Reconciliation was the Trojan horse used to smuggle an unpleasant aspect of the past
(that is, impunity) into the present political order.
(Richard A. Wilson, The Politics of TRC in South Africa)
Segera setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, wacana tentang Komisi Kebenaran sebagai mekanisme transisional untuk menangani berbagai pelanggaran berat HAM masa lalu sangat populer. Akan tetapi, tidak ada respon positif dari negara untuk merealisasikan pendirian komisi kebenaran tersebut. Baru lima tahun kemudian, wacana tersebut disambut oleh pemerintah, dalam hal ini Kementarian Kehakiman dan HAM dengan mengajukan rancangan UU-nya ke DPR. Mulai pertengahan tahun 2003 itulah penggodogan KKR dimulai lagi, hingga keluar menjadi Undang-Undang pada tanggal 7 September, 2004.
Oleh beberapa kalangan, pelaksanaan KKR pada periode ini dianggap terlambat karena momentum politik yang sudah tidak tersedia lagi. Momentum yang dianggap konsudif bagi terlaksananya KKR, yaitu ketika kelompok pelanggar HAM rejim sebelumnya tidak terlalu dominan dalam kehidupan sosial dan politik, pada saat ini sudah berlalu. Bahkan saat ini, secara gamblang bisa dilihat bahwa kelompok ini telah kembali dominan.
Tulisan singkat ini tidak diarahkan untuk membahas apakah KKR urgent atau tidak, atau apakan sesuai dengan momentum atau tidak, akan tetapi pada apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk menjadikan kelemahan-kelemahan yang ada pada KKR diminimalisir. Disinilah pentingnya respon dari masyarakat sipil, mengingat KKR dalam waktu dekat akan segera dijalankan.
***
Hal pertama yang harus kita jadikan landasan untuk bersikap adalah pemahaman bahwa KKR merupakan lembaga non-judisial. Ia bukan merupakan sebuah lembaga yang hendak digunakan menangani tindak pelanggaran HAM secara hukum, karena cara penyelesaian melalui jalur hukum ada pada Pengadilan HAM yang proses penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM. Oleh karena itu, kita harus memposisikan KKR secara sejajar atau paralel dengan Pengadilan HAM.
Kedua, posisi yang paralel diantara KKR dan Pengadilan HAM tersebut tidak berarti bahwa hubungan keduanya adalah saling mengganti (substitutif) dan opsional. Sebaliknya, hubungan keduanya adalah komplementer atau saling melengkapi. Dengan posisi dan hubungan yang demikian, KKR dan pengadilan HAM tidak seharusnya saling dipertentangkan. Penggunaan dua mekanisme tersebut harus disesuaikan dengan corak dan pola peristiwa pelanggaran HAM yang hendak ditangani, mana yang lebih memungkinkan terungkapnya peristiwa secara objektif dan lebih memungkinkan tercapainya keadilan.
Dua hal di atas tidak secara eksplisit tercermin dalam UU KKR No. 27/2004, tapi sebaliknya terdapat pasal-pasal yang menempatkan KKR sebagai substitusi dari Pengadilan HAM, seperti pasal 44 yang menyatakan bahwa kasus yang telah diselesaikan oleh KKR tidak bisa lagi dibawa lagi ke Pengadilan HAM. Pasal ini berseberangan dengan UU No 26 tahun 2000 yang telah menempatkan KKR sebagai pelengkap (komplementer) terhadapnya.
***
Hal lain yang sampai saat ini masih menjadi keberatan para korban adalah tentang pasal amnesti atau pengampunan. Pertama, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran HAM sendiri masih ditolak oleh sebagian korban. Selain merupakan bagian dari impunitas, amnesti juga bertentangan dengan semangat keadilan. Pemberian amnesti bagi palaku pelanggaran berat HAM bertentangan dengan norma hukum internasional yang mensyaratkan pengadilan dan penghukuman. Kedua, pemberian amnesti yang dianggap sebagai reward atau penghargaan kepada pelaku pelanggaran HAM agar bersedia mengungkap kebenaran dan melakukan pengakuan dianggap tidak efektif. Banyak yang meyakini bahwa pengakuan oleh pelaku pelanggaran HAM tetap tidak akan banyak terjadi di KKR, walau dengan reward amnesti sekalipun, karena para pelaku akan lebih suka menghadapi pengadilan HAM yang juga tidak akan menghukum mereka. karena itulah, amnesti adalah ineffective dan tidak berguna, dan hanya akan menyakiti pihak korban. Atas dasar itu, banyak yang mengusulkan, termasuk International Centre for Transitional Justice (ICTJ) agar pasal tentang amnesti dicabut.
Pasal 27 UU No 27 tahun 2004 juga masih sangat kontroversial. Disana disebutkan bahwa hak-hak korban atas rehabilitasi dan kompensasi akan diberikan hanya ketika pelaku diberi amnesti oleh presiden. Disinilah terlihat jelas bahwa posisi korban dalam KKR disubordinasi oleh pelaku pelanggaran HAM. Hak-hak korban yang seharusnya melekat tanpa syarat apapun mejadi sebuah hadiah yang akan diberikan oleh negara karena pelaku diberi amnesti.
Atas dasar itulah, beberapa kelompok korban dan organisasi HAM mengajukan judicial review atas dua pasal kontroversial tersebut.
***
Selain pada faktor keseriusan presiden dalam penegakan HAM dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, faktor berhasil tidaknya KKR menjalankan mandat idealnya terletak pada 21 anggota yang sampai saat ini masih diseleksi. Kelemahan-kelemahan dalam pasal-pasal KKR bisa diperkuat dengan komitmen dan tindakan-tindakan para anggota Komisi kelak. Untuk itulah, anggota KKR yang punya pemahaman, dedikasi dan komitmen kuat untuk menegakkan HAM sangat dibutuhkan untuk mensukseskan KKR ini. Lebih dari itu, legitimasi publik dan kredibilitas para anggota juga akan menentukan legitimasi dan kredibilitas proses dan hasil kerja KKR dikemudian hari.
Melihat hal yang demikian, kemudian direfleksikan dengan figur 1300-an calon anggota yang mendaftar pada Panitia Seleksi KKR, penulis agak pesimis bahwa Panitia Seleksi akan mampu menjaring figur-figur yang berkomitmen, berdedikasi, berpengetahuan dan memiliki basis dukungan dan legitimasi yang kuat. Terlebih lagi ketika pada putaran ketiga seleksi, dimana dari 61 calon tersaring masih tampak adanya figur-figur yang patut dipertanyakan karena latar belakang militer disandangnya dan rekam jejak mereka di masa lalu yang sama sekali tidakmenunjukkan keberpihakannya pada keadilan. Karena itulah, faktor pemerintah dalam hal ini Presiden SBY akan sangat menentukan apakan KKR ini akan mampu menjadi mekanisme non-judicial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara objektif, jujur, terbuka dan berkeadilan, dan akan mengkasilkan rekonsiliasi nasional yang sejati, atau akan menjadi keranjang impunitas.
[1] Ketua Ikatan keluarga Orang Hilang Indonesia, korban penculikan aktifis 1998
Oleh beberapa kalangan, pelaksanaan KKR pada periode ini dianggap terlambat karena momentum politik yang sudah tidak tersedia lagi. Momentum yang dianggap konsudif bagi terlaksananya KKR, yaitu ketika kelompok pelanggar HAM rejim sebelumnya tidak terlalu dominan dalam kehidupan sosial dan politik, pada saat ini sudah berlalu. Bahkan saat ini, secara gamblang bisa dilihat bahwa kelompok ini telah kembali dominan.
Tulisan singkat ini tidak diarahkan untuk membahas apakah KKR urgent atau tidak, atau apakan sesuai dengan momentum atau tidak, akan tetapi pada apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk menjadikan kelemahan-kelemahan yang ada pada KKR diminimalisir. Disinilah pentingnya respon dari masyarakat sipil, mengingat KKR dalam waktu dekat akan segera dijalankan.
***
Hal pertama yang harus kita jadikan landasan untuk bersikap adalah pemahaman bahwa KKR merupakan lembaga non-judisial. Ia bukan merupakan sebuah lembaga yang hendak digunakan menangani tindak pelanggaran HAM secara hukum, karena cara penyelesaian melalui jalur hukum ada pada Pengadilan HAM yang proses penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM. Oleh karena itu, kita harus memposisikan KKR secara sejajar atau paralel dengan Pengadilan HAM.
Kedua, posisi yang paralel diantara KKR dan Pengadilan HAM tersebut tidak berarti bahwa hubungan keduanya adalah saling mengganti (substitutif) dan opsional. Sebaliknya, hubungan keduanya adalah komplementer atau saling melengkapi. Dengan posisi dan hubungan yang demikian, KKR dan pengadilan HAM tidak seharusnya saling dipertentangkan. Penggunaan dua mekanisme tersebut harus disesuaikan dengan corak dan pola peristiwa pelanggaran HAM yang hendak ditangani, mana yang lebih memungkinkan terungkapnya peristiwa secara objektif dan lebih memungkinkan tercapainya keadilan.
Dua hal di atas tidak secara eksplisit tercermin dalam UU KKR No. 27/2004, tapi sebaliknya terdapat pasal-pasal yang menempatkan KKR sebagai substitusi dari Pengadilan HAM, seperti pasal 44 yang menyatakan bahwa kasus yang telah diselesaikan oleh KKR tidak bisa lagi dibawa lagi ke Pengadilan HAM. Pasal ini berseberangan dengan UU No 26 tahun 2000 yang telah menempatkan KKR sebagai pelengkap (komplementer) terhadapnya.
***
Hal lain yang sampai saat ini masih menjadi keberatan para korban adalah tentang pasal amnesti atau pengampunan. Pertama, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran HAM sendiri masih ditolak oleh sebagian korban. Selain merupakan bagian dari impunitas, amnesti juga bertentangan dengan semangat keadilan. Pemberian amnesti bagi palaku pelanggaran berat HAM bertentangan dengan norma hukum internasional yang mensyaratkan pengadilan dan penghukuman. Kedua, pemberian amnesti yang dianggap sebagai reward atau penghargaan kepada pelaku pelanggaran HAM agar bersedia mengungkap kebenaran dan melakukan pengakuan dianggap tidak efektif. Banyak yang meyakini bahwa pengakuan oleh pelaku pelanggaran HAM tetap tidak akan banyak terjadi di KKR, walau dengan reward amnesti sekalipun, karena para pelaku akan lebih suka menghadapi pengadilan HAM yang juga tidak akan menghukum mereka. karena itulah, amnesti adalah ineffective dan tidak berguna, dan hanya akan menyakiti pihak korban. Atas dasar itu, banyak yang mengusulkan, termasuk International Centre for Transitional Justice (ICTJ) agar pasal tentang amnesti dicabut.
Pasal 27 UU No 27 tahun 2004 juga masih sangat kontroversial. Disana disebutkan bahwa hak-hak korban atas rehabilitasi dan kompensasi akan diberikan hanya ketika pelaku diberi amnesti oleh presiden. Disinilah terlihat jelas bahwa posisi korban dalam KKR disubordinasi oleh pelaku pelanggaran HAM. Hak-hak korban yang seharusnya melekat tanpa syarat apapun mejadi sebuah hadiah yang akan diberikan oleh negara karena pelaku diberi amnesti.
Atas dasar itulah, beberapa kelompok korban dan organisasi HAM mengajukan judicial review atas dua pasal kontroversial tersebut.
***
Selain pada faktor keseriusan presiden dalam penegakan HAM dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, faktor berhasil tidaknya KKR menjalankan mandat idealnya terletak pada 21 anggota yang sampai saat ini masih diseleksi. Kelemahan-kelemahan dalam pasal-pasal KKR bisa diperkuat dengan komitmen dan tindakan-tindakan para anggota Komisi kelak. Untuk itulah, anggota KKR yang punya pemahaman, dedikasi dan komitmen kuat untuk menegakkan HAM sangat dibutuhkan untuk mensukseskan KKR ini. Lebih dari itu, legitimasi publik dan kredibilitas para anggota juga akan menentukan legitimasi dan kredibilitas proses dan hasil kerja KKR dikemudian hari.
Melihat hal yang demikian, kemudian direfleksikan dengan figur 1300-an calon anggota yang mendaftar pada Panitia Seleksi KKR, penulis agak pesimis bahwa Panitia Seleksi akan mampu menjaring figur-figur yang berkomitmen, berdedikasi, berpengetahuan dan memiliki basis dukungan dan legitimasi yang kuat. Terlebih lagi ketika pada putaran ketiga seleksi, dimana dari 61 calon tersaring masih tampak adanya figur-figur yang patut dipertanyakan karena latar belakang militer disandangnya dan rekam jejak mereka di masa lalu yang sama sekali tidakmenunjukkan keberpihakannya pada keadilan. Karena itulah, faktor pemerintah dalam hal ini Presiden SBY akan sangat menentukan apakan KKR ini akan mampu menjadi mekanisme non-judicial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara objektif, jujur, terbuka dan berkeadilan, dan akan mengkasilkan rekonsiliasi nasional yang sejati, atau akan menjadi keranjang impunitas.
[1] Ketua Ikatan keluarga Orang Hilang Indonesia, korban penculikan aktifis 1998
No comments:
Post a Comment