Monday, November 08, 2004

Article in KOMPAS Daily on Truth and Reconciliation Commission

"Memoria Passionis" dan Rekonsiliasi
Oleh Mugiyanto

DI tengah kesibukan menjelang Pemilihan Presiden babak kedua 20 September, seyogyanya kita mengingat satu agenda kebangsaan yang amat mendasar pada masa transisi ini, bagaimana negara menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang begitu masif di masa lalu (how to deal with the past). Oleh para pemimpin negara, agenda ini sering disederhanakan menjadi rekonsiliasi nasional. Begitu pentingnya rekonsiliasi nasional, sehingga semua calon presiden-termasuk yang sudah tereliminasi-memasukkannya sebagai salah satu agenda utama mereka.

Kini, DPR sedang membahas UU Rekonsiliasi setelah RUU-nya diserahkan pemerintah 26 Mei 2003 lalu. Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membahasnya menyebut sebagai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Dari namanya, komisi yang nanti terbentuk diharapkan bisa mengungkap kebenaran masa lalu, sehingga ke depan bisa tercipta rekonsiliasi nasional.

Sebagai korban peristiwa pelanggaran HAM, penulis tidak keberatan dengan agenda rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional disadari sebagai syarat pembangunan sebuah entitas kebangsaan. Tetapi yang harus disadari, rekonsiliasi nasional adalah sebuah tujuan. Sebagai tujuan ia adalah hasil proses. Tercapai-tidaknya sebuah tujuan, ditentukan proses yang mengarah pada tujuan itu. Dalam proses-proses inilah interaksi, dialog, dan dinamika terjadi di antara entitas yang hendak direkonsiliasikan itu.

Penting, pengungkapan kebenaran
Perkembangan pembahasan RUU KKR yang kini terjadi di DPR, menurut penulis, sudah sampai taraf mengkhawatirkan, karena itu perlu ditanggapi serius. Di Kompas (20/7) disebutkan, ada kecenderungan kuat, judul yang yang semula bernama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi atau RUU Komisi Persatuan Nasional untuk Rekonsiliasi. Lebih jauh disebutkan, unsur TNI di DPR menghendaki penghilangan kata "Kebenaran" dengan alasan agar tercipta suasana rujuk di antara anak bangsa. Bila kebenaran diungkap, rujuk akan kian jauh, karena ada pengadilan. "Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan," kata anggota Pansus RUU KKR Fraksi TNI, Mayjen TNI Djasri Marin.
Berbeda dengan yang diharapkan anggota Fraksi TNI di DPR, dikhawatirkan akan menjauhkan kita dari tujuan rekonsiliasi nasional sendiri. Yang lebih membahayakan, Fraksi TNI mengajak untuk melupakan sejarah atau kebenaran dengan mengubur masa lalu. Padahal esensi sebuah komisi semacam ini adalah not to forget (tidak untuk melupakan).

Lantas, apa yang salah dengan mengubur masa lalu saat kita hendak melangkah ke depan? Fraksi TNI menilai, mengingat masa lalu sama dengan mengorek luka lama, sehingga dendam akan tumbuh dan berkembang biak. Karena itu rekonsiliasi tak akan terjadi. Sebaliknya, penulis menganggap, mengingat dan mengetahui masa lalu membuat kita bisa belajar dan memetik hikmah dari yang baik dan buruk. Sesuatu yang buruk di masa lalu akan menjadi peringatan agar tidak terulang di masa kini dan mendatang. Ingatan akan masa lalu yang buruk dan hitam, yang penuh derita (memoria passionis) akan menjadikan manusia berusaha menghindarinya.

Dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, pesan-pesan yang muncul dari memoria passionis tidak hanya dirasakan korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat luas. Dalam hal ini, ingatan akan kebenaran masa lalu adalah pendidikan publik yang akan memberi sumbangan pada pengetahuan masyarakat tentang penderitaan korban dan membantu menggerakkan masyarakat mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan (Douglas Casses, Paul van Zyl dan Priscilla Hayner; 2000).

Penulis menganggap, ketidaktahuan kelompok korban akan kebenaran masa lalu yang hitam, akan menumbuhkan rasa dendam membabi buta kepada mereka yang dianggap sebagai pelaku. Sebaliknya, saat kebenaran terungkap, segala sesuatu yang sebelumnya dinilai secara semena-mena dan membabi buta menjadi jernih. Rasa keadilan bagi korban (yang secara negatif disebut dendam), menjadi tanggung jawab peradilan.

Kebenaran bagi korban
Sejak RUU KKR dibahas di DPR pertengahan 2003, berbagai lembaga HAM mengkritisinya sebagai kurang relevan, karena tidak adanya syarat-syarat politik yang mendukung. Mereka khawatir RUU KKR tidak bisa mengungkap kebenaran dan memberi keadilan bagi korban. Bahkan kelompok korban pelanggaran berat HAM yang tergabung dalam Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran HAM (SKKP-HAM) yang merupakan kesatuan korban peristiwa 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Penculikan 1997/1998, Trisakti-Semanggi I dan II, korban peristiwa Mei 1998 menyatakan menolak RUU KKR karena dinilai menjadi alat impunitas pelanggar HAM. Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus DPR, November 2003.

Menariksekali apa yang selama ini disuarakan para orangtua yang kehilangan anaknya dalam hiruk-pikuk politik. Dalam film Batas Panggung; Kepada Para Pelaku, sebuah film dokumenter tentang kasus penghilangan paksa di Indonesia yang diproduksi Offstream bersama Kontras, Paimin, orangtua Suyat yang hilang diambil penculiknya di Solo awal 1998 berkali kali mengatakan "Karep kulo niku, yen ijih yo ning ngendi, yen wis mati, kuburane yo ing ngendi, ben ora semumpel ing ati" (Saya inginkan, kalau memang-anak saya-masih ada di mana, tetapi kalau sudah mati kuburannya di mana. Biar tidak mengganjal di hati).

Kebenaran, sekali lagi adalah tuntutan utama orangtua korban seperti Paimin. Bukan untuk mendendam, tetapi untuk ketenangan, sehingga bisa melanjutkan hidup yang masih panjang.

Nyawa rekonsiliasi
Salah satu alasan Fraksi TNI menolak pengungkapan kebenaran adalah untuk menghindari pengadilan. Dalam pergaulan internasional pun dikenal tiga hak korban yang telah dirumuskan secara komprehensif oleh Theo van Boven, meliputi hak atas kebenaran (the rights to truth), hak atas keadilan (the rights to justice) dan hak atas pemulihan (the rights to reparation), terdiri atas rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi. Pengingkaran atas hak-hak korban hanya akan menjadikan rekonsiliasi nasional yang hendak dicapai menjadi rekonsiliasi yang dipaksakan, rekonsiliasi tanpa nyawa.

Ketika kita sadar, agenda rekonsiliasi nasional adalah agenda kebangsaan yang menentukan jalan hidup bangsa, pengerjaannya pun harus dengan pertimbangan kebangsaan. Pansus DPR menargetkan RUU KKR disahkan menjadi UU sebelum masa tugas mereka berakhir 30 September 2004. Dengan alasan itu, seluruh fraksi DPR setuju menarik puluhan usulan penyempurnaan pasal-pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Terlihat DPR mengerjakan urusan kebangsaan secara pragmatis dan mengejar target. Memoria passionis, ingatan akan penderitaan sama sekali tidak masuk pertimbangan DPR. Bagi mereka, sebagaimana dikatakan Ketua Pansus, Sidharto Danusobroto, setiap UU adalah hasil kompromi politik.

Mugiyanto Korban penculikan 1998, Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)

Dimuat dalam rubrik Opini, Harian Kompas, 27 Juli 2004

No comments: