I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Thursday, January 19, 2017
19 Tahun Hilangnya Wiji Thukul
Wiji Thukul Masih Utuh, Dan Kata Kata Belum Binasa
Mugiyanto
Bulaksumur, Yogyakarta, tahun 1994. Wiji Thukul kami daulat membaca puisi di ruang Auditorium Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM di Bulaksumur Yogyakarta. Dengan suara cedal, ia melantunkan beberapa puisinya. Saya masih hingat suasana waktu itu. Hadirin, para mahasiswa fakultas Sastra, Filsafat, Psikologi , Fisipol dan Fakultas Hukum, serta beberapa aktivis non UGM menyimak serius. Sesekali mereka menimpalinya dengan seruan-seruan “Lawan!” dan “Hidup Rakyat”, terutama saat Wiji Thuul membaca Sajak Peringatan. Kami yang mengundang Wiji Thukul adalah Pers mahasiswa Fakultas Sastra UGM, Dian Budaya.
Setelah itu, perjumpaan kami hanya terjadi saat pertemuan organisasi. Itupun sangat jarang, karena sejak 27 Juli 1996, Wji Thukul Menjadi salah satu orang ang paling dicari oleh Rejim Otoriter Orde Baru., dan organisasi kami dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Pertemuan cukup intens terjadi lagi pertengahan tahun 1997 di Jakarta. Dalam momentum Pemilu 1997, organisasi kami melibatkan diri. Kami turut berkampanya. Kami waktu itu mendorong dan mendukung Megawati untuk menjadi Calon Presiden, menantang Suharto. Wiji Thukul terlibat dalam penulisan selebaran dan pengorganisasian (walau terbatas), untuk mendorong koalisi Mega (PDI) dan Bintang (PPP) dengan Rakyat. Kami tinggal bersama di sebuah flat sederhana di bilangan Cawang, Jakarta Timur. Itu nampaknya menjadi perjumpaan terakhir kami dengan Wiji Thukul.
Nama Wiji Thukul disebut-sebut lagi pada bulan Maret 1998. Kali ini dalam suasana berbeda. Namanya disebut-sebut oleh orang-orang yang tak pernah saya kenali, karena mata saya dalam keadaan ditutup, tangan dan kaki sata terikat dan saya hanya memakai celana dalam. Saya tidak ingat betul, apa mereka menyebut nama Wiji Thukul sebagai orang yang sudah mereka tangkat, atau sebagai orang yang sedang mereka buru.
Setelah Suharto diturunkan oleh gerakan mahasiswa, beberapa aktivis yang dinyatakan hilang mulai dibebaskan. Saya kebagian pembebasan tanggal 8 Juni 1998. Tetapi sebetulnya bukan pembebasan, melainkan penangguhan penahanan. Namun Wiji Thukul, sebagaimana Suyat, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah tidak kunjung dilepaskan, hingga hari ini.
Saat ini, 19 tahun kemudian, Wiji Thukul menjadi sosok dan objek yang kami cari. Wiji Thukul merupakan sosok yang pernah ada, menginspirasi jutaan orang yang terpinggirkan, diburu oleh aparat negara, tak pernah dinyatakan meninggal, tetapi wujudnya tidak ada. Inilah kejamnya tindakan penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance), ia menihilkan apa-apa yang oleh Tuhan dan semesta di-ada-kan. “Enforced disappearance annihilates human existence”, demikian pernah dikatakan advokat anti penghilangan paksa mendiang Patricio Rice dari Argentina kepada saya.
Saat saya di IKOHI, pernah beberapa kali mendapatkan informasi bahwa Wiji Thukul ada di tempat A, B, C. Tetapi setelah kami lacak dan temui, ia hanyalah orang yang mirip saja dengan Wiji Thukul. Pun, ternyata ada juga orang yang kurang kerjaan yang memanfaatkan hilangnya Wiji Thukul ini.
Wiji Thukul memang tidak bersama kita. Tetapi ia ada. Ia memiliki wujud. Bahkan berlipat ganda. Saya percaya dengan puisinya yang ditulis tahun 1997, “Aku masih utuh, dan kata-kata belum binasa”
Tulisan ini dimuat di Kumparan https://kumparan.com/mugiyanto/wiji-thukul-masih-utuh-dan-kata-kata-belum-binasa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment