I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Friday, February 07, 2014
Ibukku Membunuh Bapakku
Tanggal 5 Februari 2014, Fajar Merah menyampaikan kabar mengagetkan melalui akun twitter-nya @FajarMerah_. Dalam kicauannya yang hanya tiga baris itu ia bilang bahwa Ibunya, yang tak lain adalah Dyah Sujirah atau yang biasa dipanggil Sipon, membunuh Bapaknya, Wiji Thukul,seniman rakyat yang dihilangkan oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1998.
@FajarMerah_: Ibuku membunuh Bapakku agar bisa dapat pinjaman dari Bank untuk modal usaha
@FajarMerah_: Ibukku sedang mengurus surat kematian Bapakku. Padahal Bapakku entah hidup/mati
@FajarMerah_: Karena status "Dihilangkan Negara" tidak membantu cairnya dana pinjaman
Orang mungkin mengira bahwa Fajar Merah sedang bercanda, atau sengaja mengirimkan kabar bohong untuk mencari perhatian seperti yang dilakukan oleh para Caleg atau Capres. Tapi Fajar Merah menyampaikan kebenaran, Ibunya memang sedang mematikan Bapaknya. Karena bila tidak, tidak ada lagi yang mau atau mampu membantu menyambung kehidupan ekonomi keluarga. Tetapi Ibunya tidak melakukan itu karena ia ingin melakukannya. Sipon HARUS membunuh Thukul karena Negara memaksanya melakukan hal yang demikian. Selama lebih dari 16 tahun, hampir sepanjang usia Fajar Merah, Sipon dipojokkan oleh negara hingga ia tidak punya pilihan pada hari ini. Sipon HARUS membunuh Thukul!
Bagi negara, status Wiji Thukul adalah sebuah anomali dari sistem kependudukan yang super aneh. Karena negara hanya mengenal dan mengakui warga negaranya bila mereka tercatat sebagai orang yang pernah dilahirkan, hidup, lalu mati. Makanya kita hanya punya Akte Kelahiran, lalu berbagai piagam atau sertifikat yang menunjukkan bahwa kita pernah hidup, kemudian Akte Kematian atau Surat Keterangan Kematian. Sistem kependudukan NKRI belum mengenal adanya orang yang urutan catatan kependudukannya Dilahirkan, Hidup, lalu Dihilangkan seperti Wiji Thukul. Dengan anomali status seperti yang terjadi pada Wiji Thukul, sayangnya negara belum mempunyai sistem yang memadai. Berbeda dengan di Argentina dan negara-negara lain yang bisa mengeluarkan akta yang menjelaskan bahwa "seseorang itu tidak ada karena dihilangkan".
Karena itulah, Sipon tidak bisa mendapatkan pelayanan negara sebagaimana warga negara yang lain. Sipon mengalami diskriminasi karena status suaminya. Padahal Negaralah yang menjadikan suaminya memiliki status seperti itu; Hilang, karena Dihilangkan (oleh Negara!). Tragisnya, Negara hanya memberi satu kupon kepada Sipon untuk bisa mendapatkan layanan publik yang disediakan negara untuk bertahan hidup; Mematikan Suaminya, Wiji Thukul.
Negara harus tahu hal ini. Dan negara sebenarnya sudah tahu. Tetapi negara memilih pura-pura tidak tahu. Karena kalau masyarakat tahu bahwa negara tahu, Negara akan dituntut untuk bertanggung jawab. Dan sampai hari ini, tanggung jawab itulah yang selalu dihindari oleh negara. Negara juga sudah tahu, bahwa Wiji Thukul tidak sendirian. Ada ratusan bahkan ribuan orang yang memiliki status seperti Wiji Thukul.
Sampai kapan Negara akan terus memaksa kita "Membunuh" korban penghilangan paksa???
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment