Wednesday, September 22, 2010

Hari Penghilangan Paksa Internasional dan Wiji Thukul


Penghilangan Paksa masih Terjadi Saat Ini
Tuesday, 31 August 2010 10:02 Mulyani Hasan
E-mail Print PDF


Memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, Senin, 30 Agustus 2010, berikut petikan wawancara saya dengan Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang sekaligus ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD). Menurut Mugiyanto, Aceh dan Papua merupakan daerah yang rawan terjadi penghilangan paksa hingga saat ini. Namun, pendokumentasian yang dilakukan oleh para aktivis organisasi hak asasi manusia masih minim di daerah-daerah itu. Penanganan kasus terorisme juga menjadi perhatian Mugiyanto dalam konteks hak asasi manusia. Simak wawancara selengkapnya.


Bagaimana perkembangan kasus penghilangan paksa sampai saat ini?
secara hukum maupun secara politik.


Perkembangan hukum dan politik untuk kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998 bisa dikatakan tidak cukup berarti, terutama karena perkembangan yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya keinginan politik yang baik untuk menyelesaikan kasus. Perkembangan yang lambat itu terjadi atau dibuat supaya kelihatan oleh masyarakat bahwa ada itikad baik dari pemerintah. Saya mengatakan demikian, karena saya tidak melihat sebaliknya. Padahal sudah ada rekomendasi yang cukup komprehensif dari DPR Bulan September tahun 2009 lalu, dimana tinggal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalankannya. Sebagai pengingat, pada bulan September 2009, DPR RI mengeluarkan 4 (empat) rekomendasi kepada Presiden RI terkait kasus ini. Rekomendasi itu antara lain: 1) Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad-hoc; 2) Merekomendasikan Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang; 3) Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; 4) Merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia.

Secara politis, apa yang sudah dilakukan organisasi-organisasi yg konsern terhadap isu HAM khususnya IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang) dalam hal ini?

Sejak didirikan tahun 1998, IKOHI menjadikan penyelesaian yang menyeluruh dan berkeadilan atas kasus ini menjadi prioritas utama, karena para keluarga korban dari kasus penghilangan paksa aktivis inilah yang pada awalnya mendirikan IKOHI. Berbagai upaya yang kita telah lakukan di antaranya adalah dengan terus menerus memberikan desakan politik kepada presiden sebagai kepala pemerintahan yang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi, memenuhi dan menegakan hak asasi manusia. Penyadaran publik tentang pentingnya menangani pelanggaran HAM masa lalu sebagai tugas sejarah setiap pemerintahan paska otoritarian juga kami lakukan, dengan harapan masyarakat luas bisa menjadi bagian dalam gerakan hak asasi manusia.

Untuk dua tujuan di atas, strategi yang selama ini dilakukan oleh IKOHI adalah pengorganisasian dan penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Kami percaya, bahwa hanya ketika korban pelanggaran HAM, baik itu yang ada di wilayah hak sipil dan politik, maupun di wilayah hak ekonomi, sosial dan budaya kuat, maka tujuan perjuangan untuk keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan perdamaian bisa dicapai. Pengorganisasian dan penguatan korban pelanggaran HAM kami yakini penting, karena pengalaman empiris kami mengajarkan bahwa hanya dengan cara demikian korban pelanggaran HAM memiliki kekuatan signifikan untuk memberikan desakan-desakan politik kepada siapapun yang berkuasa.

Apa prioritas yang dilakukan IKOHI terhadap keluarga korban?


IKOHI didirikan untuk menjadi wadah bagi para korban. Dari sini, sejak Kongres Pertama tahun 2002, bahkan sampai saat ini, prioritas IKOHI adalah pekerjaan penguatan korban dan keluarga korban, serta organisasi tempat mereka berhimpun. Penguatan yang kami maksudkan di sini adalah dalam pengertian yang luas, yang mencakup unsur-unsur penguatan dan pemberdayaan potensi ekonomi, sosial, politik, termasuk penguatan psikologis. IKOHI selalu berusaha untuk bisa bersama-sama korban menjawab kebutuhan-kebutuhan jangka panjang seperti keadilan, kebenaran, penegakan hukum dan sebagainya, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan mendesak yang berhubungan dengan pemberdayaan ekonomi. Pemiskinan terhadap korban karena dampak stigmatisasi, diskriminasi dan marginalisasi telah menyebabkan korban menjadi masyarakat yang oleh negara dikerdilkan. Disinilah IKOHI berusaha untuk memberikan kontribusi dengan kegiatan-kegiatan kecil seperti pendirian koperasi, membuka akses pendidikan dan kesehatan murah atau gratis untuk para korban dan sebagainya. Realita bahwa korban masih banyak yang mengalami trauma akibat kekerasan masa lalu juga sedikit demi sedikit coba dijawab oleh IKOHI dengan menyediakan layanan konseling psikologis. Secara singkat, dari aspek penguatan dan pemberdayaan korban, IKOHI bertujuan mentransformasikan korban, sebagai elemen masyarakat yang nampaknya powerless, tidak berdaya, menjadi survivor atau penyintas. Lebih dari itu, dalam konteks perjuangan HAM, kita bertujuan menjadikan para korban untuk menjadi human rights defenders atau pembela HAM.

Sementara itu, dari aspek advokasi kebijakan untuk keadilan, IKOHI memprioritaskan pada dipenuhinya hak-hak korban atas keadilan dan kebenaran, yang turunannya adalah agar ada pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi pada masa lalu, pengakuan, pertanggungjawaban hukum, permintaan maaf, dan komitmen bersama untuk membangun semangat agar negara tidak mengulangi berbagai pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan seperti pada masa lalu.

Bagaimana perbandingan proses penyelesaian kasus-kasus penghilangan
paksa yang terjadi di Indonesia dengan negara lain?


Cara berbagai negara menangani kasus penghilangan paksa memang bermacam-macam. Ada negara yang masih abai, ada yang menanganinya secara setengah-setengah dan normatif, yang karenanya tidak memberikan keadilan pada korban, dan ada juga yang cukup serius. Dengan perspektif yang positif, cara pemerintah Indonesia menangani kasus penghilangan paksa (tahun 1997-1998) saya kategorikan sebagai cara ke 2. Cara ini dilakukan karena perang melawan impunitas yang bahkan telah dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa belum direalisasikan oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itulah, kalau pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar mau menunjukkan dirinya sebagai pemerintah yang berbeda dengan Orde Baru, tunjukkan lah. Dan kerjakan itu rekomendasi DPR.

Argentina telah memberi kita contoh yang baik, mengenai bagaimana mengelola warisan (legacy) praktik penghilangan paksa di masa lalu, sebagaimana dilakukan oleh presiden demokratis pertama tahun 1983 Raul Alfonsin, dengan membentuk Komisi Penghilangan Paksa (CONADEP) untuk menyelidiki praktik penghilangan paksa oleh Junta Militer Argentina dari tahun 1976 - 1983. Hasil penyelidikan CONADEP yang berjudul “Nunca Mas” atau “Jangan Terjadi Lagi” berhasil mengungkap konteks dan latar belakan politik, korban, pelaku, tempat dan metode penyiksaan dan penghilangan, peristiwa dan pola-pola lain. Dari sana proses kebenaran terjadi, yang lalu lanjutkan dengan proses pertanggungjawaban hokum dalam bentuk pengadilan-pengadilan bagi pemimpin junta dan pemenuhan hak-hak korban atas kompensasi, rehabilitasi, restitusi dan lain-lain. Tentu saja proses-proses itu tidak mulus, karena pada kenyataannya sempat diberikan amnesty umum untuk para pelaku, tetapi oleh pemerintahan yang pro hak asasi manusia, proses hukum dijalankan lagi, sampai saat ini.

Nah dengan perbandingan ini, proses di Indonesia masih berada di belakang. Namun, sangat besar peluang Indonesia mempercepat proses dan kalau ini terjadi Indonesia akan bias menjadi contoh bagi negara lain, terutama yang di Asia seperti bagi Sriilangka, Pakistan, India, Thailand dan Philipina.

Dalam konteks kehidupan sosial dan politik saat ini, masihkah terjadi penghiangan paksa?

Sayangnya jawabannya adalah MASIH. Cuma, yang menjadi tantangan setiap organisasi HAM adalah pendokumentasian, dan sejauh mana kita bisa mendapatkan akses informasi dan kedatangan ke daerah-daerah tersebut, karena alasan keamanan atau minimnya infrastruktur. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang dikhawatirkan masih menjadi tempat penghilangan paksa.

Selain itu, kalau kita mengacu pada definisi penghilangan paksa sebagaimana disebutkan pada Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa), maka dalam konteks perang melawan terorisme, aparat negara telah melakukan praktik penghilangan paksa.

Soal Wiji Thukul, adakah informasi terbaru seputar fakta hilangnya Wiji Thukul?


Sampai detik ini, setidaknya 12 tahun setelah Wiji Thukul dinyatakan menjadi korban penghilangan paksa, kami tidak mendapatkan informasi apapun. Rumor tentu saja banyak berseliweran, tetapi selama tidak terverifikasi, dan ia tidak berasal dari otoritas resmi pemerintah, kita tidak terlalu menanggapi. Dalam situasi tertentu, rumor-rumor ini justru semakin menambah penderitaan keluarga korban yang masih pada perjuangan dan penantian mereka.

Di antara korban lain, mengapa Wiji Thukul yang sepertinya dijadikan ikon penghilangan paksa? Seperti acara-acara yang berkaitan dengan ulang tahun Wiji Thukul.


Wiji Thukul menurut saya merupakan salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, yang karenanya oleh rejim otoriter ia dikorbankan. Ia kemudian menjadi martir bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Kontribusinya terhadap gerakan demokrasi dan hak asasi manusia serta rule of law, dan lebih dari itu bagi sastra dan kebudayaan Indonesia, telah menjadikannya melampaui sekat-sekat sektoral kehidupan masyarakat. Karya-karyanya yang meliputi antara lain teater dan puisi telah menjadi inspirasi suara kritis yang menginginkan terwujudnya keadilan, kebenaran, kebebasan dan perdamaian di Indonesia. Hal yang sama sebenarnya ada pada diri masing-masing korban penghilangan paksa seperti Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat dan lain-lain, tentu pada bidang yang berbeda beda sebagai sesama aktifvs pro demokrasi.

Namun mungkin ia nampaknya mendapatkan perhatian lebih pada hari-hari ini, karena kita sedang memperingati Hari Penghilangan Paksa Internasional setiap tanggal 30 Agustus, dan salah satu korban yang sampai sekarang masih hilang adalah Wiji Thukul, yang kebetulan berulang tahun pada tanggal 26 Agustus.

Tapi siapa yang tidak mengenal Wiji Thukul sebagai sastrawan rakyat dan korban penghilangan paksa kalau kita membaca sajak “Peringatan” yang memiliki satu kalimat singkat penuh magis, “Hanya ada satu kata, Lawan!”

Juga satu bait puisinya yang berjudul “Catatan” sebagai berikut,

“Aku pasti pulang// mungkin tengah malam dini// mungkin subuh hari// Pasti// dan mungkin// tapi jangan kautunggu…”

Sumber: http://www.indoprogress.com/index.php?option=com_content&view=article&id=513:penghilangan-paksa-masih-terjadi-saat-ini&catid=110:hak-asasi-manusia&Itemid=564

No comments: