Tuesday, November 06, 2012

In Memoriam Tuti Koto; Perempuan Hebat Itu Telah Pergi


Tidak mudah memisahkan isu penghilangan orang secara paksa (orang hilang) di Indonesia dengan figur Tuti Koto. Sama sulitnya dengan memisahkan KontraS dan IKOHI dengan Mami, begitu kami sering memangilnya. KontraS dan IKOHI didirikan karena kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Dan salah satu figur yang terlibat di dalamnya, tak lain adalah Tuti Koto, dan Munir tentu saja. Kini keduanya telah meninggalkan kita. Munir dibunuh dengan racun di atas pesawat kebanggaan Indonesia, Garuda. Mami meninggal karena sakit, setelah 15 tahun menunggu pemerintah memberi kejelasan di mana anaknya, Yani Afri atau Rian sebagaimana Mami memanggil berada. Mami meninggal pada dini hari, 5 November 2012, sebelum ia menyaksikan Presiden SBY memenuhi janjinya, menemukan Yani Afri.

Harus Berani
Bagi kami di IKOHI, juga di KontraS, Mami adalah energi. Bersama para orang tua mereka yang hilang, Mami selalu mendorong kita untuk terus bertindak, lebih berani, lebih keras. Kami sangat bisa memahami Mami, karena kami tahu bagaimana rasanya menunggu dalam ketidakpastian selama 15 tahun.

"Mugi, saya nggak mau lagi ketemu orang-orang itu (Anggota DPR, Menteri, dll.). Nggak ada gunanya. Capek. Saya hanya ingin ketemu SBY. Hanya dia yang bisa menemukan Rian". Begitu kata Mami suatu saat di Kantor IKOHI di daerah Kalasan Dalam, Jakarta.

"Tapi Mami, susah ketemu SBY. Kita ini dianggap tidak penting bagi dia". Begitu jawabku saat itu.

"Kalau ia tidak mau menemui kita, biar saya nginep di depan Istana, saya tidak takut. Saya tidak takut ditembak, apalagi ditangkap". Katanya keras dengan tatapan mata tajam dan nafas tersengal.

Kami yang duduk disekitar Mami terdiam, tidak langsung menanggapi. Kami saling menatap. Saya masih ingat, Simon yang menimpali waktu itu, "Ya sudah, Mami, nanti kita dirikan tenda di depan Istana"

"Tantangan" Mami akhirnya kami sambut. Tanggal 27 September 2010, kami demonstrasi dengan mendirikan tenda di depan Istana Negara. Benar kata Mami, hasilnya kita semua ditangkap, diangkut dan diinterogasi di Polres Jakarta Pusat. 30 orang banyaknya. (Lihat: http://nasional.kompas.com/read/2010/09/27/21090127/polisi.tangkap.pendemo.di.depan.istana). Hasilnya, Presiden SBY masih diam. Kali ini ini Mami salah. Keesokannya kami hanya diundang oleh Menkopolhukam Joko Suyanto yang katanya hendak menjadi katalisator para korban. Katanya, ia hendak menyampaikan pada Presiden SBY apa yang kami minta; Kembalikan 13 aktifis yang masih hilang! Tapi apakah Presiden SBY bertindak? Tidak. Dan Mami-pun sangat kecewa.

"Mugi, kenapa Presiden kita yang satu ini sangat pengecut ya? Waktu saya ketemu dia, ia janji akan selesaikan kasus-kasus kita ini" Saya tersenyum kecut mendengar pertanyaan retorik Mami, karena memang benar Mami bersama beberapa korban lain dan didampingi Kontras pernah bertemu Presiden SBY.

Berangkat Haji
Tetapi Mami adalah satu-satunya keluarga korban pelanggaran HAM yang sedikit beruntung. Oleh Denny Indrayana yang waktu itu menjadi Staf Khusus SBY Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi, Mami diberangkatkan ke tanah suci. Kata Denny, itu dari uang pribadi Joko Suyanto yang diberikan kepada Mami karena alasan kemanusiaan. Tidak ada faktor Pemerintah atau Negara di sini.

Atas tindakan Denny ini, saya sempat marah dan sampaikan kekecewaan melalui stafnya, Jimmy (Fajrimei Gofar). Saya tidak marah karena Mami diberangkatkan Haji, karena baiknya para korban yang ingin berangkat Haji juga diberangkatkan. Kami waktu itu keberatan dengan cara Denny Indrayana yang dalam "pemberian bantuan" tidak transparan, selektif dan karenanya diskriminatif. Kepada Denny sebagai Staf Khusus, kami telah berikan konsep "Format Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu", termasuk bagaimana memenuhi hak korban atas reparasi yang terdiri dari kompensasi, rehabilitasi dan restitusi. Tapi, sampai hari ini masukan kami tersebut masih tidak dihiraukan.

Ya, Mami beruntung bisa berangkat ke Tanah Suci, yang merupakan impian hampir semua umat Muslim. Namun demikian, berkali-kali Mami sampaikan ke saya, "Mugi, walaupun saya diberangkatkan Haji, tapi ini tidak berarti perjuangan Mami untuk mencari Rian akan berhenti. Mami ini nggak tahu politik, tapi Mami tahu, kita ini negara hukum dan hukum harus ditegakkan. Supaya tidak ada lagi orang yang mengalami seperti yang Mami alami"

Saya percaya dengan Mami, karena pada kenyataannya Mami terus menghubungi kami, apa yang akan dilakukan oleh IKOHI dan Kontras dan minta agar Mami diundang. Tetapi sekali lagi Mami memiliki syarat, "Tapi kalau tidak dengan SBY, Mami gak usah ikut. Hanya SBY yang bisa selesaikan kasus Mami ini!"

Tapi sayangnya, beberapa bulan terakhir, Mami tidak bisa terlibat dalam aktifitas advokasi ke DPR, Perwakilan PBB di Jakarta dll. Kesehatan mami turun drastis. Akhirnya, kami berhasil mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menyediakan layanan medis yang memang merupakan mandat LPSK. Ketika sedang dalam layanan LPSK inilah kondisi Mami memburuk. Awalnya ia mengeluh tidak bisa jalan karena kakinya seperti lumpuh. Tapi akhirnya sakit akut pada usus yang dideritanyalah yang membuat Mami menghembuskan nafas terakhir menemui yang memberi hidup persis pada dini hari setelah Mami berulang tahun ke-76, 5 November 2012.

Beristirahatlah dengan tenang, Mami. Semoga amal ibadahmu pada diri dan kemanusiaan membuatmu mendapatkan tempat terbaik yang dimiliki Tuhan Yang Maha Adil.
Tidak ada yang sia-sia dari kesulitan-kesulitan yang Mami hadapi selama hidup di dunia. Persis sama dengan yang diucapkan oleh Ibu-ibu di Amerika Latin 30 tahun lalu di konfres FEDEFAM di Costa Rica yang juga memperjuangkan anak-anak mereka yang hilang. No Hay Dolor Inutil!



1 comment:

FILI said...

Thanks for your very frank & touching tulisan, Mugi.