Hari Keadilan Sedunia dan Ironi Keadilan Indonesia
Mugiyanto
Mugiyanto
"In the prospect of an international criminal court lies the promise of universal justice. That is the simple and soaring hope of this vision. We are close to its realization. We will do our part to see it through till the end. We ask you . . . to do yours in our struggle to ensure that no ruler, no State, no junta and no army anywhere can abuse human rights with impunity."
-- Kofi Annan, Sekjen PBB
Oleh masyarakat hak-hak asasi manusia, tanggal 17 Juli dicanangkan sebagai Hari Keadilan Sedunia (World Day of Justice). Pencanangan ini ditandai dengan disepakatinya sebuah Statuta untuk Mahkamah Pidana Internasional (Statute for an International Criminal Court) oleh 160 negara dalam sebuah Konferensi Diplomatik Internasional di Roma, Italia pada tanggal 17 Juli 1998.
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) adalah sebuah pengadilan internasional yang bersifat permanen untuk mengadili individu-individu yang diangap bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan yang dianggap paling serius bagi masyarakat global, yaitu genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun demikian, baru terhitung sejak 1 Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional berlaku aktif, setelah lebih dari 60 negara melakukan ratifikasi. Sayangnya, Indonesia belum merupakan negara yang meratifikasi Statuta Roma tersebut (sampai hari ini sudah ada 99 negara yang meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional), walaupun pemerintah Indonesia terlibat aktif pada Konferensi Diplomatik yang menelurkan Mahkamah Pidana Internasional tersebut. Dalam Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Ranham) 2004 – 2009, disebutkan Indonesia akan meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 2009. Itupun masih perlu penegasan pemerintah mengingat rencana ratifikasi tersebut tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
* * *
Bila di tataran global kita melihat adanya semangat masyarakat dunia untuk menegakkan keadilan dan melawan impunitas, di Indonesia kita melihat kenyataan yang sebaliknya. Bebasnya seluruh terdakwa atas pelanggaran HAM pada kasus Timor Timur 1999, kecuali pimpinan milisi pro integrasi Eurico Guterres, oleh Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan contoh yang masih segar di ingatan masyarakat. Oleh Komisi Ahli (Commission of Experts) bentukan Sekjen PBB Kofi Annan, proses pengadilan kasus Timor Timur di Jakarta itu dinyatakan gagal untuk menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Pengadilan di Jakarta ini dianggap nyata-nyata tidak memadai (manifestly inadequate) dan menunjukkan kurangnya respek atau kurang sesuai dengan standar internasional yang relevan (scant respect for or conformity to relevant international standards). Kerja dari penuntut dinyatakan tidak memadai, tuntutan tidak konsisten, dan impunitas tidak terbendung.
Selanjutnya pada Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok 1984, hanya dua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah dan divonis, yaitu Rudolf Butarbutar (Dandim Jakarta Utara) dan Sutrisno Mascung (Komandan Regu III Yon Arhanudse-06). Akan tetapi, ketika mengajukan banding di pengadilan tinggi, mereka berdua ini dibebaskan setelah dinyatakan tidak terbukti bersalah. Baru setelah didesak oleh keluarga korban dan masyarakat, akhirnya pihak Kejaksaan Agung mengatakan akan mengajukan kasasi atas putusan pengadilan tinggi. Akan tetapi putusan pengadilan itu telah secara nyata memberi kekebalan hukum pada pelaku pelanggaran HAM yang menimbulkan ratusan orang meninggal dan hilang tersebut.
Kedua Pengadilan HAM Ad Hoc, baik itu atas kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 telah menunjukkan adanya anomali, dimana kasus besar yang secara vulgar nyata-nyata terjadi dan menimbulkan jatuhnya korban yang tidak sedikit, oleh Pengadilan HAM Ad Hoc diputuskan tidak ada yang bertanggung jawab, bahkan tidak ada pelakunya. Dari sinilah muncul pertanyaan awam, lalu siapa yang membumihanguskan Timor Timur, menembaki masyarakat sipil? Lalu siapa yang melakukan penembakan membabi buta di malam hari tanggal 12 September 1984? Dan siapa pula yang menyeret, menyekap dan menyiksa orang-orang di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Guntur, Jakarta waktu itu?
* * *
Belum bergabungnya Indonesia dalam rezin keadilan global juga ditunjukkan dengan belum tersentuhnya pelaku pelanggaran berat HAM pada kasus-kasus seperti peristiwa Mei 1998, peristiwa Trisakti-Semanggi I dan Semanggi II (TSS), peristiwa Lampung 1989 dan terakhir peristiwa penghilangan paksa aktifis demokrasi tahun 1998. Pada kasus terakhir para perwira tinggi TNI secara tegas menyatakan menolak memberi keterangan kepada Komnas HAM yang punya wewenang hukum melakukan penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM.
Hal serupa terjadi pada usaha pengungkapan kasus pembunuhan atas aktifis HAM Munir. Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden SBY pun belum berhasil mengungkap fakta setelah gagal memeriksa para (mantan) pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) yang masih (bisa) menikmati impunitas.
Ironis memang, ketika kecenderungan global telah secara nyata bergerak ke aras keadilan dan perang melawan impunitas, Indonesia justru masih terus berkutat pada usaha-usaha untuk membatasi keadilan dan melanggengkan impunitas, dan karenanya keadilan hanya ada dipikiran korban. Ironisnya lagi, semua itu terjadi justru di saat Indonesia punya rejim baru yang menjanjikan perubahan, dan menjadi ketua Komisi HAM PBB yang terhormat.
No comments:
Post a Comment