I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Sunday, December 20, 2015
MAJU SELANGKAH LAGI, PAK PRESIDEN
(Catatan dari peringatan Hari HAM Sedunia)
11 Desember 2015,
Hari ini, untuk pertama kalinya, saya mendapat kesempatan menghadiri Peringatan Hari HAM Sedunia di Istana Negara. Bukan saya yang diundang, tetapi pimpinan organisasi dimana saya bekerja. Saya melihat ada para Menteri dan Kepala Lembaga Negara, Gubernur, Bupati/Walikota, pegiat dan pejuang HAM, anak-anak sekolah, para jurnalis dan lain-lain. Pembawa acara menyebutkan, hadirin berjumlah sekitar 300 orang. Pejabat negara yang terkait HAM juga hadir. Ada Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menkumham, Kapolri dan Ketua Komnas HAM.
Acara dibuka dengan pidato Ketua Komnas HAM yang menyampaikan apresiasi terhadap Presiden atas komitmennya terhadap penegakan HAM, serta kritik Komnas HAM terhadap Polisi dan Korporasi yang menjadi pihak terlapor terbanyak terkait kasus pelanggaran HAM. Peran Pemerintah Daerah dalam perlindungan dan pemenuhan HAM dalam konteks Kabupaten/Kota Ramah HAM juga disebutkan. Selanjutnya adalah laporan kegiatan Komnas HAM terkait Hari HAM Sedunia termasuk Konferensi Kabupaten/Kota Ramah HAM bersama INFID, Elsam dan Kemenkumham, serta pameran Museum Temporer dalam bungkus Rekoleksi Memori. Di bagian penutup, Keyua Komnas HAM menyampaikan aspirasi public yang mengharapkan agar pemerintah mendirikan Museum HAM yang permanen.
Pidato selanjutnya adalah Menkumham yang menyampaikan laporan kegiatan Kemenkumham selama satu tahun terakhir. Bebrapa diantaranya terkait penyusunan RANHAM, Promosi Kab/Kota Peduli HAM. Selebihnya, tidak banyak yang baru atau menjadi terobosan.
Pidato yang paling ditunggu-tunggu adalah Pidato inti, pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Sebelumnya, di luar, ada rumor bercampur harapan, bahwa Presiden Jokowi akan membuat kejutan terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Yang lain, menyatakan sudah habis harapannya. Saya sendiri masih memiliki sisa harapan, karena bila tidak, tentu saya tidak akan memenuhi undangan ke Istana Negara, yang karenanya saya juga tidak akan bisa membuat tulisan ini.
Presiden Jokowi memulai pidato dengan mengatakan bahwa HAM bukan hanya merupakan amanat konstitusi, tetapi landasan berelasi antara rakyat dan pemerintah. Selanjutnya, seperti biasa, dengan sangat lugas Presiden Jokowi memberikan pengakuan (acknowledgement) atas adanya berbagai persoalan HAM yang ada di Indonesia, antara lain 1) pelangaran HAM masa lalu; 2) persoalan agrarian; 3) masyarakat adat; 4) pendidikan dan kesehatan; dan 5) kelompok marjinal, minoritas dan disabilitas.
Lalu secara singkat pula, Presiden Jokowi menegaskan bahwa tanggung jawab HAM ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penanganan dan pemenuhan HAM harus dipercepat. Kata “dipercepat” yang ditekankan oleh Presiden Jokowi ini penting, karena merupakan pengakuan atas lambannya penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu, Presiden Jokowi dengan suara yang nyaring mengatakan, diperlukan “Keberanian”, untuk melakukan “Rekonsiliasi”, serta menjajaki jalan “Yudisial”dan “Non Yudisial”. Pilihan kata yang diambil oleh Presiden Jokowi ini penting kita perhatikan, karena disanalah (bibit-bibit) keraguan atau ketidak percayaan publik mulai muncul. Komitmen indah dalam Nawacita dirasakan publik mulai dilupakan oleh Presiden. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu belum juga tersentuh. Pihak-pihak terkait di pemerintahan (Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menkumham, Komnas HAM) semuanya mengatakan bahwa formula kebijakan terbaik masih sedang diselesaikan. Ini adalah formulasi jawaban, the same old song, yang telah kita dengarkan sejak 2009, sejak awal periode kedua Pemerintahan SBY. Bukankah Presiden Jokowi adalah pembeda?!
Pidato Presiden Jokowi ini sebenarnya biasa saja. Tidak banyak yang baru. Juga tidak konkrit, atau actionable. Kebanyakan hanya pengulangan dan penekanan. Tetapi pengakuan adanya berbagai persoalan masih patut diapresiasi. Pengakuan dan penghargaan beberapa daerah terkait HAM yang dikemas dalam konsep Kab/Kota Ramah HAM mungkin bisa dibilang baru. Namun dari perspektif yang positif, saya melihat, Presiden Jokowi masih membuka diri pada masukan-masukan konstruktif. Saya bisa melihat dari poin-poin persoalan yang diidentifikasi dan diksi atau pilihan kata yang diambil. Tidak sepenuhnya ia dikendalikan oleh mereka yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.
Pilihan kata-kata “Dipercepat”, “Keberanian”, “Rekonsiliasi”, mekanisme “Yudisial dan Non Yudisial” adalah kata-kata kunci, magic words, yang mustinya ditunjukkan realisasinya. Kata “Dipercepat” harus dijadikan Jaksa Agung untuk mempercepat proses penyidikan dan penuntutan atas berkas-berkas kasus pelanggaran berat HAM yang sudah ada di laci Jaksa Agung. Lalu karena mekanisme “Non Yudisial”juga disebut Presiden, maka bila Komisi Kebenaran (Truth Commission) dijadikan pilihan mekanisme pelengkap (complimentarity), proses penyusunan dan pengesahan rancangan undang-undangnya harus dipercepat penyelesaiannya.
Kata “Keberanian” memiliki makna sentral. “Keberanian” sebenarnya merupakan hal yang biasa. Tetapi karena jarang dimiliki manusia dalam memperjuangkan atau melakukan hal-hal yang merupakan kebajikan, ia menjadi barang mewah. Padahal, tanpanya, manusia bukanlah manusia. Sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, tanpa “Keberanian”, manusia adalah ternak-ternak, yang siap digiring ke sana kemari oleh pemiliknya.
Terkait “Keberanian” ini, Perdana Menteri Canada yang baru terpilih memberi tauladan juara bagi pemimpin atau kepala negara. Minggu lalu, Justin Trudeau, Perdana Menteri berusia 43 tahun ini menyampaikan permintaan maaf resmi (apologies) dan pengampunan (forgiveness) kepada masyarakat Aborigin yang menjadi korban kebijakan di masa lalu. Tidak hanya minta maaf, Perdana Menteri Tradeau juga mengucapkan terima kasih atas Keberanian para korban. “I say: thank you for your extraordinary bravery and for your willingness to help Canadians understand what happened to you”. Tradeau memiliki keberanian berlapis. Pertama ia memiliki Keberanian meminta maaf dan pengampunan kepada para korban. Selanjutnya ia memiliki Keberanian untuk berterima kasih kepada para korban atas Keberanian mereka membantu Kanada (sebagai Bangsa) mengetahui masa lalunya.
Soal percepatan, keberanian, rekonsiliasi serta mekanisme judisial dan non judisial, terkait pelanggaran HAM masa lalu yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato peringatan Hari HAM Sedunia sejatinya adalah self reminder, peringatan pada diri Presiden Jokowi sendiri. Setidaknya UUD 1945 sebagai Konstitusi dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengamanatkan bahwa Negara, khususnya Pemerintah adalah pemegang tanggung jawab di bidang HAM. Presiden juga telah diamanatkan undang-undang untuk mengeluarkan Perpres pembentukan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus yang telah diselesaikan Komnas HAM dan DPR, yatu kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998. Demikian juga untuk langkah-langkah lain terkait pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan (reparasi).
Pak Presiden, waktunya telah tiba. Kata-kata telah terucap berulang kali. Kini waktunya melangkah, kerja.
Monday, September 07, 2015
My Life, My Struggle
This is some part of me, in a 14 minute interview with Indoprogress TV, in July 7, 2014.
It is about my activism, my struggle and the way I see Jokowi as the then President Candidate.
Thanks to friends at INDOPROGRESS.
Please watch here: https://www.youtube.com/watch?v=lJdgGGSbIkw
Tuesday, July 14, 2015
LATE POSTING 21 Oktober 2014 - Kami Merayakan Pelantikan Presiden Baru
Selama dua malam berturut-turut, tanggal 18 dan 20 Oktober 2014, pada malam hari, bersama keluarga kecil saya turut bergabung dengan segenap masyarakat di Jakarta untuk mensyukuri dan merayakan pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden ke 7 Republik Indonesia.
Saya memang sangat bungah, juga anak dan istri saya. Rasa bungah kami bukan karena Jokowi adalah Presiden sempurna yang pasti akan segera membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi, membawa masyarakat yang berkeadilan, berkemakmuran, dan berkesejahteraan, karena itu mustahil. Waktu maksimal 10 tahun bagi Jokowi tidak akan bisa digunakan untuk mewujudkan masyarakat impian seperti itu. Karena Jokowi bukan tukang sulap, bukan wali, apalagi malaikat. Ia tetap saja merupakan bekas seorang juragan mebel (kalau saya cuma tukang ukir), yang karena laku lampahnya, kerja kerasnya, kesederhanaannya, yang dianggap baik oleh banyak orang, kemudian ia dipilih orang-orang itu untuk menjadi pemimpin. Mulai dari walikota, gubernur dan kini jadi Presiden Indonesia.
Kami sekeluarga sadar sepenuhnya, ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku (terms and conditions applied!) bagi Jokowi untuk bisa berhasil memenuhi harapan jutaan masyarakat Indonesia. Terms and conditions itulah yang kami pegang untuk setiap waktu kami sampaikan ke Jokowi, dengan cara yang kami bisa, di sepanjang masa kekuasaannya. Dalam konteks ini, syukuran dan perayaan kami atas dilantiknya Jokowi adalah syukuran dan perayaan yang bersyarat!
Kembali soal syukuran dan perayaan. Selain dialamatkan pada Presiden Jokowi, walaupun term and condition applied, rasa syukur dan bungah kami lebih merupakan ekspresi perasaan dan sikap kami sekeluarga atas hasil Pemilu 9 Juli 2014, dimana mayoritas rakyat Indonesia memilih untuk tidak memilih Prabowo Subianto. Nilai (value) di keluarga kami adalah bahwa orang yang tercela, bermasalah terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, hak-hak asasi manusia, dan belum pernah mempertanggungjawabkannya secara hukum, politik dan moral, serta tidak kelihatan memiliki itikad baik untuk tidak patut menjadi pemimpin publik.
Saya memang sangat bungah, juga anak dan istri saya. Rasa bungah kami bukan karena Jokowi adalah Presiden sempurna yang pasti akan segera membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi, membawa masyarakat yang berkeadilan, berkemakmuran, dan berkesejahteraan, karena itu mustahil. Waktu maksimal 10 tahun bagi Jokowi tidak akan bisa digunakan untuk mewujudkan masyarakat impian seperti itu. Karena Jokowi bukan tukang sulap, bukan wali, apalagi malaikat. Ia tetap saja merupakan bekas seorang juragan mebel (kalau saya cuma tukang ukir), yang karena laku lampahnya, kerja kerasnya, kesederhanaannya, yang dianggap baik oleh banyak orang, kemudian ia dipilih orang-orang itu untuk menjadi pemimpin. Mulai dari walikota, gubernur dan kini jadi Presiden Indonesia.
Kami sekeluarga sadar sepenuhnya, ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku (terms and conditions applied!) bagi Jokowi untuk bisa berhasil memenuhi harapan jutaan masyarakat Indonesia. Terms and conditions itulah yang kami pegang untuk setiap waktu kami sampaikan ke Jokowi, dengan cara yang kami bisa, di sepanjang masa kekuasaannya. Dalam konteks ini, syukuran dan perayaan kami atas dilantiknya Jokowi adalah syukuran dan perayaan yang bersyarat!
Kembali soal syukuran dan perayaan. Selain dialamatkan pada Presiden Jokowi, walaupun term and condition applied, rasa syukur dan bungah kami lebih merupakan ekspresi perasaan dan sikap kami sekeluarga atas hasil Pemilu 9 Juli 2014, dimana mayoritas rakyat Indonesia memilih untuk tidak memilih Prabowo Subianto. Nilai (value) di keluarga kami adalah bahwa orang yang tercela, bermasalah terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, hak-hak asasi manusia, dan belum pernah mempertanggungjawabkannya secara hukum, politik dan moral, serta tidak kelihatan memiliki itikad baik untuk tidak patut menjadi pemimpin publik.
Tuesday, June 16, 2015
Artikel Opini Kompas: Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban
Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban
MUGIYANTO
Cetak | 16 Juni 2015
Setelah ditunggu selama setengah tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo mulai merealisasikan janji dan programnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan telah dibentuknya sebuah tim gabungan lintas kementerian dan lembaga yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno.
Sebagaimana disampaikan di media, tim gabungan ini bertugas merumuskan kebijakan untuk menyelesaikan enam kasus pelanggaran berat HAM, yaitu kasus peristiwa 1965-1966; kasus penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari di Lampung (1989); kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kasus kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Perkembangan ini tentu disambut dengan penuh harap oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menanti puluhan tahun.
Harapan para korban yang dipupuskan oleh 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kini mulai tumbuh kembali. Harapan ini didasarkan pada dokumen Nawacita yang secara eksplisit menyebutkan perlunya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh dan berkeadilan.
Selain itu, Jokowi yang tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim otoritarian Orde Baru diharapkan memiliki pendekatan yang berbeda dalam penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu.
Terkait pembentukan tim gabungan, Jokowi telah memberikan konfirmasinya sebagaimana dikutip oleh media ini , "Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut. Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per satu," (Kompas, 29/5).
Namun demikian, ada satu hal yang menjadi keprihatinan dan menimbulkan kekhawatiran para korban, yaitu ketika Menkopolhukam dan Jaksa Agung mengatakan bahwa cara penyelesaian yang hendak diambil pemerintah adalah dengan jalan nonyudisial, yaitu dengan cara rekonsiliasi.
Alasan yang disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo, cara yudisial sudah tidak bisa dilakukan karena saksi dan bukti yang sudah tidak ada karena peristiwanya telah terjadi pada waktu yang lama.
Mendengarkan suara korban
Terkait rencana dan posisi yang diambil tim gabungan ini, penulis merasa perlu memberikan beberapa poin masukan agar tujuan penyelesaian kasus secara menyeluruh dan berkeadilan benar-benar bisa tercapai.
Yang pertama, tim gabungan harus secara substantif mendengarkan suara dan harapan korban, setidaknya dari enam kasus yang hendak ditangani. Mendengarkan suara korban sangat penting untuk memastikan agar langkah penyelesaian yang hendak diambil tidak hanya sesuai dengan kaidah HAM, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban.
Perlu dicatat di sini bahwa beberapa inisiatif penyelesaian yang pernah diambil pemerintah sebelumnya seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pemulihan gagal karena tidak adanya ketulusan pemerintah untuk mendengar dan menampung suara dan kepentingan korban.
Yang kedua, penyelesaian menyeluruh dan berkeadilan sebagaimana menjadi komitmen Jokowi tidak bisa dilakukan dengan pendekatan parsial. Pernyataan Jaksa Agung dan Menkopolhukam bahwa enam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan diselesaikan dengan cara rekonsiliasi tidak hanya parsial, tetapi juga belum merefleksikan suara korban.
Penyelesaian kasus secara rekonsiliasi adalah simplifikasi atas mekanisme nonyudisial yang sebenarnya mencakup unsur-unsur pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.
Dalam diskursus transitional justice, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM secara menyeluruh dan komprehensif mensyaratkan digunakannya mekanisme nonyudisial dan yudisial secara paralel dan saling melengkapi terutama karena pelanggaran berat HAM bersifat kompleks. (Hayner, 2011)
Tidak bisa dimungkiri bahwa konteks politik, pola, besaran (magnitude), cakupan (scope), bentuk kejahatan dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam enam kasus yang hendak diselesaikan sangatlah beragam sebagaimana terlihat dari laporan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang berjudul "Menemukan Kembali Indonesia". Pendekatan tunggal (nonyudisial) yang linear dipastikan tidak akan bisa membawa hasil yang diharapkan.
Selain itu, terminologi "rekonsiliasi" telah mengalami inflasi definisi, karena diterjemahkan para korban sebagai usaha pemaksaan perdamaian antara korban dengan pelaku bila dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, apalagi keadilan. Rekonsiliasi telah dimaknai para korban sebagai sebuah perwujudan impunitas.
Dari proses mempelajari konstruksi kasus dan interaksi bersama para korban selama lebih dari satu dekade terakhir, penulis berkeyakinan bahwa penyelesaian enam kasus yang dimaksud harus didasarkan kepada pertimbangan yang sangat cermat melalui kajian mendalam masing- masing kasus yang semua berkasnya ada di kejaksaan agung. Hasil kajian ini lalu disandingkan dengan harapan para korban dan keluarga korban.
Dari sana bisa dirumuskan hal-hal yang mendesak yang bisa dilakukan (feasible) dan pada saat yang sama diinginkan oleh korban dan keluarga korban (desirable) dengan tetap mengacu kepada kaidah hukum HAM internasional. Misalnya, untuk kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memberi jawaban akhir (closure) mengenai nasib dan keberadaan para korban.
Pentingnya pengakuan dan permintaan maaf
Bila informasi yang berkembang benar, maka rencana Jokowi untuk menyampaikan pengakuan dan permintaan maaf resmi (official public apology) bisa menjadi langkah pembuka dimulainya proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat ini.
Walaupun bukan hal baru, langkah ini bisa menjadi ukuran keseriusan Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Perlu diingat lagi, pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965 (Kompas, 15/3).
Beberapa tahun lalu, Wali Kota Palu Rusdi Mastura juga menyampaikan permintaan maaf serupa. Bahkan langkah wali kota Palu kemudian menindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Wali Kota Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi langkah-langkah pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di wilayah Palu, Sulawesi Tengah.
Tidak bisa dimungkiri, pelanggaran berat HAM dengan skala, cakupan serta rentang waktu dan wilayah yang sedemikian lama dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tetapi, setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya.
Jokowi sangat beruntung karena sudah bisa mengambil pilihan ketika masih berada di awal kekuasaan; beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan, atau hadir, bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa lalu yang terus membelenggu.
MUGIYANTO
Penyintas peristiwa penculikan aktivis pro-demokrasi 1998, Anggota Dewan Pengurus IKOHI dan Program Officer Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
Catatan:
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban".
MUGIYANTO
Cetak | 16 Juni 2015
Setelah ditunggu selama setengah tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo mulai merealisasikan janji dan programnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan telah dibentuknya sebuah tim gabungan lintas kementerian dan lembaga yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno.
Sebagaimana disampaikan di media, tim gabungan ini bertugas merumuskan kebijakan untuk menyelesaikan enam kasus pelanggaran berat HAM, yaitu kasus peristiwa 1965-1966; kasus penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari di Lampung (1989); kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kasus kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Perkembangan ini tentu disambut dengan penuh harap oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menanti puluhan tahun.
Harapan para korban yang dipupuskan oleh 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kini mulai tumbuh kembali. Harapan ini didasarkan pada dokumen Nawacita yang secara eksplisit menyebutkan perlunya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh dan berkeadilan.
Selain itu, Jokowi yang tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim otoritarian Orde Baru diharapkan memiliki pendekatan yang berbeda dalam penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu.
Terkait pembentukan tim gabungan, Jokowi telah memberikan konfirmasinya sebagaimana dikutip oleh media ini , "Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut. Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per satu," (Kompas, 29/5).
Namun demikian, ada satu hal yang menjadi keprihatinan dan menimbulkan kekhawatiran para korban, yaitu ketika Menkopolhukam dan Jaksa Agung mengatakan bahwa cara penyelesaian yang hendak diambil pemerintah adalah dengan jalan nonyudisial, yaitu dengan cara rekonsiliasi.
Alasan yang disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo, cara yudisial sudah tidak bisa dilakukan karena saksi dan bukti yang sudah tidak ada karena peristiwanya telah terjadi pada waktu yang lama.
Mendengarkan suara korban
Terkait rencana dan posisi yang diambil tim gabungan ini, penulis merasa perlu memberikan beberapa poin masukan agar tujuan penyelesaian kasus secara menyeluruh dan berkeadilan benar-benar bisa tercapai.
Yang pertama, tim gabungan harus secara substantif mendengarkan suara dan harapan korban, setidaknya dari enam kasus yang hendak ditangani. Mendengarkan suara korban sangat penting untuk memastikan agar langkah penyelesaian yang hendak diambil tidak hanya sesuai dengan kaidah HAM, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban.
Perlu dicatat di sini bahwa beberapa inisiatif penyelesaian yang pernah diambil pemerintah sebelumnya seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pemulihan gagal karena tidak adanya ketulusan pemerintah untuk mendengar dan menampung suara dan kepentingan korban.
Yang kedua, penyelesaian menyeluruh dan berkeadilan sebagaimana menjadi komitmen Jokowi tidak bisa dilakukan dengan pendekatan parsial. Pernyataan Jaksa Agung dan Menkopolhukam bahwa enam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan diselesaikan dengan cara rekonsiliasi tidak hanya parsial, tetapi juga belum merefleksikan suara korban.
Penyelesaian kasus secara rekonsiliasi adalah simplifikasi atas mekanisme nonyudisial yang sebenarnya mencakup unsur-unsur pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.
Dalam diskursus transitional justice, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM secara menyeluruh dan komprehensif mensyaratkan digunakannya mekanisme nonyudisial dan yudisial secara paralel dan saling melengkapi terutama karena pelanggaran berat HAM bersifat kompleks. (Hayner, 2011)
Tidak bisa dimungkiri bahwa konteks politik, pola, besaran (magnitude), cakupan (scope), bentuk kejahatan dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam enam kasus yang hendak diselesaikan sangatlah beragam sebagaimana terlihat dari laporan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang berjudul "Menemukan Kembali Indonesia". Pendekatan tunggal (nonyudisial) yang linear dipastikan tidak akan bisa membawa hasil yang diharapkan.
Selain itu, terminologi "rekonsiliasi" telah mengalami inflasi definisi, karena diterjemahkan para korban sebagai usaha pemaksaan perdamaian antara korban dengan pelaku bila dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, apalagi keadilan. Rekonsiliasi telah dimaknai para korban sebagai sebuah perwujudan impunitas.
Dari proses mempelajari konstruksi kasus dan interaksi bersama para korban selama lebih dari satu dekade terakhir, penulis berkeyakinan bahwa penyelesaian enam kasus yang dimaksud harus didasarkan kepada pertimbangan yang sangat cermat melalui kajian mendalam masing- masing kasus yang semua berkasnya ada di kejaksaan agung. Hasil kajian ini lalu disandingkan dengan harapan para korban dan keluarga korban.
Dari sana bisa dirumuskan hal-hal yang mendesak yang bisa dilakukan (feasible) dan pada saat yang sama diinginkan oleh korban dan keluarga korban (desirable) dengan tetap mengacu kepada kaidah hukum HAM internasional. Misalnya, untuk kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memberi jawaban akhir (closure) mengenai nasib dan keberadaan para korban.
Pentingnya pengakuan dan permintaan maaf
Bila informasi yang berkembang benar, maka rencana Jokowi untuk menyampaikan pengakuan dan permintaan maaf resmi (official public apology) bisa menjadi langkah pembuka dimulainya proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat ini.
Walaupun bukan hal baru, langkah ini bisa menjadi ukuran keseriusan Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Perlu diingat lagi, pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965 (Kompas, 15/3).
Beberapa tahun lalu, Wali Kota Palu Rusdi Mastura juga menyampaikan permintaan maaf serupa. Bahkan langkah wali kota Palu kemudian menindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Wali Kota Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi langkah-langkah pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di wilayah Palu, Sulawesi Tengah.
Tidak bisa dimungkiri, pelanggaran berat HAM dengan skala, cakupan serta rentang waktu dan wilayah yang sedemikian lama dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tetapi, setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya.
Jokowi sangat beruntung karena sudah bisa mengambil pilihan ketika masih berada di awal kekuasaan; beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan, atau hadir, bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa lalu yang terus membelenggu.
MUGIYANTO
Penyintas peristiwa penculikan aktivis pro-demokrasi 1998, Anggota Dewan Pengurus IKOHI dan Program Officer Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
Catatan:
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban".
Friday, May 15, 2015
Lapor Presiden: Cari dan Temukan 13 Aktivis yang Hilang tahun 1997-1998, termasuk Wiji Thukul*
Bapak Presiden Jokowi Yth.,
Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi telah terjadi lebih dari 16 tahun lalu. Komnas HAM dan DPR telah menyimpulkan (setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan) adanya pelanggaran berat HAM dan mengeluarkan rekomendasi agar Jaksa Agung menyidik dan mengadili para pelaku, serta Presiden untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang, memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban serta meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.
Dalam pidato kampanye presiden 2014 dan dokumen keramat Nawacita, Bapak Presiden Jokowi mengatakan dan menyebutkan untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Bapak Presiden Jokowi tentu masih ingat Mbak Sipon istri Wiji Thukul, juga Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah anak mereka. Mereka semua masih menunggu realisasi komitmen Pak Presiden. Juga orang tua dan sanak saudara 12 keluarga yang masih hilang. Beberapa dari orang tua korban bahkan sampai meninggal duluan, Pak Presiden. Bapak dan Mas-nya Herman Hendrawan di Bangka, Bapaknya Suyat yang di Gemolong Sragen dekat rumah Bapak di Solo, Ibunya Yadin Muhidin di Sunter Jakarta Utara, Bapaknya Noval Alkatiri, Bapak Ibunya Wiji Thukul sendiri, serta Ibu Tuti Koto atau Mami, Ibunya Yani Afri... mereka semua telah meninggal dalam penantian panjang, Pak Jokowi.
Kalau mereka masih ada, pasti mereka senang sekali bahwa orang biasa yang tidak merupakan bagian dari pemerintahan Orde Baru telah menjadi Presiden Indonesia. Mereka pasti akan memaksa kami untuk mencari jalan agar bisa bertemu dengan Pak Jokowi. Apalagi Pak Jokowi berjanji mau menyelesaikan kasus kami. "Kalau hilang, ya di cari!" begitu kata Pak Jokowi saat ditanya wartawan saat kampanye Presiden.
Pak Jokowi, mereka yang didihilangkan itu tidak hanya punya keluarga, tetapi mereka adalah tulang punggung keluarga atau harapan keluarga. Jadi dengan dihilangkannya mereka oleh pemerintah Orde Baru yang lalu, keluarga mereka kini pincang, Pak. Tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk makan, biaya sekolah atau biaya berobat kalau mereka sakit. Memang sekarang Pak Presiden punya Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sejahtera. Tapi itu baru sekarang, Pak. Penderitaan mereka telah terjadi sejak 1998.
Wani dan Fajar anak Thukul, serta Dinis anak Yadin Muhidin juga memiliki persoalan dengan status Bapak mereka. Tidak ada orang atau pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa Wiji Thukul, Yadin Muhidin dan 11 yang lain yang dihilangkan itu sudah mati atau masih hidup. Meraka hilang. Ya, hilang Pak Presiden, karena dihilangkan. Oleh aparatur negara Orde Baru. Tidak ada yang bisa menunjukkan jenazah mereka. Juga tidak pernah ada yang menunjukkan keberadaan mereka. Status para korban penghilangan paksa ini mengambang, Pak Jokowi. Mereka tidak memiliki kuburan, tetapi mereka juga tidak ada di sekitar kita. Mungkin Pak Presiden bingung dengan penjelasan tentang status ini. Tapi kebingungan ini kami rasakan setidaknya sejak 16 tahun terakhir. Dan Pak Jokowi sebagai Presiden Indonesia, punya kuasa, punya alat, punya sarana untuk mengakhiri kebingungan kami ini.
Bapak Presiden Jokowi Yth,
Untuk pengetahuan Bapak, bagi keluarga korban, hal yang paling mendesak terkait penyelesaian kasus ini bukanlah Pengadilan HAM. Kami tahu, dalam sistem pengadilan yang korup, yang belum bisa dibereskan oleh Pak Presiden, kami tidak yakin akan bisa mendapatkan keadilan dari sana.
Bagi kami keluarga korban, yang paling penting bagi kami adalah untuk megetahui apakah mereka, kawan-kawan kami itu, Bapak, Suami, Pak Lik, Tulang, adik itu masih meninggal, atau masih hidup. Kalau sudah meninggal, dimana mereka dikuburkan. kalau masih hidup, walau mungkin kami sudah pangling tidak lagi mengenali mereka, tolong kembalikan pada kami, keluarganya.
Kami yakin, Bapak Presiden BISA memenuhi harapan kami tersebut, karena Bapak punya kekuasaan, punya alat, sarana, sumber daya dan segalanya. Mungkin persoalannya adalah adalah Bapak MAU atau tidak. Tapi percayalah, Pak Jokowi, kami dan masyarakat luas akan mendukung Bapak, berdiri dibelakang, samping, bahkan di depan Bapak Presiden bila Pak Presiden MAU.
Ayo Pak Jokowi. Dalam kasus penghilangan paksa, waktu satu detik itu sangat berharga. Karena satu detik itu mungkin bisa menyelamatkan mereka yang dihilangkan, yang mungkin sedang disekap. Mirip dengan Bapak yang pada detik-detik terakhir bisa menyelamatkan Mary Jane Veloso, warga negara Filipina itu, dari kemungkinan dieksekusi regu penembak.
Bapak Presiden Yth.,
Saya menulis laporan ini karena saya adalah kawan dari beberapa korban yang dihilangkan itu. Dan kini saya telah menjadi keluarga dari para korban yang masih hilang, karena selama 17 tahun terakhir, saya berjuang bersama-sama mereka mencari kawan-kawan yang hilang itu. Dan saya adalah satu dari korban yang selamat, Pak Presiden. Jadi saya menulis laporan untuk Presiden ini karena kawan-kawan dan keluarga tersebut masih hilang, dan saya selamat, penyintas.
Pak Jokowi Yth.,
Saya tahu Pak Jokowi pernah datang ke rumah Wiji Thukul di Kampung Kalangan, Kelurahan Jagalan, Solo. Pak Jokowi juga sudah bertemu Bapaknya Bimo Petrus bersama teman-teman IKOHI tahun lalu, yang waktu kampanye Presiden menyatakan dukungannya pada Pak Jokowi. Mereka-mereka inilah yang berharap Pak Jokowi turun tangan, melakukan apa yang Pak Jokowi ingin dan harus lakukan sebagai Presiden RI.
Cari dan temukan 13 aktivis pro demokrasi yang masih hilang, penuhi hak-hak pemulihan keluarga korban.
Semoga Bapak Jokowi sempat membaca, dan dibukakan hatinya.
Salam hormat,
Mugiyanto
*Catatan: Surat ini dikirimkan ke portal LaporPresiden.com pada tanggal 5 Mei 2015, bisa dilihat di sini ~> http://laporpresiden.org/355/temukan-aktivis-hilang-tahun-1997-1998-termasuk-wiji-thukul
Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi telah terjadi lebih dari 16 tahun lalu. Komnas HAM dan DPR telah menyimpulkan (setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan) adanya pelanggaran berat HAM dan mengeluarkan rekomendasi agar Jaksa Agung menyidik dan mengadili para pelaku, serta Presiden untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang, memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban serta meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.
Dalam pidato kampanye presiden 2014 dan dokumen keramat Nawacita, Bapak Presiden Jokowi mengatakan dan menyebutkan untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Bapak Presiden Jokowi tentu masih ingat Mbak Sipon istri Wiji Thukul, juga Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah anak mereka. Mereka semua masih menunggu realisasi komitmen Pak Presiden. Juga orang tua dan sanak saudara 12 keluarga yang masih hilang. Beberapa dari orang tua korban bahkan sampai meninggal duluan, Pak Presiden. Bapak dan Mas-nya Herman Hendrawan di Bangka, Bapaknya Suyat yang di Gemolong Sragen dekat rumah Bapak di Solo, Ibunya Yadin Muhidin di Sunter Jakarta Utara, Bapaknya Noval Alkatiri, Bapak Ibunya Wiji Thukul sendiri, serta Ibu Tuti Koto atau Mami, Ibunya Yani Afri... mereka semua telah meninggal dalam penantian panjang, Pak Jokowi.
Kalau mereka masih ada, pasti mereka senang sekali bahwa orang biasa yang tidak merupakan bagian dari pemerintahan Orde Baru telah menjadi Presiden Indonesia. Mereka pasti akan memaksa kami untuk mencari jalan agar bisa bertemu dengan Pak Jokowi. Apalagi Pak Jokowi berjanji mau menyelesaikan kasus kami. "Kalau hilang, ya di cari!" begitu kata Pak Jokowi saat ditanya wartawan saat kampanye Presiden.
Pak Jokowi, mereka yang didihilangkan itu tidak hanya punya keluarga, tetapi mereka adalah tulang punggung keluarga atau harapan keluarga. Jadi dengan dihilangkannya mereka oleh pemerintah Orde Baru yang lalu, keluarga mereka kini pincang, Pak. Tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk makan, biaya sekolah atau biaya berobat kalau mereka sakit. Memang sekarang Pak Presiden punya Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sejahtera. Tapi itu baru sekarang, Pak. Penderitaan mereka telah terjadi sejak 1998.
Wani dan Fajar anak Thukul, serta Dinis anak Yadin Muhidin juga memiliki persoalan dengan status Bapak mereka. Tidak ada orang atau pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa Wiji Thukul, Yadin Muhidin dan 11 yang lain yang dihilangkan itu sudah mati atau masih hidup. Meraka hilang. Ya, hilang Pak Presiden, karena dihilangkan. Oleh aparatur negara Orde Baru. Tidak ada yang bisa menunjukkan jenazah mereka. Juga tidak pernah ada yang menunjukkan keberadaan mereka. Status para korban penghilangan paksa ini mengambang, Pak Jokowi. Mereka tidak memiliki kuburan, tetapi mereka juga tidak ada di sekitar kita. Mungkin Pak Presiden bingung dengan penjelasan tentang status ini. Tapi kebingungan ini kami rasakan setidaknya sejak 16 tahun terakhir. Dan Pak Jokowi sebagai Presiden Indonesia, punya kuasa, punya alat, punya sarana untuk mengakhiri kebingungan kami ini.
Bapak Presiden Jokowi Yth,
Untuk pengetahuan Bapak, bagi keluarga korban, hal yang paling mendesak terkait penyelesaian kasus ini bukanlah Pengadilan HAM. Kami tahu, dalam sistem pengadilan yang korup, yang belum bisa dibereskan oleh Pak Presiden, kami tidak yakin akan bisa mendapatkan keadilan dari sana.
Bagi kami keluarga korban, yang paling penting bagi kami adalah untuk megetahui apakah mereka, kawan-kawan kami itu, Bapak, Suami, Pak Lik, Tulang, adik itu masih meninggal, atau masih hidup. Kalau sudah meninggal, dimana mereka dikuburkan. kalau masih hidup, walau mungkin kami sudah pangling tidak lagi mengenali mereka, tolong kembalikan pada kami, keluarganya.
Kami yakin, Bapak Presiden BISA memenuhi harapan kami tersebut, karena Bapak punya kekuasaan, punya alat, sarana, sumber daya dan segalanya. Mungkin persoalannya adalah adalah Bapak MAU atau tidak. Tapi percayalah, Pak Jokowi, kami dan masyarakat luas akan mendukung Bapak, berdiri dibelakang, samping, bahkan di depan Bapak Presiden bila Pak Presiden MAU.
Ayo Pak Jokowi. Dalam kasus penghilangan paksa, waktu satu detik itu sangat berharga. Karena satu detik itu mungkin bisa menyelamatkan mereka yang dihilangkan, yang mungkin sedang disekap. Mirip dengan Bapak yang pada detik-detik terakhir bisa menyelamatkan Mary Jane Veloso, warga negara Filipina itu, dari kemungkinan dieksekusi regu penembak.
Bapak Presiden Yth.,
Saya menulis laporan ini karena saya adalah kawan dari beberapa korban yang dihilangkan itu. Dan kini saya telah menjadi keluarga dari para korban yang masih hilang, karena selama 17 tahun terakhir, saya berjuang bersama-sama mereka mencari kawan-kawan yang hilang itu. Dan saya adalah satu dari korban yang selamat, Pak Presiden. Jadi saya menulis laporan untuk Presiden ini karena kawan-kawan dan keluarga tersebut masih hilang, dan saya selamat, penyintas.
Pak Jokowi Yth.,
Saya tahu Pak Jokowi pernah datang ke rumah Wiji Thukul di Kampung Kalangan, Kelurahan Jagalan, Solo. Pak Jokowi juga sudah bertemu Bapaknya Bimo Petrus bersama teman-teman IKOHI tahun lalu, yang waktu kampanye Presiden menyatakan dukungannya pada Pak Jokowi. Mereka-mereka inilah yang berharap Pak Jokowi turun tangan, melakukan apa yang Pak Jokowi ingin dan harus lakukan sebagai Presiden RI.
Cari dan temukan 13 aktivis pro demokrasi yang masih hilang, penuhi hak-hak pemulihan keluarga korban.
Semoga Bapak Jokowi sempat membaca, dan dibukakan hatinya.
Salam hormat,
Mugiyanto
*Catatan: Surat ini dikirimkan ke portal LaporPresiden.com pada tanggal 5 Mei 2015, bisa dilihat di sini ~> http://laporpresiden.org/355/temukan-aktivis-hilang-tahun-1997-1998-termasuk-wiji-thukul
Tuesday, March 24, 2015
A path less traveled
I am still here, in a path less traveled
But this is where I find life
Perhaps the second or seventh time
It is a new beginning
Subscribe to:
Posts (Atom)