pertimbangan kepada Panglima ABRI. untuk menyelidiki keterlibatan sejumlah perwira dalam penculikan aktifis.
Sebagai anggota DKP, SBY adalah orang yang turut memeriksa Prabowo, Muchdi PR dan Chairawan. Dari sana publik bisa menyimpulkan bahwa setidaknya SBY mengetahui peristiwa tersebut, termasuk informasi seputar nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, SBY juga harus turun tangan mengambil langkah-langkah politik, seperti dengan memerintahkan Panglima TNI membuka dokumen DKP dan berkas penyidikan di Puspom TNI dan dokumen di Kopassus dalam rangka mencari kejelasan nasib 13 korban yang masih hilang. Presiden SBY juga perlu minta maaf dan memberikan hak-hak rehabilitasi kepada korban dan keluarga korban yang telah 10 tahun berada dalam ketidakpastian.
Langkah politik ini perlu diambil karena langkah hukum saja tidak cukup untuk menyelesaikan kasus yang dimensinya kompleks. Hal ini berhubungan dengan adanya dugaan keterlibatan para jenderal purnawirawan TNI serta karakteristik tindakan penghilangan paksa yang tidak hanya mengorbankan korban yang diculik, tetapi juga keluarganya dan masyarakat yang mengalami dampak penderitaan lanjutan karena ketidakjelasan status dan keberadaan para korban.
Mengutamakan 13 korban yang masih hilang
Karakteristik tindak dan dampak penghilangan paksa yang sedemikian besar dan kompleks lantas memunculkan tuntutan umum keluarga korban, yaitu mengetahui kepastian nasib sanak atau anggota keluarga korban yang hilang. Mereka terus menyatakan siap menerima informasi seburuk apapun. “Kalau mereka sudah meninggal, kami ingin tahu di mana kuburannya. Dan kalau mereka masih hidup, kita ingin tahu di mana mereka sekarang”. Begitu kalimat keluarga korban yang selalu muncul ketika ditanya apa keinginan tertinggi mereka.
Kejelasan nasib 13 korban yang masih hilang ini seharusnya yang menjadi perhatian utama Pansus DPR dan Pemerintah. Tanpa adanya kejelasan mengenai nasib ke-13 orang yang masih hilang, kasus ini tidak akan pernah bisa dinyatakan selesai.
Tantangannya kini ada di DPR dan Pemerintah. Masyarakat akan menyaksikan, apakah Pansus DPR ini memang dihidupkan lagi sekedar untuk dijadikan alat politik, atau untuk kepentingan penegakan hukum, HAM dan keadilan. Di sanalah kehormatan lembaga negara yang bernama DPR dipertaruhkan.
Demikian juga presiden. Masyarakat akan menjadi saksi perwujudan janji-janji manis penegakan dan perlindungan HAM yang sering diucapkan oleh Presiden SBY.
November 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment