I was with IKOHI, a national association of victims of human rights violation, and AFAD, an Asian federation of organizations working directly on issues of enforced disappearances, and later with INFID, as Program Director. Currently, I work as an Advisor at the Executive Office of the President of the Republic of Indonesia (KSP). I can be reached at mugiyanto@gmail.com.
Wednesday, July 20, 2011
Perlunya Ratifikasi ICC
Perlunya Ratifikasi ICC
Penulis : Mugiyanto*
Setiap tanggal 17 Juli, masyarakat dunia memperingati Hari Keadilan Internasional (International Criminal Justice Day) sebagai peringatan disahkannya Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court/ICC). Statuta ini dinamakan demikian karena disahkan dalam sebuah konferensi diplomatik di Kota Roma, Italia.
ICC bertujuan menghapuskan praktik impunitas di dunia dengan mengadili para pelaku kejahatan serius internasional; kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. ICC telah efektif berjalan sejak tanggal 1 Juli 2002, setelah diratifikasi oleh 60 negara.
Berdasarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya, terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat konflik internal, sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).
Sebuah kasus bisa ditangani ICC dengan cara tiga cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi di mana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta pengadilan untuk menginvestigasi situasi di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.
Indonesia dan ICC
Walaupun belum menandatangani ataupun meratifikasi ICC, Indonesia cukup aktif terlibat, bahkan sejak 1998 ketika konferensi diplomatik di Roma diselenggarakan. Lalu dalam pernyataan mengenai ICC di Komite ke-6 Majelis Umum PBB tahun 1999, wakil pemerintah Indonesia menyatakan dukungannya dengan mengatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung tombak ICC” dan bahwa “Pengadilan (ICC) menjadi bentuk hasil kerja sama seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya”.
Selanjutnya, pada Sidang Dewan HAM PBB tentang Darfur (Sudan) tahun 2007, Dubes Indonesia di PBB, Marty Natalegawa, mengatakan penolakannya pada impunitas, dan bahwa pelaku kejahatan serius harus diadili.
Pemerintah Megawati sebenarnya juga sudah mencanangkan rencana meratifikasi ICC pada 2008, sebagaimana disebutkan dalam Keppres No 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009. Akan tetapi, pemerintah penggantinya, yaitu pemerintahan SBY, tidak berhasil melaksanakan rencana tersebut, tanpa penjelasan yang bisa diketahui publik. Akibatnya, rencana ratifikasi ICC kembali dibuat dalam Keppres No 23 Tahun 2001 tentang RANHAM 2011-2014 yang menyebutkan bahwa ratifikasi ICC akan dilakukan pada tahun ke-3 (2013).
Arti Penting bagi Indonesia
Peringatan Hari Keadilan Internasional tahun ini sebenarnya sangat istimewa bagi Indonesia karena pada bulan Juli ini Koalisi Internasional untuk Mahkamah Pidana Internasional (CICC) bersama Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional telah menetapkan Indonesia sebagai target dari kampanye ratifikasi universal (Universal Ratification Campaign/URC). Indonesia dijadikan sasaran kampanye internasional ini karena dipandang memiliki posisi signifikan dalam upaya memutus rantai impunitas bersama-sama negara-negara lain, bahkan berpotensi menjadi contoh.
Saat ini Indonesia memiliki kedudukan penting di regional maupun internasional. Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia dapat berperan penting dalam mempromosikan keadilan internasional sebagai bagian dalam pemecahan konflik antarnegara ASEAN. Selain itu, hal ini akan memperkuat kedudukan ASEAN dan Badan HAM ASEAN sebagai perwujudan penghormatan terhadap hak asasi manusia di kawasan ASEAN.
Keanggotaan Indonesia kembali dalam Dewan HAM PBB juga layak dipertegas dengan pembuktian bahwa Indonesia punya komitmen kuat dalam penegakan keadilan dan penghormatan HAM dengan meratifikasi ICC. Hal ini juga akan mampu memperbaiki citra Indonesia di luar negeri yang akhir-akhir ini mendapatkan sorotan tajam dari PBB, karena tidak mampu melindungi dan menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Percepatan Ratifikasi
Kegagalan RANHAM 2004-2009 dalam meratifikasi ICC yang seharusnya terjadi pada 2008 harus menjadi pelecut proses percepatan RANHAM 2011-2014 kali ini. Kita tidak perlu menunggu sampai 2013 karena beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi Pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.
Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amendemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan terhadap kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Haag (Belanda), semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, victim trust fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties/ASP). Bahkan, bila Indonesia telah menjadi negara pihak sebelum bulan September tahun ini, Indonesia dapat berperan serta dalam ASP dengan mengusulkan calon hakim yang akan menjadi pengganti enam orang hakim ICC yang pada bulan Desember mendatang akan mengakhiri masa tugasnya.
Indonesia akan mendapatkan banyak sekali keuntungan bila meratifikasi ICC, baik secara domestik maupun internasional. Sebaliknya, kerugiannya juga akan berlipat ganda bila tidak meratifikasi ICC secepatnya, karena janji-janji pemerintah tentang keadilan dan penegakan hukum hanya akan menjadi jargon-jargon kosong tanpa arti.
*Penulis adalah Ketua IKOHI, Convenor Koalisi Masyarakat Sipil untuk ICC.
Opini di Harian Sinar Harapan:18.07.2011 09:22
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/perlunya-ratifikasi-icc/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment