Saturday, November 27, 2010

Penghilangan Paksa dan Hak Atas Kebenaran


Penghilangan Paksa dan Hak Atas Kebenaran
Mugiyanto

Pada bulan Mei yang lalu, Menteri Hukum dan Hak Asais Manusia Patrialis Akbar mengatakan bahwa proses hukum bagi pelaku pelanggaran HAM masa lalu sulit untuk dilakukan karena akan menimbulkan “kegaduhan politik”. Selanjutnya, secara tidak tegas, Menkumham mengatakan akan memberikan lapangan pekerjaan di kementeriannya bagi keluarga korban pelanggaran HAM sebagai bentuk kompensasi.

Pernyataan Menkumham ini tidak hanya mencederai hak korban atas keadilan, kebenaran dan reparasi atau pemulihan, tetapi bertentangan juga dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 1, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. “Kegaduhan politik” yang dikatakan oleh Menkumham sangat bias dengan kepentingan kekuasaan, yang menyebabkan sebagian masyarakat (korban, keluarga korban dan mereka yang menghendaki ditegakkannya HAM di Indonesia) mengalami diskriminasi.

Selain itu, tawaran Menkumham yang katanya akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi keluarga korban juga akan menjadi tindakan diskriminatif bagi warga masyarakat yang lain. Kita tahu bahwa ada jutaan warga negara Indonesia yang saat ini menjadi pengangguran dan berebut mencari lowongan pekerjaan. Pada sebuah jejaring sosial facebook, seorang kawan facebooker memprotes wacana yang dikembangkan Menkumham dengan mempertanyakan, “apakah seorang warga negara harus menjadi korban pembunuhan, penculikan atau penyiksaan dulu supaya mendapatkan pekerjaan di negeri ini?”

Kebijakan memberikan lapangan pekerjaan kepada korban atau keluarga korban pelanggaran HAM sebagai bagian kecil dari langkah-langkah reparatif tidak bisa dilakukan secara serta merta dan terpisah tanpa didasari landasan hukum atau politik yang kuat dari pemerintah. Ia juga menuntut adanya proses yang menyeluruh dan integral dengan cara-cara (mekanisme) penanganan yang lain, semisal dengan pengungkapan kebenaran, pengakuan dan permintaan maaf secara resmi oleh pemimpin negara, atau proses judisial kepada para pelaku.

Rekomendasi DPR kepada Presiden
Salah satu hal yang menjadi memicu (trigger) perdebatan tentang perlunya pemenuhan hak pemulihan bagi korban adalah disepakatinya rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) oleh Rapat Paripurna DPR terkait kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998. Putusan Rapat Paripurna yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 2009 itu mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah, c.q Presiden yang meliputi; 1) agar presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc, 2) agar presiden dan instansi terkait segera mencari 13 orang yang masih hilang, 3) agar pemerintah memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban dan keluarganya, 4) agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Rekomendasi DPR tersebut sangat diapresiasi oleh keluarga korban, yang lantas berharap Presiden SBY segera merealisasikannya. Dalam serangkaian proses diskusi dan konsultasi para penyintas (termasuk penulis) dan keluarga korban yang difasilitasi oleh IKOHI dan Kontras, mereka berharap agar pertama dan terutama Presiden SBY segera membentuk tim untuk mencari keberadaan 13 orang yang masih hilang. Keluarga korban berharap presiden bisa memberikan klarifikasi dan jawaban akhir (conclusive answer) tentang nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang. Keluarga korban juga menyampaikan penegasannya kembali bahwa mereka siap menerima informasi apapun mengenai orang-orang yang mereka cintai dari Presiden SBY.

“Hidup dan matinya Rian (Yani Afri) sudah saya pasrahkan kepada Allah. Saya hanya ingin kepastian, supaya ke depan kita semua bisa belajar” begitu Tuti Koto, Ibunda dari Yani Afri yang telah berjuang selama 13 tahun selalu menyampaikan keyakinan dan harapannya kepada Presiden SBY.

Dari sinilah mustinya Presiden SBY memulai langkah merealisasikan salah satu pilar pemerintahannya yaitu Keadilan (2 pilar yang lain adalah Demokrasi dan Kesejahteraan). Terlebih lagi, Presiden SBY juga telah merinci pilar Keadilan ini dalam pidatonya 4 Mei yang lalu dengan “memberikan keadilan kepada korban kasus hukum dan HAM masa lalu”.

Hak atas kebenaran
Sejalan dengan rekomendasi DPR dan harapan korban dan keluarga korban, pada tanggal 22 Juli 2010, Kelompok Kerja (Pokja) PBB untuk Penghilangan Orang Secara Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID) mengeluarkan sebuah general comment tentang hak atas kebenaran (General Comment on the Right to Truth in Relation to Enforced Disappearance). General comment merupakan panduan atau keterangan tentang aspek-aspek perjanjian HAM PBB untuk dipatuhi oleh negara pihak (state party) atau anggota PBB.

Pada paragraf 4 general comment itu dinyatakan bahwa “hak keluarga korban untuk mengetahui kebenaran atas nasib dan keberadaan orang yang dihilangkan adalah hak mutlak, yang tidak boleh dibatasi atau dikurangi”. Selanjutnya ditegaskan kembali bahwa “Tidak ada tujuan yang sah atau pengecualian yang bisa dibuat oleh negara yang bisa digunakan untuk membatasi hak ini”.

General comment ini mengandung arti bahwa usaha mengungkap kebenaran seputar nasib dan keberadaan 13 orang yang masih hilang sebagaimana direkomendasikan oleh DPR kepada Presiden tidak bisa ditunda hanya karena menimbulkan “kegaduhan politik”

Selanjutnya Pokja PBB menyadari adanya kemungkinan bahwa proses pencarian tidak bisa menemukan korban penghilangan paksa karena berbagai alasan. Namun demikian Pokja PBB menegaskan pada paragraf ke lima bahwa “negara tetap punya kewajiban untuk melakukan penyelidikan sampai negara bisa menentukan nasib dan keberadaan orang yang hilang”.

Bagi keluarga korban, mendapatkan informasi tentang nasib dan keberadaan atau “status” orang hilang dari negara sangatlah penting.

Pentingnya status korban
Tidak sedikit cerita keluarga korban mengenai berbagai kesulitan dan kesedihan yang timbul dari tidak jelasnya status orang yang hilang. Secara psikis dan mental, situasi ketidakpastian adalah sebuah siksaan. Dalam hal administrasi kependudukan, keluarga korban sering mendapatkan kesulitan bila diharuskan menghadirkan korban atau tanda tangan, karena mereka belum dicatatkan meninggal. Secara sosial, anggota keluarga inti terutama anak, juga masih mendapatkan cemoohan. Secara politik, setidaknya tiap ada pemilu, pilkada atau pemilihan lurah, suara korban sering disalahgunakan oleh para penyelenggara pemilu.

Kompleksitas lain adalah bahwa korban penghilangan paksa tidak bisa begitu saja disimpulkan meninggal, karena keluarga tidak mendapatkan jasad, pun kabar kematiannya. Menyimpulkan mereka hidup, walaupun itulah keyakinan sebagian besar keluarga korban, juga tidak mudah, karena mereka tidak mengetahui keberadaannya.

UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 44 Ayat (4) memang mengatur tentang ketidakjelasan status ini. Tetapi lagi, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru bias dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

Dari sinilah dituntut kebesaraan hati dan kearifbijaksanaan seorang Presiden SBY untuk sedikit saja mendengarkan teriakan hati para keluarga korban. Mereka tidak menuntut banyak. Itupun tidak bertentangan dengan janji, slogan dan program yang telah Presiden canangkan sendiri.

No comments: