Berdiam Melawan Lupa
MATAHARI menyengat ketika Maria Catarina Sumarsih membuka payung hitam di seberang Istana Negara, Kamis pekan lalu. Ibunda Bernardus Realino Norma Irmawan—korban tewas peristiwa Semanggi 1998—bersama 32 koleganya mengenakan baju hitam. Tak ada gemuruh orasi seperti layaknya demonstrasi. Aspirasi diungkapkan melalui spanduk dan payung yang bertulisan aneka tuntutan pengusutan kasus pelanggaran hak asasi.
Setiap Kamis, anggota Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban ini menagih janji Presiden dan mengingatkan publik soal belum tuntasnya kasus pelanggaran hak asasi masa lalu. ”Aksi Kamisan akan berhenti kalau ada pengadilan hak asasi manusia,” kata Sumarsih. Selain mengusung spanduk, mereka memajang foto-foto orang hilang dan keluarga korban pembunuhan 1965.
Peserta aksi ini mencerminkan keberagaman anggota Jaringan. Kamis pekan lalu, ada 33 orang yang datang. Ada Suciwati, janda almarhum Munir; Nurlaila (korban kasus Sekolah Menengah Pertama 56 Melawai); Sumarsih (keluarga korban insiden Semanggi); Darwin (korban kerusuhan Mei); serta Bejo Untung, Tumiso, Susmadja (korban 1965). Selain itu, solidaritas datang dari Ketua Jaringan Relawan Kemanusiaan Romo Sandyawan dan Christina Widi-antarti dari Forum Warga Kota Jakarta.
Aksi dimulai pukul 16.00 WIB. Setelah satu jam, mereka melipat payung dan membuat lingkaran. Seusai aksi diam, ada sesi refleksi: beberapa orang diminta bicara apa saja tentang isu hak asasi manusia. Romo Sandyawan didapuk untuk berpidato. Ia bicara soal penolakan para purnawirawan menghadiri undangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, selain menyinggung soal kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.
Nurlaila sempat didaulat untuk memberikan refleksi. Tapi ia tak beranjak dari tempat duduknya. ”Saya belum siap,” katanya. Ia datang dalam acara ini sebagai bentuk solidaritas sesama korban kesewenang-wenangan. Telah lima kali ia datang dalam demo Kamisan ini. ”Saya kan pengacara, pengangguran banyak acara,” kata ibu rumah tangga ini terkekeh.
l l l
DEMO Kamisan terinspirasi oleh gerakan perlawanan korban pelanggaran hak asasi manusia dan keluarganya di berbagai belahan dunia. Menurut Sumarsih, ide membuat aksi ini muncul melalui beberapa diskusi. Salah satunya adalah pertemuan Jaringan dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan akhir 2006. Saat itu Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang Haris Azhar memberikan sejumlah contoh kegiatan yang bisa dilakukan untuk menggalang aksi solidaritas.
Gerakan perempuan Korea, yang menuntut keadilan dalam kasus jugun ianfu, misalnya. Dengan mengenakan pakaian putih, setiap Rabu, mereka menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul. Contoh lain, gerakan perempuan Argentina yang anaknya diculik dan dihilangkan oleh junta militer Argentina pimpinan Jenderal Fidela.
Di Indonesia, aksi diam itu dilakukan pada Kamis karena pertimbangan praktis. Menurut Sumarsih, Senin tak dipilih karena anggota Jaringan punya kesibukan sendiri-sendiri. Selasa ada agenda rutin sidang kasus Munir. Rabu, Komisi untuk Orang Hilang punya agenda diskusi rutin. ”Ketemulah Kamis.” Jumat tidak dipilih karena waktunya pendek.
Dalam pertemuan 12 Januari 2007 itu juga disepakati para demonstran mengenakan busana hitam-hitam plus menenteng payung hitam. Warna ini dipilih sebagai simbol keteguhan. ”Kami sepakat, kalaupun pesertanya cuma tiga orang, aksi akan tetap jalan,” kata Sumarsih. Umumnya peserta demo ini berkisar 20 sampai 80 orang. Jadi, ”Belum pernah sampai cuma tiga orang.” Aksi Kamisan pertama dilakukan 18 Januari 2007, dan hingga pekan lalu sudah 65 Kamis yang mereka lalui.
Tak semua demo Kamisan berjalan mulus. Pada aksi pertama, 18 Januari 2007, mereka dihadang polisi. Tapi mereka tak mundur, meski polisi meminta mereka bubar. Pada Kamisan 16 Agustus 2007, polisi juga meminta aksi dibatalkan karena ada geladi bersih peringatan tujuh belasan.
Pada 6 September tahun lalu, acara Kamisan bersamaan dengan kedatangan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Istana Negara. Menurut Kepala Divisi Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi untuk Orang Hilang Yati Andriyani, sebelumnya memang ada polisi yang menelpon meminta aksi dibatalkan. Tapi permintaan ini diabaikan. Akibatnya, sesaat sebelum rombongan Putin mendekati Istana Negara, terjadi tarik-menarik payung antara massa dan polisi. ”Saat itu korban bergandengan tangan sehingga upaya polisi tak berhasil,” kata Yati.
Kamisan yang sangat menegangkan terjadi 17 April lalu. Sebelum aksi itu terjadi, polisi sempat memberitahukan kebijakan baru tentang larangan melakukan demonstrasi yang terlalu dekat dengan Istana Negara. Jaringan tak mempedulikan peringatan itu. Walhasil, saat pendemo tiba di lokasi, tempat demo sudah diisi 14 mobil polisi. Massa tak gentar dan memilih duduk di depan mobil polisi. Setelah melalui negosiasi, mobil polisi ini pun berlalu dan aksi bisa jalan terus. ”Konsistensi, kesungguhan, dan ketulusan itu juga meluluhkan aparat keamanan,” kata Yati.
Hampir pada setiap aksi Kamisan mereka juga tak lupa mengirimkan surat kepada Presiden. Dari puluhan surat itu, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa baru sekali memberikan balasan. Dalam surat tertanggal 28 September 2007, Hatta Rajasa menyampaikan telah berkirim surat kepada Kejaksaan Agung agar menampung permasalahan yang disampaikan para demonstran. Pada 26 Maret 2008, Jaringan juga diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Presiden berjanji akan membantu penuntasan kasus hak asasi manusia. ”Ternyata tidak ada buktinya,” ujar Sumarsih. Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, mengatakan komitmen Presiden soal pelanggaran hak asasi manusia sudah jelas. ”Semua ada aturannya,” kata Andi.
Alih-alih pemerintah memberi bukti, 1 April lalu, empat berkas kasus pelanggaran hak asasi hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Keempatnya adalah berkas kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; penghilangan orang secara paksa; kerusuhan Mei; dan kasus Wamena-Wasior.
l l l
MENURUT Ketua Federasi Organisasi Keluarga Orang Hilang Asia (AFAD) Mugiyanto, apa yang dilakukan Kamisan ini mirip dengan Las Madres Plaza de Mayo (Ibu-ibu Plaza Mei). Di Argentina, perempuan-perempuan itu menggunakan scarf putih berjalan mengitari sebuah tugu di depan Istana Kepresidenan Casa Rosando. Pesertanya juga tak banyak: sekitar 50 orang. Jumlahnya membeludak hanya pada saat tertentu, seperti pekan terakhir Mei, yang memang ditahbiskan sejak 1980 sebagai Pekan Anti-Penghilangan Orang Secara Paksa.
Suasana Argentina saat itu juga sangat represif: pers dibungkam, oposisi diberangus. Semasa Jenderal Fidel berkuasa (1976-1983), menurut laporan Komisi Orang Hilang Argentina, korban perang kotor diperkirakan 8.000 orang. Kabarnya mereka dibuang ke Laut Atlantik. ”Aksi yang dilakukan ini sangat simbolis,” kata Mugiyanto, Ketua Ikatan Orang Hilang Indonesia.
Bagi Mugiyanto, yang membedakan Las Madres Plaza de Mayo dengan Kamisan adalah situasi politiknya. Gerakan Las Madres itu dilakukan sebagai cara kreatif mengatasi represi, sedangkan aksi Kamisan di Indonesia sebagai bentuk aksi simbolis setelah upaya lain untuk mendorong penuntasan kasus hak asasi menemui jalan buntu. ”Aksi Kamisan ini sebagai inisiatif melawan lupa,” ujar Mugiyanto.
Konsistensi Las Madres Plaza de Mayo membawa dampak besar bagi perjuangan orang-orang hilang di dunia. Gerakan itu menginspirasi gerakan lain tak hanya di Amerika Latin, tapi juga dunia. Politik ibu-ibu Argentina itu juga yang mendorong lahirnya Konvensi Anti-Penghilangan Orang Secara Paksa, yang disahkan dalam Majelis Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 19 Desember 2006. Indonesia, kata Mugiyanto, belum meneken, apalagi meratifikasi, konvensi tersebut. ”Itulah yang akan kami dorong,” ujarnya.
Abdul Manan, Shinta Eka P.
Majalah Tempo, Edisi. 12/XXXVII/12 – 18 Mei 2008
1 comment:
terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2SP7F4H
Post a Comment