Menyembuhkan Amnesia Sejarah Kasus Penghilangan Paksa
Oleh Mugiyanto
Oleh Mugiyanto
DHEK jaman berjuang//njur kelingan anak lanang;
Biyen tak openi//ning saiki ono ngendi. Jare yen wis menang//keturutan sing digadhang;
Bien ninggal janji//saiki opo lali. Ning gunung//tak ingoni (cadhongi) sega jagung;
Yen mendhung//tak kudhungi (silihi) caping gunung. Sukur bisa nyawang//gunung desa dadi rejo;
Dene ora ilang//nggone lara lapa.
(Di zaman berjuang//teringat anak laki-lakiku; Dulu saya rawat//sekarang entah di mana.
(Di zaman berjuang//teringat anak laki-lakiku; Dulu saya rawat//sekarang entah di mana.
Katanya kalau sudah menang//terpenuhilah semua cita-cita.
Dulu anakku pernah berjanji//apakah sekarang dia lupa.
Di gunung//kuberi makan nasi jagung. Kalau mendung//kupayungi caping gunung.
Syukur bisa bertemu anakku lagi//hingga kampung kami jadi sejahtera.
Biar tak sia-sia//semua pengorbanannya).
BAIT itu adalah penggalan lagu Caping Gunung gubahan komponis legendaris Gesang. Lagu itu dihayati betul oleh Paimin, ayah Suyat, korban penghilangan paksa aktivis prodemokrasi pada awal 1998, beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto ditumbangkan gerakan reformasi. Paimin amat tersentuh lagu itu karena sampai hari ini, nasib dan keberadaan Suyat tetap menjadi misteri, belum terungkap atau sengaja tak diungkap.
Suyat bukanlah satu-satunya aktivis prodemokrasi yang dihilangkan pada periode itu. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat dan mendokumentasikan 14 orang yang sampai kini bernasib sama. Mereka dihilangkan pada periode tahun 1997/1998 dengan tiga setting politik yang melatarbelakanginya.
Pertama, masa kampanye Pemilu 1997. Pada periode ini mereka yang sampai sekarang masih hilang adalah Yani Afri alias Rian, Sonny, Dedi Umar Hamdun, Noval Said Alkatiri, dan Ismail. Kedua, periode pra-Sidang Umum 1998 dengan korban Suyat, Bima Petrus Anugerah, Herman Hendrawan, dan Wiji Thukul.
Ketiga, periode pasca-Sidang Umum 1998, termasuk peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Mereka yang terdokumentasi sebagai korban penghilangan paksa pada periode ini adalah Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Muhammad Yusuf, Abdun Nasir, dan Hendra Hambali.
SELAMA satu pekan terakhir tiap bulan Mei, berbagai kelompok masyarakat, kelompok korban, dan keluarga korban penghilangan paksa di berbagai negara, terutama di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, selalu memperingati Pekan Penghilangan Paksa Internasional (International Week of Disappearances). Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Kontras adalah dua di antaranya. Makna peringatan itu, jangan sampai bentuk kejahatan yang termasuk kategori hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia) terjadi lagi.
Sudah lebih dari lima tahun peristiwa itu terjadi. Penguasa sudah berganti-ganti. Berbagai usaha telah ditempuh keluarga korban guna mengetahui nasib dan keberadaan orang-orang yang mereka cintai. Berbagai tempat telah didatangi, instansi-instansi terkait di dalam negeri maupun lembaga-lembaga internasional di luar negeri dilapori. Tetapi, usaha-usaha itu tampaknya belum cukup.
Perhatian dan dukungan masyarakat luas rupanya menjadi kunci keberhasilan penuntutan penyelesaian kasus yang oleh masyarakat internasional digolongkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan dinyatakan sebagai musuh seluruh umat manusia di atas bumi (hostis humanis generis).
Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearances) adalah kejahatan yang paling banyak melanggar hak-hak dasar manusia. Dalam Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa (UN Declaration on the Protection of All Person from Enforced or Involuntary Disappearances) yang diundangkan tahun 1992 disebutkan, secara serempak, penghilangan paksa melanggar hak pengakuan di depan hukum (the rights to recognition as a person before the law), hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan (the rights to liberty and security of person), hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang merendahkan martabat kemanusiaan (the rights not to be subjected to torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment), dan hak untuk hidup (the rights to life).
Sedemikian seriusnya kejahatan penghilangan paksa ini, sehingga negara harus memberikan pertanggungjawaban atas kasus-kasus yang telah terjadi, penghentian serta pencegahan dari keberulangan (prevention from repetition). Tiga hal inilah yang selama lima tahun terakhir menjadi tuntutan para korban dan keluarga korban penghilangan paksa yang tergabung dalam IKOHI beserta Kontras dan para pekerja hak asasi manusia di negeri ini.
JAMINAN tidak berulangnya tindakan penghilangan paksa hanya bisa terjadi bila kasus- kasus yang terjadi telah dipertanggungjawabkan oleh negara. Bentuk pertanggungjawaban negara berupa penyelidikan, yang dalam sistem hukum nasional ada di tangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagaimana diatur UU No 26/2000 mengenai Pengadilan HAM. Dari penyelidikan ini lalu dilakukan penyidikan dan peradilan di Pengadilan HAM.
Dari proses seperti itulah akan terungkap kebenaran seputar pelaku, peristiwa, dan korban, termasuk nasib dan keberadaan para korban. Namun, untuk mencapai hal itu, keseriusan, keberanian, dan independensi lembaga hukum menjadi syarat mutlak. Bila tidak, segala proses yang ditempuh hanya akan berakhir pada tembok tebal "kekebalan hukum" para pelaku (impunitas).
Bila proses penyelidikan (atau dalam makna lebih luas disebut truth seeking) dan peradilan yang fair (prosecution) telah dilakukan, maka negara berarti mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang telah terjadi, dan kewajiban negara selanjutnya adalah memenuhi hak korban yang berupa pemulihan hak-haknya atau reparasi dalam bentuk rehabilitasi dan kompensasi. Jadi, hak korban dalam bentuk reparasi adalah kewajiban yang harus diberikan oleh negara begitu proses truth seeking dan prosecution telah dijalankan.
Tidak dituntaskannya kasus kejahatan penghilangan paksa akan mengakibatkan diulangnya kasus yang sama di masa datang. Dalam konteks kita di Indonesia, kekhawatiran ini telah menjadi kenyataan.
Tidak dituntaskannya kasus penghilangan paksa yang terjadi tahun 1997/1998 dan sebelumnya, menyebabkan kasus serupa masih terjadi hingga kini. Contoh signifikan, selain aktivis kemanusiaan Aceh Jafar Sidiq (2001) kita juga menyaksikan kasus serupa yang menimpa Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay (2001), aktivis HAM Aceh Musliadi (2002) yang dihilangkan, dan beberapa hari kemudian ditemukan meninggal. Kasus terakhir yang masih hangat adalah diculiknya dua aktivis Link for Community Development (LCD) Aceh, Muchlis dan Zulfikar, 25 Maret 2003, oleh aparat keamanan saat mereka mendampingi pengungsi di depan Kantor Bupati di Bireuen, Aceh.
MELIHAT perkembangan yang ada, perhatian untuk seluruh elemen masyarakat sipil terhadap tindak kejahatan penghilangan paksa menjadi amat penting. Terlebih lagi saat ini, yang dalam rangka memerangi tindak pidana terorisme pemerintah telah membuat Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam salah satu pasal UU itu disebutkan, penyidik dapat melakukan penahanan atas dasar hasil laporan intelijen (Pasal 26 Ayat 1) dan pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri dilakukan secara tertutup (Pasal 26 Ayat 3).
Proses politik yang sedang kita hadapi kini juga amat memungkinkan terjadinya kasus penghilangan paksa. Otoritas politik militer yang dominan atas otoritas politik sipil, menjadikan militer bebas bertindak tanpa mendengar suara dan aspirasi kritis masyarakat sipil. Kebijakan pemerintah untuk masalah Aceh adalah salah satu contoh nyata. Belum lagi adanya kontestasi antarelite dan partai politik menjelang Pemilu 2004, akan membuka peluang terjadinya aneka kekerasan politik, dan penghilangan paksa amat mungkin menjadi salah satu manifestasinya.
Jalan menuju keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian, tampaknya masih jauh. Dalam salah satu puisinya, Wiji Thukul, korban penghilangan paksa yang sampai saat ini tidak diketahui nasib dan keberadaannya berujar, "…jika kau menghamba pada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan."
Mugiyanto Korban penculikan aktivis prodemokrasi 1998, Ketua IKOHI
Dimuat dalam rubrik Opini, Harian Kompas, 28 Mei 2003
No comments:
Post a Comment