I currently serve as the Vice Minister of Human Rights of the Republic of Indonesia. Before that, from 2002 to 2014 I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation. I was the Chair of AFAD, a Philippine-based Asian Federation Against Disappearances from 2006 to 2014. From 2015 to 2019 I was with INFID. From 2020 to 2024, I worked as a Senior Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Sunday, December 20, 2015
MAJU SELANGKAH LAGI, PAK PRESIDEN
(Catatan dari peringatan Hari HAM Sedunia)
11 Desember 2015,
Hari ini, untuk pertama kalinya, saya mendapat kesempatan menghadiri Peringatan Hari HAM Sedunia di Istana Negara. Bukan saya yang diundang, tetapi pimpinan organisasi dimana saya bekerja. Saya melihat ada para Menteri dan Kepala Lembaga Negara, Gubernur, Bupati/Walikota, pegiat dan pejuang HAM, anak-anak sekolah, para jurnalis dan lain-lain. Pembawa acara menyebutkan, hadirin berjumlah sekitar 300 orang. Pejabat negara yang terkait HAM juga hadir. Ada Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menkumham, Kapolri dan Ketua Komnas HAM.
Acara dibuka dengan pidato Ketua Komnas HAM yang menyampaikan apresiasi terhadap Presiden atas komitmennya terhadap penegakan HAM, serta kritik Komnas HAM terhadap Polisi dan Korporasi yang menjadi pihak terlapor terbanyak terkait kasus pelanggaran HAM. Peran Pemerintah Daerah dalam perlindungan dan pemenuhan HAM dalam konteks Kabupaten/Kota Ramah HAM juga disebutkan. Selanjutnya adalah laporan kegiatan Komnas HAM terkait Hari HAM Sedunia termasuk Konferensi Kabupaten/Kota Ramah HAM bersama INFID, Elsam dan Kemenkumham, serta pameran Museum Temporer dalam bungkus Rekoleksi Memori. Di bagian penutup, Keyua Komnas HAM menyampaikan aspirasi public yang mengharapkan agar pemerintah mendirikan Museum HAM yang permanen.
Pidato selanjutnya adalah Menkumham yang menyampaikan laporan kegiatan Kemenkumham selama satu tahun terakhir. Bebrapa diantaranya terkait penyusunan RANHAM, Promosi Kab/Kota Peduli HAM. Selebihnya, tidak banyak yang baru atau menjadi terobosan.
Pidato yang paling ditunggu-tunggu adalah Pidato inti, pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Sebelumnya, di luar, ada rumor bercampur harapan, bahwa Presiden Jokowi akan membuat kejutan terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Yang lain, menyatakan sudah habis harapannya. Saya sendiri masih memiliki sisa harapan, karena bila tidak, tentu saya tidak akan memenuhi undangan ke Istana Negara, yang karenanya saya juga tidak akan bisa membuat tulisan ini.
Presiden Jokowi memulai pidato dengan mengatakan bahwa HAM bukan hanya merupakan amanat konstitusi, tetapi landasan berelasi antara rakyat dan pemerintah. Selanjutnya, seperti biasa, dengan sangat lugas Presiden Jokowi memberikan pengakuan (acknowledgement) atas adanya berbagai persoalan HAM yang ada di Indonesia, antara lain 1) pelangaran HAM masa lalu; 2) persoalan agrarian; 3) masyarakat adat; 4) pendidikan dan kesehatan; dan 5) kelompok marjinal, minoritas dan disabilitas.
Lalu secara singkat pula, Presiden Jokowi menegaskan bahwa tanggung jawab HAM ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penanganan dan pemenuhan HAM harus dipercepat. Kata “dipercepat” yang ditekankan oleh Presiden Jokowi ini penting, karena merupakan pengakuan atas lambannya penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu, Presiden Jokowi dengan suara yang nyaring mengatakan, diperlukan “Keberanian”, untuk melakukan “Rekonsiliasi”, serta menjajaki jalan “Yudisial”dan “Non Yudisial”. Pilihan kata yang diambil oleh Presiden Jokowi ini penting kita perhatikan, karena disanalah (bibit-bibit) keraguan atau ketidak percayaan publik mulai muncul. Komitmen indah dalam Nawacita dirasakan publik mulai dilupakan oleh Presiden. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu belum juga tersentuh. Pihak-pihak terkait di pemerintahan (Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menkumham, Komnas HAM) semuanya mengatakan bahwa formula kebijakan terbaik masih sedang diselesaikan. Ini adalah formulasi jawaban, the same old song, yang telah kita dengarkan sejak 2009, sejak awal periode kedua Pemerintahan SBY. Bukankah Presiden Jokowi adalah pembeda?!
Pidato Presiden Jokowi ini sebenarnya biasa saja. Tidak banyak yang baru. Juga tidak konkrit, atau actionable. Kebanyakan hanya pengulangan dan penekanan. Tetapi pengakuan adanya berbagai persoalan masih patut diapresiasi. Pengakuan dan penghargaan beberapa daerah terkait HAM yang dikemas dalam konsep Kab/Kota Ramah HAM mungkin bisa dibilang baru. Namun dari perspektif yang positif, saya melihat, Presiden Jokowi masih membuka diri pada masukan-masukan konstruktif. Saya bisa melihat dari poin-poin persoalan yang diidentifikasi dan diksi atau pilihan kata yang diambil. Tidak sepenuhnya ia dikendalikan oleh mereka yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.
Pilihan kata-kata “Dipercepat”, “Keberanian”, “Rekonsiliasi”, mekanisme “Yudisial dan Non Yudisial” adalah kata-kata kunci, magic words, yang mustinya ditunjukkan realisasinya. Kata “Dipercepat” harus dijadikan Jaksa Agung untuk mempercepat proses penyidikan dan penuntutan atas berkas-berkas kasus pelanggaran berat HAM yang sudah ada di laci Jaksa Agung. Lalu karena mekanisme “Non Yudisial”juga disebut Presiden, maka bila Komisi Kebenaran (Truth Commission) dijadikan pilihan mekanisme pelengkap (complimentarity), proses penyusunan dan pengesahan rancangan undang-undangnya harus dipercepat penyelesaiannya.
Kata “Keberanian” memiliki makna sentral. “Keberanian” sebenarnya merupakan hal yang biasa. Tetapi karena jarang dimiliki manusia dalam memperjuangkan atau melakukan hal-hal yang merupakan kebajikan, ia menjadi barang mewah. Padahal, tanpanya, manusia bukanlah manusia. Sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, tanpa “Keberanian”, manusia adalah ternak-ternak, yang siap digiring ke sana kemari oleh pemiliknya.
Terkait “Keberanian” ini, Perdana Menteri Canada yang baru terpilih memberi tauladan juara bagi pemimpin atau kepala negara. Minggu lalu, Justin Trudeau, Perdana Menteri berusia 43 tahun ini menyampaikan permintaan maaf resmi (apologies) dan pengampunan (forgiveness) kepada masyarakat Aborigin yang menjadi korban kebijakan di masa lalu. Tidak hanya minta maaf, Perdana Menteri Tradeau juga mengucapkan terima kasih atas Keberanian para korban. “I say: thank you for your extraordinary bravery and for your willingness to help Canadians understand what happened to you”. Tradeau memiliki keberanian berlapis. Pertama ia memiliki Keberanian meminta maaf dan pengampunan kepada para korban. Selanjutnya ia memiliki Keberanian untuk berterima kasih kepada para korban atas Keberanian mereka membantu Kanada (sebagai Bangsa) mengetahui masa lalunya.
Soal percepatan, keberanian, rekonsiliasi serta mekanisme judisial dan non judisial, terkait pelanggaran HAM masa lalu yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato peringatan Hari HAM Sedunia sejatinya adalah self reminder, peringatan pada diri Presiden Jokowi sendiri. Setidaknya UUD 1945 sebagai Konstitusi dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengamanatkan bahwa Negara, khususnya Pemerintah adalah pemegang tanggung jawab di bidang HAM. Presiden juga telah diamanatkan undang-undang untuk mengeluarkan Perpres pembentukan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus yang telah diselesaikan Komnas HAM dan DPR, yatu kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998. Demikian juga untuk langkah-langkah lain terkait pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan (reparasi).
Pak Presiden, waktunya telah tiba. Kata-kata telah terucap berulang kali. Kini waktunya melangkah, kerja.
Monday, September 07, 2015
My Life, My Struggle
This is some part of me, in a 14 minute interview with Indoprogress TV, in July 7, 2014.
It is about my activism, my struggle and the way I see Jokowi as the then President Candidate.
Thanks to friends at INDOPROGRESS.
Please watch here: https://www.youtube.com/watch?v=lJdgGGSbIkw
Tuesday, July 14, 2015
LATE POSTING 21 Oktober 2014 - Kami Merayakan Pelantikan Presiden Baru
Selama dua malam berturut-turut, tanggal 18 dan 20 Oktober 2014, pada malam hari, bersama keluarga kecil saya turut bergabung dengan segenap masyarakat di Jakarta untuk mensyukuri dan merayakan pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden ke 7 Republik Indonesia.
Saya memang sangat bungah, juga anak dan istri saya. Rasa bungah kami bukan karena Jokowi adalah Presiden sempurna yang pasti akan segera membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi, membawa masyarakat yang berkeadilan, berkemakmuran, dan berkesejahteraan, karena itu mustahil. Waktu maksimal 10 tahun bagi Jokowi tidak akan bisa digunakan untuk mewujudkan masyarakat impian seperti itu. Karena Jokowi bukan tukang sulap, bukan wali, apalagi malaikat. Ia tetap saja merupakan bekas seorang juragan mebel (kalau saya cuma tukang ukir), yang karena laku lampahnya, kerja kerasnya, kesederhanaannya, yang dianggap baik oleh banyak orang, kemudian ia dipilih orang-orang itu untuk menjadi pemimpin. Mulai dari walikota, gubernur dan kini jadi Presiden Indonesia.
Kami sekeluarga sadar sepenuhnya, ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku (terms and conditions applied!) bagi Jokowi untuk bisa berhasil memenuhi harapan jutaan masyarakat Indonesia. Terms and conditions itulah yang kami pegang untuk setiap waktu kami sampaikan ke Jokowi, dengan cara yang kami bisa, di sepanjang masa kekuasaannya. Dalam konteks ini, syukuran dan perayaan kami atas dilantiknya Jokowi adalah syukuran dan perayaan yang bersyarat!
Kembali soal syukuran dan perayaan. Selain dialamatkan pada Presiden Jokowi, walaupun term and condition applied, rasa syukur dan bungah kami lebih merupakan ekspresi perasaan dan sikap kami sekeluarga atas hasil Pemilu 9 Juli 2014, dimana mayoritas rakyat Indonesia memilih untuk tidak memilih Prabowo Subianto. Nilai (value) di keluarga kami adalah bahwa orang yang tercela, bermasalah terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, hak-hak asasi manusia, dan belum pernah mempertanggungjawabkannya secara hukum, politik dan moral, serta tidak kelihatan memiliki itikad baik untuk tidak patut menjadi pemimpin publik.
Saya memang sangat bungah, juga anak dan istri saya. Rasa bungah kami bukan karena Jokowi adalah Presiden sempurna yang pasti akan segera membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi, membawa masyarakat yang berkeadilan, berkemakmuran, dan berkesejahteraan, karena itu mustahil. Waktu maksimal 10 tahun bagi Jokowi tidak akan bisa digunakan untuk mewujudkan masyarakat impian seperti itu. Karena Jokowi bukan tukang sulap, bukan wali, apalagi malaikat. Ia tetap saja merupakan bekas seorang juragan mebel (kalau saya cuma tukang ukir), yang karena laku lampahnya, kerja kerasnya, kesederhanaannya, yang dianggap baik oleh banyak orang, kemudian ia dipilih orang-orang itu untuk menjadi pemimpin. Mulai dari walikota, gubernur dan kini jadi Presiden Indonesia.
Kami sekeluarga sadar sepenuhnya, ada banyak syarat dan ketentuan yang berlaku (terms and conditions applied!) bagi Jokowi untuk bisa berhasil memenuhi harapan jutaan masyarakat Indonesia. Terms and conditions itulah yang kami pegang untuk setiap waktu kami sampaikan ke Jokowi, dengan cara yang kami bisa, di sepanjang masa kekuasaannya. Dalam konteks ini, syukuran dan perayaan kami atas dilantiknya Jokowi adalah syukuran dan perayaan yang bersyarat!
Kembali soal syukuran dan perayaan. Selain dialamatkan pada Presiden Jokowi, walaupun term and condition applied, rasa syukur dan bungah kami lebih merupakan ekspresi perasaan dan sikap kami sekeluarga atas hasil Pemilu 9 Juli 2014, dimana mayoritas rakyat Indonesia memilih untuk tidak memilih Prabowo Subianto. Nilai (value) di keluarga kami adalah bahwa orang yang tercela, bermasalah terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, hak-hak asasi manusia, dan belum pernah mempertanggungjawabkannya secara hukum, politik dan moral, serta tidak kelihatan memiliki itikad baik untuk tidak patut menjadi pemimpin publik.
Subscribe to:
Posts (Atom)